67
Aku merasa benar dan salah secara bersamaan. Salah karena aku akan mencium pria selain Leon, dan merasa benar karena yang akan kuberikan kecupan adalah tunanganku sendiri. Aku menutup mataku, mempersiapkan diri dihadiahi kecupan oleh seseorang yang memang sedari dulu seharusnya keberikan ciuman, atau bahkan lebih dari itu. Namun aku tak merasakan James mendaratkan bibirnya pada bibirku, yang kurasakan saat ini bibirnya menyentuh telingaku. Seketika aku mengangkat kelopak mataku, tak ada ciuman.
"Berjanjilah ini adalah berakhir kalinya kau tak mengenakan cincin dariku," bisiknya.
Sembari menatap jemariku, aku merasa bulu kudukku berdiri. Sial, aku tak lupa memasangkannya kembali!
Tubuh James lalu menjauhiku, lalu disisipkannya sejumput rambutku di telinga. Ia memegang pergelanganku, dan menyentuhkan jari telunjuknya di jari manisku―tempat seharusnya cincin pertunangan kami terpasang di sana. "Kau harus memakainya ketika aku ada ataupun tak ada di dekatmu. Jelas?"
"Ak ....aku melepasnya ketika mencuci tangan. Aku lupa memakainya kembali," dustaku. Kuharap alasan ini cukup masuk akal baginya.
Kali ini ia kembali menunjukkan ekspresi tersenyumnya yang seperti biasa. James lalu mencium punggung tanganku, "Terima kasih, mood-ku sudah membaik."
***
"Aku kurang menyukai idenya," ketusku.
Spontan, Leon yang sedang menjelaskan konsep proyek terbaru kami berhenti sementara lalu menatapku. "Maksudmu?" Ia menutup kalimatnya dengan sebuah batuk kecil, seperti memberikan isyarat padaku.
"Aku tak begitu menyukai idenya," ulangku sembari melipat kedua tanganku di dada, memperlihatkan bahasa tubuh yang terkesan tak bersahabat.
Aku kesal padamu Leon! Bagaimana kau bisa menghilang selama empat hari tanpa menghubungiku sama sekali?
Ruangan menjadi jauh lebih hening dari sebelumnya. Tak ada seorang pun baik dari timku dan tim Leon yang berani mengeluarkan suara. Sepertinya, mereka mengerti jika akan ada special brunch dari kami berdua―akan ada pertempuran di rapat ini.
Leon menatapku serius. "Sebaiknya, jangan membawa selera pribadimu ke dalam proyek ini, Nona Jillian," Leon mencoba membalasku dengan tenang.
"Ini bukan mengenai selera, atau apapun itu namanya. Ada beberapa klien yang proyeknya akan tertunda jika kau memaksakan konsep yang kau buat. Bukankah hal seperti yang kau bicarakan itu akan memakai banyak waktu untuk merealisasikannya? Pekerjaan kalian akan sangat berimbas pada timku," ucapku.
"Aku yang mengetahui kapasitas dan kemampuan timku," balasnya dengan nada kesal.
"Dan aku sendiri pun memastikan tak ada hal-hal 'yang tidak begitu penting' yang akan mengganggu pekerjaan timku," sindirku, sembari menyambar ponselku untuk melihat sebuah pesan yang baru saja terkirim.
"Apa kau mendengarkanku?" suaranya begitu pelan, nyaris berbisik. Dengan nada sedikit mengancam tentunya, ia hampir termakan oleh egonya yang sedikit tergores karena perilakuku yang meremehkannya.
"Umm ....Yeah," jawabku sembari menoleh ke arahnya sejenak lalu kembali pada layar ponselku. "Tuan Adam ingin menjadwalkan ulang pertemuan menjadi lusa," ucapku membacakan apa yang ada di layar ponselku.
"Kenapa dia begitu seenaknya saja?" umpat Leon.
Aku tersenyum ke arahnya. "Aku sudah memperingatkanmu. Kita akan kehilangan Tuan Adam dan jutaan dollar jika kau tetap memaksa membuang waktu untuk proyek ini."
Kemudian aku melirik pada empat orang rekan timku sembari memberikan isyarat tangan kepada untuk merapikan berkas-berkas milik kami. "Kami akan menggunakan ruang rapat di lantai tiga dan mempersiapkan sesuatu untuk Perusahaan Tuan Adam," sambungku sembari mengajak anggota timku pergi meninggalkan ruangan ini tanpa memberikan Leon kesempatan bicara.
"Fred, aku ingin kau mengumpulkan beberapa contoh campaign produk sejenis seperti produk Tuan Adam," pintaku kepada salah satu dari anggota timku yang berjalan mengikutiku di lorong.
"Jangka waktunya?" tanya Fred sembari sibuk mencatat tugas barunya.
"Hanya campaign di satu tahun terakhir. Ah tidak, enam bulan saja," jawabku. "Connie, aku ingin mengetahui trend yang sedang berlangsung selama 24 jam terakhir. Apapun itu, fashion, gosip mengenai artis, lagu terbaru Taylor Swift, ANYTHING. Tapi tidak mengenai isu-isu sensitif," aku beralih pada rekanku yang lain.
"Yes, Ma'am," sambut Connie.
Tanpa menunggu sedetik pun kutekan dengan cepat tombol turun ketika berada di lobi elevator. Kemudian aku membalikan tubuhku dan menatap kembali keempat orang rekan timku. "Todd, kau bantu Fred untuk mengumpulkan data-data dari wilayah Eropa Barat. Dan Nina, aku tahu ini bukan tugasmu. Tapi aku membutuhkan orang yang dapat memesankan makan siang. Kita akan makan siang di ruang rapat, setelahnya kau bantu Connie," ucapku. "Aku yang traktir,"
"Kita akan buktikan jika tim kita lebih baik dari Divisi Seni. Dan kupastikan kalian aan mendapatkan rekomendasi untuk menjadi level senior tahun depan," ucapku percaya diri.
Tring! Pintu elevator pun terbuka.
***
Piip. Piip. Kumatikan alarm mobilku sembari berjalan mendekatinya. Sesekali kupijat tengkukku perlahan. Hari ini lebih melelahkan dibandingkan hari biasanya. Untunglah, semua materi untuk rapat dengan Tuan Adam selesai sesuai target waktu yang kutentukan. Area parkir yang gelap hanya tinggal mobilku dan sebuah mobil di sudut yang jauh lebih suram, entah mengapa ini mirip sekali dengan tempat adegan pembunuhan yang ada di film-film. Tiba-tiba seseorang menarikku dengan kasar. Oh, sial!
"Jill! " aku lebih dulu merasakan dinginnya telapak tangan yang mencengkram lenganku, dibandingkan menyadari siapa pemilik suara ini. Leon!
Aku kemudian menariknya ke belakang salah satu pilar, sembari melihat sesekali melihat langit-langit dan situasi sekitar, memastikan tidak ada kamera ataupun seseorang yang mampu 'menangkap' kami. "Leon, kau menungguku? Tanganmu begitu dingin," bisikku, lalu kuhadiahi kecupan untuknya.
Aku sedikit terkejut Leon mendorongku, seakan ia menolak ciumanku. "Apa yang kau lakukan Jill?"
"Menciummu," ucapku. "Bukankah seharusnya aku yang menanyakannya padamu, Leon? Apa yang kau lakukan? Kau menghilang selama tiga hari."
"...." Leon bahkan tak menjawabku.
Sebelumnya aku bahkan pernah mengalami beberapa hari tanpa bertemu atapun berkomunikasi dengannya. Tapi entah mengapa, aku merasa tiga hari yang kujalanani ini berbeda. "Kau pasti bersenang-senang dengan Anne?" ucapku menyindirnya.
"Jadi, kau marah karena hal itu?" balas Leon. "Tapi bisakah kau tak meluapkannya ketika rapat? Kau mempermalukanku di depan timku. Ak ....aku tahu, terkadang aku pun bisa salah, tapi kau bisa mengatakannya secara baik-baik seperti sebelum-sebelumnya."
Terkadang ketika bersama, kami beberapa kali saling mengomentari hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Seperti aku yang sering kali menganggap Leon terlalu ideologis ketika ia terlalu antusias dalam sebuah proyek. Ataupun diriku yang beberapa kali dikritik olehnya karena dianggap terlalu bermulut tajam dan seenaknya saja kepada rekan-rekanku.
"Aku memang sangat kesal karena kau tak menghubungiku. Tapi bukan itu alasannya. Ada sesuatu lain yang perlu kupastikan," ucapku, "Anyway, pekerjaanmu memang payah hari ini."
"Sesuatu yang lain?" Leon mulai penasaran mengenai apa yang akan kubicarakan selanjutnya.
"Tunggu?! Apa kau tak merindukanku? Kau nyaris memarahiku di hari pertama setelah kau menghilang," Apa yang terjadi sebenarnya antara Leon dan Anne? Aku mulai meragukan posisiku saat ini.
"Tentu saja aku merindukanmu," dan kali ini Leon-lah yang menyentuhkan bibirnya lembut padaku.
"Aku sengaja membuat sedikit bermasalah ketika rapat. Aku ingin orang-orang mempercayai bahwa kau dan aku saling membenci," sahutku sembari kembali memperhatikan sekitar.
Leon hanya mengangkat sebelah alisnya ketika menangkap jawabanku. "Kau takut tunanganmu tahu?"
"Tidak, umm ....maksudku, ya! Tapi bukan itu masalah utamanya. Ada rumor yang tersebar mengenaimu."
"Rumor?"
"Kau diisukan memiliki skandal dengan salah satu rekan timmu."
Leon tertawa kecil setelah mendengarnya. "Dan kau mempercayainya?"
"Kuharap kau tidak memiliki tiga kekasih dalam waktu yang bersamaan," sindirku. "Mereka mencurigai berpikir Margaret sedang berkencan diam-diam denganmu untuk kepentingannya di kantor." Aku berusaha mempersingkat informasi yang aku dapatkan ketika bercengkrama santai dengan keempat rekan timku sembari mengerjakan proyek milik Tuan Adam tadi siang. Aku bersyukur, mereka dengan mudahnya percaya bahwa aku tak meyukai Leon, sehingga mereka membeberkan asumsi-asumsi yang melintas di lingkungan kantor. Dan malangnya, Margaret―salah seorang karyawan divisi seni―yang menjadi terduga dari skandal ini.
"Darimana kau mengetahui gosip murahan seperti itu?" Leon berupaya menahan tawanya ketika berbicara. "Orang-orang akan melupakan lelucon itu dengan cepat. Kau tak perlu membuang waktumu untuk mengurusinya."
Aku sedikit kesal dengan Leon yang begitu meremehkan hal seperti ini. Karena gosip bodoh ini, aku harus lebih berhati-hati bukan? "Permasalahannya adalah bagaimana gosip itu menyebar begitu cepat? Dan bagaimana mereka mengetahui kau berkencan dengan seseorang di tempat in?"
Leon hanya terdiam. Dahinya sedikit berkerut.
"Berhati-hatilah dengan Anthonny," tambahku.
"Kau menuduhnya? Mengapa kau membawanya dalam permasalahan ini? Ia adalah sahabatku. Anthonny sudah mengenalku semenjak kuliah," bela Leon.
"Dan aku sudah mengenalmu sejak sebelum kau menjadi remaja yang menyebalkan," sahutku dengan nada tinggi. "Aku mengenalmu lebih lama dari Anthonny. Aku lebih mengetahuimu lebih dari Anne!"
"Tapi ia adalah salah satu orang yang kupercaya. Ia-lah yang membantuku selama ini!" Leon membalas dengan bersikukuh.
"Teman-temanku bersaksi bahwa Anthonny-lah yang membicarakanmu selama ini, Leon." Aku mencoba meyakinkan Leon untuk menjauh dari Anthonny. Tak hanya mendapatkan informasi dari timku, jika kuingat kembali, Anthonny beberapa kali pernah mencoba untuk menjatuhkan Leon ketika ia memiliki kesempatan berbincang denganku. Ya, Anthonny memang begitu dekat dengat Leon, ia pasti mengetahui kebiasaan Leon yang berubah akhir-akhir ini ketika harus diam-diam menemuiku. "Oh, sial! Anthonny memang orang nya," gumamku yakin.
"Teman? Mereka mungkin saja berbohong padamu karena terintimidasi oleh sikapmu yang seenaknya," perkataan Leon berhasil melukai harga diriku. Ya, sebagian perkataannya bisa saja benar. Lagipula, aku memang tak memiliki seorang teman. Namun caranya mengelaklah yang berhasil menyakiti hatiku.
Rasanya sesak. Kenapa kau tak mempercayaiku?
Aku kusentakkan bahuku pada lengan Leon ketika aku berlalu melewatinya "Bagus , Leon. Jika seperti itu, kusarankan kau harus merayakan hari persahabatan dengan Anthonny esok hari," ucapku sembari berlalu sembari memperlihatkannya jari tengahku yang cantik, kemudian masuk ke mobilku dan mengendarainya dengan cepat untuk meluapkan emosiku.
***
Oh Tuhan, aku benar-benar putus asa. Leon tak kunjung menghubungiku di akhir pekan. Dengan begitu, sudah tepat seminggu lebih ponselku ia mengabaikanku, lagi. Aku merasa bodoh dan cerdik secara bersamaan. Aku berhasil mengetahui bahwa Anthonny adalah orang yang menyebarkan kabar burung―yang separuh benar―mengenai Leon. Tetapi aku merasa begitu dungu ketika aku menyadari betapa sulitnya meyakinkan Leon bahwa ada yang salah mengenai Anthonny. Bukan aku yang dungu, tapi Leon yang seperti itu.
Ah tidak, bukankah aku lebih dungu? Apa yang kulakukan sekarang adalah cerminan dari begitu dangkalnya otakku. Saat ini aku sedang duduk di sebuah kursi kedai kopi yang berada tepat di seberang apartemen Leon. Aku merindukan Leon, kuharap aku dapat melihatnya menyeberangi jalan ini. Ya, hanya sekilas pun tak apa. Aku tahu, aku sudah tidak waras.
Aku tak ingin menghubunginya terlebih dahulu. Tidak, terima kasih! Meskipun beberapa kali aku hampir menekan tombol 'kirim' di ponselku dan menghadiahinya beberapa baris kata, tapi aku kembali menghapusnya. Itu akan benar-benar melukai martabatku.
Ponselku berdering, seseorang dengan nomor yang tak dikenal menghubungiku. Kali ini aku mengangkat sambungan itu dengan cepat, tak seperti Jill yang akan mengabaikan nomor tak dikenal. Aku tak ingin membuang waktu jikalau yang menelepon adalah seseorang yang berniat menipuku. Tapi sekarang, jika orang yang meneleponku adalah penipu, aku bersumpah akan mengerjainya. Aku terlalu bosan, setidaknya itu akan menjadi hiburan murahan untuk hari-hariku yang suram belakangan ini.
"Jillian, aku ingin memastikan apa itu kau?" suara pria yang begitu antusias itu terdengar begitu familiar.
Aku mengeryit heran. "Siapa ini?" balasku spontan dengan nada datar. Tak ada yang memanggilku dengan nama depan selain keluargaku dan James, tapi suara itu bukan suara keduanya.
"Lihatlah ke belakang!" pintanya.
Kumiringkan tubuhku sedikit dan menoleh ke arah belakang persis seperti permintaan orang itu. Tak lama, kudengar orang itu memutus sambungan telepon kami. Beberapa detik kemudian kusadari seseorang melambaikan tangan padaku, ia menghadiahiku senyuman penuh, Timothy. Tentu saja kubalas lambaian tangannya, lalu dengan separuh berlari, ia menghampiri kursiku.
"Hei, apa kabar? Kau sendirian? Apa aku boleh bergabung?" ia melemparkan beberapa pertanyaan sekaligus tanpa terjeda, seakan tak memberikanku kesempatan untuk membalasnya. Dari caranya memegang sandaran kursi yang berhadapan denganku, aku sangat yakin ia begitu ingin duduk denganku.
"Please," balasku sembari menyeruput minumanku sembari mengarahkan tangan pada kursi tersebut. Lagipula tak ada alasan untuk menolaknya 'kan?
Timothy dengan cepat menggeser lalu menduduki kursi itu, ia terkesan begitu terburu. Ia bahkan menjatuhkan beberapa berkas dari tas kerjanya yang tidak tertutup rapat ketika hendak menaruhnya. Dan tanpa sadar aku tertawa kecil karenanya, ia begitu mirip dengan salah satu tokoh yang ada di serial komedi. Sikapnya yang kikuk, setidaknya cukup menghiburku.
"Ups! Maaf karena menginterupsi waktumu," ucapnya sembari merunduk dan merapikan berkas-berkasnya kembali.
"Kuharap atasanmu memberikan kenaikan gaji yang tinggi untuk tugas di akhir pekan," komentarku sembari sedikit menggeleng.
"Jika kau mencintai pekerjaanmu, kau tak akan peduli dengan nominal," balas Timothy sembari kembali tersenyum dengan bibir tipisnya.
Kuacungkan gelas kopiku sedikit keatas seakan mengajaknya untuk bersulang menyelamatinya.
"Well, aku hidup untuk ini," jawabnya kembali sembali terkekeh.
"Jadi, apa yang sedang kau kerjakan?" tanyaku sembari melirik isi berkas yang ada di tasnya.
Timothy mengeluarkan kembali berkas-berkasnya dan menjelaskan beberapa diantaranya padaku. Aku pun sama antusias ketika mendengarkan Timothy menjelaskan mengenai proyeknya yang bekerja sama dengan sebuah Lembaga Antariksa milik Austria. "Mereka akan mengenai Derb ....umm maksudku makhluk bersel satu ini ke mars," jawab Timothy sembari menunjuk salah satu gambar di lembar berkasnya.
Kutarik sedikit kertas berkasnya untuk melihat lebih jelas gambar makhluk yang begitu mirip gelembung dengan sebuah biji kedelai di dalamnya. "Cantik sekali," ucapku mengagumi makhluk itu.
"Aku menamainya Derb," ucapnya sembari melemparkan pandangannya padaku, namun sedetik kemudian ia kembali merasa kikuk lalu ia menggaruk kepala belakangnya. "Ak... Aku tahu itu sedikit aneh."
"Dan... apa kau ikut pergi dengan Derb-mu ke luar angkasa?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Oh tidak, aku tetap akan berada di tanah. Aku mabuk pesawat ulang-alik," candanya. "Tidak, aku hanya bercanda." Rasanya ia berusaha untuk tak terlihat konyol di depanku, namun caranya menjelaskan bahwa ia sedang mengeluarkan lelucon, membuatnya bertambah konyol di mataku. Bagiku, hanya 'bungkusnya' saja dari Timothy yang berubah, sisanya, ia seperti Timothy si culun yang kukenal.
"Lalu, kau hanya melihat Derb dari kejauhan?" tanyaku. Sama sepertiku saat ini, hanya melihat Leon dari kejauhan.
Timothy sedikit mengangkat bahunya, "kurang lebih seperti itu. Aku hanya mempersiapkannya untuk pergi, dan setelahnya meneliti beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada Derb ketika ia kembali."
"Tapi bisa saja Derb akan mati ketika kembali 'kan?"
"Delapan puluh tujuh persen kemungkinan ia akan bertahan. Kami melakukan beberapa genetik," balasnya. "Kau terlihat masih tertarik dengan hal seperti ini?"
"Ya seperti itulah. Tapi aku tak ada waktu untuk kembali mempelajari sains," ucapku jujur. Seperti yang kukatakan, aku terlalu sibuk, sampai-sampai aku lupa melakukan hal yang kusukai. Aku sibuk mempersiapkan diri untuk Dreamcity di masa yang akan datang, sibuk dengan pekerjaanku sendiri, makan malam membosankan dengan James, dan diantara itu tentu saja, kesibukan favoritku adalah bersama Leon atau sekedar memikirkannya saja.
"Kau bisa datang ketempatku, maksudku ....kantorku. Aku akan mengenalkanmu pada Derb," undangnya, "aku hampir berada di sana sepanjang waktu," sambung Timothy, sembari menepuk-nepuk berkasnya yang masih di atas meja kerja. Tak kusangka ia dapat melemparkan sarkasme dengan baik.
"Terima kasih," ucap Timothy sopan pada pelayan yang baru saja meletakan kopi pesanannya. Setelahnya, ia mengalihkan pandangan dari kopi panasnya ke tangan kiriku yang ada di atas meja dan ia kembali menatap wajahku sembari sedikit menggeser kursinya dan memperbaiki postur duduknya. "Selamat atas pertunanganmu," ucap Timothy.
"...."
"Kuharap aku tak terlambat mengatakannya, karena terakhir kita bertemu kau tak memakainya," sambungnya kembali. Entah mengapa aku menjadi tak begitu nyaman ketika ia kembali melihat pada jemariku.
" Ya, terima kasih. Seseorang memaksaku memakainya," jawabku sembari tertawa getir sembari memutar-mutar cincin permata hijau besar yang menurutku terlalu mencolok. Aku sudah terlanjur berjanji pada James sialan.
Timothy tertawa pelan. Ia pasti mengira ucapanku adalah lelucon, sayangnya itu adalah fakta. "By the way, kau sering ke tempat ini?" aku menyukainya ketika ia merubah topik pembicaraan.
"Ini pertama kalinya," jawabku singkat. Kulirikkan mataku pada bangunan apartemen Leon. "Aku hanya kebetulan lewat tempat ini."
Kemudian, tanpa sengaja kujatuhkan pandanganku pada ponselku. Ada beberapa pesan yang belum sempat kubaca, pipiku merona ketika aku mengetahui pengirim pesan itu ada Leon. Ia menghubungiku kembali. Leon bahkan mengirimkanku beberapa pesan dalam selang waktu lima menit, tak seperti biasanya aku terkadang harus menunggu balasannya selama beberapa jam.
Leon: Aku tahu, aku mengacaukannya. Seharusnya aku mempercayaimu. Kau benar, Anthonny yang menyebarkannya.
Leon: Hei maaf, seharusnya aku menanyakan kabarmu terlebih dulu.
Leon: Bisa kita bertemu?
Leon: Apa kau sibuk, Jill?
Leon: Aku akan menunggumu di tempat kita.
***
Kuhadiahi Leon sebuah ciuman panas. Rasanya tak ada satu katapun yang dapat menggamarkan untuk menumpahkan kerinduan ini. Satu minggu bagiku seperti satu abad lamanya. Yang kulakukan pertama kali ketika membuka pintu tempat ini adalah melemparkan dan menenggelamkan diriku pada pelukan orang yang kucintai.
"Jill, aku...," Leon menyudahi sejenak percumbuan kami.
"Minta maaf? Sudah kumaafkan," jawabku tegas.
"Bukan itu, yang ingin kukatakan," ucap Leon. "Ta... tapi memang sudah seharusnya aku meminta maaf."
"Aku pantas untuk dibelikan hadiah sebagai permintaan maaf," ucapku manja sembari memeluk tubuh Leon. "Kau bahkan tak memberikanku bunga," kuhela napas panjang.
"Aku..."
"Tak apa, aku tahu kau tak ingin Anne mencurigaimu 'kan," balasku sembari tersenyum. "Leon berada disini sudah cukup untukku."
Leon menciumku lembut. Namun ia kembali menjauhkan bibirnya dari bibirku, "aku melihatmu dengan seorang pria."
"Apa maksudmu James? Kemarin ia memang mengajakku makan siang," jawabku santai. "Hanya makan siang," tegasku.
"Tidak, aku tahu itu bukan dia aku tahu. Aku melihatmu dan seseorang. Di kedai kopi."
Aku tersenyum, "namanya Timothy. Ia teman sekolahku dulu. Kami bertemu secara kebetulan."
"Dan...," balas Leon dengan nada lambat, seakan menuntutku untu memberikan penjelasan detail.
"Dan minum kopi," kupamerkan senyum lebih lebar dari sebelumnya, "Kau cemburu? Aku bahkan ak memiliki nomornya di ponselku. Kami benar-benar tak sengaja bertemu. Aku langsung pergi meninggalkannya ketika membaca pesan darimu."
"Bukankah sudah sepantasnya aku cemburu?" wajah Leon yang tersenyum seperti ini semakin membuatku berdebar tentunya. Ia lalu kembali memberikanku sebuah kecupan, tapi kali ini ia menghadiahinya di leherku. "bolehkah aku bermalam?"
Dan setelah pertanyaan itu, kami menghabiskan malam yang jauh lebih panjang dari biasanya.
***
Suara gaduh dari luar berhasil membuat mataku benar-benar terbuka, setelah beberapa menit yang lalu aku masih terjebak diantara dunia mimpi dan nyata. Jam pada ponselku menunjukan pukul dua pagi. Leon masih terlelap di sampingku. Aku tersenyum, ia masih di sini. Beberapa saat, aku mendengar suara gaduhnya sudah menghilang. Mungkin salah satu tetangga kami di lantai ini tengah mabuk dan tak sadarkan diri di lorong. Dengan sekuat tenaga kududukkan diriku di atas tempat tidur sembari kututupi sebagian tubuhku dengan selimut yang menemani kami sepanjang malam. Aku sangat lelah sebenarnya, tapi aku lapar. Aku bahkan tak begitu peduli dengan pakaian Leon yang tak sengaja terinjak olehku, yang kupikirkan saat ini adalah semoga aku dapat menemukan sesuatu yang bisa kumakan di dapur.
Ketika aku berjalan melewati ruang utama, aku menyadari ada seorang pria duduk di sofa tengah menonton televisi dengan suara yang cukup keras. Sontak aku menutupi hampir seluruh tubuhku dengan selimut yang kubawa ketika aku tersadar pria yang ada di sofa itu bukanlah Leon.
Pria itu menoleh ke arahku sebelum aku hendak kembali ke kamar dan membangunkan Leon. Aku sedikit melonjak karena terkejut bahwa ia adalah orang yang kukenal, dan kuyakin ia pun sama terkejutnya denganku, terlebih lagi melihatku hanya mengenakan lilitan selimut.
Oh, sial! Habislah aku!
***
TBC
Ada yang bisa tebak siapa yang datang ke aptmn Jill?
Btw, Tim Leon mana suaranya?
Sampai jumpa di hari jumat ;*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro