Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Awal Bertemu

Aku menali sepatu, menguncir kuda rambut lalu merapikan tepian kaos longgar yang kukenakan pagi ini. Ketika aku sudah merasa nyaman, aku segera memacu langkah. Awalnya pelan hingga menit ke sepuluh, aku menambah laju lariku. Kutapaki jalan sempit menuju kebun teh, udara pagi yang segar selalu menggodaku, setiap aku ada di villa yang ada di Ciater. Lariku berubah jadi langkah kecil lalu berhenti tepat di pohon teh yang belum sempat dipetik pagi ini.

Merentangkan tangan, memenuhi dadaku dengan udara seraya memejamkan mata. Angin membelai pori-pori, membuat ekspektasiku tentang nuansa alam yang ramah semakin lekat dalam ingatan.

Kubuka mata, merunduk sejajar pada pohon teh, kupetik salah satu pucuknya kemudian menghidu aromanya yang khas. Sesungging senyumku terlihat, puas.

"Menikmati pagi?"

Aku menoleh dan mendapati seorang pria berkulit putih bersih dengan rambut hitam berantakan berdiri anggun, ia tampak luwes sekalipun dalam posisi diam.

"Ya. Oh, maksudku selain menikmati pagi, juga menikmati yang ada di sekitarku."

"Termasuk menikmati aku yang ada di depanmu?"

Aku nyaris tertawa namun kuputuskan untuk melempar tatapan geli. "Sangat tak etis kalau kita ngobrol bak teman sejawat, padahal aku belum tahu namamu."

Ia mendekat, tangannya terulur, mataku menangkap jemarinya yang besar dan menawarkan kehangatan. "Antara."

"Antara Jakarta dan Penang?" geli, ingat lagu lawas yang pernah membooming di indonesia di era 80an. Lelaki itu tersenyum hingga matanya melengkung, eyesmilenya sedap dipandang.

"Just Antara." Ia menyahut lagi, tak menyebutkan nama lengkap, kurasa. Kujabat tangannya.

"Jingga."

Sesaat rasa nyaman melingkupiku dari sentuhan ini. Aku sampai terpesona karenanya. Antara buru-buru menarik tangan. "Senang berkenalan denganmu."

Kuanggukan kepalaku.

"Suka aroma teh?" Untunglah Antara segera mengajakku berbicara hal lain.

"Setelah melihatku menghirup aroma teh seperti menghirup aroma kekasih, aku tak yakin bisa berkata 'hai, Antara, aku benci aroma teh' kurasa itu tak masuk akal, 'kan?"

Aku heran denganku, kenapa aku jadi banyak bicara?

"Kupikir, kesukaanmu seperti namamu, seperti sinar kemerahan menjelang maghrib, daun-daun berwarna emas atau..., hujan."

"Uh-oh, itu juga termasuk kesukaanku."

"Wow, ada banyak yang kuketahui dari pertemuan pertama kita."

Aku nyengir dan dibalas senyum ringan yang entah kenapa itu terlihat menggoda. "Seleraku memang pasaran, jangan kaget."

Antara mengangkat tangan kanannya ke udara, seakan menghalauku untuk tak meneruskan cerita konyol yang hendak terlontar. "Tidak, kau istimewa."

"Gombalan pertama kali. Iya?"

"Dan apa itu buruk?" ia menyeringai, separuh merasa penasaran dan separuh lagi kelembutan. Sudut hatiku meradang melihat wajah tampannya.

"Tidak, itu menarik." Sahutku, menertawai tingkahku yang sekarang seperti remaja belasan tahun dilanda asmara.

"Aku pria menarik, begitu?"

Hah? Apa sejelas itu aku mengatakan kalau dia memang menyita perhatianku?

"Baiklah, Jingga, sampai ketemu besok dan... Kamu terlihat seksi dengan ikatan rambutmu atau dengan beberapa keringat di pelipismu. Kuharap, itu bukan keringat dingin karena bertemu denganku."

Aku terkekeh mendengar leluconnya yang aneh. "See you, Antara."

***

Aku bertemu dia lagi. Lelaki yang kujuluki "Antara Jakarta dan Penang" berjalan dengan langkah 'seseorang yang nyaman dan percaya diri dengan keadaannya' sehingga siapapun lelaki yang berjalan di sisinya akan minder. Ia tak lagi memakai kaos V-neck dan celana belel seperti yang kulihat kemarin pagi.

Antara memakai setelan tuksedo, lengkap dengan dasi satin dan gaya rambut spike mencuat ke atas. Aku yakin, ia tak memakai minyak rambut, teksturnya begitu lembut. Setelah memastikan kalau penampilannya mendapat nilai nyaris sempurna tanpa cela, aku memperbaiki dudukku, berharap dia akan menempati kursi di sisiku sebagai calon trainer perusahaan.

Harapanku nihil, lelaki itu duduk di kursi dengan meja bertulisakan vice president. Aku melongo. Oi, dengan style luar biasanya itu, mustahil dia menjadi pekerja yang baru direkrut, kan? Ralat, jika aku berlebihan.

"Selamat pagi," auranya asing, tak ramah tapi juga bukan ketus, membuatku keder saja. "Selamat datang di Nutrifood. Saya Antara, vice president perusahaan ini, senang bertemu dengan kalian."

Sisanya hanya dialog atasan-bawahan yang menjemukan untuk didengar. Aku pura-pura fokus dan tatkala mata Antara bertemu dengan mataku, aku memasang wajah hormat seakan aku tak pernah bertemu dengannya.

***

Briefing selesai, saatnya menuju ruang kerja yang ditunjukkan COO Nutrifood, bersyukur aku tergabung dalam tim pengembangan SDM. Tugasku adalah menganalisis kinerja, memberi masukan dan tentua saja, memberikan training kepada pekerja baru. Termasuk di dalamnya mewawancara pelamar kerja.

Namun kabar gembiranya, aku mulai bertugas setelah mengikuti training di Nutrifood pusat yang ada di Manhattan, USA. Jadi, sepertinya, hari ini aku akan menemui CFO untuk mengambil paspor, tiket pesawat dan uang yang kuperlukan selama mengikuti training.

"Kejutan ya?" Antara menyapa ketika langkahku masuk dalam lift, tanpa kuduga ia berdiri di sisiku. Jemarinya yang panjang dan kokoh memencet digit tombol dan dalam hati aku berdoa, semoga ada orang lain yang masuk, semoga aku tak hanya berdua dengannya.

Ketika pintu lift tertutup, barulah aku sadar kalau harapanku sudah pupus. Aku terjebak. Dalam lift. Berdua. Dengan Antara.

"Yeah, aku sepertinya harus memeriksakan jantungku setelah ini."

Ak melihat Antara tersenyum sekilas dari pantulan alumunium mengkillat lift.

"Ya, aku tahu," ia mengendikkan bahu dan matanya menatap jenaka, "jika beberapa gadis berharap bisa berdua denganku, kau malah menghindariku, begitu?"

"Apa itu terlalu jelas tercetak di wajahku, Boss?"

"Oke, kita lihat apa yang terjadi dan kau menyebutku Boss?" Antara menggosok philtrumnya, "bisakah kau memanggilku Sayang?"

"Wah, aku mendapat gombalan keduamu."

"Hanya jika kau merasa baik setelahnya." Pintu lift terbuka dan aku sadar betapa kecewanya aku dengan waktu dan menyadari kebebalanku yang ingin berlama-lama dengan Antara.

"Pulanglah dengan selamat." Tegas, saat orang mengatakan good bye atau see you saat berpisah, Antara mengatakan kalimat seperti itu. Apa itu artinya dia sangat berharap bertemu denganku lagi?

Oke, aku kenapa? Tentu saja ia ingin bertemu denganku. Pertama untuk memeriksa laporan perjalananku. Kedua memastikan bahwa aku akan segera bergabung dengannya.

Tak ada hal istimewa dari ucapannya, kan?

"Bye, Boss."

Antara yang berjalan segera membalik. Matanya tajam, "tidak. Aku tak suka bye atau sejenisnya. Jika kau tak bisa mengatakan yang lebih baik dari bye, maka diamlah."

"Oh?" terlalu tak terkendali, aku dibuat kelabakan dengan kalimatnya.

"Ah, aku lupa." ia memperbaiki ekspresinya, jadi lebih hangat dan akrab, "kau memiliki tungkai kaki yang indah."

Rasanya, aku perlu berenang di lautan es. Entah kenapa pujiannya membuat seluruh kulitku terbakar.

"Terima kasih, saat bertemu lagi kuharap kau punya pujian lain. Selain seksi di pertemuan pertama dan indah di pertemuan kedua."

"Seksi hanya tatapan awal ketika seseorang dilapisi nafsu dan indah jauh lebih pas untuk gadis secantik dirimu."

"Okay, Antara, kau mau membuatku tergila-gila, ya?"

"Kurang lebih begitu." ia mengerling dan membiarkan tubuhku kaku dengan tindakannya.

Lelaki itu sudah melewati shit, double shit dan holly shit untuk umpatan terbaikku.

***

Pagi ini suasana hatiku sudah cukup buruk dan aku tak mau memperparahnya. Untuk itu, ide memakai pakaian yang kasual dan ceria ke kantor sepertinya cukup bagus.

Aku memakai kaos turtle neck magenta dipadu dengan rainbow skirt bunga-bunga tepat menutup tempurung kaki. Rambutku? Seperti biasa, kukuncir satu di belakang.

Setelah melewati pintu masuk, tanpa buang-buang waktu aku segera ke lantai 5, ruanganku berada memakai lift kamar. Sambil memeriksa email masuk di smartphoneku, aku menunggu karyawan lain yang mau masuk lift. Ada sebuah email yang membuat fokusku kacau.

Ah, tidak! Aku tak tak mau membaca apapun email darinya. Buru-buru kuhapus dan keluar dari aplikasi yahoo.

"Pagi, Jingga." Suara itu akrab dan aku yang membuang napas tegang langsung terkesiap mendengar nada bersahabat darinya. Siapa lagi kalau bukan Antara Jakarta dan Penang.

"Morning, Boss."

Antara menoleh, tidak, tepatnya mengamatiku dari ujung rambut hingga kaki. Boleh aku merasa risih?

"Kamu memakai kaos turtleneck kenapa? Sedang sakit?" Dia mulai ingin tahu. Aku memicingkan mata dan memberi senyuman menggoda.

"Tidak. Aku baik-baik saja." Helaan napasku santai, aku juga heran, jantungku sedang bekerja setengah mati kalau kau tahu. Dan dia berdetak kuat-kuat karena fakta aku hanya berdua dengan Antara. Lagi, ralatku. Ini memang bukan kali pertamanya, walau aku selalu dan terus aneh dengan hal ini.

"Lalu?"

Aku menoleh, mendekatkan bibir di telinganya, "aku hanya takut kau akan melihat cupang di leherku."

Kupikir Antara akan tertawa dengan kebohongan mutlakku ini. Alih-alih dia menghadapku, menghadiahi tatapan intimidasi yang pekat. Jantungku sekarang mengancam akan berhenti berdetak.

"Boleh kutambahi...," Antara memutar mata, "di dadamu?"

"Aku bilang aku tak terlibat afair dengan bossku." elakku, merasa bodoh dengan memberi Antara umpan. Double shit!

Ia melirik jam, senyumnya mengerikan juga memesona, khas dari neraka dan surga. Dia tampak seperti pria baik-baik namun liar dan ekspresi itu benar-benar menggoda. Aku rela meletakkan otakku di rumah asal bisa melihatnya begini.

Astaga, apa yang kupikirkan ini?

"Tidak, Jingga. Ini belum ada jam 8." matanya berkilat berbahaya. "Dengan ruangan tertutup, tanpa CCTV, sedekat ini..., apa kau mau aku menghentikan lift?"

Aku yakin seyakin-yakinnya kalau itu bukan ancaman sebab udara panas dari mulut Antara bisa menerpa kulit pipiku. Aku mundur hingga bahuku menabrak dinding lift.

Antara masih tersenyum, merasa menang karena berhasil mengintimidasiku. Oh sial, dia mengerjaiku.

Buru-buru kukalungkan tanganku di lehernya. Ia terkesiap dan belum sempat mundur, pintu lift terbuka. Sesaat suara bincang-bincang terhenti, begitu senyap. Yang kudengar hanya detak jantungku.

Antara menguasai keadaan, dia menahan pinggangku lalu menyapukan ciuman di kening. "Sampai ketemu dinner nanti." Lelaki itu mundur dan tanganku yang mengalung di lehernya sudah luruh dari tadi. Ketika keluar lift, ia tersenyum pada bawahannya. Senyum yang sangat aneh.

Setelah itu tak ada yang menanyaiku macam-macam. Semua diam dan aku merasa begitu bodoh.

"Jadi..., jadi..., kau berkencan dengan Boss Antara?" itu pertanyaan yang membuatku meradang, "kapan kalian mulai berkencan? Ah, beruntungnya kau!"

Aku mengutuk dalam hati. Kenapa ruang kerjaku ada di lantai 5 dan kenapa ruang vice president Antara yang terhormat di lantai tiga. Aku tak punya muka lagi.

Oh. Oh. Oh..., ini aku yang bodoh. Pertama aku memberi umpan, dua..., aku berniat mengerjai Antara dan ketiga aku terjebak karena kecerobohanku. Mari menghitung mundur untuk mengatakan umpatan hari ini, Jingga, salah satu isi kepalaku yang pendengki mencibir.

"Aku tidak berkencan."

"Dia menciummu."

Iya, dia menciumku. Astaga, astaga, aku harus bagaimana?!

***

Aku sedang berpikir tentang ciuman Antara ketika Yuna datang di ruanganku. Ia menyisipkan rambut di belakang telinga dan berdiri pada papan pembatas ruang kerja.

"Makan, yuk!"

Aku menaikkan alis lalu menggeleng pelan. "Aku tak lapar."

Ia sedikit heran lalu memutar langkah, berdiri tepat di belakangku.
...
"Ayolah, selama kau bekerja di sini tak sekalipun kulihat kau ke kafetaria." sudutnya sambil menarik tanganku. Tak ada waktu untuk menghindar meski aku menggerutu, memprotes perilakunya, ia tetap menanggapiku dengan santai.

Hanya butuh 5 menit agar sampai di kafetaria yang ada di lantai 1. Setelah mengantri di konter dan mendapat jatah makanan, aku menuju kursi yang ditempati Yuna.

Baru saja kudaratkan tubuh dengan nyaman di kursi, bisik-bisik ruangan kafetaria terdengar. Mereka melirik dan menggumamkan 'apapun yang bisa digunjingkan' begitu juga Yuna, matanya menatap pintu masuk, beralih ke konter. Kusendok makananku setelah berdoa dalam hati. "Siapa, sih?" kukunyah sendokan pertamaku, Yuna hanya nyengir dan melanjutkan makannya.

"Pak Antara. Dia tak pernah lunch di sini. Dan hari ini, kau lihat, dia ikut mengantri di konter."

"Sepertinya, suasana hatinya sedang bagus."

Aku menyuapkan lagi nasi penuh-penuh ke mulut. Yuna mengangguk.

"Hai, boleh duduk bersama kalian?"

Aku menoleh dan mendapati bibir itu tersenyum, bagian bawahnya penuh dan melekuk. Lalu matanya menekuk ke bawah, sama seperti pertemuan pertama, eyesmilenya sedap dipandang.

Bunyi gelontang sendok menyadarkanku bahwa Yuna kehilangan kendali ketika pesona Antara menghantam otaknya. Ia tersenyum malu dan mengangguk-angguk dengan bodoh, mirip bocah yang mengalami masa pubertas dan salah tingkah ketika dihampiri pacar. Aku menatap Yuna ngeri, ingin menyuruhnya bersikap anggun dan dewasa.

Antara duduk di kursi, antara aku dan Yuna. Ia meletakkan nampan dan mulai memakan dengan lahap.

Hening, tak ada percakapan yang ada di meja kami. Antara terlalu mendominasi keadaan dan membuat canggung. Aku harus menyalahkan dia atas auranya yang kaku. Kulirik ia dengan sudut mataku, sikuku lesu karena pada saat itu juga Antara menatapku dalam pandangan 'aku merindukanmu' membuatku mengiris daging dengan kuat-kuat.

"Aw!" Yuna menjerit, kemeja putihnya terkena sepotong dagingku.

"Oh, maaf, Na." aku hendak berdiri, membantu Yuna menghilangkan noda namun dihentikan gerakan tangannya.

"Tidak, Jingga. Aku harus membersihakannya di toilet. Aku pergi dulu, ya. Nikmati makan kalian."

Aku mengambil napas dengan berat. Menatap kepergian Yuna dan bersiap menghadapi suasana kering-mengancam di dekat Antara.

"Tumben kau makan di sini?" aku pura-pura mengunyah dan fokus pada makanaku, nyatanya otakku dengan segala kejeniusannya mendadak macet.

"Dengan pertanyaan yang sama, Jingga." ia jauh lebih tenang, dan aku dibuat bodoh dengan pertanyaanku sendiri. Antara mengambil air minum, meneguknya dengan pelan.

"Wajahmu terlihat lelah, Tara." ucapku, keceplosan dan tak bisa menutupi betapa keingintahuanku mencekikku tanpa ampun. Aku kaget dengan kebodohan keduaku.

"Ini bukan wajah lelah," ia menyeringai mematikan, "ini wajah ganteng."

"Dengan senang hati aku mengatakan wajahmu benar-benar memikat. Jika itu yang ingin kauketahui."

Antara mengangguk mantap, "aku tak menyangka kau bisa merayu."

"Kau akan kaget jika melihatku dari sisi lain."

"Oh, itu kuanggap tawaran kencan."

Aku pura-pura tenang, tak terpengaruh kata-kata dan caranya menatap yang luar biasa beracun.

"Sekali lagi kutegaskan, aku tak mau terlibat afair dengan bossku."

Antara menaikkan alis, "sesederhana itu? Hanya pukul 08.00-16.00 kau jadi bawahanku. Setelahnya, kau dan aku tak terikat apapun. Meski berada di atap perusahan ini, camkan itu."

"Kau mengintimidasiku dengan janji sensual." Balasku diiringi hembusan singkat, aku tak mau Antara tahu bahwa aku sedang gemetaran.

"Tak hanya itu yang kuintimidasi jika kau peka."

Aku menoleh dan kami berpandangan. Menelisik kejujuran dari matanya yang berwarna cokelat hingga Antara tersenyum dan deheman terdengar.

Yuna sudah duduk dan menatapku, menagih penjelasan. Mati aku.

Antara berdiri, "nikmati makan kalian." Lelaki itu tersenyum pada Yuna dan begitu ke arahku, kerlingannya menabrakku. Paru-paruku mengancam tidak mau bekerja jika mataku mengumbar, mencari sisa-sisa pesona Antara yang sudah membalik tubuh.

"Kau punya banyak rahasia dan kupikir, kau punya penjelasan untuk itu."Top of Form

***

Yang bodoh siapa? Ketika aku sedang memasak untuk makan malam, mengenakan tank top, celana spandek yang tak menutupi seluruh paha lengkap dengan apron berwarna hijau, lelaki itu datang dan aku dengan santainya membuka pintu. Awalnya kupikir itu hanya petugas cleaning service yang menyerahkan pakaian loundryku.

Senyum Antara melekuk, dan itu tetap menggoda, membuatku mengumpat dalam hati. Ia memakai kaos, celana ¾ dan jaket baseball. Begitu santai dan begitu mempesona, sela otakku tanpa bisa dicegah.

"Kau tahu apartemenku?!" Aku mendelik tak percaya.

"Jadi, itu sapaanmu ketika menerima tamu?"

Aku meringis, setelah berbasa-basi yang penuh sopan-santun palsu, aku menyuruhnya masuk. Antara melangkah, dari langkahnya yang membuatku minder, aku jadi ragu, sebenarnya..., siapa pemilik apartemen ini? Uh-oh, aku lupa Antara memang akan dan selalu mendominasi, dimana pun dia berada.

Begitu duduk di sofa, Antara menatapku, "mana bekas cupangmu? Kenapa aku tak melihatnya?"

Rahangku seperti jatuh ke lantai. Dari sekian banyak pertanyaan yang bisa ia tanyakan kenapa harus menanyakan itu?

"Aku belum membuatnya lagi," jawabanku tak kalah spektakuler, seolah aku ahli saja dalam urusan cupang-menyupang. Antara menahan tawa, ia menyilangkan kaki.

"Aku haus, Tuan Rumah." Dengan makna tersirat, ia menyuruhku membuatkan minuman.

"Tunggu, aku tak akrab dengan orang asing." Kataku, tak ingin Antara lama-lama di sini, aku bisa kehilangan otot dan tulang jika berada di dekatnya. Sekarang saja, aku harus meminimalisir kinerja jantung dan paru-paru agar tak macet seperti otakku sekarang.

"Aku atasanmu, masihkah aku asing? Hei, aku bukan alien yang tersesat d bumi dan memilih apartemenmu sebagai tempat tinggal sementara."

Ia masih menyebalkan, alibinya membuatku kesal dan memutar otak agar tak mau kalah.

"Oke, Boss, aku masih belum berkeluarga...."

"Aku tahu, gadis 26 tahun yang hanya pernah pacaran sekali di masa SMP."

Aku shock. Dari mana dia tahu kalau aku hanya sempat pacaran sekali? Ini sangat tak adil dan menyebalkan. Iya, Antara lama-lama minta dicekik.

"Maksudku bukan itu, aku takut ada beberapa orang salah sangka seperti-kejadian di lift pagi tadi, misalnya."

"Itu?" Antara menahan geli, matanya berkilat menggoda, dan aku nyaris meneteskan liur menahan ketampanan tanpa celanya, "aku memang berniat membuat orang salah sangka lagi."

Jawaban macam apa itu?

"Well," kataku berlogat sok inggris dengan aksen Wales, "pertama, kau tiba-tiba datang ke apartemenku, kau masuk dan memintaku membuatkan minuman dan... parahnya lagi-kau tentu tahu pakaianku, ini tak pantas dipakai ketika menerima tamu."

Antara makin menatapku penuh intimidasi, "maksudmu, kau ingin berdandan karena kunjunganku ini?"

"Apa?!" Eh, apa aku mengatakan seperti itu? Tidak, kan? Oke, tidak. "Kubuatkan minuman."

Aku menyerah, menuju kulkas dan mengambil kaleng minuman berkarbonasi sebanyak 2 lalu menyerahkan salah satunya pada Antara.

"Aku pulang, Jingga."

"Buru-buru?" aku segera menutup bibirku, "maksudku, aku baru saja memberimu minuman, kau tak berinisiatif meneguknya dulu?"

Antara menggeleng, "jikalau maksudmu adalah 'Antara, tolong tinggal lebih lama' mungkin aku akan mempertimbangkannya."

Aku ingin menguliti tubuh lelaki itu.

"Atau kau ingin mengatakan bahwa kedatanganku mengejutka tapi kau menyukainya."

Aku akan memutilasi tulangnya, ancaman sambelku dalam hati.

"Bahkan kau mungkin perlu mengatakan begini, 'Antara, aku masih merindukanmu, kau kan tidak sedang sibuk jadi taka pa kalau kau menemaniku,' apa tebakanku benar?"

"Kesinilah agar aku bisa menghentikan paru-parumu memasok oksigen."

Antara benar-benar berdiri dan mendekat, aku menelan ludah, masih berusaha tenang. Kau pernah belajar psikologi, Jingga, hadapi Antara. Jangan mundur atau dia akan menertawaimu, nasehat hatiku dengan sangat bijak.

"Bagaimana? Caramu menghentikan paru-paruku?" Antara mencondongkan tubuh, wajahnya sejajar dan matanya yang berwarna cokelat menghantam penglihatanku. "Begini saja?" Kening Antara menempel di dahiku, "atau-" napasnya begitu hangat dan segar. Aku buru-buru meletakkan telunjuk di permukaan bibirnya.

"Sekalipun sekarang kau bukan Bossku, aku tak berciuman dengan lelaki yang bukan siapa-siapaku."

Antara geli, "jadi..., itu yang kau pikir, aku menciummu?"

Aku melotot marah, "lalu apa?! Kau-"

Antara memegang jemariku lalu menciumi ujung-ujungnya. Aku merinding, kudorong dadanya dan berlari menjauh.

"Jangan kurang ajar, Boss." Ucapku berusaha santai, sebenarnya jantungku berdetak gila-gilaan, merespon kegilaan Antara, menyambutnya dan... mengingkan lebih.

Oh, ASTAGA!

"Kau membuatku tak sabar memilikimu, Jingga."

Aku memicing, "aku bukan barang."

"Aku tak mengatakan begitu."

"Lalu kata memiliki?"

"Kau perlu kubelikan kamus?" Antara pongah, gigiku bergemelutuk.

"Tidak perlu, aku tak mau menjadi wanita ke sekianmu yang menangis meraung-raung karena kau campakkan."

Antara terkekeh, "baik. Baik. Akan kuingat penolakanmu." Antara menatapku, kali ini lebih tajam, "kalau begitu, mulai saat ini, aku tak akan pernah menganggap keberadaanmu, Jingga. Dan, sekarang... aku akan mengatakan, good bye."

Antara keluar dari apartemenku, kuhela napas lega. Setelah ini, aku tak akan diganggu lelaki itu. Tapi..., good bye? Ia membenci kata itu dan kali ini mengatakannya padaku. Maksudnya..., keonarannya akan berhenti sampai di sini?

Baiklah, Jingga.... Tak perlu memikirkannya. Ada banyak lelaki yang menyukaimu, sepertinya kau harus fokus pada pekerjaanmu, tekadku dalam hati. Antara bukan siapa-siapaku, dan selamanya tak akan jadi siapa-siapa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro