Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Gesekan

Tubuhku tegang bukan karena aku marah pada orang asing itu, tapi siaga karena saat itu juga Antara menjauhiku. Aku seperti diperosokkan dalam jurang yang gelap dan berduri. Aku menatap Antara yang sibuk mengancingkan kemejanya. Begitu selesai, ia melihatku. Itu bukan tatapan mata yang kukenal.

"Hei, apa sandiwaraku tadi bagus?" ia berucap sambil menyeringai. Ludah yang kutelan terasa sulit. Ini... apa maksudnya?

"Ya Ampun, Antara! Apa benar dia putri si brengsek itu?" Tanya si wanita dengan pongahnya. Alisku bertaut. Suungguh, aku bingung sekali. "Kenapa sepolos ini?"

"Ma, kautahu dalam bahasa kita polos sama dengan bodoh." Sahut Antara enteng, "Jingga, Jingga... berapa lama sih kita berkenalan?"

Suaraku tercekat, diperparah oleh mataku yang terasa panas. Berulang kali aku memasok udara, namun dadaku masih terasa sesak. "Maria."

"Halo, kau sudah tahu namaku?"

Aku buru-buru mendekat, menghadiahinya tamparan hingga sudut bibirnya berdarah. Maria hanya tersenyum. Dengan cekatan, tangannya berayun dan menjambak rambutku.

"Anak haram, berani-beraninya kamu menamparku... wah, kamu menentang badai rupanya." Ia berkata dengan nada yang paling tidak ingin kudengar. Sok lembut, sejatinya iblis berwujud manusia. Kuludahi wajahnya, membuat ia melepas cengkraman di rambutku lepas. Aku yang terbebas segera menendang tulang keringnya.

"Badai? Lebih dari badai pun akan aku lawan jika wujudnya kamu." Suaraku mengancam, "bagiku, kamu nggak lebih dari sampah."

Maria meringis namun matanya mendelik, menghantarkan kengerian yang menjalar ke sekujur tubuhku. "Antara, rencana B!"

Antara terlihat tegang, sebelum akhirnya ia mengunci dua tanganku ke belakang.

"Lepas!" aku berontak, "Antara, lepas! Brengsek! Kau sama tak bermoralnya!" aku memaki Antara, tak terima karena ternyata ia mengkhianatiku dan lebih memilih bekerja sama dengan ibu tirinya. Apa selama ini Antara memang merencanakan ini semua? Menemuiku di kebun teh, merekomendasikan aku agar diterima di nutrifood, mendekati aku hingga membuatku berpikir bahwa kami saling mencintai. Kugigit bibir bawahku, nyaris menangis jika tak kudengar Maria memberi intruksi pada Antara.

"Lucuti pakaiannya sekarang! Setubuhi dia! Kita lihat sejalang apa dia!"

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku meronta lebih kuat. Yang mengherankan, sekalipun kuncian Antara membahayakan untukku, aku tetap merasa damai di dekatnya. Ya Allah, sadar, Ji, dia sudah berkomplot dengan Maria! Sadar! Kau dalam bahaya! Sel otakku memprotes kebebalanku yang tak ada akhirnya.

"Antara, tolong... jangan lakukan ini." Aku benar-benar menangis. "Antara...."

Sejenak, lengan Antara terasa kaku. Aku sempat melihat keraguan di matanya dan aku tak menyiakan itu. Kakiku melayang di betis dan kugigit tangan Antara. Ia kesakitan lalu melepasku dengan mudah. Aku saja heran, kenapa ia melepasku padahal tenagaku tak seberapa. Di tengah situasi kacau seperti itu, aku segera berlari menuju pintu.

Tubuhku tersentak melihat 4 buah bodyguard Maria mendekat. aku terjungkal dan mundur perlahan dengan menumpukan gerakan pada pantat. Gelenganku lemah. Aku lupa tak membawa handphone. Kulirik Antara, ia diam dalam ekspresi dinginnya. Kemana Antaraku yang dulu? Saat aku dikejar-kejar preman di Ciater, ia bisa kalap padaku bahkan menghajar langsung preman-preman itu. Namun yang sekarang kulihat, lelaki itu tak ubahnya bagai patung, begitu datar, dingin dan kaku. Tak satu pun yang ialakukan untuk menyelamatkanku.

"Lepas pakaiannya dan beritahu ia bagaimana memberi perlawanan lewat tubuh!" hanya intruksi seperti itu, mereka langsung menyekal tubuhku tanpa ragu. Airmata malah mengalir deras. Seharusnya, aku sadar bahwa tak ada seorang pun yang menolongku. Meskipun demikian, aku tak pernah percaya bahwa Antara merencanakan ini. Aku menatap memelas padanya, memohon pada dia untuk menyelamatkanku.

"Antaraaa..." aku terisak dan tak sanggup membayangkan sesuatu yang dialami ibuku juga kualami. Aku tak bisa membiarkan mereka menghancurkan harga diriku. "Antara..., kumohon...."

"STOP IT!" suara Antara menggelegar. Tapi ia masih berdiri kaku, "kalau kita melakukan ini, aku yakin dia akan melaporkan ini ke polisi sebagai kasus pemerkosaan dan opini yang sudah kita bentuk pasti gagal, ada banyak bukti yang ia miliki, Ma. Kita culik saja dia, biar aku yang menyelesaikan tugas terakhir. Orang tak akan percaya dia diperkosa karena banyak yang tahu bahwa kami berpacaran."

Brengsek! alasan Antara membuatku mengutuk dan benar-benar ingin menamparnya. Ia tak hanya melukai harga diriku, tapi merendahkan martabatku dan merencanakan hal buruk untukku.

"Ide bagus, Antara. Bius dan bawa dia." Maria menunjuk pada anak buahnya. Lelaki itu mengeluarkan sapu tangan yang ditetesi obat bius walaupun aku melawannya, aku tak bisa menghentikannya.

"Oke, aku harus menghadap Raymizard dan mengatakan bahwa aku dan dia bertengkar hebat lalu dia meninggalkanku. Nah, aku menemui Raymizard untuk memastikan di mana keberadaannya agar Raymizard tak mencurigaiku." Jelas Antara dan membuat hatiku makin terluka. Aku tak menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta pada lelaki macam dia. "Tunggu aku di basement, jangan lakukan apapun tanpaku." Suaranya pelan, aku memejamkan mata dan terkulai. Namun, ingat bahaya jika aku tertidur, aku kembali membuka mata sekuat yang kubisa. Hingga 30 detik pertahananku berhasil. Sayangnya, tidak di detik berikutnya. Semua terlihat blur lalu gelap memenuhi penglihatanku.

***

Aku terbangun di sebuah ranjang yang berukuran besar dan empuk. Baunya khas Antara, mint segar. Kuambil napas panjang dan meresapi rasa nyaman yang menyentuh hatiku. Seperti ada dalam mimpi, begitu membuka mata, aku bisa mencium aroma Antara.

Tunggu! Antara? Kejadian terakhir di atap apartemen berputar lagi di otakku. Aku mengumpat dan langsung melompat dari ranjang. Tubuhku yang belum bisa menjaga keseimbangan langsung terhuyung-huyung. Tanganku berayun dan memegang pinggiran meja yang ada di samping kiriku.

"Bangun tidur dan kau sudah punya umpatan, Jingga." Antara menyelaku, ia duduk di ranjang sebelah kanan, aku geragapan. Kulihat pakaianku. Huh, masih utuh.

"Kau ingin aku melepas pakaianmu?" kata-katanya nakal, seharusnya aku marah atau tersinggung, tapi kurasakan bulu tengkukku berdiri dan diam-diam menginginkannya.

"Di mana ini?" aku melirik sekitar. Dinding warna kuning gading dengan gorden warna hijau pupus. Aku mengernyit. Ini bukan kamarku pastinya dan jika ini kamar Antara, well, aku belum pernah diajak ke rumahnya. "Kau belum puas melihatku seperti ini?"

"Seperti apa?"

Aku berdecak, mengusap kening yang terasa pusing. "Biarkan aku pergi."

"Di pintu luar kamar ini ada 2 penjaga, di ruang tamu ada 2, di halaman ada 6 dan di gerbang ada 3, kau yakin bisa pergi?" Antara duduk dan menyandarkan bahunya dengan rileks di dashboard ranjang. Ia mengambil remote dan gorden tersibak membuat sinar matahari pagi menghujam masuk melewati kaca.

"Tak usah bicara seolah kau penjahat paling kooperatif dan baik hati. Sial, kenapa aku bisa tertipu denganmu?" aku memutar tubuh dan berjalan menuju pintu.

"Haaa, ini memang kesialan yang menakjubkan!" balasnya lalu memainkan kunci di udara. Sesaat, aku tersadar kalau kunci yang iapegang adalah kunci kamar ini. "Ambil jika kau mau memakainya." Antara mengantongi di celana panjangnya. Ia berdiri dan berjalan menuju kulkas, diambilnya minuman ionik. "Kau mau?"

Aku bersumpah, aku akan menendang bokong lelaki itu! Mengapa Antara bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa semalam? Atau... semalam memang tak terjadi apa-apa?

"Aku ingin pulang." Kataku lirih, kuturunkan gengsiku, aku tahu andai aku membalas Antara dengan sikap tak bersahabat, ia tetap tak akan bermurah hati membiarkan aku pergi. "Aku ingin tahu keadaan ibuku, apa dia baik-baik saja, atau dia sedang berteriak gusar karena aku tak kunjung menemuinya."

Sempat kulihat garis wajah Antara menegang. Ia mendekatiku, aku mundur. Senyumnya mengembang, ia terus maju dan aku mudur, pergerakan kami membuat bahuku menyentuh dinding. Ketika jarak kami hanya sejengkal, dia mengulurkan botol air mineral padaku. "Minumlah." Ia berhenti dan mengamati wajahku yang tegang. "Kau mau sarapan dengan apa?"

"Hei, berhenti bersandiwara! Aku tak butuh basa-basi. Aku ingin pulang. Jika kau membiarkan aku pergi, kuanggap masalah kita selesai." Aku berteriak, dadaku naik turun karena menahan himpitan emosi sejak semalam.

"Dan jika aku tak membiarkanmu pulang, apa yang akan kaulakukan?" ia serius, tubuhku bergerak tak sesuai yang kuharapkan. Tanganku yang seharusnya bisa menampar dengan mudah kini dicekal. "Slow down, Baby." Katanya, nyaris tergelak. "Kita ini berpendidikan, kata-kata lebih bisa dicerna ketimbang kekerasan, Sayang...."

Aku mendecih muak, "bicara baik-baik lebih bisa dicerna ketimbang penculikan, Brengsek." balasku dan aku hampir bertepuk tangan melihat Antara berjengit dengan panggilan yang kugunakan. Eh, dipikirnya, aku tipe wanita lembut dan baik hati, tipe wanita yang akan tetap memuja ketika sudah dikhianati? Tidak, aku tidak akan berperilaku secengeng itu.

"Mulutmu yang mungil itu perlu diberi pelajaran, ya?" ia berkata dan suaraku tenggelam dalam ciumannya. Aku memberontak, aku tak mau jadi wanita jajahan yang bisa dicium ketika ia menginginkannya.

Antara melepas bibirnya untuk melihatku yang megap-megap. aku marah sekali hingga tak ada satu pun kalimat makian yang keluar. Aku hanya menatap Antara tanpa berkedip. Sungguh, ini bukan Antara yang kukenal. seharusnya aku menamparnya, tapi amarahku yang meninggi membuat ototku kaku. Satu-satunya yang kulakukan adalah memelototinya dan mengencangkan rahangku.

Antara mengedipkan mata, pandangannya melemas. Sempat kulihat matanya yang sayu walau hanya satu detik. Kami sama-sama terdiam lalu karena terlalu letih aku membuang wajah ke kanan. Mataku terpejam erat, berharap saat aku membuka mata, apa yang kualami semalam dan pagi ini hanyalah mimpi. Rupanya, harapankulah yang jadi mimpi. Antara masih di depanku, yang secara otomatis menyadarkan aku bahwa aku gadis bodoh yang mudah ditipu seorang lelaki.

Jemari Antara berpindah, tak lagi memegangi tanganku, telunjuk kanannya menyusuri leherku yang kuekspos akibat menoleh. Kuakui, sentuhannya menghantarkan getaran-getaran aneh di sepanjang kulitku yang tersentuh olehnya. "Halus," Antara meredam suaranya di langit-langit mulut. Membuat bulu kudukku meremang. Alarm bahaya berbunyi nyaring di otakku. "Sudah adakah yang pernah membuat tanda di sini, Jingga?"

Otot leherku mengencang. Aku kembali menatap Antara. "Jangan intimidasi aku seperti ini," kutelengkan kepalaku, menghidari menatap matanya lagi. "Tolong...." Aku memegang jemari Antara. "Apapun motifmu, lepaskan aku. Kumohon. Aku merendahkan diriku." Kataku di antara putus asa dan gelora aneh yang menerpa tubuhku luar-dalam akibat mata Antara yang berpendar penuh emosi.

"Bagaimana jika aku tak setuju?" bibir Antara menempel di leher dan pertahanan diriku langsung tersentak. Kakiku menendang lututnya, kepalan tanganku sudah mendarat di dagu, Antara tak mengerang kesakitan, ia hanya mundur selangkah dan menatapku dengan mata menantang.

"Kalau kau mau dihormati, hormati orang lain. Jangan perlakukan mereka rendah. Aku tahu, ada banyak gadis yang rela datang menemanimu tidur tapi itu bukan aku! Aku memang pernah berpikir bodoh seperti itu, namun sekarang aku tak mau lagi berpikir bahwa ini semua adalah cinta. Cintaku telah tenggelam dan kuharap akan mati secepatnya." kukeluarkan uneg-uneg, memarahinya karena ia sudah kelewat batas, "jangan samakan aku dengan gadis murahan yang mengantre untukmu!"

"Kau lupa kau berteriak pada siapa?" Antara membuang dasi satin hitamnya ke lantai, melepas kancing kemejanya lalu membuang pakaiannya itu ke tempat yang sama dengan dasi yang iacampakkan.

Aku sinis, "siapa? Lelaki yang tak bisa menghargai wanita. Yang mengkhianati gadis yang mencintainya atas nama dendam. Yang memperlakukan wanita seperti barang mainan? Yang mengambil kesempatan murahan. Yang menggadaikan kehormatan untuk nafsu. Ya, kau orangnya." Dengan tajam aku menatapnya yang kini bertelanjang dada.

Antara mendekat, tangan kanannya memegang daguku, membuatku terdongak dan kami bertatapan dalam marah. "Bibir kecilmu itu perlu dibungkam agar tahu sopan santun."

"Aku tak bisa bersikap sopan pada orang yang tak santun." Balasku tak mau kalah, nadaku masih meninggi. Dua tangan Antara menangkup pipiku dan menggiringku dalam ciumannya lagi. Ia menggigit bibir bawahku, tanganku yang bebas memukuli bahunya. Kakiku juga hendak melayang sebelum akhirnya Antara mendorongku menghimpit tembok lebih rapat dengan tubuh menempel erat padaku. Aku gelagapan ketika rasa amis darah kutelan, nyaris terisak-tidak, aku tak boleh menangis.

"Leph-h" suaraku hilang dan Antara menciumku dengan kesetanan, aku mendorong bahunya, mencubit lengannya dan menggerak-gerakkan kepala agar dia tak bisa menerobos mulutku. Tangan Antara naik menuju dada, aku terkesiap.

"Jangan!"

Bodoh! Lidah antara masuk dalam mulutku, aku yang sudah kehilangan harga diri segera menggigit lidahnya sekuat yang kubisa, Antara membalas dengan remasan di dada. Jantungku seperti melompat karena perilakunya. Aku menyerah, tak ada guna melawannya.

Lama sekali Antara mengobrak-abrik isi mulutku, membelitkan lidahnya dan menekan. Aku lemas, tak berdaya lagi, merasa hancur dan murahan. Ketika tak ada perlawanan yang berarti dariku atau ketika dia sudah puas mengeksplorasi dalam ciuman menjijikkan, Antara menarik diri. Ia mengecup bibirku dengan lembut tapi itu tak membuatku bahagia. Justru semakin melesakkanku dalam mimpi buruk. Aku benci ini.

"Kasihan sekali hidupmu. Kau pasti tak punya ibu yang mengajarimu untuk menghargai wanita." entah kenapa, aku tak berhenti menghinanya. Aku sudah tak peduli jika Antara melakukan kebejatannya lagi padaku. "kau benar-benar menyedihkan, Antara." Airmataku meluncur. Meski tak terisak, airmata pembohong itu mengalir terus menerus. "Aku membencimu dan aku bersumpah akan membalaskan rasa sakitku ini."

Antara menyeringai sebentar lalu mengelus kelopak mataku. "Gunakan otakmu untuk membalasku. Kau tak akan bisa melakukan apa-apa dengan sifat lemah dan cengengmu ini. Airmata tak menyelesaikan masalah, Bodoh."

Aku mendongak dan kami bertatapan. Kali ini bukan jenis tatapan saling mengagumi dan memuja satu sama lain.

"Berhenti menangis dan mulailah berpikir." Ia berpaling, memungut kemejanya dan memakainya sembari berjalan. Aku terjatuh lemas di lantai tepat saat Antara menghilang di balik pintu.

Tanganku mengepal kuat. Kurasa, aku tak mampu lagi menampung kebencian pada Antara, Maria atau brengsek siapapun itu.

"Papa...," wajahku menyentuh lantai, "tolong aku, Pa...."

Dan sekarang aku menyadari bahwa keluarga adalah tempat paling logis meletakkan kasih sayang. Keluarga tak pernah munafik dalam menyayangi. Aku merasa begitu bodoh. Buat apa aku sekolah tinggi-tinggi, menamatkan pendidikan strataku di luar negeri kalau masalah sederhana seperti ini saja aku abaikan?

"Antara, siapa kau?"

***

Selain berpikir keadaan ibu, ayah dan beberapa jepretan foto saat aku mencium Antara, tak ada lagi yang kupikir. Kakiku terlalu lemas untuk melangkah. Malam sudah larut dan aku menolak memakan apa pun yang dibawakan pelayan Antara. Aku menatap langit-langit kamar. sulit sekali membayangkan ekspresi marah dan kecewa ayah karena melihatku mencium lelaki-bahkan berusaha menelanjangi Antara-aku menjambak rambutku. Merasa begitu bodoh dan gampang ditipu. Bagaimana nasib ayah ketika kelakuan liarku terekspos media? Aku tak mau menghancurkan cita-citanya. Ya Allah, betapa hinanya aku. Aku tak bisa membuat ayahku bangga, justru aku membuatnya malu.

"Jingga! Kau di mana? Jingga!" suara Antara memenuhi kamar. aku tak berniat menyahut. Kupeluk kakiku dengan erat. "Astaga, Jingga...." Ia berjongkok dan mengajakku berdiri. Aku menggeleng pelan.

"Pulang, Tara. Ibuku... ayahku.... Mereka pasti mencariku. Kumohon, pulangkan aku."

"Tidak, Ji,"ia bersikeras menahanku. Aku mendorongnya.

"Kau tak pernah tahu bagaimana rasanya jadi aku! Kau egois! Kau hanya berpikir tentang tujuanmu saja!" sebagian wajahku tertutupi rambut yang basah. Antara meraih tanganku dan mendekapnya dengan erat. Ada sebuah energi yang hangat dari sentuhan kulit kami.

Tidak! Jangan tertipu lagi, Jingga!

"Percayalah, satu-satunya tempat paling aman dari amukan singa adalah kandang singa itu sendiri, Ji." Ia membawaku dalam pelukannya. Aku benar-benar bingung dengan Antara. Tadi dia menyiksaku, sekarang dia terlihat memedulikan keadaanku, keamananku atau apalah itu. Telunjuknya menyentuh bibirku yang bengkak karena gigitannya tadi. "Maafkan aku, aku sangat kasar padamu."

Aku mendorong dadanya, berjalan menuju jendela dan menatap langit malam yang terlihat suram, "tak usah berpura-pura lagi. aku bukan anak kecil yang tertipu dengan kelucuan badut mafia."

Tanpa kuduga, Antara memelukku dari belakang. Napasnya mengenai leherku dan langsung direspons cepat oleh jantungku. Dadaku berdesir-desir. Aku memegang tangan Antara yang ada di atas perutku. "Lepaskan aku." Ia bergeming. Aku meronta lebih kuat.

"Akan kulepaskan asal kau mau makan." Katanya lirih dan mungkin saja telingaku sedang mengalami disfungsial karena nada bicara Antara yang membuat aku merasa bahwa dia sangat menyayangiku. Oh Tuhan, matikan saja perasaanku ini.

"Aku tak sudi memakan makanan yang diberikan orang licik dan jahat seperti kalian."

Napas Antara memberat. Ia mencium tengkukku sekilas. Desiran di dadaku menguat. Aku sampai berpikir kalau sekarang terjadi gempa. Ya Ampun, tubuhku sampai gemetaran.

"Apa maksudmu?" ia membalik tubuhku dengan mudah. "Lihat, kau bersumpah akan membalas kejahatanku, tapi kau membiarkan tubuhmu lemas. Keinginan yang mustahil dan konyol!"

Aku tersentak. Kupandangi Antara dengan kesal.

"Apa? Kau tak suka?" senyumnya meremehkan, "kau tak akan bisa melawanku dengan keadaan lemah begini."

Aku mengeluarkan napas lewat mulut. Terlalu marah hingga tak bisa mengeluarkan satu pun suara. Aku berjalan menuju meja dan memakan makanan yang diberikan pelayan tadi dengan rakus.

"Kau! Aku akan membalasmu! Aku akan tetap hidup! aku akan melihatmu menangis dan menyembah di kakiku!" kutelan nasi yang belum sempat kukunyah. Aku tak memedulikan apapun kecuali aku harus makan.

"Bagus." Sahutnya mantap sembari mengulum senyum.

***

Mungkin kata bingung dan bodoh tak akan mampu menjawab dengan singkat dan sederhana semua pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Mungkin, aku memang dilahirkan sebagai gadis yang gampang bingung dan enak dibodohi.

Ugh, menimpakan kesalahan pada diri sendiri terasa masuk akal daripada menyalahkan pengawasan ayah padaku atau menyalahkan Antara yang begitu brengsek mengambil hatiku lalu menikamnya.

Menikamnya?

Aku merobohkan tubuhku di ranjang dan mengutuki semua tindakanku yang konyol. Satu detik membenci Antara seolah aku bisa melumatnya jadi abu lalu di detik berikutnya aku mempercayakan diriku dan hidupku padanya. Sebelumnya, aku tak pernah selabil ini-jika ini dikatakan kelabilan-dan aku belum pernah semenyedihkan ini dalam urusan asmara.

"Jingga," sebuah bisikan suara membuatku menajamkan pendengaran. "Jingga, kau di sini?" aku melirik ke arah kanan, suara berisik kaca yang disandarkan di dinding membuatku terkesiap. aku buru-buru duduk. Kupandangi bayangan hitam yang muncul dari luar. Astaga! Siapa itu? Apa dia memanjat lantai 4 ini? Kemudian menjebol kaca menggunakan... benda tajam? Ia terlihat memasukkan peralatannya menyabotase di sepatu botnya yang besar. Dengan hati-hati ia melompat dan sekarang ia berjalan ke arahku.

"Kau siapa?" aku takut, tentu saja. Menurutmu, apa itu orang baik? Datang dini hari, saat banyak orang terlelap tidur. Belum lagi caranya megendap-edap agar bisa masuk di sini.

"Sstt, jangan keras-keras." Katanya memberi masukan. "Aku Mandala."

"Mandala?" aku menubruk tubuhnya. Kelegaan luar biasa menerpaku. Aku bisa mengambil napas dengan panjang dan ringan.

"Kau ini... ck," ia terdengar menggerutu karena tak suka aku yang kekanakan. Aku memperbaiki tubuh agar tegak menghadapnya.

"Kau akan membawaku pulang, kan?"

Ia mengangguk, "ikut aku."

Aku mengikuti langkahnya. Melewati jendela dan berdiri di pinggir bangunan. Mandala memasang tali agar bisa meluncur ke bawah dengan aman. "Pegangan!" aku memegang bahu dan pinggangnya. Tangan mandala yang kanan memegang tali itu, sementara tangan yang lain memegang pinggangku. Kami melompat lalu tali yang kami gunakan memanjang seiring dengan gerakan kami yang mendekati tanah.

"Oke." Katanya, aku langsung melepas peganganku. Mandala dengan sigap melepas tali dari tubuhnya dan mengajakku mengendap-endap melewati pos penjagaan. Ia menyuruhku lompat.

"Kau gila?" aku menatapnya tak percaya.

"Tak ada jalan lain." Ia melirik sekitar lagi.

"Siapa di sana!"

Belum sempat aku membantah, percakapan kami diinterupsi seseorang yang kupikir adalah penjaga yang dikatakan Antara. Tunggu, kata Antara penjaga di halaman ada 6 lalu di gerbang ada 3. Kami dalam bahaya! Aku langsung panic, melirik sekitar kalau-kalau penjaga itu melihat kami yang berdiri di balik bunga-bunga bougenvile.

"Kamu lompat. Di pagar luar ada mobil, tunggu aku dalam mobil, aku akan mengalihkan perhatian mereka." Mandala langsung kabur. Aku ketar-ketir sendirian. Oke, tak ada pilihan lain. Aku memandangi tembok pembatas yang tingginya sekitar 2 meter dan karena tak ada opsi lain, aku mulai memanjat tembok dengan kesusahan.

"Aw!" aku yang tak hati-hati terpeleset dan kulitku tergores dinding. Rasa perih menjalari indraku. Aku membekap mulut. Tak boleh ada suara. Ada dua orang dari sudut kanan datang. Dari tubuh tegapnya, aku sangat yakin kalau dia adalah lelaki yang mencuri ciuman pertamaku.

"Bagaimana keadaan, Jingga?" itu siapa, sih? Kenapa kenal aku?

Antara mengantongi tangannya di celana. "Aku tadi sudah memaksanya makan. Hanya itu yang bisa kupastikan, Dad, dia harus baik-baik saja, kan?"

"Bagaimana dengan Sandra? Kau sudah mendapat info dari Maria?" Tanya lelaki yang bertubuh agak gempal pada Antara. Sandra? Maria? Keningku langsung berkerut.

"Maria akan mengembalikan Sandra pada kita, asal aku sudah meniduri Jingga." Ada yang berat dari suara Antara. Jadi, Sandra dijadikan tebusan untuk keperawananku? Rupanya, ini yang membuat Antara terlihat membenci sekaligus menyayangiku.

"Kau sudah melakukannya?" ada nada dingin di sana. Akhirnya, aku berkesimpulan kalau lelaki itu pasti ayah Antara.

"Dad, itu tidak mungkin." Balas Antara dengan frustasi. Ada yang sakit di hatiku. Melihat Antara sedih, juga membuatku sedih.

"Lalu kau membiarkan adikmu dalam bahaya, Antara?" suaranya menggelegar. "Lebih penting siapa? Sandra atau Jingga?!"

Antara diam seribu bahasa. Tak ada satupun kalimat yang diucapkannya, juga tak ada satupun gerakan yang iahasilkan. Aku sakit, tentu saja, tapi rasa sakitku tentu tak sebanding dengan yang dialami Antara. Ya Allah, dan aku tadi memakinya? Memojokkannya seolah dia satu-satunya penjahat yang harus kubenci.

Kenapa aku meragukan ketulusan Antara tadi?

"Jingga! Ssttt!"

Aku menoleh ke bawah. Mandala berdiri di tepi pagar. "Ayo, lompat! Aku akan menangkapmu."

Jika aku pergi, Sandra akan berada dalam bahaya. Bahkan besar kemungkinan, Sandra akan mengalami yang pernah dialami ibuku. aku tak bisa membiarkan orang lain-yang tak tahu apa-apa dan tak bersalah-menjadi korban ambisi Maria. Kalau sampai Sandra begitu, Antara dan Ayahnya akan terluka. Namun, jika aku tak pergi, aku yang dalam bahaya. Ayah dan ibuku juga akan mengkhawatirkanku. Aku tak mau membuat mereka terluka dan disakiti oleh siapapun.

"Jingga, tunggu apa lagi?"

Dan pertanyaan Mandala membuatku mengerti apa yang harus kulakukan.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro