11. Rencana
Aku melompat ke arah Mandala dan langsung ditangkap olehnya lalu buru-buru menarik Mandala menuju mobil. Begitu masuk dan Mandala menghidupkan mesin mobilnya, aku memintanya membawaku ke markas Maria.
"Kau gila! Tidak, kita tak akan kesana. Tak akan pernah."
Aku menatap Mandala, "apa kau memintaku menjadi orang egois? Dengar, ada seseorang yang tak bersalah yang ia sekap hanya untuk menuntaskan ambisi picik Maria. Kau pikir, aku akan tenang saat ada seorang gadis yang jadi korban hanya untukku?" aku marah dan Mandala menautkan alisnya, sepertinya ia memintaku untuk menjelaskan secara rinci.
"Adik Antara, dia disekap Maria. Ini yang membuat Antara menculikku. Kau tahu, Maria meminta Antara untuk meniduriku lalu menyebarkan berita hamil di luar nikah, ia ingin karier politik ayah bisa dijegal. Aku tak mungkin membiarkan Sandra jadi korban dendam antara ayahkku dan Maria. Jadi, Mandala, bawa aku ke sana. Aku tak peduli bahaya sebesar apa yang akan kudapatkan, yang jelas, aku harus menyelamatkan dia." Kataku berapi-api, aku harus bisa memaksa Mandala mengikuti keinginanku.
"Dan..." nada Mandala ragu, ia membelok ke kanan, "apa Antara sudah menidurimu?" aku menangkap kesan bahwa Mandala menyetujui ide tidur bersama. Dan ia terdengar tak keberatan jika aku melakukannya dengan Antara. Dipikirnya, cinta itu hanya urusan menyatukan tubuh?
Aku tertawa sarkatis. "Kaukira, cinta Antara serendah itu untukku. Jika Antara mau melindungiku, aku akan melindunginya, termasuk melindungi adiknya. Ini hanya masalah keluargaku dan Maria tapi wanita sadis itu memanfaatkan Sandra, anak tirinya." Jelasku dan Mandala menyeringai kecil.
"Kau terdengar seperti Pak Ray." Celoteh Mandala dan menambah kecepatan mobilnya. "aku pernah melacak markasnya untuk mengetahui keberadaanmu. Coba kita ke sana, semoga belum terlambat."
"Terlambat?" suaraku tercekat. Aku mulai membayangkan gadis seceria dan sebaik Sandra disiksa Maria. Bayangannya saat berjalan dengan Antara, saat aku cemburu melihat kedekatan mereka, saat aku menuduh Antara taken dengannya, kemudian diganti wajah muram Sandra... ya Ampun, jangan sampai. Aku tak bisa memaafkan diriku kalau terjadi sesuatu pada Sandra.
"Mandala, lebih cepat!" Perintahku meremas belt yang menyilang di tubuhku. Mandala mengangguk kemudian mengikuti intruksiku.
Hanya butuh seperempat jam, Mandala membawaku ke rumah mewah yang ada di pinggiran Jakarta Timur. Warnanya abu gelap, dengan kusen-kusen berwarna cokelat gelap, sebuah perpaduan warna yang menyakiti mata dan suram sekali. Beberapa cat dindingnya juga sudah terkelupas dan meninggalkan warna pudar yang menandakan bahwa rumah itu lama tak dihuni. Kalau dilihat-lihat, rumah itu terkesan gothic.
"Ini rumahnya?"
"Ini juga rumah kakek dan nenekmu-almarhum-maksudku." Lanjutnya sambil menarikku untuk mengendap-endap di pagar kawat yang memutari rumahnya.
"Tunggu, kakekku?" aku termangu, memandang rumah itu lagi lalu menggersah. "Bagaimana bisa ditempati Maria? Bahkan digunakan menyekap orang? Dia tidak malu?!"
"Berhenti mengomel!" Mandala menyalakan rokoknya. Dari gelagatnya, aku tahu dia sedang tertekan. Ia menyedot rokoknya dengan tenang atau pura-pura tenang. "Lihat," jarinya menunjuk pada 4 orang penjaga yang siaga. "Kita akan coba lewat samping, di sana ada lorong yang menghubungkan ke ruang dapur." Mandala menatapku lalu menginjak putung rokok yang masih panjang di tanah. Aku mengernyit. Kenapa Mandala bisa paham seluk beluk rumah kakekku? Aku sendiri yang notabenenya sebagai cucu kandung, tak tahu adanya rumah ini. Bahkan orang tuaku tidak sekalipun mengajakku ke sini. Mandala tak berbohong, kan? Ish, pikiran apa ini? Kalau Mandala adalah salah satu kaki tangan Maria, kenapa dia repot-repot masuk rumah Antara dan menyelamatkanku? Ck, aku sudah paranoid sekali.
Kami akhirnya mengendap-endap agar tak terlihat penjaga. Mandala mengungkit daun pintu dan ruangan warna putih pucat nampak di mataku. Beberapa peralatan dapur yang masih bagus teronggok di sana, sebagaian kotor karena sawang dan debu. Aku memekik karena di bawah kakiku ada tikus. Tahu keadaan, Mandala membekap mulutku lalu menyeret masuk lebih dalam.
Setelah dari dapur, kami memutar langkah menuju ruang yang cukup gelap karena lampu hanya berasal dari luar dan masuk lewat celah-celah kusen. Ada rasa ngeri menjalari tubuhku, ditambah udara lembab yang membuatku tak nyaman. Dengan susah payah aku berkonsentrasi, tak mau terlihat penakut di mata Mandala.
Mandala berhenti di depan ruangan yang pintunya terdapat ukiran naga. Aku meliriknya. Jarinya bergerak dan menekan. "Kosong!" katanya setelah mengamati ruangan. Aku mengangguk dan hendak mencari ruangan lain untuk diselidiki hingga tepuk tangan bergema. Seolah ruangan rumah ini digunakan untuk memantulkan tepuk tangan itu.
"Kamu berani ya sampai sini?" tahu-tahu Maria sudah bersedekap, di belakangnya ada banyak pengawal. "Mandala, Mandala..., mau sampai kapan kau mengkhianatiku? Ibu kandungmu sendiri?"
Aku menatap Mandala yang tegang di sampingku. Ia maju beberapa langkah. Mandala anak kandung Maria? Dengan siapa? Tiba-tiba peluh dingin mengalir, aku mencium hawa kebencian luar biasa dari diri Mandala.
"Ibu kandung," ia mencemooh, "apa saat ini kau pantas disebut ibu setelah kau meracuni 15 tahun hidupku dengan kebencian dan hampir saja aku membunuh ayahku-yang ternyata-tak bersalah apa-apa? Kau wanita manipulatif! Jika boleh mengubah keadaan, aku tak mau dilahirkan dari rahim wanita menjijikkan sepertimu." Great! Mandala memang seorang pemberani. Dia bahkan bisa membuat wajah santai Maria berubah marah.
"Wow, betapa hebat kosakatamu sekarang!" Maria berdecak sarkatis, ia memainkan telunjuk dan salah satu pengawalnya maju. "Raymizard berhak mendapatkan kematiannya, setidaknya kematian pelan-pelan... dia tak pantas kau sebut ayah."
Hah? Aku melongo. Rahangku seperti jatuh di lantai dengan kuat-kuat. "Mandala...," cicitku lemah, aku menggeleng dan menahan aimata sekuat yang kubisa, "kau-"
"Iya." Mandala tak menoleh, hanya menyahut dengan suara beku yang menyesakkan. Aku meremas tepian kaos yang kupakai.
"Kau kaget? Kau baru tahu betapa brengseknya ayahmu, Gadis Murahan?" Ejek Maria diiringi seringaian jahat. Aku akan mencekik Maria! Aku akan mencekiknya, sekarang juga! Kakiku sudah membawa tubuhku maju namun langkahku yang mantap dan penuh kebencian tertahan Mandala. Ia memegangi lenganku dengan erat. Kulihat mata hitamnya yang terluka dan sesuatu yang tak kasat mata meremukkan hatiku. Mandala... dia adalah kakakku?
"Setelah menikahiku, ayahmu memperkosa iparnya-ibumu sendiri-Jingga. Ia juga mencelakakan aku dan membuat berita seolah aku sudah mati. Kau tahu, betapa sakitnya aku? Aku harus menanggung penderitaan dalam keadaan hamil. Bayangkan, orang yang kaucintai tega melakukan hal keji padamu. Apa kau bisa merasakan sakitnya?" ia kini mengalihkan pandang dan fokus pada Mandala, "Itulah orang yang selama ini kau bela Mandala," mata Maria kejam, aku bisa pastikan jika mata itu tersusun dari jarum, salah satu jarum pasti sudah menembus kulit kami.
"Tapi kau berselingkuh!" teriakku emosi, aku tak bisa mendengar orang lain menghina ayahku. Dia bisa menghinaku sepuasnya, menyebutku wanita murahan, tapi ia tak boleh menghakimi ayahku seburuk itu! "Dengan Douglas! Ayah Antara!"
Alis Maria bertaut kecil, lalu ia tertawa hingga tubuhnya berguncang-guncang, "kau percaya omong kosongnya?" sebuah cibiran dari mulutnya terdengar dan amarahku semakin mendidih, "aku dijebak. Aku tak pernah selingkuh. Tak pernah sekalipun mengkhianati Raymizard, tapi dia yang mengkhianatiku dengan saudaraku sendiri. Kau pikir itu hal menyenangkan? Kau pikir aku akan baik-baik saja setelah dicampakkan dengan kejam? Tidak. Aku butuh pembalasan agar dia tahu bagaimana rasa sakitnya."
Aku tak akan mempercayai ucapan Maria, tak akan pernah. "Kusarankan kau masuk rumah sakit jiwa sebelum kau membunuh dirimu sendiri."
Ia menatapku tak percaya. Wajahnya yang sok polos justru mengundangku untuk menampar, "aku gila? Bukankah itu ibumu? Jingga..., kau sudah dibohongi Raymizard. Kasihan sekali."
Mandala menatapku dengan sayu. Ada banyak hal yang iasembunyikan dari tatapannya. Tapi aku sudah tahu maksudnya berdiam diri. Bahwa aku harus percaya ayahku. Keoptimisanku bangkit, aku mengangguk mantap. Detik berikutnya, Mandala langsung menyerang pengawal Maria.
"Jingga! Cepat cari keberadaan Sandra!" Mandala berteriak sambil terus menghajar pesuruh Maria. Aku melesat menuju ruang yang bisa dijadikan tempat penyekapan, tapi langkahku berhenti di ujung tangga karena suara tembakan. Begitu aku membalik tubuh, saat itulah tubuh Mandala roboh.
Kemejanya yang berwarna cokelat muda sekarang berwarna merah di bagian perut. Ia memegangi luka tembak sambil meringis nyeri. Ini mimpi kan? Aku sedang bermimpi! Please, aku mau bangun dari tidur. Aku tidak mau bermimpi semenakutkan ini.
Jantungku terasa sakit. "Mandala...," sendi-sendiku jadi kaku, ubun-ubunku terasa panas dan kepalaku seperti mau meledak. Aku menggeleng, kuseka airmata yang memburamkan penglihatan. Mandala tak bergerak dari lantai. Wajahnya sekarang pucat dan ia meringis menahan sakit.
"Lari, Jingga. Lari...," gumamannya begitu lirih.
Airmataku menetes lagi. Bukannya menuruti ia, aku malah menghampirinya. "Kak," panggilku, menyadari bahwa ia dalam kondisi kritis, tangannya menggapai wajahku tapi karena lemah, aku segera menangkapnya dan meletakkannya di pipiku.
"Aku senang sekali kau akhirnya memanggilku kakak." Senyumnya getir. Aku tak peduli lagi pada keberadaan Maria dan pesuruhnya yang kabur. Bukankah Mandala putranya? Kenapa dia tega meninggalkan Mandala? Kenapa dia menembak Mandala-putranya sendiri? Ini benar-benar tak bisa dipercaya dan sulit dimaafkan. Seekor serigala akan melindungi anaknya sementara Maria? Dia manusia, tapi perasaannya kalah dengan insting hewan predator. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidup Mandala selama ini. Kukecup punggung tangan Mandala, bersamaan dengan airmata yang menetes dan mengalir di tangan Mandala.
"Jingga... adikku.... Dari dulu aku ingin mendengarmu memanggilku kakak. Rasanya, aku rela mempertaruhkan nyawaku untuk hal ini. Aku sungguh bahagia." Tangannya makin dingin bergerak meremas dengan lemah.
"Aku akan selalu memanggilmu begitu." Kataku menhan sesak yang tiba-tiba membuatku kesulitan bernapas, sesak yang membuat mataku memanas dan airmata mengalir. "Bertahanlah, Kak. Aku akan mencarikanmu kendaraan." Aku mencoba mengajaknya bangkit.
"Tidak." Larangnya, jantungku makin ngilu seperti diremas-remas mendengar penolakannya.
"Aku masih ingin memanggilmu kakak, bertahanlah! Jangan menyerah!" teriakku penuh emosi. Mandala hanya membalasku dengan senyum.
"Jingga, kau tahu, dulu-saat kita masih SMP-aku mendekatimu karena termakan ucapan ibuku." katanya dengan mata terluka, "aku sangat kecewa pada diriku dan pada ibuku. Seandainya dia mau berubah, aku mau memaafkannya bahkan jika Papa menolaknya, aku bersedia berlutut di kaki papa agar menerima permohonan maafnya. Tapi," senyumnya miris, "dia bahkan yang mengacungkan pistol padaku..." Mandala terbatuk.
"Kak, berhenti bicara! Aku akan mencarikan kendaraan!"
Lagi-lagi, ia menahanku.
"Jaga dirimu, sampaikan salam hormatku untuk Papa dan bilang pada Antara, jika dia menyakitimu, aku akan bergentayangan untukmu...."
Aku segera merengkuh Mandala dalam pelukan dan terisak-isak di dadanya yang penuh dengan bau anyir darah. Bagaimana bisa dia merahasiakan hal sebesar ini dariku? Aku mengenalnya sejak berusia 15 tahun dan baru tahu bahwa kami punya ikatan darah di usia 26 tahun. Aku baru mengerti, kenapa kami bisa tetap menjadi sahabat meski sudah putus.
"Kak," suaraku tersendat, "kenapa kau tak bercerita yang sesungguhnya padaku? Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Aku tak mau kau bersedih dan terbebani oleh hal ini, karena aku mencintaimu... Adikku." Kepala Mandala terkulai. Napasnya yang tadi berat dan putus-putus kini mulai melemah. Lalu saat hanya detak jantungku sendiri yang terdengar, aku langsung berteriak.
Ini tak boleh terjadi. Mandala harus bertahan, Mandala tak boleh meninggalkanku dengan cara seperti ini. Aku segera merogoh kantong jaketnya untuk mencari ponsel. Begitu ketemu, ponsel itu masih merekam. Alisku bertaut. Mandala merekam kejadian ini? Bagus, kena kau Maria. Aku tak akan membiarkanmu hidup dengan tenang sementara kau baru saja mencelakakan nyawa anakmu!
Aku menghubungi rumah sakit lalu mengabari papa dan memintanya segera datang. Setelah memberi tahu orang-orang yang kuanggap bisa membantu, aku segera menyimpan ponsel Mandala di celana.
Kulihat lagi Mandala, kulitnya pucat, bau amis menguar dari tubuhnya. Ia diam dan memejamkan mata, "kumohon, jika kau mencintaiku, bertahanlah, Kak...."
***
Tak ada yang kulakukan di ruang tunggu. Mataku terkunci pada ruangan bertuliskan UGD besar-besar. Papa yang melihatku berlumuran darah segera memelukku dan mengajak duduk di kursi tunggu. Ia juga terlihat sangat khawatir. Sedari tadi aku hanya menunduk.
"Pa?"
"Mana Antara?"
Kami berbicara bebarengan dan yang pertama kali ia tanyakan Antara. Bisa nggak papa lebih peduli pada keadaan Mandala?
"Aku sudah tahu." Kataku dengan pelan dan mantap, "semua. Ya, semuanya." Lanjutku kemudian menoleh dan menatapnya. Papa berjengit lalu mengelus bahuku.
"Pernikahanmu yang mendadak dengan Antara...," ia memejamkan mata sejenak, "maaf, hanya itu yang bisa membantumu seandainya Maria keukeuh pada konferensi pers tentang keluarga kita."
Aku yang hendak mengatakan bahwa aku tahu kalau Mandala adalah kakakku hanya ternganga dengan fakta baru lagi: pernikahanku dengan Antara.
"Maksud Papa?"
Ada jeda sejenak, Papa terlihat menenangkan diri, "Aku menikahkanmu dengan Antara, bahkan mungkin kau sudah menandatangani berkas-berkas pernikahan kalian sebelum aku menjelaskan apapun." Papa menjelaskan tanpa berani menatapku.
Sekarang aku bingung, tak paham dengan apa yang dijelaskannya. Jadi, kuputuskan untuk diam, menunggunya melanjutkan pembicaraan.
"Malam itu, usai Maria membawamu pergi, Antara menemuiku dan menjelaskan duduk persoalannya." Napas papa berat, berkali-kali ia menjeda kalimat, "hanya satu penyelesaian, mengurus surat-surat pernikahan agar saat Maria membeberkan fitnah, kita punya bukti akurat yang bisa menyeret Maria dalam kasus pencemaran nama baik."
Jadi, Antara yang sudah tertekan dengan keadaan Sandra masih sempat memikirkanku? Tak hanya aku tapi keluargaku juga. Betapa baiknya dia.... Lalu kubandingkan dengan kelakuanku. Aku memakinya, menghinanya dan menganggap ia sangat jahat. Kenapa aku tak percaya kata hatiku, malah menuruti logika yang jelas-jelas logika bisa dipoles dengan pencitraan?
"Jadi, secara hukum, aku sudah jadi istri Antara?"
Papa mengangguk lalu hening lagi. aku juga sudah tak berniat membahas jati diri Mandala. Dengan lemah, kusandarkan kepalaku di bahu papa. "Pa, aku lelah... sangat lelah...."
Tangan kanan papa menyentuh bahuku lalu menepuknya. Tak ada yang iakatakan dan aku sangat bersyukur. Aku tak perlu repot-repot merespons. Kupejamkan mataku dan menghela napas panjang.
***
Antara datang saat aku selesai bertanya tentang keadaan Mandala yang telah melewati masa kritis. Aku begitu canggung menyapanya, jadi yang kulakukan adalah pamit pada papa dan meninggalkan Antara tanpa menegurnya.
Aku malu bertemu dia.
Setelah berhasil menghindar, aku memutuskan untuk pulang dan menemani mama. Lama sekali aku tak melihatnya, apa dia masih baik-baik saja atau dia sedang mengamuk? Lagipula, pakaianku sudah kotor dan bau amis. Sungguh, alasan yang brilian untuk menghindari Antara.
Mobil yang berisi dua pengawal dan satu sopir itu membawaku menuju rumah papa. Selama aku pergi, mama tak mendiami apartemennya atau apartemenku, tapi diajak papa tinggal di rumah. Agar mudah berhubungan katanya, mengingat papa sudah disibukkan dengan kampanye di daerah-daerah.
Kakiku baru menapak teras dan dikejutkan dering telpon di kantong celanaku. Ah ya, aku lupa, bukankah ponsel Mandala kubawa? Setengah terkejut, aku mendapat pesan dari nomer baru.
"Mandala, bagaimana keadaanmu?"
Siapa? Apa mungkin keluarga Mandala? Tidak mungkin, papa sedang menungguinya. Apa ini nomer Maria? Aku balik menelpon dan langsung diangkat. Kata halo-nya mengingatkanku pada logat Maria. Aku diam lalu memencet menu handphone dan memutar kejadian yang sempat direkam Mandala. Hanya kuputar sebagian lalu panggilannya kumatikan.
Bibirku menyunggingkan senyum saat melihat layar dan nomer Maria menghubungiku. "Hai, kau berani menghubungiku setelah mencoba mencelakakan kakakku, ya?"
"Apa maumu?" tanyanya dingin.
"Wah, apa kau setakut ini sebelumnya?" ejekku dan aku nyaris melompat-lompat bisa mendengar Maria yang tak bisa berkutik. "Serahkan Sandra padaku atau aku akan menyerahkan rekaman ini pada kejaksaan."
Ia diam. Aku bisa mendengar giginya bergemelutuk atau dengusan sarkatisnya. "Di mana?"
Aku mengatakan tempat yang harus ia datangi dan menentukan waktu untuk bertemu. "Ingat, kalau Sandra terluka sedikit saja, kau harus bertanggung jawab." Setelah mematikan panggilan aku tersenyum. Sebentar lagi, Antara, kau jangan khawatirkan Sandra lagi.
***
Mama memang punya energi luar biasa. Dia tak capek menggelitiku sebagai balasan karena katanya aku anak nakal dan ngambek gara-gara dia membentak Antara. Setelah meminta maaf karena tak mampu mengekang emosinya, mama menghujaniku gelitikkan yang cocok untuk anak kecil.
"Kau ini... kau mau kabur ke mana, Jingga?" mama sudah menarik pinggangku dan membuatku kembali berguling-guling di ranjang untuk menikmati teknik penyerangannya yang aneh ini.
"Ma, Mama jangan curang. Aku minta maaf... aku nggak bermaksud ngambek. Beneran, deh! Hahahaa." Aku berguling-guling ke kanan dan ke kiri untuk menghindari jemari mama yang seperti didesain untuk membuatku tertawa dalam siksaan.
"Lalu apa maksudmu nggak ngasih kabar?" mama tersenyum melihatku menyerah, "kau mau membuat mama khawatir?"
Posisi duduk yang baru saja kudapatkan harus oleng ke kiri. Mama bersiap menggelitiku, tapi aku segera mengangkat tangan ke udara. "Mandala di rumah sakit, Ma... aku menemani dia."
"Mandala?" wajah mama serius, tak ada lagi sorot bercanda. Aku menghembuskan napas dengan lega. Akhirnya, aku bebas dari siksaan. "Dia baik-baik saja, kan?"
"Kondisinya udah nggak kritis lagi," jawabku mencoba menampilkan senyum terbaik. Mama menatapku penuh selidik. "Semoga dia lekas siuman. Oh ya, Mama mau jenguk dia?"
Ia mengangguk, aku hendak bicara lagi tapi ponsel yang teronggok di ujung kakiku berdering. "Ntar, Ma, ada telpon." Aku melihat nomer pemanggil.
Maria.
"Jingga angkat panggilan dulu, ya, Ma..." aku langsung kabur dari kamar mama. Dan begitu pintu kamar tertutup, aku memencet tombol hijau.
"Maria, ada apa? Kita bertemu 3 jam lagi." semburku tanpa mau mendengarnya lagi. ia terkikik sebentar. Jenis suara yang membuatku ingin muntah.
"Sekarang. Basement Menara Saidah." Panggilan langsung diakhiri. Aku merenung sejenak. Aku harus memastikan bahwa Maria sendirian, kalau sampai dia membawa pengawal bodohnya itu, sama saja aku bunuh diri. Atau... bagaimana jika aku memanfaatkan pengawal papa? Ah, tidak... ini tidak boleh melibatkan orang lain. Aku mengetik pesan dengan cepat.
"Tanpa pengawal, Maria. jika tidak, aku bisa melakukan apapun karena rekaman itu."
Pesanku terkirim dan aku tersenyum.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro