3. The Goddamn Time
Aku duduk di sofa yang ada di kamar, menghidupkan televisi tapi membiarkan diriku ditonton karena pikiranku lebih memilih untuk melamun daripada melihat ragam sajian hiburan yang ditawarkan oleh benda audio-visual itu.
Hari yang lumayan berat, setelah sepekan berkutat di kantor, menerima sinisme Antara, dan sekarang, dr. Wali memintaku untuk berhenti bekerja. Kejiwaan ibuku mengalami penurunan secara konstan dalam waktu 5 bulan ini semenjak aku bekerja.
Jika aku tak bekerja, bagaimana aku membiayai pengobatan ibu dan tetek bengek lainnya yang tak gratis?
Sejak setahun lalu, aku menolak uang yang dikirim ayah. Itu bukan uang nafkah, itu uang suap sehingga aku jijik menerimanya. Sementara kalau aku berhenti bekerja, dan mencari pekerjaan di sini, tak ada satu pun pekerjaan yang relevan dengan pendidikan strataku padahal kami-aku dan ibu-harus bertahan hidup.
Aku mengelus kening, mencoba menghilangkan beban yang membayangiku. Kuhempaskan bahu, akhir pekan harusnya rileks malah membuatku semakin tertekan. Tak ada tempat untuk berbagi. Aku anak tunggal, beban yang kutanggung begitu berat.
"Non! Non Jingga!" Bi Inah berteriak dari dapur. Aku terkesiap, berdiri dan langsung berlari. Di sana, aku mendapati ibu mengamuk. Dia melempar piring, sendok dan berteriak kesetanan.
Allah....
Dengan langkah pelan dan hati-hati, aku mendekat. Mencoba memegangi pergelangan tangan ibu agar tak melempar benda yang ada di depannya. Aku mengambil napas, mengusap punggung tangannya.
"Mama mau bakso, Jingga! Bakso!" Ibu menatapku dengan gigi bergemelutuk. Aku memeluknya erat, "Bi Inah tak mau membelikan bakso! Ini masih jam 11, masih banyak yang berjualan! Mama benci Bi Inah!" ibu meronta kuat-kuat, tapi aku tak menyerah.
"Tenang, Ma. Jingga belikan, Mama jangan berteriak-teriak begini."
Ibu menggeram, "kamu bela Bi Inah?!" Nadanya meninggi, "kamu anak siapa?"
Aku tak boleh marah, ini ibuku. "Ma, Jingga belikan. Tapi Mama harus tenang, okay?"
Tubuh ibu berhenti meronta, ia memegangi bahuku lalu mundur dua langkah, "benar?"
Kuanggukan kepala, "tunggu. Aku belikan, Ma." Melepas pegangan, aku menatap ibu dan percaya bahwa ia tak akan mengamuk lagi, "Mama tunggu Jingga."
"Iya, Mama tunggu tapi..., Mama nggak mau ada Bi Inah di sini."
Aku mengerut, kutoleh pembantu rumah tangga kami, "Bi Inah tetap di sini, tapi Jingga janji, Bi Inah nggak akan mengganggu Mama. Nah, sekarang Mama ke kamar saja dulu."
Ibu menatap Bi Inah dengan tajam, tidak, dia mengancam Bi Inah sebelum ia melangkah menuju kamar. Aku menarik napas.
"Non, ini sudah malam." Bi Inah menatapku dengan simpati, "aku temani ya?"
"Jangan, Bi Inah temani mama saja, aku takut dia labil lagi dan keluar rumah." Jelasku, aku merapikan kaos yang sempat kusut karena memegangi ibu, "kunci pagar depan ya, Bi."
***
Hampir 3 km aku bersepeda mencari bakso yang biasanya banyak berjejer di pinggir jalan. Namun tak satupun yang kutemukan. Aku sudah ke tempat wisata seperti pemandian air panas Sari Ater, mengelilingi komplek yang ada di sana. Dan hasilnya nihil.
Barulah setelah aku melewati pertigaan di desa Ciater menuju jalan protokol, aku menemukan satu-satunya penjual bakso. Itu pun dia sudah mulai mengemasi gerobaknya. Setelah dibungkus, dan menyerahkan pesananku, aku membayar dengan uang pas. Segera kukayuh sepedaku melewati jalanan yang lengang. Angin malam menerpa tubuh, membuatku bergidik kecil karena dingin menembus sumsum tulang. Aku membelokkan stir sepeda ketika melewati tikungan dan nyaris menabrak beberapa orang yang berjalan sempoyongan. Rem yang kugunakan tak begitu berarti, akhirnya aku membantingnya ke kanan dan langsung mencelat ke semak-semak. Sepedaku berderik menyakitkan.
"Aduhhh...." Aku meringis kesakitan saat kurasa lututku tergores. Aku diam selama beberapa detik, menghalau rasa sakit di sekitar kaki dan begitu tersadar, tiga orang yang nyaris kutabrak berjalan limbung ke arahku. Aku sangat yakin mereka sedang mabuk.
Mataku memicing dan ketakutan bergema di otak ketika mereka mengitariku. Menatapku seperti seekor mangsa yang tak berdaya. Hatiku menciut, aku menggumamkan doa dalam hati. Berharap, bisa bertransformasi seperti cerita-cerita fiksi yang kubaca.
Mereka berjongkok, salah satu dari mereka yang memiliki rambut panjang, mencoba menyentuh pipiku, dan langsung kutampik sebelum tangannya yang durjana itu melakukan hal yang ia inginkan.
"Wah, galak sekali...." Aku mendengar nada sarkasme di sana. Alarm bahaya begitu kuat terdengar, menyuruhku segera lari dan menjauhi mereka tapi, bagaimana caranya? Aku dikepung. Tubuh mereka jelas bukan tandinganku.
Jangan menyerah Jingga, gunakan idemu! Berpikir. Berpikir. Berpikir!
"Mau apa kalian?" kuraih kantong plastic berisi bakso yang jatuh tak jauh dariku, "pergi!" aku menghalau dengan lengkingan sumbang yang sangat tak meyakinkan karena pada ujung teriakanku nadanya goyah karena ketakutan. Si Berewok berjongkok di dekatku, menyapukan lidah di seputar permukaan bibirnya. Brengsek, kenapa ada lelaki model dia?!
"Ckckcck, Manis... tenanglah." Kata si Berewok, ia maju hendak menyentuh tanganku, aku mengibaskannya dan mundur. "Uh, nakal ya...."
Perutku mual, aku berpikir tentang beberapa adegan silat yang pernah dipraktekkan Yuna ketika jam istirahat kantor. Oh, tidak, gerakan Yuna terlalu ekstrim. Aku tak bisa melakukan gerakan kayang atau lainnya seperti lenting depan.
"Wow, mulus, Boss!" puji si cungkring, ia mengamati tubuhku yang hanya mengenakan celana ¾ dan kaos longgar, "kayaknya dia juga hot."
Sementara yang kuduga sebagai boss, lelaki yang memakai slayer di keningnya, masih terdiam. Mengamatiku baik-baik seperti menimang, seberapa hebat aku melayani kebutuhan seksual. Ingin sekali aku menghantam rahang congkaknya, namun satu-satunya yang kulakukan hanya mengepalkan tangan hingga buku-buku jariku memutih karena mengepal terlalu lama.
"Bawa ke markas!"
Untuk sekali dalam hidupku, aku kesulitan menelan ludah. Kerongkonganku buntu, tak mengijinkan benda keluar masuk.
"JANGAN MENDEKAT!" aku berteriak, merasa gila dengan ketakutan yang berhasil mereka ciptakan.
"Kau tidak bisa memerintah kami, Manis." Si Berewok mencapai tubuhku. Ia memegangi tanganku. Aku tak mau diam, kakiku menendang betisnya dan ia balas memuntir tangan kananku ke belakang, membuatku menjerit kesakitan.
Usahakan kabur! Usahakan kabur! Aku merapalkan mantra itu dalam hati. Hah, berdoa, Jingga! Sentak pikiranku, aku membaca doa. Doa apapun yang kubisa. Tiba-tiba, aku merasa bodoh karena tak mau ditemani Bi Inah.
Kali ini aku harus menanggung resiko, menyerahkan keperawananku. "Tidak!"
"Tidak apa, Manis?" mereka menarikku, menyeret tubuhku agar mengikuti mereka.
Airmataku menetes dan otakku benar-benar macet. Aku tak bisa berpikir tentang apa pun, satu pun. Kukakukan tubuh, tak membiarkan mereka dengan mudah memerintahku atau melakukan hal yang mereka inginkan.
Si Cungkring mengelus lenganku yang terpapar udara dingin, sebuah sapuan yang sangat menjijikkan dan membuat ingin muntah. Kakiku melayang, menendang pahanya tanpa perhitungan. Ketika ia mengaduh, aku tersadar kalau aku berhasil memberinya peringatan.
"Jalan!" sentak si Berewok, ia mendorongku, membuatku nyaris terjungkal karena kehilangan keseimbangan.
"Tidak!" sengitku, aku meronta lebih kuat, membuat puntiran lelaki berewok itu goyah dan begitu cengkraman kuat itu lepas, aku segera berlari.
"Sial, kejar dia!" si Boss memberi perintah, aku mengencangkan lariku. Kusebrangi jalan dan nyaris ditabrak mobil jika pengemudi tak mengeremnya. Aku mengangkat tangan ke udara untuk mengisyaratkan kalau aku meminta maaf atas kecerobohan yang kubuat lalu detik berikutnya, aku melanjutkan lariku. Menyusuri jalan yang terasa jauh untuk sampai di rumah.
Semakin kencang lariku, semakin dekat pula jarak mereka. Aku tak boleh menyerah meski sekarang napasku tersengal dan lututku terasa lemas.
"Dapat!" girang, si Cungkring meraih pergelangan tanganku, aku terjebak oleh tangan kecil yang begitu kuat memegangiku.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" dadaku naik turun, paru-paruku menuntut untuk bernapas dan bernapas.
"Tidak semudah itu, Manis," ia menyeringai, perutku bergolak hendak mengeluarkan sesuatu di mulut. Saat lelaki kurus kerontang itu menoleh, matanya membelalak karena melihat dua orang kawannya-termasuk pria yang disebut Boss-terkapar di jalan. Mataku menangkap sosok dengan kemeja digulung, menginjak tubuh si pemuda berslayer. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, yang pasti otot lengan dan dadanya begitu bidang hingga pakaian yang ia kenakan tak bisa menutupi betapa seksinya dia.
Astaga, Jingga! Kau dalam bahaya dan malah mengagumi pria itu?! Sentak pikiranku yang lain, aku sadar. Kuinjak kaki si cungkring, ia mengumpat kesakitan lalu lelaki yang kupuja bagian tubuhnya menghampirku.
"Lepaskan dia." Datar dan tak beremosi, aku mengenal jenis suara dan nada seperti ini. Begitu dingin dan aku mengerjap ketika dia mendaratkan pukulan di rahang penyanderaku. Lelaki itu melayang dan terjatuh begitu keras di tanah. Aku mendesahkan napas lega.
Tidak, kelegaanku hanya beberapa detik karena pria yang menolongku lebih mengintimidasi. Ia menarik tanganku, memaksaku untuk ikut dengannya. Tak ada waktu membantah ataupun memberontak. Aku mengikuti langkahnya yang panjang.
Otakku benar-benar kembali ketika aku sudah berada dalam mobil. Aku menoleh untuk memastikan siapa orang yang sudah menghajar beberapa lelaki berandal tadi.
"Antara?" gumaman tak percaya, aku yakin dia mendengarnya.
Lelaki itu menghidupkan mesin, mulai melajukan mobil. Seketika rasa aman membaluri tubuhku. Segera kusandarkan bahuku di kepala jok lalu mengangkat wajah dan mendesahkan udara ke atas.
"Jingga, memang kau ingin diperkosa di jalan, ya?!" itu sapaan pertamanya. Matanya berkilat berbahaya. Aku heran kenapa ia marah melebihi marahku. Lelaki itu menatap tajam padaku, menghakimi. "Kau bangga kalau disetubuhi preman?!"
Lidahku kelu, aku menahan sakit yang menghantam dadaku karena perkataan Antara. "Apa aku seperti pelacur di matamu?" Nadaku ikut meninggi, separuh tak terima karena ia memiliki persepsi buruk tentangku.
"Kalau kau wanita baik-baik, kau tak akan keluar malam-malam begini."
Dia benar. Kemudian, bungkusan baksoku?
"Lain kali bawa teman."
"Turunkan aku di sini. Sepedaku ada di tikungan depan."
"Jangan sok berani keluar malam." Nasehatnya, seperti nenek-nenek tua yang kerjanya mengomeli anak kecil yang nakal. Dan aku tak berniat menjadi anak kecil yang nakal.
"Turunkan aku!" perintahku keras kepala, sebenarnya sebagian tubuhku yang masih terasa lemas. Seharusnya, aku berpikir untuk menerima kebaikan Antara tanpa pemberontakan, tapi aku tak mengijinkan lelaki itu mengasihaniku lebih lama.
"Jangan keras kepala!" ia masih mempertahankan nadanya yang tadi, kali ini dengan tambahan beberapa oktaf. "Kau bersamaku. Sekarang, katakan di mana rumahmu."
Aku melirik 45 derajat, "sepedaku di tikungan jalan. Turunkan aku," aku menoleh ke tikungan saat Antara melewati dan tak menghentikan mobilnya. Jangankan berhenti, menurunkan kecepatan kendaraannya saja tidak, "Oh, kau melewati tikungan itu!"
"Sialan kau, Jingga," maki Antara, suaranya setengah menggeram, "apa sepeda itu lebih penting daripada keselamatanmu? Brengsek, kubelikan 1000 sepeda ganti jika kau mau."
Aku membulatkan mata tak percaya. Sebenarnya, apa sih mau Antara?
"Bukankah kau tak mau menganggap keberadaanku? Aku hanya tak mau kau menjilat ludahmu sendiri."
Antara mengerem mobil, aku terantuk karena tindakannya ini.
"Apa aku perlu melucuti pakaianmu sekarang agar kau diam dan mematuhi perintahku?" ia menatapku, lebih mengerikan dari sebelumnya. Bulu kudukku meremang. Dan ketika otakku menangkap inti pembicaraannya, aku menggeser tubuhku ke pintu, benar-benar menjauh darinya.
"Aku tak suka ditolak." Ia maju beberapa inchi. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, ingin menghantamkan satu tinjuan padanya jika dia macam-macam.
"Aku harus membeli bakso," jelasku, benar-benar ketakutan sekarang. Cara Antara mengintimidasi jauh lebih berbahaya dan aku tak bisa menahan sensasi panas setiap kali memergokinya menatapku, "sekarang, untuk ibuku." Aku menunduk tak berani membalas tatapan Antara. Kumainkan jemariku di atas paha, mengusir rasa takut dan ngeri.
Lelaki itu memutar arah mobil tanpa bicara.
***
Antara turun dari mobil lalu mengunci mobil dari luar, aku mendesah. Kuamati langkahnya yang tegap menuju pedagang keliling yang masih berjejer lumayan sepi. Kulirik jam tanganku, tepat pukul 12.34. Antara menghampiri salah satu penjual bakso, berbicara sebentar dan ia membalik tubuh. Kurasa ia tak bisa melihatku, namun matanya menatapku penuh kewaspadaan. Kuhirup udara kuat-kuat.
Begitu bakso terbungkus rapi, ia membayar dan berjalan ke arahku. Membuka mobil dengan kelewat anggun yang tegas. Ia menghempaskan tubuh di kursi pengemudi dan menyerahkan bungkusan plastik padaku. Aku menerimanya dengan kaku.
"Thanks," cicitku, memalukan sekali. Antara mengangguk dan menghidupkan mesin, "sekarang, di mana rumahmu?"
Kukatakan alamatku dan lelaki itu-masih tanpa ekspresi yang beremosi-mulai menjalankan mobil, menembus desa Ciater yang sedikit lengang dari sebelumnya.
***
Tak ada percakapan yang kami mulai. Antara terlihat lebih menikmati keadaan dalam diam. Aku memperbaiki rambut yang kusut dengan gelisah.
"Kau bisa di sini, ada keperluan?"
"Bisnis." Jawabnya santai, kurasa, amarahnya sudah mengendur.
"Oh." Sahutan yang terlalu datar, "menginap di hotel?"
Ia mengangguk. Kali ini respon yang amat sangat datar.
Aku mengambil napas sebelum Antara menghentikan mobilnya lalu menoleh. Ingin bertanya kenapa ia tak melajukan Lamborgini Raventonnya. Eih, mobil Lamborghini? Bukankah itu mobil yang nyaris menabrakku ketika dikejar-kejar preman tadi? Jadi, ketika ia tahu aku dalam bahaya, lelaki itu keluar dari mobil dan melawan 3 orang demi aku, benarkah?
"Kau tak mau turun?"
Aku melirik sekitar, kesadaran itu menciptakan rasa malu yang luar biasa. Aku berdeham canggung. "Tak mampir dulu?"
Antara menyunggingkan senyum. Senyum manis dan mematikan, sama dengan senyum yang ia bagi di awal pertemuan kami. Sebelum insiden di apartemenku, tentunya.
"Tawaran yang menggiurkan, kau tak menyesal?"
Menyesal? Aku menautkan alis. Menawarinya mampir berakhir dengan penyesalan? Maksudnya? Oh, kenapa otakku jadi lamban begini, sih?!
"Aku mampir." Putusnya ketika aku sedang pusing. Ia keluar, membukakan pintu untukku. Aku turun dengan canggung, tak pernah berpikir kalau dia bisa semanis ini. SEMANIS INI? Oke, aku memegang keningku, mengusapnya.
"Jingga, tidakkah kau mau membukakan gerbang agar mobilku bisa masuk?" Antara bertanya sebelum ia membuka pintu kemudi, aku ber-uh-oh ria dengan bodohnya.
Segera kupencet bel rumah, Bi Inah lari tergopoh-gopoh, membuka gembok dan matanya memicing ketika mendengar suara mobil.
"Buka Bi, gerbangnya, tolong."
Tanpa bertanya lagi, pembantu rumah tangga itu menuruti perintahku, aku mundur agak ke tepi dan membiarkan Antara masuk.
"Siapa, Non?" Tanya wanita itu setelah mengunci pagar, mata Bi Inah berkilat menggoda apalagi sejak ia melihat Antara turun dari mobil. Tubuhnya begitu tegap dan luwes. Membuat siapapun wanita bertanya-tanya, apakah dia masih single? Dan aku yakin, Bi Inah ingin tahu, siapa dia untukku karena selama bekerja padaku, aku tak pernah berkencan. Satu-satunya lelaki yang ngobrol secara konstan-seminggu sekali-hanya dr. Wali, seorang psikiater yang merawat ibu.
"Atasanku, Bi."
"Kok malem-malem gini?" Bi Inah tak memprotes, lebih pada rasa penasaran.
Aku mengendikkan bahu, membuang napas dengan berat, "ceritanya panjang. Mama sudah tidur?"
"Dari tadi, Nyonya tidak keluar kamar, Non." Balas Bi Inah. Aku berjalan, menuju Antara yang menungguku. Kuserahkan bakso pada Bi Inah. Bi Inah mengangguk dan berjalan mendahuluiku.
"Mari masuk," ajakku, aku keheranan karena nada yang sangat persuasif terdengar dari lisanku. Antara mengangguk kemudian mengikuti langkahku.
"Benar-benar kriteria rumah sebagai tempat untuk pulang," gumam Antara di sela-sela langkah sebelum kami menaiki undakan teras. Aku meliriknya, mata Antara masih mengamati kebun strawberry dan bunga yang dibuat ibu, yang ada di pojok kanan rumah. "Begitu hangat dan menjanjikan kebahagian."
Hangat?
Kebahagiaan?
Aku telah kehilangan itu sejak 2 tahun lalu jika dia mengetahuinya.
"Aku tahu kenapa kau terlihat begitu menarik," Antara membuat langkahku berhenti, tepat di tengah-tengah teras, ia berdiri di depanku dengan senyum misteriusnya, "kau berasal dari tempat yang sama menariknya."
"Kau menghalangi langkahku," udara di sekitar terasa panas. Terbakar aura Antara yang begitu menggoda.
"Selamanya. Selamanya akan begitu," responnya, masih tak mau menyingkir. Aku menatapnya menantang.
"Aku harus menelpon Sandra." Kataku, suaraku tercekat. Antara hanya menatapku geli.
"Jadi, itu yang kau lakukan-"
"Itu yang kulakukan ketika ada lelaki yang taken dan masih mencoba flirting dengan gadis lain."
Antara tersenyum, "gadis lain? Seingatku, kau gadisku."
Aku mengeluarkan udara di sela-sela gigi agar tak mengeluarkan dengusan sarkatis. "Kapan aku setuju?"
"Secepatnya."
"Dan kau menawariku poligami? No, thanks."
Antara meraih tanganku, mengecupnya dengan sedikit memberikan tekanan pada punggung tanganku. Api melejit ke seluruh nadiku.
"Tidak jika kau mau." Antara tersenyum ketika aku merasa linglung.
Aku menggeleng cepat, "aku tidak mau seperti aku tidak mau merampas kebahagiaan orang lain." Aku bergeser dua langkah dan menuju pintu. Ini membuatku merasa de javu karena pesona Antara yang tak bisa ditolak. Aku merasa kisah ibu dan ayah menular pada kisah pribadiku. Itu benar-benar mimpi buruk.
"Kau mau Jingga."
"Tidak. Kau tidak mengenalku." Tolakku dan segera membuka pintu, "silakan masuk."
Antara menggumam sesuatu yang tak jelas, wajahnya menunjukkan keprcayaan diri luar biasa. Ia melangkah menujuku, dan sebelum tubuhnya masuk ke dalam rumah, ia meyapukan ciuman hangat di pipi. Tubuhku langsung mengejang.
"Aku suka rona merah di pipimu."
Brengsek! Aku hendak melayangkan pukulan, namun dengan tenang dan cekatan, lelaki itu menahannya dan menipiskan jarak. Hanya dengan tatapannya, lututku seperti agar-agar.
Tidak, aku tidak bisa selemah ini!
Aku tak mau kena rayu lelaki ini!
Dan, aku tak mau tampak konyol dengan cara serendah ini!
"Siapa, Jingga?" ibu mendekat, Antara melepas tanganku dengan pelan dan menatap mama, penuh hormat. Ia menundukkan kepala dan tersenyum.
"Atasanku, Ma!" sahutku cepat, tak memberikan kesempatan Antara membual. Aku bisa melihat kilat licik ketika dia menunduk tadi. Lebih dari itu, aku tak mau mama buruk sangka padaku.
"Atasanmu?" alis mama bertaut, "kenapa kalian berdiri sedekat itu?"
"Oh!" aku terhenyak dan mundur, Antara mencibir padaku, memberi isyarat bahaya, "tadi, aku mau terpeleset dan dia menolongku."
"Ah..., manisnya...." Mama mulai memuji. Holly shit, aku salah mengatakan alibi. Antara mengambil kendali, ia maju dan mengulurkan tangan. Dengan tegas diucapkannya namanya. Mama menyahut dengan senang dan balas memperkenalkan diri.
"Aku ibunya Jingga, gadis yang suka menggembungkan pipi atau menipiskan bibir ketika marah."
Antara tersenyum menanggapi guyonan sarkastik ibu, "itu membuatnya terlihat cute dan innocent, Tante."
Ibu mengangguk bersemangat, "oh-kau benar. Kau benar!" ia tertawa, "panggil aku mama saja, kau cocok untuk memanggilku begitu."
Antara tambah berapi-api. Aku merasa diabaikan oleh mereka. dalam sekali waktu aku seperti tak mengenal ibuku.
"Oh ya, Nak, bagaimana kalau malam ini kau menginap saja di sini. Ini sudah malam. Ada satu kamar kosong di villa ini." Tawaran ibu seperti jerat yang berasal dari neraka. Aku membuka mulut, hendak menyuarakan protes.
"Dengan senang hati, Mama." Antara berniat sekali. Mama menepuk bahunya, lalu mengalihkan fokus, sekarang matanya menatapku, "Jingga, antarkan Antara ke kamarnya, ya?" aku membulat, belum percaya kalau lelaki itu benar-benar akan menginap di sini. Heran, kenapa ibu bisa mendadak akrab begitu, sih?
"Nak, Ibu ke kamar dulu, ya?"
Mati aku sekarang.
***
"Seharusnya, kau tak perlu bersikap sok manis pada ibuku, dan apa maksudmu memujiku?" aku yang merapikan ranjang terus mengomel dan Antara mengamatiku, ia duduk di sofa, "kau membuat malamku terasa sulit sekarang. Aku tak tahu bisa tidur ata-oh!" aku terkesiap dan terjatuh di ranjang saking kaget, Antara berdiri, dekat sekali denganku.
"Bisakah kau tak mengagetkanku? Kau senang ya kalau aku menderita gagal jantung?" aku menatapnya dengan pandangan tajam. Kuperbaiki dudukku, bergeser untuk mempertahankan jarak kami. KAMI? As. Ta. Ga.
"Aku sedang membayangkanmu berada di kamar, mengomeliku, dan...," ia tersenyum, memukau dan mematikan, "aku nyaris gila karena menginginkanmu tanpa sehelai benang pun."
Aku langsung tersentak, alarm bahaya muncul. Kakiku mengambil kendali, ia membawaku lari ke sudut kanan dan disambut kekehan Antara. Ia mendekat lagi. aku mundur. Ia tambah dekat. Aku mundur. Lalu, kabar buruknya, kaki belakangku menyentuh sofa dan aku terhempas begitu saja. Antara menyeringai. Ia berjongkok, membiarkan kami berhadapan hingga mataku juling jika melihatnya.
"Boleh aku menciummu?" ijin Antara, aku mengangkat tangan ke udara dan menggeleng.
"Yakin?"
Entah kenapa, aku malah menggeleng. Membuat lelaki itu merasa di atas angin karena menerima sinyal hijau yang sempat tersendat dariku muncul dengan terang. Antara merunduk, semakin tak berjarak, napasnya menerpa kulitku. Aku memejamkan mata.
Nyaris mengerang ketika permukaan bibirnya menyentuhku. Tangan kanannya menyelip di tengkuk, membuatku tak bisa mundur atau membatalkan ciuman ini. Antara menekan bibirnya, melepaskan dengan pelan, menekan lagi dan debit darahku melonjak luar biasa. Sapuan lidahnya di bibir menghantarkan gelenyar aneh yang membuat dua tanganku menangkup di pipinya. Aku membuka bibir, lidahnya menerobos dan langsung mengabsen gigi, sementara lidahku menekan bibir bawahnya.
Antara meremas rambutku, ia membelitkan lidahnya dan aku mengeluarkan nada rendah di bawah tenggorokan. Ini? Aku linglung. Aku berciuman dengan Antara??? Benarkah? Aku berciuman dengan lelaki yang sudah memiliki pacar? Aku menahan dada Antara, seharusnya aku mendorongnya menjauh tapi begitu telapak tanganku merasakan ototnya yang kuat dan hangat, otakku langsung mengambil cuti.
Kami kembali berciuman, lebih panas dan menuntut. Aku mengusap dada Antara, ia menggeram tertahan dan tangan kirinya melingkar kuat-kuat di pinggangku. Tak membiarkan menjelajah seperti tanganku yang sekarang sudah menyentuh kulit dada Antara tanpa pelapis. Sentuhanku turun ke perutnya yang datar dan....
Antara mengecup bibir, menahan bahuku dan menjauhkan aku darinya. Ia menggeleng dan seketika kekecewaan menghantamku karena tahu, dialah yang menyudahi ciuman ini. Ia menolakku.
"Hanya itu yang bisa kutawarkan. Tidak lebih."
"Kenapa?" aku malah bertanya dengan bodoh, seolah aku yang menginginkan ciuman. Yah, walau sebenarnya, aku memang menginginkannya.
Ia tersenyum, "katamu, aku sudah punya pacar." Ia menatap geli dan kenyataan itu meremukkan kesempurnaan kepalaku. "Jadi, kupikir...."
"Aku tahu," sahutku, aku memperbaiki rambut yang kusut dan berdiri berhadapan dengannya.
"Aku ingin menjelaskan itu padamu."
"Semua sudah cukup jelas," aku menelan ludah dan menekan hasratku kuat-kuat, tak mau ia mengambil alih kemampuan logika yang kumiliki, "ini sudah terlalu dini hari. Kau pasti lelah."
"Hei, kau salah paham, Jingga."
Aku tersenyum, "semoga mimpimu indah."
Antara mengeraskan rahang, "aku suka kau berkata, 'semoga kau bermimpi tentang tubuhku, Antara.' Ya, aku suka itu."
Apa-apaan?
"Jika kau suamiku, aku akan dengan senang hati mengatakannya." Aku mundur dan setelah mengucapkan selamat malam, aku benar-benar keluar dari kamar yang ia tempati.
Ia membuatku bingung dan akan selalu bingung. Menyudahi ciuman karena hanya itu yang bisa ia tawarkan lalu mengatakan bahwa ia punya pacar. Dan, terakhir, ia suka kalau aku menyuruhnya berfantasi tentangku. Oh, sial! Berapa sih kepribadian Antara? Kenapa suka berganti-ganti semudah aku membalik telapak tangan? Dan..., yang bodoh itu aku, membiarkan diriku terpesona lalu menanggalkan kemampuan nalarku hanya karena naluri primitive lebih berkuasa.
Holly crap! Tadi ciuman pertamaku!
Ciuman pertama dan aku langsung tahu bagaimana membalas setiap-! Oh! Oh! Aku ingin membenturkan kepalaku ke dinding! Setelah ini, Antara pasti berpikir aku cewek gampangan. Oke, aku harus jujur, tadi aku memang gampangan. Aku lupa bagaimana aku berusaha menghindari preman tadi, tapi begitu selamat..., aku dengan bodoh memberi Antara-
Aduuuh, aku pasti tak punya wajah lagi jika besok Antara menemuiku? Tak hanya besok, dia atasanku, jadi... ketika di kantor...? Boy from hell, it's not the goddamn time, is't?
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro