66
Aku tak menemukan Leon hari ini, dan itulah alasan yang membuatku terlihat muram sepanjang hari. Seperti baru saja keluar dari sebuah mesin waktu yang membuatku kembali pada beberapa bulan yang lalu. Saat yang sama ketika Leon belum bergabung di kantor ini―lebih tepatnya suasana yang sama. Aku merindukannya, meskipun semalam kami baru saja bertemu. Sayangnya, aku tak dapat menghubunginya dengan ponselku. Itu karena Anne, yang mungkin saja sedang bersamanya seharian ini.
Jangan menghubungiku terlebih dahulu. Aku akan mengurus sesuatu dengan Anne seharian. Itulah yang Leon katakan sebelum meninggalkanku dengan terburu semalam.
Apa akan terjadi pertengkaran besar di antara mereka? Apakah Leon akan mengakhiri hubungannya dengan Anne pada saat ini?
Aku mencoba memikirkan beberapa kemungkinan yang 'menguntungkan untukku'. Namun tak kupungkiri beberapa pikiran buruk menghantui kepalaku. Bagaimana jika yang terjadi adalah hal sebaliknya? Tidak! Leon telah berjanji kepadaku. Aku harus mempercayainya. Hanya perlu menunggu waktu sekitar dua bulan, lalu kami akan benar-benar bersama.
Karena semua hal ini, aku berhasil mengacaukan pekerjaanku. Aku hampir saja mengacaukan presentasiku di depan klien potensial perusahaan ini. Seperti tertimpa dua kesialan sekaligus.
Seketika aku kembali riang setelah mendengar suara ponselku. Namun pada detik berikutnya suasana hatiku berubah kembali. Kupikir Leon-lah yang mengirimiku pesan, namun yang kudapati adalah nama James di sana. Ia mengajakku makan malam hari ini, tentunya diawali dengan permintaan maaf pada kepala pesannya. James sibuk akhir-akhir ini, dan terkadang ia seenaknya saja mengubah jadwal pertemuan kami. Biasanya, aku akan menolak. Tapi tidak dengan hari ini, entah mengapa aku ingin menurutinya.
Aku bergegas untuk merapikan meja kerjaku dan meluncur ke elevator. Sesekali kurapikan dandananku dengan bercermin melalui pantulan dinding Elevator. Tidak, aku tidak berias untuk James tentunya. Aku hanya tak ingin terlihat mempermalukan diriku di mata orang lain karena tak menyesuaikan diri dengan James yang selalu berpakaian rapi. Dengan cepat kuturunkan jemari yang sebelumnya tengah menyisirkan ujung-ujung rambutku, tepat pada saat pintu elevator terbuka di lantai dua puluh lima. Dua sosok karyawati masuk sembari melanjutkan obrolan mereka dengan nada yang pelan. Seorang wanita berkacamata berumur sekitar tiga puluh tahunan berambut pirang dengan potongan pixie―model yang terlihat begitu usang menurutku―dan seorang wanita lainnya terlihat jauh lebih muda, ia berambut cokelat bergelombang sebahu, di lehernya tergantung scarf merah muda menyilaukan. Mereka terlalu sibuk berbisik sehingga tidak menyadari sosokku yang sedari tadi bersandar di sisi dinding terdalam elevator.
Belum ada satu menit bersama kedua wanita ini, aku bahkan sudah tahu jika ada salah satu rekan kerja mereka yang sangat tidak disukai―seseorang bernama Claire―mereka sedang bergosip. Apakah orang-orang di kantor ini begitu senang mengurusi hal-hal tak berguna seperti itu? Sangat membuang waktu. Kukeluarkan ponselku dan menunduk mencoba menghiraukan apapun yang mereka berdua bicarakan. Kubuka beberapa pesan rahasiaku dengan Leon untuk meredam kerinduanku seharian.
"Hei, apakah kau sudah mendengar mengenai skandal terbaru dari orang-orang yang ada di lantai 28?" ucap wanita berambut pirang.
Lantai dua puluh delapan? Bukankah itu lantaiku? Kalimat terakhir dari mereka berhasil membuatku hampir mengangkat kepala. Entah bagaimana rasa ingin tahuku amat tergelitik, sesekali kulirikkan mata ke arah mereka. Tidak, ini tidak termasuk menguping 'kan? Aku hanya 'tanpa sengaja' mendengarnya.
"Aku pernah mendengarnya sekilas. Mengenai affair seorang manager jika aku tak salah dengar," balas si 'scarf merah muda'.
Kalimat yang kudengar berhasil membuatku bergetar. Hanya ada tiga orang sekelas manager yang berada di lantaiku―aku, Leon dan Nyonya Stacy dari divisi legal. Siapa yang mereka bicarakan? Oh tidak! Bagaimana jika yang mereka bicarakan adalah aku dan Leon? Ataukah mungkin Nyonya Stacy? Perasaanku sedikit tak enak.
"Yap. Tuan Walmer, kau tahu orangnya 'kan? Kau pernah bercerita jika kau pernah bertemu dengannya pada saat rapat," wanita berambut pirang melanjutkan.
"Walmer? Aku tak mengenalnya. Umm ...apa maksudmu Tuan Walker?!" wanita scarf merah muda membenarkan.
Mendengarnya, spontan aku tak mampu lagi untuk menundukkan wajah. Tanpa sadar kugigit bibir bawahku sendiri. Oh, Sial! Bagaimana mungkin mereka mengetahuinya? Kami tak pernah terlihat bermesraan di tempat ini. Sama sekali. Argh! Mengapa hal tersebut bisa tersebar? Rasanya aku tak dapat merasakan kakiku, dan ingin menjatuhkan tubuhku begitu saja di tempat ini.
"Ya, Walker! Aku tak begitu hapal dengan namanya. Ia digosipkan memiliki hubungan dengan bawahannya. Jika gosip itu benar, wanita itu pasti memanfaatkan Tuan Walker untuk menaikkan jabatannya," dari cara wanita pirang itu berbicara, ia terlihat sudah terbiasa bertukar kabar burung dengan orang lain, "well, terkadang hal-hal seperti itu memang sering terjadi di tempat kerja."
"Kau tahu siapa orangnya?" wanita ber-scraf merah muda bertanya dengan suara yang lebih kencang. Sepertinya ia terlalu antusias.
"Aku tak begitu yakin. Bukankah begitu banyak wanita di divisinya?" jawab si wanita pirang.
Bawahannya? Aku sedikit bersyukur mereka masih menebak-nebak siapa wanita yang bersama Leon. Dan, pffft.. menggoda Leon dengan alasan pekerjaan? Meskipun sebenarnya Leon sangat dekat dengan Tuan Alba, aku tahu aku selalu bekerja dengan sangat baik. Aku bahkan tak perlu melakukan hal kotor seperti itu.
"Hei, apakah kau akan melakukan hal yang sama seperti wanita itu? Merayu atasanmu demi pekerjaan?" wanita ber-scraf merah muda melontarkan pertanyaan yang terlalu pribadi menurutku.
Wanita berambut pirang itu mengangkat punggung tangan kirinya, memperlihatkan cincin yang ada di jari manisnya kepada lawan bicaranya. "Sayangnya aku telah menikah," balasnya sembari sedikit terkekeh.
"Jika aku jadi wanita itu, aku bahkan tak peduli sama sekali dengan pekerjaanku. Aku rela mengambil 'jam lembur' bersama Tuan Walker tanpa imbalan apapun," wanita ber-scraf merah muda itu menjawab dengan begitu percaya diri. "He is so hot!" ucapnya sembari mengipaskan jemari di depan wajahnya.
Aku tahu, dengan wajah yang ia miliki Leon pasti akan begitu cepat menjadi populer dimana pun ia berada. Menggelikan rasanya melihat tingkah wanita ber-scraf merah muda ini, rasanya aku ingin memberi pelajaran pada wanita yang begitu 'kehausan' ini. Jangan bermimpi Nona, Leon adalah milikku!
"Umm ....bagaimana kau bisa mengetahui hal ini?" wanita ber-scraf merah muda ini seakan berhasil membaca pikiranku yang penuh dengan pertanyaan yang sama dengan yang baru ia lotarkan.
"Aku mengetahuinya dari...."
Tring! Pintu elevator terbuka tepat di lobby, suaranya menyamarkan jawaban dari wanita pirang itu. Setelahnya mereka berjalan menuju tengah-tengah lobby sembari masih bercengkrama kemudian pergi ke arah yang berbeda bersamaan dengan pintu elevator menutup dengan sendirinya.
Jadi, dari mana mereka semua tahu mengenai Leon yang berkencan dengan 'seseorang' di kantor ini? Sial! Rasanya aku ingin meminta wanita itu mengulangi jawabannya. Tapi, bukankah hal itu akan membuatku dicurigai? Kukerahkan otakku untuk memikirkan bagaimana gosip mengenai Leon yang sedang beredar di tempat in bisa terhapusi. Hal itu sangat mengancam hubungan kami, namun sepertinya aku tak dapat berbuat apapun.
Suara deringan ponsel mengejutkanku dan nyaris membuatku mati di tempat. James, lagi-lagi. Ia mengatakan sudah berada di lobby. Kutarik napas dalam-dalam, mencoba meluruhkan kekhawatiranku mengenai gosip Leon yang tersebar. Seketika aku tersadar, sekeras apapun aku berpikir permasalahan itu tak dapat langsung menghilang. Spontan kutekan jemariku pada salah satu tombol, aku berjanji aku akan melupakannya―mengenai Leon, Anne dan gosip apapun yang beredar― setelah keluar dari elevator. Tapi hanya untuk sementara waktu tentunya. Ketika pintu terbuka, kudapati James tengah mengecek arloji di pergelangannya. Persis seperti yang baru saja ia katakan pada sambungan telepon, ia berada di tengah-tengah lobby.
"Hei," sapaku sedikit canggung. James hanya membalas dengan senyuman sejenak. Bukan senyuman penuh yang biasanya ia berikan kepadaku. Sepertinya suasana hatinya sedikit berbeda saat ini.
Dan hal itu pun berlaku saat kami makan malam, hingga ia mengantarku sampai depan pintu rumah. Tak ada kata-kata rayuan yang ia lemparkan malam ini. Aneh, tapi aku menyukainya karena ia tak terlalu mengusikku. Ia seperti bukan James, mungkin ada masalah pada pekerjaannya. Mengingat ia lebih seenaknya menjadwalkan ulang beberapa pertemuanku.
"Kau sudah pulang?" ucap Marie yang muncul dari balik pintu rumahku. "Oh, hai Jim!" sapa Marie ketika ia menyadari James masih berada di belakangku.
"Masuklah," ajak Marie sembari membantu James menggantungkan mantelnya. "Bagaimana lenganmu? Kau sudah melepas gipsnya. Apa sudah bisa digerakkan seperti biasa?"
Kuakui Marie memiliki kemampuan berbasa-basi yang luar biasa. Ia bahkan mampu beradaptasi dengan orang asing dengan begitu cepat, salah satunya James. Ia 'orang asing' dalam kategoriku. Aku tak begitu menganggapnya, bahkan aku sampai melupakan jika sebelumnya tangannya sempat terluka. Apa ia marah karena aku tak mempedulikannya?
"Aku masih merasakan sakit ketika menyetir, tapi sepertinya sudah tak apa," balas James.
"Kenapa kau tak mengatakannya padaku? Seharusnya aku saja yang menyetir," ucapku untuk menutupi kesalahanku yang bersikap tak peduli pada James.
"Kalian harus lihat apa yang dibawa Jean," ajak Marie sembari menarik tanganku. Marie tak bisa berbohong dengan mata yang begitu berbinarnya.
Sejenak, kupikir Jean membawa salah satu teman wanitanya untuk diperkenalkan kepada orang tuaku secara resmi, sebagai tanda ia sembuh dari 'penyakitnya' yang suka mempermainkan wanita. Tapi yang kudapati, tentunya berbeda. Ruang tamu kami dipenuhi oleh puluhan, ah tidak ....mungkin ratusan hadiah dari penggemar Jean.
Rangkaian bunga, beberapa tas serta sepatu bermerek, makanan serta anggur-anggur mahal. Orang-orang itu sudah tidak waras dengan memberikan semua ini. Jean memang populer dan begitu karismatik ketika ia muncul di kontes memasak di televisi, tak heran begitu banyak yang berhasil tertipu dengan citra palsunya. Dan bisa kupastikan kepalanya akan semakin besar bak labu dari New Hampshire.
"Kau bisa ambil salah satu anggurnya, Jill," ucap Jean sembari memberikanku sebotol anggur.
"Tidak, Jean terima kasih. Aku tak berselera meminum anggur pemberian pacar-pacarmu," balasku menolaknya dengan nada mengejek. "Kau mau?" kutawarkan anggur itu pada James.
"Aku sedang mengurangi alkohol," ucap James dingin. Aku merasa tak nyaman dengan cara bicara James saat ini.
"Ini sudah malam, bagaimana jika kuantar sampai ke mobil? Bukankah kau harus bekerja esok hari?" ucapku mencoba aku mengusir James sehalus mungkin.
James hanya menurut, kugandeng tangannya. Ketika tepat di depan pintu utama, ia menghentikan langkahnya dan melepaskan lenganku yang memeluk lengannya. Entah mengapa ini menjadi begitu canggung, biasanya ia yang akan memaksaku menggandengnya.
"Apa terjadi sesuatu?" tanyaku setelah merasakan kejanggalan sikapnya seharian, kuputuskan untuk menanyakannya.
"Mood-ku sedikit rusak," jawab James. "Bolehkan aku meminta sesuatu darimu untuk memperbaiki suasana hatiku?"
"Ya, aku akan senang jika dapat membantumu," jawabku spontan. Suasana hatiku pun buruk hari ini, karena aku tak bertemu dengan Leon. Ditambah dengan isu mengenai Leon yang tersebar, tentunya semakin memperburuk perasaanku. Jadi aku sendiri begitu paham bagaimana rasanya.
"Berjanjilah, kau akan menepatinya" ucapan James lebih terkesan memaksa.
"Aku tak main-main dengan ucapanku, James. Tapi mungkin akau akan berubah pikiran beberapa saat lagi," ucapku ketus.
James semakin mendekatiku, menyisakan jarak beberapa inchi antara kami. Jika dilihat dari dekat, ternyata ia lebih tinggi dari yang kuduga. Sepertinya aku benar-benar terlalu menghiraukannya selama ini. Tentu saja, karena ada Leon yang mengisi diriku selama ini. Tak ada sedikit ruang pun untuk James.
James sedikit menundukan wajahnya. Jemarinya menyentuh pipi kananku. Telapak tangannya cukup hangat. Aku ingin menghindar, tapi ia memojokkanku ke arah dinding. Dari posisi seperti ini, aku dapat mendengar napas beratnya, melihat mata kelabunya lebih dalam. Sayangnya ia masih mengerutkan alisnya, sama seperti yang ia tampakkan hampir sepanjang malam ini. Dahi kami pun bersentuhan. Aku takut ada yang melihat kami, Jean pasti akan menertawaiku habis-habisan dan Marie akan menanyakan banyak hal-hal yang akan menggangguku jika ia menemukan kami seperti ini. Tapi James sepertinya tak memedulikannya sama sekali, wajahnya semakin mendekatiku, hingga kami hampir tak berjarak. Dan....
***
TBC
Special untuk teman2 yang nunggu2 (hingga neror 'kak kapan update') cerita ini.
Terima kasih tak terhingga Darls,
Love,
MR
Ps: Chapter selanjutnya akan di up di hari Rabu 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro