Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Oportunia

Aku terbangun dan mendapati diriku berada di atas ranjang. Sebuah jari hangat mendekap tangan kananku. Kusesuaikan pupilku menerima cahaya matahari. Dan begitu alam sadarku kembali, aku tahu siapa yang bersamaku.

"Papa?"

Ia tersenyum lemah, "senang mendengarmu memanggilku Papa lagi." tangannya terlepas meraih kertas di atas nakas dan menyerahkannya padaku. "Ini yang selalu kau tanyakan."

Aku yang belum mengerti segera mengambil kertas yang iaulurkan. Sebuah dokumen sipil: kartu keluarga. Ada nama Papa, Mama dan namaku. Alisku bertaut. "Apa ini?"

"Lihat tahun pembuatannya."

Papa masih menatapku tanpa ekspresi namun itu cukup membuat hatiku nyaman. Kulihat lagi tahun pengesahan kartu keluarga. 1990. 24 tahun lalu? Benarkah? Lalu Kartu Keluarga yang pernah kulihat beberapa waktu lalu?

"Sebelum menikah dengan Mamamu, aku menikahi tantemu, Jingga. Namun, ia mengkhianatiku dengan berselingkuh dengan lelaki lain." Papa menarik napas, kentara sekali bahwa emosi gelap dari masa lalunya belum hilang. Aku duduk menyandar dan Papa meletakkan bantal di bahuku dengan sabar. Ada sesuatu yang hilang dalam diriku kembali lengkap. Aku bisa merasa hatiku yang terasa sejuk dan berbunga-bunga. Tak terasa airmata menetes di pipiku.

"Aku sudah sering membuatmu terluka, Ji." Lanjutnya, disekanya airmataku. Tak hanya itu saja, Papa memelukku dengan erat. Tangisku yang semula tanpa suara kini meledak. Aku sampai tersendat-sendat dan memukul-mukul bahu Papa. "Maafkan aku membuatmu salah paham. Awalnya, kupikir ini akan menjadi lebih baik untuk kita. Kemudian, Mandala menegurku, ia mengatakan bahwa dua kali nyawamu dalam bahaya jadi kuputuskan untuk mengatur segalanya, termasuk memintamu tinggal di luar negeri."

Papa curang, dalam sekejap aku sangat yakin akan semua kasih sayangnya. Aku sangat yakin bahwa ia mencintaiku dengan caranya sendiri dan oh betapa brengseknya aku yang selalu berburuk sangka dan menuduhnya sebagai penjahat.

"Kenapa Papa mau aku pergi dari sini?"

"Beberapa tahun lalu, ketua partai membuat wacana tentang pencalonan Papa sebagai presiden. Lalu mandat itu turun beberapa bulan lalu. Papa sangat yakin akan ada kampanye hitam atau pun kampanye negative terutama tentang keluarga kita. Beberapa penasehat Papa meminta untuk membuat Kartu Keluarga lain karena keadaan Mamamu yang tak bisa dikatakan stabil."

"Lalu Papa menuruti nasehat mereka? Papa malu memiliki istri seperti Mama?!" aku melepas pelukannya. Kutatap ia dengan mata tajam dan bengkak.

Papa menggeleng, aku lihat ia juga terluka, sama sepertiku. "Tidak. Kau tahu kenapa aku bisa menikahi Mamamu?"

Aku buta tentang hal ini.

"Itu karena kecelakaan." Kata Papa dengan sedih, "setelah tahu Maria-bibimu-mengkhianatiku, aku mabuk-mabukkan dan ketika pulang, Ilana-Mamamu-menginap di rumah. Aku menimpakan semua kesalahan pada Ilana, memakinya, memarahinya dan aku melakukan itu." Papa menunduk lama sekali. Jantungku seperti terkena kawat berduri yang terasa nyeri. "Aku merenggut keperawanan Mamamu dengan cara biadap dan kasar padahal bukan Mamamu yang menyakitiku."

Aku ingin mati saja daripada mendengar berita ini.

"Aku menceraikan Maria, dan bertanggung jawab atas perbuatanku, namun begitu sampai di rumah kakekmu, aku malah mendapati kakek dan nenekmu meninggal karena bunuh diri dan Mamamu..., sangat terguncang."

"Papa penjahat! Papa tak bermoral!" aku memakinya, berharap rasa sesak yang menghimpitku jadi lega. Namun, aku salah. Rasa sakitnya makin menjadi-jadi. Di tengah-tengah kalapnya aku, Papa segera menarikku dalam pelukannya lagi. Aku sempat mendengar Papa terisak. Ototku tegang, tulang-tulangku langsung tak bisa digerakkan. Papa menangis..., kesadaranku tersentak.

"Papa tahu kata maaf tak akan mengembalikan semuanya. Maaf tak bisa membuat semua menjadi sempurna. Namun, hanya maaf yang bisa membuat kita mengakui kesalahan dan belajar untuk mengerti bahwa tak ada kata sempurna."

Papa melonggarkan pelukan hanya untuk melihatku. Bibirnya menipis.

"Dua tahun lalu, keluarga yang diawali kesalahan itu kembali diterpa masalah. Maria datang, dia menuntut Mamamu dan menyalahkan Mamamu. Tak hanya sampai di situ saja, Mamamu sempat diculik dan dia...," Papa berhenti. Jari-jarinya di bahuku kaku. Aku rasa hal buruk terjadi. Ingin sekali kuminta Papa untuk tak melanjutkan ceritanya. "Dia diperkosa secara bergilir oleh pesuruh Maria. Maka, ketika kau datang, semua tampak kacau."

Aku berdiri, Papa cepat tanggap. Dipeganginya bahuku. "Aku pernah membaca bahwa ia kecelakaan dan meninggal. Bagaimana ia bisa menyuruh anak buahnya melakukan hal itu?" kerongkonganku kering. Aku hanya ingin membenamkan kepalaku dan menangis, namun dengan amarah yang masih berkobar, aku tentu tak bisa pura-pura tak terjadi masalah.

Ayah mengambil napas, ia mengelus bahuku, "jangan percaya apa kata media, sebab di antara mereka ada yang membuat artikel karena uang. Tenanglah, Nak... jangan biarkan kau dikuasai emosi." Seolah tahu apa yang terjadi, Ayah memperingatkanku.

Amarahku mengendur pelan. Aku kembali duduk di ranjang. "Siapa anak buah Maria? Papa Antara?"

Ayah diam, matanya membulat, "apa Mamamu sudah bercerita kalau malam itu kami menemui keluarga Antara?"

Mama tidak bercerita apa-apa, tapi aku yakin itu. Aku menatap Ayah dengan tegas, meminta kejelasannya.

"Mama Antara adalah Maria." Leherku langsung mengencang. "Papa Antara adalah selingkuhannya dulu ketika mengkhianatiku."

Petir menyambar ujung sarafku. Bersama dengan itu, rasa sakit yang perih memenuhi rongga dadaku dan setiap bagian tubuh. Jadi, selama ini? Selama ini aku menyukai orang yang sudah membuat Mamaku sengsara. Selama ini aku mempercayakan cintaku dan sampai bodoh hanya kepada Antara. Orang yang tak pantas mendapatkannya.

"Kalau dia sudah bersuami, kenapa dia mengancam Mama lagi?"

"Dari tangan kananku, Douglas menikahinya belum lama." Papa diam, tunggu..., jadi Maria itu Mama tiri Antara. "Setelah istrinya meninggal 3 tahun lalu, dua tahun berikutnya barulah mereka menikah."

"Lalu setelah kejadian tak bermoral itu, Papa tak melaporkan ini pada polisi dan Papa jijik pada Mama?!" aku berapi-api dan meski dengan suara tercekat, aku sempat meneriakinya seperti yang kuinginkan. Aku tak peduli dengan wajahnya yang terlihat lebih menderita dariku.

"Aku menerima Mamamu, Jingga. Itu sama sekali bukan kesalahannya. Hanya saja, Mamamu..., yang tak bisa memaafkan keadaannya. Awalnya, kupikir, dengan membiarkanmu keluar dari rumah bisa membuat emosinya tenang. Maaf jika selama ini kau harus menanggungnya sendirian. Aku sangat tahu bebanmu selama ini, Nak..., namun tak ada satu pun yang bisa kulakukan selain mendoakanmu."

"Pa, tidak cukupkah Papa hidup bersama kami, kita obati Mama bersama-sama dengan kasih sayang yang kita miliki?" airmataku jatuh, berharap papa lilih dengan permintaanku. Ia justru menggeleng, dua rahangnya mengencang dan ia menatapku dengan mata tak tertebak. Aku mengambil napas, siap kalau ia memberi jawaban yang mengecewakan untukku.

"Tidak, Ji," kata Ayah menatap kusen jendela, ia menunduk lagi kemudian menatapku, lama dan dalam. Tak ada sorot main-main di sana, "Papa menerima mandat partai menjadi calon presiden bukan karena gila jabatan dan kekuasaan. Tapi, itu panggilan nurani. Ada banyak rakyat kita yang terlihat waras namun jiwanya sedang sakit. Mereka merampas harta milik orang lain, mengkhianati kepercayaan yang diamanahkan kepadanya, berhati lemah pada kemungkaran dan banyak sekali ketimpangan Negara kita." Ia mengambil napas, sekarang tangannya meremas jemariku. "Bukan karena Papa adalah orang baik tanpa dosa, tapi karena Papa ingin berusaha melakukan apa yang bisa Papa lakukan untuk kehidupanmu mendatang, anakmu, cucumu dan jutaan rakyat yang menginginkan keadilan yang bermartabat."

Hatiku bergetar. Baru sekali ini aku mendengar pengakuan Papaku dan itu sangat menyentuh. Aku memeluknya dan sesenggukan di dadanya. "Mama, Pa..., bagaimana dengan Mama?"

"Bisakah kau berjanji untukku, Nak?"

Aku mendongak. Wajah kebapakannya menentramkan emosiku.

"Tolong temani Mamamu." Katanya, "dan, tentang Antara..., dia tak bersalah apa-apa. Jangan membencinya."

Aku mengambil napas. Sekarang, aku tahu kenapa aku tak bisa membenci Papa meskipun dia pernah mengecewakan aku. Papa selalu punya alasan tersendiri dan ia bukan pengobral cerita yang akan mendongengkan kisah hidup dan tujuannya.

"Mama membenci dia, Pa." sahutku pendek, "bahkan saat Mama mencekikku tadi, itu karena kami membicarakan Antara."

Papa mengelus puncak kepalaku. "Buat Mamamu memaafkan masa lalunya yang gelap dan buruk. Beri tahu dia bahwa Tuhan tak pernah tidur, jadi biar Dia yang membalas orang-orang yang menyakitinya." Pungkas ayah dengan senyum meyakinkan. Setitik optimis mendarat di kalbuku, menghantarkan denyaran semangat yang bisa membuatku bertahan.

"Bagaimana caranya, Pa?" di tengah kehangatan itu aku merasa sedikit bingung. Ayah mengecup keningku dengan pelan.

"Hatimu tahu caranya, Jingga. Sekarang, Papa mau melihat keadaan Mamamu dulu, istirahatlah." Ia berhenti untuk menghela napas, "lusa kau akan ikut penerbangan ke Florida bersama ibumu."

Papa keluar dari kamarku. Aku mengusap wajah dengan pelan dan termangu memikirkan setiap nasehat Papa. Belum pernah aku melihat Papa dari sisi seperti ini, dan rasanya aku benar-benar tak bisa menyalahkannya atas semua ini.

Aku masih merenung dalam hati ketika alat komunikasiku bergetar. Kulirik layar handphone dan melihat id pemanggil. Nomer Antara? Ototku terasa kaku. Aku menimang untuk mengangkat atau tidak panggilannya. Sebagian diriku yang pendengki menyuruhku untuk mengabaikan saja. Toh, selama beberapa hari aku berusaha menemuinya, ia tak pernah memedulikanku. Namun, sebagaian diriku yang entah kerasukan apa, menyuruh untuk mengangkat. Tak semua hal buruk dibalas dengan keburukan pula. Akhirnya, aku menuruti ide terakhir. Aku mengangkat panggilannya namun masih diam menunggunya bicara.

"Halo, Jingga."

Dia masih ingat namaku, "oh, hai."

Ia diam, benar-benar canggung dan aku malas membuka topik pembicaraan.

"Mungkin kita bisa makan bersama dan saling mendengarkan." Jelasnya dengan nada ragu. Aku nyaris tertawa kuat-kuat karena permintaannya.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?" ia berhenti, "aku ke ruanganmu. Oke?"

Betapa ia tak perhatian sekali. Ia belum tahu kalau aku mengundurkan diri dan tak bekerja lagi di nutrifood, ya? Dih, nyebelin!

"Ruanganku yang mana?" aku sendiri bingung, darimana sikap sok polos sekaligus bebalku ini berasal? Padahal, sebenarnya, aku pengin nyekik dia sampai udara di paru-parunya hilang.

"Aku tahu aku salah, hanya saja-"

Aku segera mematikan panggilan. Aku kesaaaallll sekali. Pertama, dia tak tahu kalau aku sudah tak di nutrifood. Pacar macam apa itu? Kedua, ia tahu bahwa ia salah tapi menggunakan kata "hanya saja" apa dia tak punya kosakata "maafkan aku" atau kalimat lain yang masuk akal? Lalu kemarin, ia mengajakku meninggalkan kehidupanku-yang secara otomatis-meninggalkan ibuku. sebenarnya, bagaimana sih Antara itu?

Hari ini walaupun Antara menelpon ribuan kali, tak akan pernah kuangkat.

***

Aku terbangun dengan kondisi lelah, baik mental maupun fisik. Seharusnya tidur bisa mengembalikan energi atau mengumpulkannya. Namun trik tidur lama tak berhasil. Saat aku terjaga, kekesalanku pada Antara makin meluap-luap. Akhirnya, aku memutuskan untuk berendam air hangat. Baru satu jam kemudian aku keluar kamar. Aku hanya mengenakan handuk mandi yang menutupi tubuhku seperti kemben lalu handuk lain yang kugunakan membungkus rambutku yang basah. Senandung kecil kunyanyikan, sekedar mengalihkan kesepian apartemen ini. Namun, ketika aku melewati ruang tengah dan mengetuk kamar Mama, aku nyaris jantungan melihat dua sosok duduk santai dengan wajah tegang.

"Papa?" aku seperti digada dan menjumpai harga diri yang kujaga hancur berkeping-keping saat melihat lelaki yang duduk di kanan Papa, "Antara?" aku spontan menyilangkan tangan di dada.

"Nak, itu bukan gaun yang pantas menyambut lelaki." Komentar Papa, pipiku terasa panas. Aku segera kabur ke kamarku setelah berlari menahan malu. Pintu kamar menjadi satu-satunya alat pelampiasan. Aku membantingnya cukup keras dan menghempaskan tubuhku ranjang, berguling-guling ke kanan dan ke kiri.

"Aaaaa! Kapan makhluk menyebalkan itu datang? Kenapa bisa bareng dengan Papa? Kenapa dia bisa ikut? Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku tak memakai baju dulu tadi?" aku memaki kebodohan diriku sendiri, mengomeli keteledoranku, "Bodoh, aku masih marah padanya!"

Begitu otakku kembali ke kewarasannya, aku melompat dari ranjang dan segera memakai pakaian yang pantas. Kuputuskan untuk memakai celana spandek dan kaos longgar. Aku melempar dua handukku ke bak cucian, menyisir rambut seperlunya lalu bergegas menemui mereka lagi. Hei, aku tak mungkin diam di kamar hanya karena malu. Tidak, aku tidak senaif itu. Yah, anggap saja tadi kecelakaan.

Di ruang tengah itu, Antara berbincang serius dengan Papaku. Dua alisnya sesekali berkerut dan wajahnya sangat santun. Aku berjalan dengan ragu, namun begitu sampai di depan mereka, aku duduk di sofa dan tak membuka pembicaraan.

"Nah, pakaian itu cukup sopan." Papa menatapku dengan wajah kaku dan lembut. Sepertinya, aku menginterupsi obrolannya. Kulirik Antara.

"Ia memaksaku agar bisa bertemu kamu." Kata Papa, berhasil membaca bahasa tubuhku. Dengan cemberut aku menatap Papa. Ia langsung tersenyum. Entah senyum untuk apa dan siapa.

Rasa penasaranku berhenti di situ saja karena kehadiran Mama. Ia keluar kamar. Begitu matanya menangkap siluit Antara, dua tangannya terkepal. Matanya menyipit. Ya Ampun, sedari tadi aku tak menatapnya, tak menyapanya dan benar-benar tak memedulikan dia. God job, acting yang memukau Jingga!

"Mau apa kau ke sini?!" Mama membentak Antara, beda sekali nadanya ketika ia di kebun strawberry yang ada di villa kami. Antara yang tak tahu apa-apa terlihat kaget, namun ia masih tenang. Aku suka gaya Mamaku. Aku belum membentak Antara, namun emosiku terwakili olehnya.

"Keluar kamu, anak bajingan! Keluar!" aku memang suka mengumpat, hanya saja kata itu tak pantas ditujukan pada Antara meskipun aku sedang marah padanya. Papa mengedip padaku, aku cepat tanggap lalu menyeret Antara keluar.

"Jangan pergi dengannya, Jingga!" Mama meneriakiku. "Kau tetap di sini!"

Aku bingung, begitupun Antara. Hanya Papa yang bisa menguasai diri. Ia mengangguk sekali dan aku tahu bahwa aku memang harus membawa Antara pergi sebelum Mama mengamuk lagi.

***

"Kenapa kau di sini?" aku menyedekapkan tangan, mengusir hawa dingin yang menyusup di kulit dan tembus ke sumsum tulang. Kami berada di atap bangunan apartemen.

"Jadi itu sapaan pertamamu?" Antara menghela napas. Ia melepas tuksedo yang ia kenakan dan memakaikannya di bahuku. Tubuhku menegang, alarm rindu mengguncang alam sadarku. Aku sampai gemetaran menahan diri agar tak segera memeluknya saat ini juga. "Kenapa pergi diam-diam dari nutrifood? Kau pikir aku ini apa?"

"Diam-diam? Berapa kali aku mencoba menemuimu?!" aku berhenti berjalan, menatapnya dengan tak bersahabat. Antara menggeleng. ia memegangi bahuku.

"Kau tak tahu betapa gilanya aku kemarin saat tahu kau sudah keluar dari nutrifood. Aku mencoba menelponmu berkali-kali, tapi kau ingat kan, kau hanya mengangkat panggilanku sekali. Aku berjaga di apartemenmu, mengunjungi villamu di Ciater hanya untuk memperoleh hasil yang sia-sia." Dada Antara naik turun. Aku menatapnya takjub. "Tapi, sekarang kau ada di depanku. Aku lega melihatmu baik-baik-" aku memeluknya. Melepas kerinduan yang nyaris membuat jiwaku mengambang. Aku memeluknya dan aku tahu bahwa ia masih Antara-ku.

Antara melepas pelukannya hanya untuk mendongakkan daguku. Kami bertatapan. Mata cokelatnya yang tajam dan menenangkan menjadi satu-satunya hal yang kuperhatikan. Hanya dengan melihatnya saja, aku merasa nyaman dan terlindungi.

"Aku sibuk menangani proyek hi lo. Kau tahu, Liu menempel seperti perangko. Semula kupikir, membuatmu cemburu bisa jadi twist ditambah kedekatanmu dengan lelaki sok itu, hanya saja..., mengikuti kemana perginya dia, sangat menyita waktuku. Belum lagi gossip kita putus. Astagaaaa, Jingga... semua itu tak sebanding saat tahu aku tak bisa menemuimu lagi."

"Aku minta maaf karena belum bisa bertemu keluargamu." Kataku, saat itu juga kulihat rahang tegas Antara mengencang. Melihat kecurigaanku, perlahan-lahan ketegangannya mengendur. Antara mencoba tersenyum. Apa sih yang dia sembunyikan?

"Orang tuamu datang." Balasnya, ia mendongak, gerimis kecil-kecil mulai turun. "Aku tak marah, hanya saja melihatmu akrab dengan lelaki lain-bahkan kalian berpegangan tangan-membuatku kalap." Antara menggigit bibir bawahnya lalu menatapku dengan ekspresi geli. "Apalagi-seingatku, ketika kau SMP, kau pernah menggilainya."

"Astaga!" aku melongo, "kenapa kau bisa tahu semua masa laluku? Ck, menyebalkan!" aku meninju dadanya, dan dibalas kekehan.

"Aku juga berasal dari masa lalumu." Katanya. Alisku bertaut.

"Masa laluku?" aku benci keterbatasan memoriku. Aku tak pernah melihat Antara sebagai salah satu tokoh yang pernah ada dalam masa SMPku. "Kau siapa?"

Antara menggeleng, "tidak. Aku tak akan membocorkan ini sampai kita menikah."

"Aku mencium ketakberesan. Sepertinya, kau jatuh cinta padaku sejak SMP." Aku menuduhnya, tak peduli dengan mata jenaka Antara.

"Begitu, ya?" ia mencibir, "memang, aku terlihat sebagai orang yang pernah melewati masa SMP dengan naksir diam-diam?"

Sekarang aku yang bingung. "Terserah kalau kau tak mau jujur. Sekarang ceritakan padaku tentang... masa lalu keluarga kita."

Antara diam. Wajah santainya hilang berganti serius yang tegang. Ia mengajakku duduk di bangku yang ada di dekat dinding bangunan. Kami sama-sama diam. Aku menunggunya bicara dan ia terlihat menimang waktu yang tepat untuk bicara. Kuketuk-ketukkan telunjukku di paha, menghitung detik-detik yang kami lewati dengan kebisuan.

"Aku minta maaf," jelasnya dengan nada yang sulit kudefinisikan, maksudku begini, ia merasa bersalah atas dasar apa. "aku minta maaf, semua tampak kacau sekarang."

"Kata siapa?" kusentuh bahunya, Antara menoleh dan sekarang aku bisa melihat matanya yang terluka.

"Ini benar-benar sebuah aib, Ji." Lanjutnya, memegang tanganku di bahu lalu meletakkannya di atas pahanya. "Aku tak pernah tahu apa-apa sebelum makan malam itu. Orang tua kita dan masa lalu yang dibawanya. Kadang, membuatku tak berani menemuimu. Aku takut, kau akan berpikir bahwa aku datang untuk merusakmu."

Dan kau melakukannya kemarin, menghindariku dan lebih memilih Liu. Aku menggigit bibir bawahku. "Sejatinya, aku tahu kau tak pernah merusakku."

"Belum." Ia tersenyum dipaksa. "Apa kau pikir aku pria baik-baik? Ada suatu saat di mana lelaki tak mau berpikir tentang logika seperti yang kulakukan kemarin malam." Ia menghela napas panjang dan berat, "nyaris saja."

"Dengan masa lalu keluarga kita, dengan keadaan ibuku, tak bisakah kita anggap ini sebagai lelucon yang paling memuakkan tahun ini?" aku mengerling pada Antara dan laki-laki itu mengelus puncak kepalaku.

"Maaf kalau kemarin aku begitu emosional hingga menyuruhmu memilih aku atau ibumu. Itu sama sekali bukan keinginanku." Jelasnya, dadanya naik beberapa senti lalu mendatar lagi dan saat itulah aku tersenyum. Aku tahu bahwa dia adalah lelaki curang yang mengambil hatiku secara paksa. Namun anehnya, aku suka itu.

"Dan...?" aku menggantung kalimatku. Antara mendekat, ia merapatkan jarak Antara kami, hingga tak ada satupun angin yang bisa menyela kebersamaan ini.

"Ya?" suaranya seksi, aku harus menyadarkan diri dari pengaruh hipnotis suaranya yang serak.

"Apa kita harus mengakhiri kesalahan ini?" kudongakkan wajahku, berharap bisa melihat mata cokelat Antara yang meneduhkan. Ia menoleh sekilas dan terkekeh lalu mendaratkan ciuman di kelopak mataku.

"Kita baru saja memulainya, kenapa buru-buru diakhiri?"

"Uh, apa maksudmu?" aku menarik kerah kemejanya. Ya Ampun, pelan-pelan, Jingga, JANGAN AGRESIF! Tanganku kaku di atas dada Antara, terlalu bingung untuk melanjutkan ulahku atau berhenti. Antara malah menaikkan alis seolah menantang keberanianku membuka kemejanya. Dengan jari-jari bergetar, aku melepas kancing kemejanya. Aku mulai menghitung dan berharap Antara menghentikanku. Ia hanya diam hinga kancinya terlepas semua dan memperlihatkan otot perutnya yang sempurna. Aku menelan ludah. Ayolah. Ayolah. Jangan biarkan aku melakukan ini. Antara, please....

Berbeda dengan batinku yang mengalami pergolakan, tanganku terlalu lincah. Aku mencoba melepas kemeja Antara dan saat itulah Antara meresponsku.

"Hell, don't!" ia menangkap jemariku, mengecupnya, "aku tak mau kita melakukan kesalahan, Ji." Suaranya menenangkan, "kau jangan berpikir bahwa aku tak mau melakukannya." Sungguh, aku ingin kabur dari Antara. Kenapa sih aku bodoh sekali tadi? Kugigit bibir bawahku. "Bahkan...," lanjutnya dengan suara menggoda, "kalau kau bertanya apa yang ingin kulakukan, jawabannya hanya satu, melihatmu tanpa sehelai kain pun. Tapi...," dielusnya pipiku, "sekalipun aku seorang pendosa, aku tak mau merusakmu."

Aku diam, satu-satunya yang kulakukan hanya meremas tangan Antara. Aku sangat menghargai sikap gentle Antara walaupun kadang dia kekanak-kanakan. Belum pernah kutemui lelaki seperti dia, yang tak mau mengambil kesempatan walau aku terang-terangan memberi lampu hijau. Kurebahkan kepalaku di dada telanjang Antara, menikmati detakan jantungnya dan menghirup aroma tubuhnya yang berbau mint segar. Ini sangat menyenangkan. Kulit ketemu kulit. Aku sampai keheranan karenanya.

"Hallo, pasangan yang sedang jatuh cinta. Apa kabar, Sayang?" suara asing yang terdengar memuakkan itu tertangkap indera pendengaranku diiringi kilat yang berasal dari sebuah kamera. Aku geragapan dan lagi-lagi kilat itu memerangkap penglihatanku. Ia berdiri dengan sombong.

Siapa dia?

"Foto yang bagus untuk artikel "Anak Ketua DPR Ketahuan Berzina" atau "Inilah Cara Mendidik Ala Raymizard" dan... oh, aku bisa membayangkan bagaimana opini publik terbentuk dari calon presiden macam dia."

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro