4. Kompromi
Kurentangkan tangan dengan bebas, memenuhi paru-paru dengan udara pagi yang segar hingga rongga dadaku terangkat. Mataku menatap warna hijau menyeluruh dan beberapa pemetik daun teh memakai caping bambu berwarna cokelat. Bentuknya yang lebar mengingatkanku pada jamur. Aku tersenyum, angin sepoi mengibarkan rambut, membuat beberapa helainya jatuh menutupi mata. Kuperbaiki rambutku dengan menyelipkannya di belakang telinga.
"Dengan cara yang sama meski waktu berbeda," suara itu begitu dekat, aku menoleh dan melihat lelaki yang wajahnya diukir oleh tangan malaikat. Kalau ada yang bertanya, siapa orang yang paling kukagumi, pastilah itu dia. Tak hanya wajahnya yang mirip patung Adonis Yunani, kecerdasan dan dedikasinya pada pekerjaan luar biasa menginspirasi. Padahal usianya sudah 32 tahun, namun aku tertipu di pertemuan pertamaku. Kukira, ia masih berusia 28 tahun, selisih 2 tahun denganku. Ia menempuh pendidikan strata di fakultas kedokteran Universitas Indonesia dan pendidikan spesialis kejiwaan di Massachusetts. Meski alumni universitas bergengsi sedunia itu, ia memilih mengabdikan diri di lingkungan seperti Ciater, yang prospeknya kalah dibanding kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya.
"Eh," aku tersenyum, "apa kabar?"
"Seperti yang kaulihat," katanya mengantongi dua tangan di saku celana, "kau sendiri?"
"Dengan jawaban yang sama." Balasku lalu menyeringai puas. Lelaki itu mengangguk dan menahan tawa.
"Bagaimana jika kita berlari ke sana?" ia menunjuk jalan setapak menuju jalan protokol, aku setuju. Kami mulai berlari kecil beriringan dan mengisi obrolan dengan pertanyaan ringan seputar kebun teh, udara, keringat dan beberapa kendaraan yang lewat. Wali mengajakku berhenti di pedagang kaki lima yang menjual minuman. Aku memicing, tak percaya. Melihat aku yang mendadak kaku, ia terkekeh sebentar.
"Sesekali makan di pinggir jalan, tak masalah." Rupanya, ia tahu apa yang kupikirkan. Aku sendiri tak masalah, mau makan-minum sampai nongkrong di pinggir jalan, tapi dia-seorang dokter-dan mengajakku makan di tempat seperti itu. "Mereka pedagang kecil, tak baik meremehkan kesterilan niat mereka menafkahi anaknya."
Bagian mana lagi dari lelaki itu yang tak memesona?
"Kok kamu malah bengong, Ji? Aku aneh, ya? Apa kalimatku seperti lelaki paruh baya yang kebanyakan ceramah?"
Ha?
Aku hanya mampu menggeleng ketika ia duduk di kursi dan memesan es cendol. Aku duduk di depannya dan memilih es jeruk sebagai pelepas dahaga.
"Jadi bagaimana? Kau sudah memikirkan tentang pekerjaan yang ada di sini?" ia membuka percakapan serius, dua tangannya tergeletak santai di meja, sementara dua mata hazelnya mengunci penglihatanku.
"Masih seperti bulan kemarin, dok, eh... Kak Wali." Aku memperbaiki sapaan, ia mengangguk, rahangnya kaku dan wajahnya yang semula terlihat enjoy-able jadi agak serius.
"Sebenarnya semua terserah padamu, aku hanya menyarankan saja. Namun, jika kamu tetap bisa memberi perhatian, kurasa tak masalah, hanya 'alangkah lebih baik' jika kamu berada seatap dengan ibumu." Ia menarik bibir, dua matanya melengkung ketika tertawa. Jenis eyesmile yang membuatku teringat pada Antara.
Antara?
Penjual minuman membawa pesanan kami dan mempersilakan untuk minum. Aku mengaduk kemudian meminum dengan pelan. "Sebenarnya, aku ingin bekerja di sini, tapi... belum ada lowongan kerja yang sesuai dengan pendidikan strataku, Kak."
"Kudoakan yang terbaik untukmu." Ia begitu lembut dan sopan, aku tersenyum canggung sambil mengangguk mengamini doanya.
***
"Wow! Ini kebun ibumu?" Wali terperangah takjub ketika kami baru melewati gerbang dan melihat sisi kanan kiri pintu masuk yang ditanami strawberry dan beberapa bunga. Aku mengangguk.
"Seperti saranmu, Kak, aku meminta ibu membuat kesibukan positif."
Wali tersenyum, "boleh dipetik?"
Aku mengiyakan. Lelaki itu mengambil satu buah matang dan tanpa ragu memasukkan ke dalam mulut, mengunyahnya dan menikmati sensasi asam-manis strawberry.
"Luar biasa!" komentarnya dengan mata berbinar.
"Mari, duduk di gazebo itu Kak." Usulku, telunjukku menunjuk gazebo yang dicat hijau tua. Beberapa tanaman rambat membentuk sulur, di sisi masuknya ada anggur, masih berbunga lebat. Wali benar-benar takjub.
"Berapa lama aku tak berkunjung ke sini? Wah, kalau kamu mau konsultasi, aku yang harus menyambangimu agar mataku bisa fresh lagi." ia duduk lesehan di lantai marmer hitam.
"Boleh, akan kupertimbangkan." Balasku, terkekeh sambil melipat kaos hingga ke siku, "mau minum apa?"
"Apapun yang kausuguhkan, tak akan kutolak."
"Termasuk air hujan?" aku menggodanya.
"Boleh, sesekali-lah...."
Aku menggeleng, "dan karena aku tuan rumah yang baik, tentu yang terbaik yang kuberikan, bukan begitu?"
"Yes, Ma'am, up to you."
Kulempar senyum sekali lalu berbalik menuju rumah untuk mengambil minuman. Aku baru saja meletakkan kaleng minuman ionik di nampan saat ada tangan melingkari pinggangku. Kaleng-kaleng itu jatuh berkelontang.
"Pagi...." Suaranya serak, aku mencoba menepis tangan Antara. "Hmm," pelukannya tak berubah, napas Antara menusuk leherku. "Aku suka aroma tubuhmu."
"Kalau ada yang melihat kita-"
"Aku memang berniat membuat orang salah paham." Potongnya, aku memutar tubuh ketika pelukannya mengendur. Kami berhadapan, dengan tangan Antara masih di pinggul. Tangan kanan Antara menyeka keringatku yang di kening, menuruni pelipis lalu menyelipkan rambut yang terjuntai ke belakang telinga. Ia tersenyum. Senyum yang ganjil, seperti... seperti... ia baru melihat matahari pertama kali.
"Kiss me, Jingga." Tengkukku merinding, suaranya seperti menyapu seluruh kulit, "kiss me, please." Aku menggeleng dengan lemah. Ingin rasanya aku mundur, berlari menjauh darinya namun wajah dan sentuhan tangannya membuatku seperti patung. Aku seperti ditarik-tarik untuk mencium lalu isi kepalaku yang pendengki mencibir tentang diriku yang pura-pura jual mahal. Pura-pura tak mau di dekat lelaki itu. Dan, pada saat Antara memejamkan mata, tanpa ragu lagi, aku merapat. Dua tanganku berada di pipi Antara, menempelkan permukaan bibir. Aku tak perlu melakukan apapun karena Antara memainkan kendali. Ia menciptakan letupan-letupan kecil di permukaan bibirku, sesekali lidahnya menyapu dan menekan bibir bawah. Gelombang aneh menerpa tubuhku, menggulung kakiku dan menyulapnya jadi agar-agar. Tanganku jatuh di leher, mengalung dengan mesra, sementara kakiku yang telah kehilangan tenaga menyelip di antara dua kaki Antara.
"Emhhh...," reaksiku sangat positif. Antara menggigit bibir bawahku sebelum lidahnya menjilat permukaan bibir. Aku menyerah. Bibirku terbuka dan saat itu juga Antara melepas ciumannya. Ia masih memegangi pinggang, menatapku dengan mata sayu yang teduh.
"Kita harus berhenti sebelum semua jadi tak terkendali." Ia tersenyum mematikan, membuatku harus mengedip untuk menghilangkan pengaruh hipnotisnya.
"Oh," aku gagu, berharap otakku segera kembali atau aku akan menyerang Antara saat ini juga.
"Hanya oh?" ia geli, jemarinya memperbaiki kaosku yang kusut. "Terima kasih, begitu?"
Apa? Wajahku merona, dalam satu waktu, aku berniat menekan bibirku kembali di bibirnya atau memilih untuk melayangkan pukulan di rahangnya. Ia pria paling arogan yang kutemui, ia selalu berpikir-yah walau memang benar begitu-bahwa dia adalah satu-satunya lelaki yang harus kulihat.
Dan, sial! Otakku terganggu!
Aku tak mengacuhkannya, sedikit berjongkok lalu memungut kaleng minuman yang jatuh di lantai. Setelah memperbaiki posisinya di nampan, aku berdiri.
"Hei, ini masih pagi, aku lebih suka kau membuatkanku teh lemon hangat." Usulnya, menyisir rambut dengan gaya sembarang-yang justru membuatnya terlihat seksi-oke, aku mulai tak waras karena memujinya terus-terusan.
Tanpa mengurangi ekspresi dingin, aku berkilah, "memang, minuman ini untukmu? Sorry, jika kau kecewa."
Antara mengerutkan dahi, matanya menyipit dan memberi peringatan betapa berbahayanya responku tadi. Aku menyeringai kecil lalu tersenyum meremehkan.
"Jadi?" ia menggantung kesimpulan dan itu membuatku merasa menang. Aku harus bertepuk tangan atas skorku kali ini yang mampu membalasnya, kearoganannya, ke-sok cool-annya, dan kesinisannya. Intinya, semua yang menjadi bagian dari diri lelaki itu, kecuali ciumannya. Oke, itu tak termasuk kriteria buruk. Dan karena aku belum pernah berciuman dengan lelaki lain alias masih hanya dia, aku tak bisa membandingkannya dengan pria manapun. Namun, aku bisa pastikan, ciuman Antara adalah jenis ciuman yang membuat tulangku seperti agar-agar dengan kadar memabukkan lebih hebat dari alkohol.
Tunggu! Apa yang kupikirkan ini? Damn.
Dengan penuh percaya diri-menepis pikiran konyol yang begitu memuja Antara-aku maju meninggalkannya lalu saat kami berjarak 2 m, aku menoleh, mendramatisir adegan. Antara ikut membalik tubuh agar bisa menatapku.
"Kau pikir, tak ada lelaki yang tertarik padaku dan mengunjungiku sepagi ini?" suaraku terdengar sarkatis, kulanjutkan dengan tawa yang penuh bahagia. Apalagi setelah melihat rahangnya kaku, "kau salah."
Tanpa meneruskan percakapan aku memutar tubuh dan berjalan lagi menuju gazebo. Membuat Antara memasang ekspresi seperti tadi. Mwngerjainya sama menyenangkan dengan memakan eskrim atau cokelat. Ya Tuhan, aku sangat berharap wajahku tak seceria ini agar Wali tak curiga.
***
Aku masih berkonsultasi pada Wali saat Antara dan ibu atau ibu ditemani Antara berjalan dengan penuh semangat menuju kami. Dalam waktu yang sangat cepat, ibu mengenalkan Antara pada Wali dan entah kenapa aku menangkap hal buruk dari cara Antara menatap Wali. Ia seperti... binatang buas yang tengah mengunci target buruan, tak ada kesan main-main atau pura-pura.
"Senang berkenalan denganmu, Dok," kata Antara, ia melempar tatapan geram padaku, lalu saat matanya menyapa ibu, ia memberi kesan lembut dan menenangkan, "nah, Ma..., kita bisa berkebun sekarang, kan?"
Seperti dihipnotis, ibu mengiyakan ajakan Antara dan meminta pamit pada Wali. Mereka berjalan begitu damai dan mesra, nyaris mirip anak dengan ibu. Aku sampai geleng-geleng melihat kelakuannya.
"Pacarmu baik sekali, ya?"
Aku tersentak. Jantungku seperti disetrum jutaan volt dan ketika aku sadar, nyawaku sudah melayang dengan pernyataan Wali yang-yang... aneh. Iya, aneh.
"Bukan, Kak." Aku menyangkal dengan memutar otak, mencari jawaban yang masuk akal. Karena melihat kedekatan Antara dengan ibu yang seperti itu, aku tak yakin penyangkalanku jadi hal yang rasional, "dia hanya-"
Wali memberi senyum pengertian, aku langsung mengedip dan tak percaya. Ia mengambil kaleng minuman, "aku tahu."
Betapa aku ingin menginjak-injak Antara sampai gepeng!
***
Setelah mengantar Wali hingga pintu gerbang, aku hendak ke kamar untuk mandi. Tubuhku terasa lengket, namun niatku tertunda karena panggilan ibu. Ia meneriakkan namaku di tengah kebun strawberrynya. Aku menghela napas, jika aku ke sana, aku akan bertemu dengan Antara, si manusia aneh menyebalkan. Dan, kalau aku tak menghampirinya, aku akan mengecewakan ibu. Aku tak mau emosi ibu labil.
Dengan gamang, kakiku berayun menyusuri paving block. Menghirup aroma dedaunan yang segar. Aku berdiri di dekat ibu, tersenyum karena wajah ibu yang sangat ceria. Ia sibuk memetik dan meletakkan buah di keranjang yang dipegangnya.
"Wah, segar sekali buahnya, Ma!" aku memasang suara ceria, sangat alami karena aku tak mau berpura-pura di dekat ibu. Ibu menoleh dan mengangguk. ia memutar leher, di posisi jam 4, Antara sibuk membenahi sulur strawberry.
"Nak, kesinilah!" teriakan ibu begitu hangat, tanpa bertanya Antara meninggalkan tanaman yang dirawatnya. Langkahnya begitu mantap dan percaya diri, tidak kaku, namun anggun. Ya, predator yang sangat anggun. Jenis langkah yang membuatku bertanya-tanya, siapa tuan rumah yang sebenarnya.
"Jingga, coba pegang ini," pinta ibu mengulurkan satu buah padaku. Aku yang masih keheranan segera menerimanya. Dengan permintaan yang sama, ibu menyuruh Antara menerima buahnya. Sekarang, baik Antara ataupun aku memegang satu buah. Ibu mengeluarkan ponselnya.
"Sekarang berfoto. Ayo, saling menyuapi!"
Kami menatap ibu bersamaan, memasang wajah 'Ma, yang benar saja' dan ibu membalasnya dengan senyum permohonan. Membuat siapapun yang melihatnya tak akan sanggup menolak. Aku mengeluarkan napas dengan berat, mengalihkan padang pada Antara. Jantungku nyaris melompat karena Antara tersenyum dengan tangan kanan terulur pada mulutku. Aku ternganga dan memberi tatapan 'aku akan membunuhmu nanti' dan sepertinya Antara bebal. Ia mendekat dan mengangguk mantap. Entah menyetujui rencanaku untuk membunuhnya atau memaksakan kehendak agar aku segera menyorongkan buah di mulutnya.
"Jingga..., ayolah...." Suara ibu menghiba, aku menghembuskan udara melewati sela-sela gigi. Tanganku terasa berat, gaya gravitasi menghendakiku diam dan tak bergerak. Membuatku bekerja keras untuk meletakkan buah strawberry di mulut Antara.
"Say 'chees'!" ibu mengomando, Antara membuka mulut, begitu pun aku. Ketika buah itu masuk, entah disengaja atau tidak, lelaki itu memberi sapuan hangat pada ujung jemari dengan lidah dan kecupan lembut. Lenganku mengancam akan jadi Jelly jika aku tak menariknya.
Dengan wajah merona, aku mengembalikan tangan ke samping tubuh. Mendelik pada Antara untuk mengirim pesan dendam. Antara hanya mengunyah buah dan menahan senyum.
"Oke, sekarang kita foto bertiga!"
Ibu ada di tengah, Antara di sebelah kanan, aku di sebelah kirinya. Dengan janggal, aku tersenyum. Mengimbangi ekspresi ibuku.
"Lihat, bagus sekali. Kita seperti keluarga kecil yang bahagia!" ibu memuji foto self-camera kami bertiga. Ia menunjukkan pada kami. Eh, KAMI? Ralat, aku dan Antara. Kami dua orang berbeda dan aku tak mau meleburkannya dalam kata kami. Hah, terlalu banyak kata kami. "Ah, aku akan memamerkannya pada Bi Inah. Ini menyenangkan. Foto ini membuat jantungku kembali hangat."
Aku sangat berharap, Antara diam saja agar ibu berhenti mengkhayalkan keluarga bahagia, komentarnya tentang foto selfie itu, atau isi pikirannya yang dihiperbolakan. Sampai kapan pun, kenyataan tak pernah seindah yang diharapkan. Kisah yang indah hanya ada di dalam novel, di dalam dunia fiksi yang tak pernah terjamah tangan manusia, hanya mampu dikunjungi oleh imajinasi. Ditambah lagi, kisah keluargaku, hal konyol jika menipu hati dengan kata keluarga kecil bahagia. Semua sudah hilang. Aku berdiri di sini karena berniat bertahan, mendampingi ibu dengan segala kekurangannya.
Hingga akhirnya, aku hanya mengambil sebuah kesimpulan untuk berpikir secara rasional saja, tak perlu muluk-muluk. Harapan hanya akan menyakiti hatiku, untuk itu aku mencoba menepis harapan. Membuangnya jauh-jauh karena aku tahu, pada akhirnya, jika aku memanjakan diri dalam dunia harapan, tersakiti adalah pilihan mutlak.
"Wah, ini tinggal anak kecil yang lucu, pasti akan lebih indah ya, Ma," Antara tertawa, ibuku juga. Gelombang tak kasat mata menghantam ulu hatiku, menciptakan sesak dan panas yang membakar. Ingat ayah, lelaki yang kusebut sebagai lelaki nomer satu di dunia menelantarkanku, menyiakan ibuku hanya demi sebuah jabatan, status sosial dan kekayaan.
"Aku mau mandi dulu, Ma." Ijinku dengan suara dingin. Antara menatapku penuh selidik, ia seperti menduga-duga ada apa denganku, dengan suaraku atau dengan wajahku yang tak tersentuh.
"Oh, iya, nanti kita bikin kue strawberry, Jingga. Mama mau Antara menyicipi kue buatanmu."
Aku memejamkan mata selama dua detik dan berusaha mengangguk meski tak meyakinkan.
***
"Kau tak suka aku ada di sini?" Antara mencerca, ia terus mengutitku setelah kejadian terakhir di kebun. Aku mematikan oven dan mengeluarkan loyang stainless, aroma nikmat yang manis dari kue langsung tercium.
"Tidak," aku masih tegang, tak berniat menatap Antara.
"Aku minta maaf jika kau tak suka waktu privasimu dengan ibumu terganggu." Jelasnya, kali ini aku menatap Antara. Ia serius.
"Tak apa, ibuku menyukaimu."
"Uhm, thanks." Sahutnya, "aku hanya punya satu adik. Itu pun dia tinggal terpisah denganku. Sementara orang tuaku, dua-duanya sibuk bekerja walaupun di akhir pekan. Kami tak punya waktu bersama. Aku sangat bahagia bisa berada di sini. Ini... seperti tempat yang kuimpikan. Bersama orang yang kusayang, menghabiskan waktu untuk bercengkrama, bercanda dan bermanja-manjaan."
Astaga, bukankah usia Antara sudah 29 tahun?
"Kau sudah berkepala tiga, dan masih berpikir tentang dongeng keluarga yang indah."
Antara tersenyum, "nyaris berkepala tiga, Jingga. Nyaris." Katanya mencolek pipiku dengan gemas, aku melempar pandangan kematian dan dibalasnya dengan tawa, "aku hidup dengan harapan, karena itu aku selalu percaya pada hal yang menyenangkan." Mata Antara terpejam, seolah membayangkan hal-hal bahagia dan merekamnya di otak, "ketika aku mau tidur, ada wanita yang memperhatikanku, lalu saat bangun, ada yang memberiku ciuman selamat pagi-yang memberiku banyak energi positif-yang tulus. Menggoda orang yang kusayang, membagi waktuku dan fokus pada mereka. Dan, aku bersedia menonaktifkan handphoneku, tak peduli berapa kerugian perusahaan karena saham jatuh hanya karena aku menolak dihubungi."
"Kau hanya wakil presiden direktur di nutrifood." Balasku, semoga leluconku berhasil dan benar, Antara tertawa.
"Jika yang kau maksud perusahaan hanya di sana, oke, kuakui itu."
"Oh?!"
"Oh?" ia menaikkan alis, menantangku untuk bertanya.
"Jadi, katakan, berapa kekayaan lelaki yang berdiri di depanku?"
Antara mendekat, ia membisikkan jawaban, "jika kau tahu berapa fantastisnya hartaku, apa kau mau berkencan denganku?"
"Katakan saja, berapa?" balasku, masih meninggikan gengsi. Antara mengambil tangan kananku, ia menggenggamnya.
"Tidak terlalu banyak, Jingga. Hanya saham di unilever 10%, saham di chevron 15%, beberapa hotel di kota besar yang kupercayakan pada menejer dan aku tinggal menikmatinya saja, beberapa rumah makan, beberapa saham kecil di bidang property dan...." Ia menggantung, aku sangat ternganga. Di perusahaan unilever dan chevron, dia punya saham. Oh, seharusnya aku sadar, mobil pribadinya saja lambhorghini. Konyol sekali bertanya begitu.
"Beberapa tempat wisata keluarga." Ia tersenyum, "aku ingin mengunjungi semua milikku dengan orang yang kusebut keluarga." Aku mengangguk. betapa bahagianya jika menjadi bagian dari keluarga Antara. Semua begitu indah dan manis di lisannya.
"Jadi," mata Antara berkilat menggoda, "apa jiwa matre-mu tergoda dengan ceritaku?"
Aku kembali menyentuh tanah, tak jadi melayang dengan harapan Antara, "tidak, aku tak semudah itu percaya padamu, bawakan aku bukti kekayaanmu dan aku akan berpikir untuk menjadi pacar keduamu."
"Hah?" Antara menautkan alis, ia menahan tawa dan mengangguk-angguk, "oke-oke, segera kubawakan buktinya. Apa kau juga mau kubawakan rekening dan depositoku?"
"Well, aku tak keberatan." Aku tertawa, "sekarang, diam. Aku tak suka membicarakan uang di meja makan. Dan..., kuberitahu, sekalipun kau memiliki bumi seisinya, membawakan aku intan permata yang berharga, jika aku menjadi orang kedua, aku tak akan pernah sudi." Jelasku sinis dan dingin, nyaris tak tersentuh, "aku lebih rela menjadi pemulung yang memiliki keluarga yang lengkap daripada dijadikan rumah singgah untukmu."
"Rumah singgah?" ia mengulang istilahku.
"Seperti wanita yang kau datangi beberapa kali dalam sebulan." Jelasku dengan bosan. Antara mengelus puncak kepalaku, ia menarikku dalam pelukan.
"Tidak, Jingga. Sekali aku memilih, selamanya akan kupertahankan."
"Kau memang perayu kelas kakap. Oh, sial, aku sepertinya sudah terpesona." Aku menggerutu di dadanya.
"Kurasa, itu kabar baik." Balas Antara, nadanya seperti biola yang dimainkan pada nada adagio susteneto ciptaan Beethoven. Diam-diam, aku menghirup aroma cologne-nya yang khas. Di pelukan ini begitu hangat. Aku rela menukar apapun di dunia ini asal bisa berada di posisi seperti ini. Kupejamkan mata, sesuatu yang lembut menempel di rambutku. Bibirnya?
"Good job!" berteriak dari balik lemari, ibu memainkan ponselnya di udara. Matanya membentuk segaris sementara bibirnya tertarik dari telinga ke telinga. Begitu lebar, ia seperti meledak dalam jutaan kebahagian. Yeah, aku tahu, wajah ibu tak bisa bohong.
"Aku menyukaimu, Nak," jelas ibu, "tapi, hanya sebatas itu, tidak lebih." Ibu terkekeh geli, aku seperti melewatkan sesuatu. Semacam obrolan intim, atau yah, semacam itulah, "jika kau serius, kau bisa mengenalkan keluargamu padanya."
Antara tak membiarkanku menarik diri, ia membiarkan ibu jadi penonton. Lain kali, aku harus membenamkan tubuh lelaki ini di tanah. Lain kali, aku akan mengingat-ingat rencanaku yang satu ini.
"Secepatnya, Ma. Aku akan mengenalkannya pada keluargaku."
Aku berbisik di dadanya, dengan suara lirih dan aku jamin hanya Antara yang bisa mendengarnya, "kau melupakan kekasihmu yang satunya. Apa aku harus berada pada kenyataan bahwa lelaki penggombal yang suka memelukku hanya seorang lelaki pikun?"
Antara menunduk, sekedar menyejajarkan bibirnya di telingaku yang berada di dadanya, "aku bahkan masih ingat ciumanmu semalam dan tadi pagi, Jingga."
"Oh, aku lupa!" aku melebihkan dengan nada dibuat-buat.
"Aku masih di sini dan kalian sibuk berbisik-bisik. Apa yang kalian debatkan?"
Antara mengendurkan pelukannya dan aku hampir mendesah kecewa karena kehangatan itu lepas dariku. Antara hanya menatapku sejenak, namun aku kelimpungan karena mata sayu tajamnya, "hanya menimang, kapan tepatnya mencari cincin pertunangan. Bagaimana menurutmu, Ma?"
"Itu kuserahkan kalian saja." Ibu tersenyum, "aku akan menyulam di gazebo. Kalian nikmatilah waktu berdua, tapi tidak macam-macam."
Antara mengangguk, aku memandang frustasi. Antara memang tak akan macam-macam, mengingat dari 2 ciuman yang kami bagi, semuanya adalah dia yang mengakhiri. Sepertinya aku harus jujur pada ibuku, aku harus berkata begini, 'Ma, bukan Antara yang akan macam-macam, tapi aku. Anakmu sendiri.' Sayangnya, harga diri mencegahku. Baru-baru ini aku sadar bahwa kearogananku menyamai arogansi Antara.
"Kau sudah membelikan cincin pertunangan juga pada Sandra? Jadi, aku kekasih nomer berapamu yang mendapatkan cincin? Oh, sepertinya, aku harus menuntutmu tentang cincin berlian yang paling besar." Aku mengomel, bosan jika tak membuat lelucon.
Antara tersenyum manis dan mematikan. Racun senyuman itu sebanding dengan bisa yang dihasilkan ular kobra, "kau akan mendapatkannya, Jingga. Aku pastikan itu."
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat hingga buku-buku jemariku memutih, "pria sombong, jangan pura-pura tak tahu. Oke, baiklah, ugh...," aku kalang kabut menjelaskan, hingga yang terucap dari lisanku hanya kata konyol yang tak jauh beda dari isi otakku yang mulai menyimpang, "begini, aku memang tertarik padamu, eh, bukan, ciumanmu lebih tepatnya. Aku tak menyangka kau lebih liar dari yang kubayangkan."
"Tunggu," ia memotong, nyali yang sudah kukumpulkan kini menguar karena ia menatap penuh-penuh-apa ya, entahlah. Yang jelas, dia memesona sekali, "kau pernah membayangkanku liar?"
Aku ingin menjitak Antara. Aku akan melakukannya. Nanti, setelah aku menuntaskan pernyataanku.
"Liar seperti apa?" pojoknya, membuatku berdarah-darah. Nyaliku benar-benar hilang.
"Kau tahu teknik primata dalam kasus memikat pasangan? Kurang lebih begitu." Sahutku asal-asalan. Seharusnya, Antara marah namun ia hanya tertawa dan geleng-geleng. Apa aku barusan membuat lelucon lagi? Sepertinya tidak.
"Kembali ke inti pembicaraan kita. Aku sederhanakan saja, aku tak mau melantur lagi." kuhela napas, mencoba lebih berkompromi, "kau harus memilih. Oke, kau tahu... aku tak mau disebut gadis perusak hubungan orang, tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku tertarik padamu. Sayangnya, aku tak mau begitu bodoh dengan menerimamu tanpa syarat. Jadi, kau harus memutuskan, pilih aku atau Sandra."
"Aku memilihmu, tentu saja. Namun, aku juga tetap mencintai Sandra dalam hal berbeda. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpaku." Ia beralibi, ada gelombang sakit memapatkan dadaku. Jika bisa dibelah, aku yakin bisa melihat jantungku yang sudah reyot.
"Jelas, kompromi kita menemui jalan buntu."
"Aku tak melihat rintangan yang berarti Jingga." Elak Antara, aku geram.
"Kau-Antara-kau masih mencintai Sandra. Dan aku tak mau jadi gadis bodoh karenanya! Paham?!"
"Bahkan sekarang kau terlihat bodoh di mataku."
Aku membulatkan mata. Dasar, Antara! Berani-beraninya dia mengolokku.
"Sandra adikku, Jingga. Aku tak bisa mengabaikan dia tentunya. Kau ini bagaimana?" Antara frustasi, dia memegangi lenganku dan aku ingin... aku ingin... jalan-jalan sebentar mengelilingi Antartika.
"Kau menciumnya di pesta 10 wanted!" aku berteriak. Aku kaget sendiri dengan suaraku. Antara melihatku dengan wajah geli, matanya geli, senyumnya geli, bahkan tangannya begitu geli membelai puncak kepalaku.
"Kau melihat dari sudut yang berbeda. Biar kutebak, kau pasti melihat beberapa foto yang tersebar di jejaring sosial. Demi Tuhan, Jingga, foto itu diambil ketika rambutnya tersangkut kancing kemejaku."
Hatiku mencelus di padang bunga, wangi dan indah.
"Kau tidak bohong?"
"Nanti kalau aku membawa buku rekening dan deposito serta surat-surat kekayaanku, aku akan membawakan fotokopi kartu keluargaku agar kau percaya."
Antara menatapku sumringah. Jadi, benar..., Sandra adiknya.
"Tapi kenapa kau mengajak Sandra? Kau kan tipe lelaki yang tak bisa ditolak wanita. Kenapa mengajak adikmu?"
Antara meringis. Ia mengangkat tangannya di udara, "itu rahasiaku." Jawab Antara tertawa gila-gilaan. Aku mencium hal tak beres.
"Kau mengajak Sandra, karena aku menolakmu ketika di apartemenku." Tuduhku, Antara berhenti tertawa, ia menggaruk tengkuknya. Ekspresinya mengundangku untuk mencium.
"Rupanya, aku ketahuan."
"Sangat lucu dan..., berkelas, Bapak Antara yang terhormat."
"Katakan lagi agar aku bisa menciummu." Ancam Antara, dipikirnya, aku takut?
"Antara yang terh-"
Selesai. Tak ada kalimat yang kukeluarkan ketika bibirnya berhasil membungkam semua kata-kata yang kusiapkan. Antara begitu lembut dan hangat dan di setiap permukaan bibir, ia membawa pijar api neraka yang menggosongkan tubuhku. Aku tak peduli, selagi Antara ada dalam pelukanku.
"Jadi, kompromi kita berhasil?" Antara bertanya ketika menarik bibir, aku tak menyahut, malah mendekatkan tubuh hendak meraup bibirnya kembali. Ia menahan bahuku. "Ck, kau menuduhku liar, padahal kau sendiri tak lebih fantastis dariku."
"Husstt, aku berkompromi, tapi jika kau ketahuan berselingkuh, aku tak akan pernah kembali padamu, sekalipun kau menangis darah." Kataku, Antara tersenyum. Ia mengecup bibirku, "cukup, Jingga. Eksperimen hari ini cukup. Simpan energi liarmu setelah aku menikahimu, oke?"
Aku menatap Antara dengan menipiskan bibir, lalu beringsut menjauh. "Yah. Yah. Yah. Kau benar!" rasanya, aku mencium frustasi di suaraku, "kita harus memakan kue ini. Kuharap rasanya enak. Aku tak mau membuatmu kabur dengan kemampuan memasakku yang payah."
"Tak ada yang payah. Tidak." Antara mengambil sepotong kue strawberry dan mengunyahnya. "bahkan ini nikmat, Jingga. Walau tak senikmat ketika aku mencecap bibirmu."
Aku menarik bibir bangga, "sepertinya, kau perlu mengoleskan kue ini ke seluruh tubuhku untuk kaucecap?"
Antara menegang, ia menatapku begitu takjub, "WOW! Itu tadi, ehm..., kau baru saja memberiku ide tentang malam pertama."
Aku meringis, tak memercayai keagresifanku. "Apa ide itu buruk?"
"Tidak," Antara mengunyah, seolah obrolan kami hanya obrolan tentang 'apa menu makan siang hari ini', Antara tersenyum ketika aku mengerutkan kening, "bukan buruk Jingga. Itu menakjubkan. Begitu spektakuler karena ide itu keluar dari gadis yang kupikir tak tersentuh dengan pesonaku."
Oke, menakjubkan. Setidaknya, respon Antara positif. "kau pasti tahu kalau aku tak kebal pada pesonamu."
Antara mengangguk, "nah, biarkan aku menikmati kuemu. Aku tak mau imajinasiku gila karenamu. Untuk itu, hati-hatilah Jingga. Aku tak selalu berada pada kendali yang bagus."
Aku sepakat. Saat menjernihkan pikiran, aku menghindari menatap Antara. Tak berani mengambil resiko kalau aku kembali menyerangnya. Itu memalukan.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro