Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Kakek Antara

Aku berhenti di basement menara saidah. Menara yang tak pernah digunakan sejak beberapa tahun lalu dan terlihat seram. Setelah memutarinya, aku baru melihat Maria di dekat tangga. Mobilnya ada di sisi kanannya sejauh 10 m. setelah memastikan keadaan lengang, aku bergegas keluar dari mobil. Tanpa ragu kuhampiri Maria, wanita itu berdiri dan menatapku tanpa kedip. Bibirnya tertarik ke atas, kentara sekali sedang meremehkanku.

"Kau membuatku menunggu," katanya ketika kami berjarak beberapa depa, "tidak bisakah kau menghargai waktu yang sudah kuluangkan?"

Aku hanya melihatnya tanpa berniat menyahut karena jika aku merespon ucapannya, bukan hanya mulutku yang berbicara. Bisa jadi, alat gerakku melakukan hal yang sudah sangat kuinginkan sedari tadi; menghajarnya.

"Kenapa? Kau terlihat menakutkan sekali...." Maria begitu santai, matanya mengedip dan bibirnya masih membingkai senyum.

"Di mana Sandra? Jangan sok berbasa-basi, hubungan kita tak sebaik itu." Balasku, aku mengamati tiap ekspresi mencurigakan Maria. Dia terlalu munafik sehingga aku tak bisa menebak apa ia tengah jujur atau mengibuliku.

"Bukankah kau punya hubungan dengan Antara? Yah, walau dia hanya memanfaatkanmu." Lanjutnya membuat gigi gerahamku merapat.

"Memang apa urusanmu? Bukankah Sandra anak tirimu, tapi kau sendiri memanfaatkannya. Jangan buat standar ganda yang bisa membuatku muntah di depanmu." Aku berbicara tanpa menghiraukan fakta bahwa dia lebih tua dariku dimana aku harus punya sikap menghormati. Aku bukan tipe penjilat, yang akan menyanjung orang jika ada mau atau pura-pura manis.

"Langsung saja pada inti barter kita," sergah Maria, senyumnya Nampak bengis. Aku bisa merasai dua lututku bergetar karena auranya yang mengerikan. Melewati waktu bersama Maria seperti menikmati adegan horror di film-film pembunuhan. "Mana rekaman itu?"

Kukepalkan tangan agar tak terlihat gemetar, mengambil napas panjang-panjang karena paru-paruku mendadak sesak, "ini," kuacungkan handphone Mandala dan mencoba tersenyum kecil, "di mana Sandra?"

Maria mencoba meraih handphone yang kupegang, namun keburu kuayunkan dan ia hanya bisa menangkap udara, "sudah kubilang, mana Sandra?"

Wanita itu mendengus sinis, telunjuknya mengacung ke arah utara dan Sandra terborgol di besi tangga, mulutnya dilakban, hanya matanya yang mengajakku berkomunikasi. Meski tak terlalu jelas apa maksud tatapannya.

"Kau memborgolnya?" desisku tak percaya. "Apa yang kaurencanakan?"

"Agar kau tak mempermainkan kesepakatan kita," Maria tertawa pelan dan pendek sebelum mulai berbicara lagi, "buktikan bahwa rekaman itu ada di handphone itu."

Bibirku mau tak mau tertarik ke atas, aku menggeleng sejenak hingga kuputuskan untuk memutar rekaman, "puas?" tanyaku setelah selesai memutar sepertiga dari rekaman. Alis Maria bergerak ke atas sementara cuping hidungnya mengecil.

"Kunci borgol ada di dalam mobil," jelasnya sambil memasang wajah keras. Aku mengernyit. Timbul banyak pertanyaan dalam benakku. Kenapa diletakkan dalam mobil? Kenapa tidak dia kantongi? Terlebih, apa yang tengah iarencanakan?

"Lempar handphone itu ke sini dan aku akan segera pergi," lanjutnya dan membuat keraguanku makin membesar.

"Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang meletakkan kuncinya di sana?" aku meradang melihat mobil ada di bagian kanan basement. Itu mobil siapa?

"Coba buktikan kalau kau tak percaya. Kuletakkan kunci itu di kursi pengemudi," nada Maria terasa melunak. Aku mundur dan mengintip keberadaan kunci seperti yang dijelaskan Maria. Tepat seperti yang iakatakan. Kunci itu tergeletak di kursi pengemudi, napasku yang semula berat kini lega.

"Baiklah, kurasa barter kita akan berhasil." Kataku bersiap melempar handphone. Namun terhentikan karena ada sosok yang amat kukenal muncul. Matanya terarah pada Maria. Sulit sekali kutebak ekspresinya. Ia seperti bahagia, terharu dan sedih. Mamaku, dia tiba-tiba datang dan menghentikan pertukaranku dengan Maria.

Mata Maria tak kalah terkejut. Dia menelan ludah dengan kesulitan, dua tangannya bertautan dan diremas-remas. Maria bisa terlihat grogi? Aneh.

Mama berhenti. Kami seperti berkumpul pada titik segitiga sama sisi di mana aku ada di salah satu sudutnya.

"Kak Maria...," Mama menyapanya seiring dengan matanya yang memerah dan bibirnya bergetar karena menahan ledakan tangis.

Maria memandangku dengan dengki. Sudut bibirnya menegang dan matanya seperti hendak menusuk jantung. Lagi-lagi Mama mengalihkan kekakuan dan sikap bermusuhan kami. Mama hendak menghambur dan memeluk Maria, tapi terhenti karena Maria meneriakinya dan menyuruhnya berhenti. Akhirnya, ia tak bergerak sementara dua matanya menatap penuh keheranan pada Maria lalu padaku.

Aku bahkan tak menyiapkan alibi ketika mata yang begitu tulus itu menanyakan hal tak beres yang kami lakukan di sini. Tak lama dari sikap konyolku, terdengar hentakan kaki Sandra. Mama menoleh dan alisnya bertaut.

"Ya, aku menculik dan melakukan penukaran yang lebih bermanfaat," tanpa diminta Maria bersuara. Cukup lantang walau kudengar suaranya bergetar.

"Apa... apa...," mama tersendat-sendat sementara ia melirikku, "apa kau masih menganggapku saudaramu?"

Di antara banyak hal buruk yang telah tercipta, di antara sebutan yang pernah diteriakkan mama saat kambuh, pertanyaan Mama begitu sederhana. Saking sederhananya, Maria terdiam lama, hanya bola matanya yang memutar dan bibirnya mengerucut lalu menipis.

"Setelah apa yang kaulakukan padaku, kau masih bertanya seperti itu?" Maria mendengus muak. Mama mencoba mendekat dan lagi-lagi dihentikan Maria.

"Aku-aku... sungguh-sungguh tak merencanakan itu. Sungguh...." Jelas mama, airmatanya menitik pelan.

"Apa? Tak merencanakan? Bukankah kita sama-sama tahu, kau menyukai suamiku kemudian saat dia lengah kau menggodanya dan kau membuatnya merasa bersalah hingga ingin melenyapkanku lalu menikahimu? Kau lupa itu?"

"Hei, kau tentu tak lupa bahwa kau pernah menyuruh orang-orang brengsek itu melakukan hal bejat pada mamaku?" teriakku mulai emosi. Aku tak bisa membiarkan Maria menyudutkan mamaku.

"Tahu apa kau masalah itu?" tegasnya sambil menatapku dengan wajah dingin. mama menatapku, meminta agar aku diam. Kalimat yang sudah di ujung lidah kembali kutelan dan akhirnya kuputuskan untuk jadi pendengar saja.

"Aku hanya ingin bertanya, apa kau masih menganggapku saudara?" bibir mama rapat dan bergetar. Ia terlihat menahan emosi. Tanpa sadar, aku melangkah mendekatinya. "Berhenti di situ, Jingga."

Ototku mengejang. Selain memaksaku untuk diam dan tak ikut campur, Mama juga menghindariku.

"Tidak." Maria berbicara tanpa ragu, tapi matanya mengedip sayu. Dalam waktu beberapa detik aku melihat wajah bersalahnya. "Kita hanya lahir dari rahim ibu yang sama, tapi kau mengkhianatiku. Aku tak sudi mengakuimu sebagai keluarga."

Dua tangan mama terkepal, ia menunduk sejenak. "Baiklah, sekarang jelas siapa yang kuhadapi." Ia memutar tubuh lalu menuju mobil. Aku mengamatinya dengan kaku sementara Sandra yang ada di bawah tangga menghentak-hentakkan kakinya. Aku melongok, mencoba memahami isyaratnya.

"Ilana!" Maria menjerit dan aku mengalihkan pandangan, menuju mamaku lagi.

Jilatan api memanjang diringi suara dentuman mobil menggema, memenuhi basement dan tubuh mama terpelanting jauh. Dua lututku gemetaran. Aku terkena imbas ledakan, tubuhku jatuh di tanah.

"Mama...," kakiku berhasil mengambil kendali. Aku tak peduli alat gerakku yang gemetaran. Dengan tergopoh-gopoh aku menuju tubuh mama yang kini terbujur di tanah. Matanya terpejam sementara beberapa jelaga hitam dan luka bakar memenuhi tangan, kaki dan sebagian wajahnya. Radiasi panas dari mobil yang terbakar seperti memanggang punggungku yang membelakangi.

Aku segera membopong tubuh mama dengan susah payah. "Ma, sadar, Ma... mamaa...." Sambil berjalan dengan tertatih-tatih, airmataku menetes. Kumasukkan tubuh mama yang lumayan berat dan dalam keadaan tak sadar dalam mobil. Melirik mobil Maria yang berdiri kaku di tempat, aku menduga dia sudah bertransformasi menjadi patung. Seketika itu, aku teringat Sandra. Kuraih handphone di kantong jaket dan mendial nomer Antara. Begitu diangkat, tanpa basa-basi aku langsung mengatakan posisi dan segera mematikan panggilan.

Aku segera menuju kursi kemudi, menutup pintu, menstart mobil dan melaju menuju jalan raya menuju rumah sakit. Aku tak boleh terlambat!

Sepanjang jalan, aku menahan diri untuk tidak menangis. Ketakutanku dini hari tadi membayangiku. Aku masih ingat tubuh Mandala yang berlumuran darah dan siang ini aku melihat tubuh Mama terpelanting dan tak sadarkan diri. Dalam waktu sehari, sudah ada dua nyawa yang coba dicelakai Maria. Dia itu manusia atau iblis?

Baru saja aku memaki Maria, ponselku lagi-lagi berdering. Kali ini dari papa. Segera kuangkat.

"Katakan kau di mana?"

"Menuju rumah sakit." Setelah kukatakan di mana rumah sakit tujuanku dan keadaan mama, aku mengambil napas dan menekan tombol merah untuk mengakhiri percakapan.

***

Aku duduk di kursi yang ada di samping pintu ruang IGD. Semua salahku. Kenapa aku tak memastikan keadaan mama sebelum pergi? Aku sangat ceroboh. Nyawa mama kupertaruhkan dan semua ini seperti mimpi.

Aku kurang memperhitungkan langkah, terlalu bernafsu untuk membebaskan Sandra hingga menyeret orang yang kusayangi dan membuatnya jadi korban kekejaman Maria.

"Jingga!"

Itu suara Sandra. Ia muncul bersama Antara. Kulihat pakaiannya kusut dan lusuh. Ia memelukku dan menangis. Pakaian yang kukenakan basah terkena airmatanya.

"Hei. Tenanglah. Semua baik-baik saja, semoga." Kataku sok tegar. Padahal rasanya aku sudah ingin meraung-raung karena keadaan mamaku yang sejak tadi hingga masuk di IGD tak sadarkan diri.

"Maafkan aku... maafkan aku, Jingga. Karena aku ibumu jadi korban. Aku sungguh tak ingin-"

Kutepuk bahu Sandra. "Kau harus lihat keadaanmu, Sandra." Kutatap Antara, kepalaku mengangguk kemudian Antara mengajak Sandra pergi.

"Tunggu sebentar, aku akan mengantar Sandra agar mendapat perawatan intensif." Kata Antara sebelum meninggalkanku. Kupandangi punggungnya yang bidang dan tangannya merangkul Sandra. Tak sadar aku mendesah.

Ya Allah, kenapa hidupku sekarang rumit sekali?

Tak berapa lama dari kepergian Antara, papa datang. Ia tak sendirian. Ada beberapa orang berkulit sedikit gelap dan berwajah tirus. Dari logat dan gaya berpakaiannya, ia terlihat asing.

"Papa!" teriakku dan langsung memeluknya. Papa membalas pelukanku dan bertanya tentang apa yang terjadi. Dia juga meminta maaf datang terlambat karena baru pulang kampanye di Cirebon. Beruntung ia membawa helicopter sehingga tak menghambat perjalanannya atau membuatnya sampai rumah sakit lebih lama.

Setelah mendengar ceritaku, Papa hanya diam. Ekspresinya tak bisa kutangkap.

"Maaf untuk keteledoranku, Pa." takut-takut, aku meremas-remas jemariku. Papa hanya menghela napas panjang, tak mengeluarkan suara sama sekali.

"Aku tahu, aku sok-sokan dan begini akibatnya." Lanjutku masih tak berani memandang papa. Papa dibesarkan dalam militer. Kesalahan sekecil apapun harus mendapat konsekuensi apalagi ini melibatkan nyawa. Nyawa mamaku.

"Apa begitu sulit kau bercerita padaku, Jingga? Pada ayahmu sendiri?" Tanya papa membuat ulu hatiku seperti dicabik. Aku tak tahu apa yang menyebabkannya sakit, hanya saja pertanyaan papa terasa menohokku, "apa aku tak pantas kauajak bicara?"

Aku memegang tangannya, "bukan seperti itu, Pa. sungguh...."

"Apakah kau tak mempercayai ayahmu sendiri?" ia makin menyudutkanku dan aku menggeleng. Airmata yang sejak tadi kutahan kini tumpah.

"Kupikir... masalah Papa terlalu berat. Aku tak mau membebani Papa." Jawabku di antara isak tangis. "Aku hanya ingin menyelesaikannya sendiri dan tak mau melibatkan Papa dalam masalah ini."

Papa melepas tanganku yang menyentuh punggung tangannya. Ia mengambil ponsel di saku baju safarinya kemudian menghubungi seseorang. "selidiki basement Menara Saidah." Begitu ucapnya dan ia langsung pergi meninggalkanku, tanpa menunggu dokter keluar dan mendengar keadaan mama.

Sekali dalam hidupku, papa marah. Amat sangat marah sekali. Padaku.

***

"Ini," sebatang cokelat diberikan Antara padaku, membuatku bertanya-tanya apa maksudnya. Tak menghiraukan pemberiannya, aku menghempaskan bahuku di punggung kursi lalu menarik napas dan membuangnya dengan pelan. Mataku terpejam.

"Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan," kata Antara menyela keheningan yang sengaja kuciptakan.

"Diamlah, aku tak butuh nasehatmu." Potongku, terkesan sadis dan tak mau dibantah. Bukan bersikap kasar, hanya saja aku harus menenangkan diri karena emosiku sedang kacau. Aku tak mau Antara merecokiku dengan nasehat gratis yang super panjang, yang siap membuat telingaku panas dan otakku mengepul. Aku hanya butuh ketenangan, pikiranku terasa mendidih, aku tak tahu kapan kepalaku meledak karena tak mampu lagi menahan beban.

Antara diam, tak menyelaku lagi dan aku cukup berterima kasih karena dia menuruti permintaanku, atau oh... mungkin dia menyebut itu sebagai perintah.

Rasa tak enak menggerogotiku. Aku menuntut privasiku namun aku juga tak berhak memutilasi hak Antara untuk membuktikan bahwa dia selalu ada untukku. Hah, dia pasti tahu maksudku menyuruhku diam.

Aku membuka mata dan menoleh. Saat itulah tarikan magis menghantam batok kepalaku. Betapa mata itu sangat tulus dan menenangkan. "apa aku orang yang egois?"

"Lebih egois aku," sahutnya santai dan rileks. Antara ikut mereahkan bahu di kursi dan miring. Ia menatapku tanpa kesip, "ada apa?"

Aku menggeleng, "hanya berpikir bahwa aku selalu membahayakan nyawa orang lain. Terlalu ceroboh. Tidak berpikir sehat dan konyol." Ingat desakanku pada Mandala agar membawaku menuju tempat persembunyian Maria hingga membuat Mandala tertembak. Lalu, kesepakatanku dengan Maria di Menara Saidah dan yang kudapati, mamaku dalam kondisi kritis terkena bom yang dipasang Maria dalam mobil dan bom itu meledak ketika pintu mobil terbuka.

"Apapun yang kau lakukan, kau pasti akan mengecewakan seseorang tapi aku bisa pastikan bahwa kau tak mengecewakan orang yang salah." Antara menggenggam tanganku, alisku bertaut mendengar ucapannya, "jika masalah itu diselidiki polisi dan Maria dinyatakan bersalah, dia tak akan bebas, Jingga."

"Tapi aku tak suka mencelakakan orang yang menyayangiku dan aku tak bisa melihat papaku marah...," aku meremas tangan Antara, terlalu takut menjelaskan detail-detail ketakutanku.

"Dalam permainan catur saja, ada pion yang harus dikorbankan." Antara menggiringku agar rebah di dadanya. Aku mematuhi ajakan eksplisitnya dan kudengar detak jantungnya yang ramah. "berdoa saja, Ji. Semoga mama ataupun Mandala bisa melewati masa kritisnya."

"Jika tidak?" aku bergidik ngeri.

"Selalu ada rahasia yang dipersiapkan Tuhan untuk kita." Antara menenangkan, pertama kali aku memejamkan mata setelah merasa tenang, bukan memejamkan mata untuk mencari ketenangan. Kalimat Antara mirip sihir. Biasa saja, tapi mengandung hal ajaib yang membuat sesuatu dalam diriku berpiki positif. Yah, selain berdoa apa yang bisa kulakukan?

"Antara...."

"Hm," ia menggumam dan entah kenapa, nadanya mirip music klasik yang diputar pndek dan membuat penasaran.

"Thanks."

"Terima kasih? Untuk apa?" ia malah bertanya.

Aku mendongak, "sudah bersikap seperti kakek-kakek padaku." Antara menggeleng dan menyentil hidungku.

"Ini nasehat kakek yang tak gratis, kau tahu." Balasnya tak mau kalah.

"Aku mau membayarnya." Kataku seperti gumaman. Kueratkan pelukanku dan mencoba memejamkan mata untuk tidur.

Hubunganku dengan Antara selalu naik turun. Kadang, aku seperti diangkat ke langit untuk menikmati mayapada atau gemintang yang berpijar di angkasa sana, melihat betapa indah sekelilingku. Bersamanya. Namun, kadang dia menghempaskanku kuat-kuat ke bumi. Di mana hempasannya terasa meretakkan tulang-tulangku. Aku seperti hancur.

Lalu, lagi-lagi dia datang dan membuatku seperti perawan yang jatuh cinta pertama kali. Sungguh, dia terlalu ahli membolak-balikkan hatiku. Merasa dan selalu berpikir sedang kasmaran tanpa tahu ujungnya.

Ini menyenangkan, juga menakutkan. Menakutkan karena tiba-tiba aku berpikir untuk tak meninggalkannya, apapun alasannya. Apa Antara juga pernah berpikir seperti aku memikirkannya?

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro