Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Menipu Hati

Ini sudah ke 10 kalinya aku bertemu Antara dan ia benar-benar seperti apa yang ia ucapkan: tak menganggap keberadaanku. Sebagian hatiku menyukai ini, dengan begitu, aku terbebas dari gosip murahan atau rasa risih ketika ia menatapku. Aku selalu tak kuat hati, jika matanya mengintimidasi, aku merasa seperti binatang buruan yang siap dimangsa.

Namun, sisi hatiku yang picik menertawai rasa tak nyaman yang disebabkan Antara. Tak ada lagi lelaki yang penuh percaya diri mengusikku, merayu dengan kalimat yang aneh seolah dia dengan terbuka bilang begini 'kejar aku, maka kau tahu siapa aku' dan kali ini, aku yakin dia sudah tahu siapa gadis yang coba ia perdaya.

Kuhela napas ketika bunyi ting lift terdengar, itu artinya Antara harus keluar dan seperti seharusnya, ia memang keluar, tanpa mencoba mengobrol, menatapku atau mengatakan ucapan selamat pagi ketika kami bertemu. Padahal aku yakin di lift ini tadi hanya ada aku dan dia, dan aku sangat menjamin bahwa lelaki tadi hanya berdiri kaku, menatap pintu keluar dan benar-benar pergi tanpa sepatah kata pun.

Baiklah, Jingga, kau kenapa? Apa otakmu sudah salah setting? Kau ada di Nutrifood untuk bekerja bukan mengejar Bossmu. Aku mengipasi wajahku yang terasa panas.

Antara membuatku bingung. Di dekatnya, memperoleh perhatian darinya, aku tak nyaman dan sekarang saat dia mendiamkanku, rasa sesaknya luar biasa.

"Hai, Jingga, kebetulan sekali. Ada briefing besok pagi, kau diminta menyampaikan analisis keaktifan karyawan yang ada di divisi perencanaan," Dion menghancurkan lamunanku, aku baru sadar kalau lift sudah terbuka dan aku malah melamun. Kebiasaan buruk.

"Pak Antara sudah menunggumu menyampaikan laporan. Jadi, kupikir, kau harus bersegera." Dion masuk ke ruangan; tak lagi berdiri di ujung lift seperti seorang atasan menemui bawahannya yang mengalami salah fokus.

Aku buru-buru menuju ruang kerja, yang dihuni 3 orang, aku, Dion dan Sarah. Kuambil data di map warna biru dan menuju lift lagi untuk menemui Antara.

***

Antara mengamati grafik yang kubuat, keningnya berkerut lalu menatapku. Sebuah tatapan yang memberikan arti atasan-bawahan dengan sengaja. Seolah dari caranya menatapku aku mendapat peringatan keras. Aku mengingat-ingat, apa aku mencoba mengejarnya? Sepertinya tidak.

"Ini data yang kaukumpulkan seminggu ini?"

"Benar."

"Mana pembandingnya?"

"Ada di halaman kedua, grafik di halaman kedua adalah perbandingan kinerja seminggu sebelumnya."

"Hasil yang cukup signifikan membuat saham perusahaan mengalami penurunan." Antara menatap tajam, rahangnya begitu tegas dan kaku, membuatku tahu kalau ia terbebani dengan kinerja menurun dari bagian perencanaan, "apa masukanmu?"

Aku membalik data yang di tanganku, "semua jawaban dari pertanyaan anda ada di sana, Pak. Halaman ketiga."

Antara membaca kesimpulan yang kubuat, begitu selesai ia mendongak dan memandangku, "nah, aku mengerti. Silakan kembali ke ruanganmu, kau tak mau membuat orang salah paham kan? Apalagi dengan caramu menatapku."

Caramu menatapku?

Caraku menatapnya memang bagaimana? Aku mengendalikan emosi kemudian berdiri, "tidak, Pak. Anda sudah bersama banyak wanita cantik, jadi berada di sini dengan saya tentu tak akan pernah bisa mempengaruhi anda. Anda tidak akan bodoh merobek pakaian saya."

"Analisis yang akurat dan cerdas." katanya, tak bersahabat. Aku tersenyum formal dan permisi dari hadapannya.

***

"Jingga!" Yuna datang dengan seribu kehebohannya pada jam istirahat. Aku memutar mata dan meneliti beberapa angket yang kusebar ke divisi pelaksanaan. "Hei, workaholic sejati, ayolah... Ini jam istirahat."

"Kalau kau mengajakku ke kafetaria, maka jawabanku tidak."

Yuna menaikkan alis, "tidak, Jingga. Aku mau mengajakmu bergosip. Kau tahu acara Ten Wanted?"

Kutoleh Yuna, "oh, 10 orang terbaik dalam kinerjanya akan diundang berpesta bersama jajaran level A dan dikenalkan pada sosialita menengah atas?"

"Tepat. Aku tak peduli dengan 10 orang terpilih, tapi salah satu pria yang ada di level A." Yuna nyengir, aku menduga-duga. Di level A ada Vice President alias CEO, CFO, COO-"kau tahu, di acara pesta 10 wanted, Pak Antara mengajak seorang wanita." dan tahulah aku sekarang, jadi aku akan menggosipkan Antara... tunggu, membawa wanita? Antara membawa wanita di pesta 10 Wanted?

"Lalu? Apa bagusnya?" kenapa suaraku jadi terdengar picik?

"Jingga. Jingga." Yuna geleng-geleng, "kupikir saat Pak Antara makan bersama kita dan gosip kau dicium di lift adalah salah satu bukti bahwa kau terlibat affair dengannya."

Aku mendengus, "dan berita itu cuma bohong."

Yuna mengangguk, ia mengambil ponsel dan menunjuk sebuah foto dari file galerinya, "sampai foto ini di tanganku."

Kulihat foto yang dimaksud Yuna, Antara terlihat sedang berdansa, dua tangannya melingkar di pinggang si wanita dan wajahnya... Astaga, Antara berciuman dengan wanita di pesta itu. Aku hendak meraih ponsel Yuna, tapi gadis itu keburu mengamankannya.

Mataku mengerjap, Antara sepertinya melakukan french kiss. Iyakah?

"Aku berpikir, dia adalah pria paling hot dan aku tak bisa membayangkan bagaimana dicium olehnya. Tapi, syukurlah kalau kau tak menjalin hubungan dengannya. Aku takut kau dicampakkannya, Ji. Cukuplah kita mengagumi fisiknya, tapi jangan menyerahkan hati padanya, itu tindakan konyol dan bodoh."

Konyol dan bodoh? Aku akan selalu mengingat-ingat dua kata ini.

"Yuna, kau membuatku lapar." Aku berdiri, "ayo ke kafetaria."

***

Selama aku mengantri di konter, aku selalu mendengar bisik-bisik karyawan yang masih lajang tentang pakaian olahraga yang bagus. "Kenapa sih pokok pembicaraannya jadi kaos dan training?" kusenggol Yuna yang berdiri di depanku.

Gadis itu tersenyum santai, ia mendekatkan mulutnya di telingaku, "kau tak tahu ya, besok sore, sepulang kerja ada taruhan paling keren. Pak Antara akan melawan Dion di lomba bulu tangkis tunggal."

"Dion managerku?"

Yuna mengangguk, "siapa lagi?"

Aku paham sekarang, jadi demi terlihat sempurna di depan Antara, semua gadis muda karyawan Nutrifood ini mulai mendiskusikan fashion sporty yang up-to-date. Aku tersenyum miris, tak mengerti dengan cara pikir mereka.

"Kau mau menonton, kan? Kita bisa berangkat bersama."

Aku tergelak, "ada ide konyol lain tidak? Buang-buang waktu saja."

Yuna mengangkat tangan di udara, matanya menyiratkan bahwa ia tak setuju dengan ucapanku, "bagiku tidak, Ji. Aku bisa melihat otot lengannya, otot kakinya dan melihat betapa seksinya ia dengan rambut basah karena keringat. Itu impian gadis-gadis di sini."

Aku melongo dan tak bisa menyela fantasi Yuna. Ekspektasinya luar biasa aneh.

"Kau yakin tak ikut?" nadanya sudah normal, kubalas dengan gelengan mantap. "Kenapa? Jangan bilang kau cemburu?"

"Cemburu?" aku bergidik, "tidak akan. Aku harus pulang ke Ciater."

"Ibumu belum sembuh total, ya?" Yuna maju dan menyorongkan nampan ke pramusaji, "apapun penyakit ibumu, semoga lekas sehat ya, Ji."

Aku menggumam aamiin dan mengeluarkan napas kuat-kuat, "thanks doamu, Na."

***

Aku baru saja mengikatkan belt sebagai aksesoris kemeja ketika ponselku berdering. Setengah berlari aku menghampiri nakas, melihat ID pemanggil dan langsung meraihnya ketika tahu kalau ibuku menghubungiku sepagi ini. Ketika kami terhubung, ibu tak menanyai kabarku tapi langsung menceritakan kesehariannya yang terlewatkan selama aku bekerja. Dimulai dari cerita tentang dikejar-kejar bayangan putih tanpa wajah, lalu ditodong pisau oleh wanita cantik dan terakhir ada seorang lelaki yang menendangnya. Cerita yang selalu sama. Ibu menceritakan sambil terisak-isak.

"Sampai sekarang Mama masih sehat, kan? Itu artinya, Mama baik-baik saja dan semua yang mama ceritakan itu hanya mimpi." Aku menyela sebelum ia menambahi cerita dengan hal menakutkan dan tentunya hanya ada dalam khayalannya. Nyaris dua tahun ini, ibuku sering mengalami delusi dan halusinasi. Ia tak bisa membedakan mana yang realitas dan mana yang hanya imajinatif saja.

"Tapi Mama takut, Jingga. Wanita itu mengancam akan membunuh Mama. Kau kapan pulang?" suaranya menghiba, seketika sesuatu yang padat menyumbat kerongkonganku. "Mama pasti aman jika bersamamu." Tenggorokanku yang tadi hanya tersumbat kini seperti diremukkan dalam sekali tekan.

"Nanti sore Jingga usahakan sudah bisa melihat senyum Mama." Kataku, menggigiti bibir bawah. Aku tak boleh menangis. Setidaknya, aku tidak menangis ketika mendengar suara ibuku. Jadi, untuk menghindari pertentangan dalam hati, aku menyibukkan diri, memakai eyeliner, blush on, eyeshadow, lipstick dan make up lain. Walau notabenenya aku tak pernah memakai benda-benda itu, aku butuh-sekedar untuk pelampiasan.

"Boleh Mama minta satu hal, Ji?"

"Buat Mama apa yang tidak?" aku memakai sepatu dan mengunci apartemen. Mama mengambil napas.

"Ajak Papamu mengunjungi Mama, ya? Mama mohon, Ji."

Mendengar permintaan ibu, aku hanya bisa bersandar di pintu, berusaha menguasai emosiku sendiri sebelum aku mengatakan jawabanku, "iya, Ma, Jingga usahakan tapi Mama kudu janji satu hal."

"Benarkah? Mama akan bertemu Papa. Mama ketemu Papa, Jingga! Mama mau berjanji, Mama akan melakukan apapun yang kamu minta." Suaranya yang sendu sekarang ceria, ia seperti baru ditumpahi berton-ton kebahagiaan.

Mataku mendadak panas, aku mendongak kuat-kuat, menahan aliran airmata. Aku tak mau tangisanku didengar ibu. "Jika Papa belum bisa menemui Mama nanti, Mama jangan marah, ya?"

"Kenapa kamu bilang begitu, Ji? Papa masih marah ya? Atau Papa memang membenci Mama?"

"Tidak, Ma. Bukan begitu. Papa masih sayang Mama, kok." Aku menggigit bibir bawah lagi, suaraku setengah parau dan bergetar, tak kuasa meneruskan kebohongan, "tapi, Jingga tak bisa berbuat apa-apa kalau Papa belum ada waktu, kan?"

Ibu terdiam, aku tahu..., aku pasti sudah menyakiti hatinya dengan pernyataan itu. Aku mencubit keras kulit lenganku, berharap rasa sakit di kulit bisa mengalihkan perhatian otakku. Tapi, sayangnya, rasa sakit itu tak mempan mengusir rasa bersalahku, "Mama pengin liat Jingga bahagia, kan?"

"Tentu, Sayang...." Suara ibu begitu lembut dan tulus, membuatku tak tega membohonginya terus menerus, tapi aku bisa apa? "Apa yang bisa Mama lakukan?"

"Mama harus baik-baik saja. Kalau Mama mau jalan-jalan, minta Bi Inah menemani, ya?" jelasku, mencoba lebih realistis dan tegar dari sebelumya. Tak ada manfaat jika aku berlarut-larut dalam masalah yang sama.

"Hanya itu yang bisa membuatmu bahagia, Ji?" ia tak percaya. Untuk wanita yang sudah melahirkanku, dengan keadaannya yang seperti itu, apa aku pantas menuntut berlebihan? Tidak, hanya keadaan ibuku yang paling penting.

"Iya, Ma," suaraku kubuat ceria, "Mama bisa?"

"Iya. Mama bisa. Mama akan baik-baik saja, Mama juga sudah sarapan, Ji."

"Iya, Jingga tahu. Nah, Jingga ke kantor dulu. Mama baik-baik ya menunggu Jingga pulang."

Akhirnya panggilan itu dimatikan. Tekanan yang menghimpit terasa mengendur walau sakitnya belum sirna seluruhnya. Aku mengambil udara banyak-banyak, memasang ekspresi 'seperti biasa' karena tak mau terlihat menyedihkan ketika berpapasan dengan orang lain dan membuat orang yang ada di sekitar mengasihaniku. Aku tidak butuh dikasihani.

"Hai, Jingga..., selamat pagi!" Sandra baru keluar dari apartemennya.

"Pagi," sahutku, masih terlalu lemah, kuamati penampilan Sandra hari ini, ia selalu tampil seksi di mana pun berada. Kalau satu ruangan dengannya, aku selalu ingin kabur karena tubuhku yang tak proporsional dan berlekuk seperti tubuhnya.

"Kita bisa ke parkir bareng, Dra." Ajakku, memberi senyum palsu.

"Duluan aja, Ji. Pagi ini aku dijemput pacarku." Sandra memperbaiki tatanan rambutnya yang dibuat ikal dan diblow, terlihat lembut. Aku mengagumi selera fashionnya.

"Wah, kau tak mengenalkannya padaku?" Sandra tersenyum, ia mengangkat tangan di udara.

"Maaf, tapi... itu dia!" jelasnya dengan bahagia, ia melambai tangan dan menanti sang pacar dengan antusias. Aku yang penasaran segera membalik tubuh dan langsung kaku. Antara berjalan dengan tegap, ia menuju kami-tidak, Sandra maksudku. Eh, jadi... Sandra berpacaran dengan Antara. CEO perusahaan dengan manager keuangan hotel. Wow, pasangan yang serasi!

"Hai," Sandra menyapa dengan senyum lebar hingga gigi geraham terlihat, Antara membalasnya dengan tersenyum tipis dan singkat, "kenalkan, tetangga apartemenku, gadis yang memiliki kemampuan memasak yang payah, dia orang yang paling mengerti orang lain dan menyayangi ibunya, tapi... dia juga gadis perfectionist, kaku dan konservatif. Hati-hati jika di dekatnya, kau bisa dicekik kalau membuatnya marah."

Antara mengulurkan tangan, "Antara." Kusipitkan mata, bukankah kami sudah kenal? Tak mau cari masalah, aku segera menjabat tangan Antara, menggumamkan namaku dengan singkat. Selesai aktivitas formal perkenalan, aku menarik tangan.

"Oh ya, Dra, aku berangkat dulu. dan..." aku menoleh pada Antara, "nice to meet you."

Aku meninggalkan mereka dan menuju basement untuk mengambil mobil lalu berangkat ke kantor.

***

Apa-apaan ini? Kenapa ban mobilku kempes? Kulirik arloji, waktu sudah menunjukkan pukul 7.15, takut terkena macet dan ketinggalan bus. Aku segera keluar dari basement dan menuju halte. Sambil menunggu Bus, kulihat smartphone dan melihat kiriman foto di aplikasi Line.

Alisku bertaut, Yuna sedang memakai kaos dan training olahraga serta topi menutupi puncak kepalanya.

'Nanti aku akan memakai ini, bagaimana menurutmu?'

Kuketik balasan, 'cute.'

Aku mendongak, melirik ujung jalan untuk memastikan bus, namun belum juga terlihat.

"Jingga, tumben naik bus?" Sandra menyembul dari jendela mobil, Antara menepikan kendaraannya.

"Ingin menikmati suasana bus saja, Dra," dalihku, enggan jujur. Aku tak mau merusak suasana mereka dengan hadir di sela-sela kebersamaan sepasang kekasih. Aku terlalu baik menjadi pengganggu.

Sandra malah turun dan menarik tanganku, "aku tahu kau tak suka gerah ketika naik bus, pasti mobilmu ada masalah. Bareng aku saja."

Aku bersikeras menolak, "tidak perlu, Dra." Aku melirik bus yang menepi, "nah, itu busnya, aku naik bus saja, thanks buat tawaranmu." Aku berlari-lari kecil dan segera masuk ke bus dengan napas besar-besar. Untung saja bus datang tepat waktu, jika tidak..., aku tak bisa membayangkan berada dalam mobil Antara yang ada Sandra di dalamnya lalu aku jadi obat nyamuk. Oh, NO! itu pasti buruk sekali.

***

Dengan langkah santai aku memasuki bangunan kantor, melewati pintu masuk dan langsung menuju lift agar sampai di ruangan. Langkahku meragu melihat Antara berdiri dengan tegap di tengah-tengah kamar lift. Kutahan napasku, mencoba bersikap biasa dan masuk. Begitu aku berdiri membelakangi Antara, lelaki itu memencet tombol lift. Mataku melirik digit yang ditujunya. Apa?! Lantai 20? Bukankah ruangannya ada di lantai 3? Apa dia pindah ruangan? Kugigit bibir bawah, hatiku ketar-ketir. Di dalam lift ini hanya ada aku dan dia.

"Ruanganmu pindah di lantai 20, Tara?" aku mengurangi grogi dengan bertanya, sikap Antara membuatku tak betah untuk menahan diri.

"Tidak," singkat dan datar.

"Lalu?"

Hening. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Antara terdengar bergeser atau maju? Entahlah. Kupikir, leherku tak memiliki sendi lagi karena aku tak bisa memutarnya untuk melihat detail keberadaan Antara. Jadi, kuputuskan untuk diam, mengepalkan tangan kalau dia berani macam-macam. Oh, sial, aku sudah jadi paranoid.

"Aku sudah pernah berkata, aku tak akan pernah menganggap keberadaanmu. Jadi, diam dan tunggu lift ini sampai di lantai 20." Kalimatnya sadis, berhasil mencederai hatiku. Aku meringis, berusaha merespon dengan wajar.

"Maaf." Kataku singkat dan aku bisa merasakan suaraku membeku di ujung tenggorokan. Kuputuskan untuk diam dan menghitung mundur.

5... 4... 3... 2... 1...

Lift terbuka dan Antara benar-benar pergi tanpa memandangku. Aku seperti makhluk tak kasat mata. Tapi, daripada ia berbicara memang lebih baik dia diam. Ketika Antara berbicara, entah berniat atau tidak, ia selalu menyinggung perasaan.

'Tak apa, Jingga,' sisi hatiku yang bijak menasehati, 'tanpanya kau akan baik-baik saja. Bukankah kau sudah memutuskan bahwa pria seperti Antara, lelaki yang memiliki jabatan, uang dan kesempurnaan fisik hanya bisa menyakiti wanita. tak usah jauh-jauh contohnya, ibumu dan yang mencampakkannya... ayahmu.'

Aku mengambil napas  kemudian memencet digit 5 agar bisa sampai ke ruanganku. Aku akan bekerja lebih keras dan fokus hari ini agar bisa pulang menemui ibu secepatnya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro