64
"Dua setengah bulan?" James mengerutkan dahinya. Sesekali ia mengusap sudut bibirnya dengan serbet.
Malam ini, aku berhasil menghabiskan daging domba yang disajikan sebagai menu utama hingga tak bersisa. Aku merasa, makanan kali ini jauh berkali lipat lebih lezat. Mungkin karena James yang tak pernah salah memilihkan restoran untuk makan malam kami. Atau... mungkin saja karena aku terbawa perasaanku yang menggelembung bahagia.
Berikan aku waktu dua setengh bulan. Dan aku akan meninggalkan Anne.
Kalimat itulah alasannya. Alasan yang membuatku sangat bahagia, Leon memutuskan untuk meninggalkan Anne tanpa harus menungguku membatalkan pertunanganku. Dan tentunya aku pun mengatakan tenggat waktu nyang sama pada James. Ya. Dua setengah bulan itu akan cukup.
"Kau mengatakan jika ingin mempercepatnya bukan?" ucapku sembari menggoyang-goyangkan gelas anggurku. "Dan dua setengah bulan termasuk waktu yang cukup cepat untukku."
"...," James hanya menatapku.
Apa ia sedang mencurigaiku?
"Ak... aku hanya ingin menikmati waktu 'sendirian' sementara waktu. Aku akan cukup sibuk ketika menikah, bukan?" Aku mencoba menggunakan otakku dengan cepat untuk merangkai sebuah alasan. "Aku ingin bepergian bersama teman-temanku."
James menghela napasnya. "Baiklah," kalimatnya begitu singkat, aku sedikit curiga jika ia tak benar-benar mempercayaiku. "Teman? Kupikir selama ini kau tak memiliki teman. Kau terlihat selalu sendirian."
Aku membuang tatapanku. "Tentu saja aku memilikinya," lalu aku kembali menatap James. "Dan satu hal lagi, selama dua setengah bulan, jangan menemuiku secara mendadak. Setidaknya kabari aku dua minggu sebelumnya."
"Kau begitu sibuk rupanya? Lalu bagaimana dengan persiapan pesta perni..."
"Bagaimana dengan Dreamcity?" aku menyela kalimat James. Persiapan pesta pernikahan? Itu tak akan terjadi, bukan? Aku bahkan sama sekali tak peduli dengan hal itu.
"Kabar baiknya, rencana pernikahan kita akan membantu untuk mengulur waktu untuk melakukan investigasi mengenai dokumen-dokumen milik Allison yang sebelumnya diduga palsu," ucap James.
"Allison?" aku begitu asing mendengar nama itu.
"Ia adalah suami Daisy, kakak perempuanku. Menurut perkiraanku ialah yang mengincar Dreamcity sejak awal."
Kali ini akulah yang mengerutkan dahi. Kakak perempuan? "Maksudmu... dengan kata lain kau melawan anggota keluargamu sendiri?"
"Bisa dikatakan seperti itu," jawab James santai.
Aku sendiri memang tak begitu mendalami mengenai permasalahan Dreamcity dan Keluarga besar Myers, karena aku tak begitu mendapatkan informasi detail dari Daddy sebelumnya. Daddy hanya memintaku untuk bertahan bersama James sementara waktu.
Sepertinya ini jauh lebih rumit dibandingkan apa yang sebelumnya kupikirkan secara singkat di otakku. Mungkin aku harus meminta penjelasan dari Daddy setelah ini. Diluar itu, sebenarnya apa yang di dalam pikiran James? Kenapa ia lebih memilih berada di pihak Dreamcity dibandingkan dengan membela keluaganya sendiri?
Apakah James memiliki maksud lain dengan memihak Dreamcity? Sangat tak mungkin jika seseorang melakukannya dengan sukarela 'kan?
"Baiklah, aku akan mengikuti maumu," James merogoh sakunya. Lagi-lagi ia mengeluarkan kotak beludru itu.
Ia berdiri dari duduknya dan mendekatiku. Tak seperti sebelumnya, kali ini ia tak berlutut di hadapanku. Ia membuka kotak beludru itu dan mengeluarkan cincin yang berbeda dari cincin yang sebelumnya hampir diberikannya kepadaku. Cincin yang jauh lebih indah, permatanya berwarna putih bentuknya lebih besar dan gemerlap.
"Tanganku tak memungkinkan untuk memakaikan ini di jarimu," ucap James sembari menatap gipsnya. "Kuharap kau tak tersinggung jika aku memintamu untuk memesangkannya sendiri."
Tak ada permohonan 'Maukah kau menikah denganku?' dari James. Hanya ada sebuah perjanjian diantara kami.
Untuk beberapa lama, James masih saja berdiri di dekatku. Seakan sedang mengawasi untuk sesegera mungkin mengambil cincin itu dan mengenakannya sesegera mungkin. "Pakailah," pintanya dengan nada sedikit memaksa.
Akhirnya aku mengambil benda itu. Kucoba untuk tak terlihat ragu di hadapannya.
"Aku ingin menandai sesuatu yang menjadi milikku," sambung James.
***
Cincin ini sangat cantik. Benda ini seakan menghipnotisku dengan permata besarnya. Aku tak percaya pada akhirnya cincin dari James akan melingkar di jariku. Bagaimana bisa aku merasa waktu berjalan begitu cepat dan lambat secara bersamaan?
Aku ingin menandai sesuatu yang menjadi milikku.
Mungkin seharusnya itu menjadi kalimat yang romantis jika kami sepasang kekasih sungguhan. Kalimat James itu masih berputar di otakku, padahal sudah hampir berlalu setengah hari sejak ia mengatakannya.
Kulipat kakiku dan kunaikkan ke atas sofa sembari mencoba melepaskan ketegangan-ketegangan yang ada di tubuhku. Kuhela napas panjang sembari melepaskan tatapanku dari jari manisku dan mengarahkannya pada layar ponsel yang menunjukan hampir pukul sepuluh malam. Lagi-lagi Leon terlambat datang.
Ini benar-benar membingungkan. Aku merasa waktu berjalan sangat lambat ketika makan malam bersama James. Namun, hal itu berbanding terbalik ketika aku berada di dekat Leon. Meskipun akhir-akhir ini kami berdua lebih sering bersama, kurasa itu tak pernah cukup.
Secara spontan aku sesegera mungkin melepaskan cincin pertunanganku dan memasukannya ke dalam tas, bersamaan dengan munculnya Leon dari balik pintu utama tempat rahasia kami.
"Terima kasih sudah menungguku," ucap Leon sembari menaruh sebuah kantung plastik yang entah apa isinya.
"Kau membeli snack?" tanyaku sembari membuka kantung yang ada di atas coffee table. Namun aku tak menemukan satu pun makanan ringan di sana, hanya ada beberapa bahan makanan mentah.
"Kau sudah makan malam?"
"Belum. Kenapa tidak memesan saja?" balasku. Secara tak langsung, aku menolak jika harus menyulap bahan-bahan mentah ini menjadi sesuatu yang bisa dimakan. Aku tak ingin harga diriku jatuh jika Leon mengetahui aku tak pandai memasak.
"Tak perlu, aku yang akan memasaknya," ucap Leon sembari tersenyum hangat. Ketika ia mengatakannya, aku merasa ia semakin sangat mengagumkan di mataku dan tentunya jantungku pun berdetak semakin keras.
Oh Tuhan, aku sangat... sangat mencintainya lebih dari yang kukira.
Kemudian kulirikkan bola mata ke arah tasku, tempat dimana kusembunyikan cincinku. Seketika muncul kekhawatiran di benakku. Bagaimana jika Leon mengetahui jika James sudah melangkah lebih jauh?
***
Aku merasa satu minggu terakhirku ini sangat berlalu dengan damai. Tak ada pertemuan tiba-tiba dengan James. Pria itu menepati janjinya untuk tak 'menggangguku'. Terlebih, dalam beberapa hari dalam seminggu Leon jauh lebih sering berada di tempat rahasia kami itu, seakan kami benar-benar tinggal bersama.
Di kantor pun, aku selalu bersama Leon. Meskipun kami tidak benar-benar bersama, dan hanya saling menghadiahi senyuman ketika salah satu dari kami tertangkap sedang memperhatikan dari kejauhan. Kami... atau lebih tepatnya aku harus selalu waspada karena bisa saja James muncul tiba-tiba di tempat ini. Lalu, bagaimana jika itu terjadi dan James menanyakan mengapa aku tak memakai cincin itu?
Kuketuk-ketukkan ujung pena yang ada di tanganku pada dahiku. Kemudian kutaruh dahiku di atas beberapa berkas pekerjaanku. Argh! Kuharap masalah seperti ini bisa segera usai. Aku ingin hidup jauh lebih tenang.
Deringan telepon berhasil membuatku kembali mengangkat kepalaku dan menegakkan posisi dudukku. Aku berdehem sejenak, berusaha membersihkan pita suaraku.
"Halo?"
"Halo Nona Reed," sapa seseorang dari ujung sambungan. Aku sangat hapal suara ini, suara salah satu resepsionis di gedung ini. Jika aku tak salah ingat, namanya adalah Patty.
"Ya?" sahutku.
"Seorang wanita meminta kau untuk menemu.... Maksudku, anda memiliki seorang tamu wanita," ia berbicara dengan tergesa, bahkan Patty sempat meralat kalimatnya.
"Bukankah aku tak memiliki janji dengan siapapun hari ini?"
"Ia mengatakan sangat mengenalmu, Nona Reed," sambung Patty.
"Bukankah aku pernah menginformasikan padamu jika aku tak ingin menemui siapapun tanpa ada perjanjian? Terkecuali ia meneleponku secara pribadi sebelumnya?" jelasku, mengingatkan Patty.
"Tap... tapi, ia sedikit memaksa. Sepertinya ia sedikit gila. Ia mengancam akan membuat keributan di tempat ini," ia mengatakan kalimat terakhirnya dengan sedikit berbisik.
Depresi? Sepertinya aku tahu siapa orang ini... Tentu saja, dari deskripsi singkat yang Patty berikan, orang itu pasti Alicia. Untuk apa ia menemuiku? Bukankah seharus...
"Ia mengatakan namanya adalah Anne," kalimat Patty spontan mengacaukan asumsiku. Ketika mendengar itu, rasanya seluruh tulang tercabut dari tubuhku. Membuatku ingin menabrakkan diri pada lantai.
Oh, tidak!
***
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro