Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

63


"Apa yang kau lakukan, Nona Reed?"

Leon marah padaku. Aku tahu tentunya dari bicaranya yang sedikit geram. Ia bahkan sedikit merapatkan mulutnya, seakan menahan rasa kesalnya yang memuncak.

Kutarik dan kurapikan pakaianku yang hampir separuhnya terlepas. Secara spontan, kugeser tubuhku pada sisi headboard tempat tidur, menjauh dari tempat Leon terduduk. "Aku tak ingin melakukannya," kupegangi erat bagian kerah pakaianku, menegaskan bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku.

Leon beranjak dari duduknya. "Jika seperti itu, kau tak membutuhkanku 'kan?" ucapnya datar. 

Apa? Tak membutuhkannya? Apa ia berpikir jika aku memintanya mendatangiku hanya untuk bercinta saja? 

Aku cukup tersinggung dengan perkataannya itu. Namun, ketika aku mendapati ia menatapku dengan dingin. Aku menahan diriku untuk tak melampiaskan rasa ketersinggunganku. Semua karena mata itu... Mata yang sama yang pernah kutemui sebelumnya, saat Leon mencoba menghindariku di masa silam.

Apa ia marah padaku? Aku tak ingin ia marah. Kularikan bola mataku ke arah lain. Menatapnya yang memasang ekspresi seperti itu membuat hatiku serasa tertusuk berpuluh-puluh jarum.

Jangan marah kepadaku, Leon.

Kutekuk dan kupeluk kedua kakiku dengan lesu kuhembuskan napas panjang. "Aku hanya ingin kau berada di sampingku. Itu saja. Aku tak menginginkan hal yang lain," jelasku. Kemudian kusandarkan dahi pada lututku. "Jika menurutmu memang tak ada hal yang harus dilakukan, kau boleh meninggalkanku," sambungku. Aku tak ingin Leon melihat bagaimana raut wajahku ketika mencoba memintanya pergi. Selain itu, aku tak sanggup menerima tatapan dingin itu. Yang kulakukan saat ini hanya menunduk sembari memejamkan mataku.

Tak berapa lama, telingaku menangkap suara daun pintu yang tertutup perlahan. Tentu saja, ia pergi. Apa lagi yang harus kuharapkan? Ia tetap di sini, tentu saja itu tak mungkin. Sudah terlalu jelas, aku baru saja menghadiahinya tamparan. 

Aku menghela napas panjang. Apakah keputusan untuk tak 'melakukan' apapun dengan Leon malam ini adalah salah? Namun, akupun tak ingin memaksakan diriku untuk bercinta dengannya di kala aku sibuk memikirkan permintaan James itu.

Menikah dengan James? Apakah itu akan benar-benar terjadi? Semakin kalimat itu berputar di kepalaku, rasa perih semakin bertambah di hatiku. Aku tak ingin bersama James. Aku hanya ingin Leon. Rasanya begitu sendu.

Jill tidak boleh menangis.

Tiba-tiba, aku merasa seseorang duduk tepat di sampingku. Leon? Kenapa ia masih berada di sini?!

Kali ini, kuangkat wajahku untuk memastikannya. "Kupikir kau per..."
"Apa kau baik-baik saja, Jill?" Leon memotong ucapanku. Ketika menatapnya, rasa perih yang sebelumnya menyelimuti hatiku seakan hilang sedikit demi sedikit. Terlebih tatapan dinginnya itu berganti dengan wajah sedikit gelisah.

"Maafkan aku karena menam..."
"Seharusnya aku yang mengatakannya," untuk kedua kalinya, Leon tak membiarkanku menyelesaikan kalimatku."Maafkan aku karena memaksamu kali ini."

"Apa ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?" tanya Leon. Ia sedikit bergeser ke arahku, membuat bahu kami bersentuhan.

"Mm-hmm," jawabku dengan sedikit anggukan.

"Apa aku bisa melakukan sesuatu untukmu?"

"Untuk sekarang, biarkan aku seperti ini." Aku tersenyum tipis, sangat senang ia memutuskan untuk tetap bersamaku. Kemudian kusandarkan kepalaku pada bahunya.

Ya. Biarkan saja seperti ini sementara waktu.

***

Aku menggeliat sembari membuka mataku perlahan. Cahaya mentari telah menelisik dari balik jendela yang tertutup sheer curtain, malam telah berlalu. Butuh beberapa detik untukku sampai  benar-benar tersadar jika aku terlelap di tempat  ini. Semalaman aku hanya merenung, sembari sesekali kukumpulkan niatanku untuk memberitahukan Leon mengenai permintaan James. Namun aku tak berhasil merajut keberanianku untuk mengatakannya, kami berdua hanya terdiam semalaman. Setidaknya, Leon berhasil sedikit menenangkanku dengan pelukannya sampai aku tak tersadar telah terlelap. Dan ini adalah pertama kalinya kami melewati malam tanpa bercinta, namun aku menyukainya.

Dimana Leon? Itulah kalimat tanya yang ada di otakku ketika aku tak mendapatinya di sisi kana tempat tidur. Tanpa harus melontarkan kalimat tanya itu melalui bibirku, aku sudah tahu jawabannya. Ia pergi menemui Anne, kembali pulang ke apartemen mereka agar wanita itu tak curiga. Seperti biasanya.

Kuputuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Sembari beberapa kali sibuk menguap kumelangkah menuju ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa kumakan dari dalam kulkas, meskipun seingatku aku tak menyimpan apapun di sana kecuali sekotak susu yang aku sendiri pun tak begitu yakin aku telah menghabiskannya atau tidak. 

"Kau bangun di saat yang tepat."

Sejenak, kupikir ini hanya mimpi. Namun, jika kuperhatikan kembali, suara itu terlalu jelas bagiku yang masih separuh mengantuk. Ya. Leon masih berada di tempat ini. Ia bahkan sedang sibuk menata bacon pada dua buah piring. Apa ia berbelanja dan memasak untukku sepagi ini? Aku tak bisa mempercayainya.

"Ummm... Kenapa kau ada di sini?" 

"Telur?" Leon tak memedulikan pertanyaanku. Ia hanya mengangkat sebutir telur dan menawarkannya padaku.

"Scrambled, please," balasku. 

Beberapa saat setelahnya aku hanya memperhatikan Leon yang tengah sibuk memasak sarapan. Kucoba untuk menahan senyuman lebarku, meskipun beberapa kali aku gagal malakukannya. Entah bagaimana aku dapat menjelaskan betapa bahagianya aku. Kami yang menghabiskan waktu sarapan bersama, terlebih lagi Leon-lah yang memasakkannya untukku, seakan kami benar-benar tinggal bersama. 

Jadi, seperti ini rasanya menjadi Anne? Anne benar-benar sangat beruntung.

***

Nama James memenuhi daftar panggilan tak terjawab dan pesan yang sengaja tak kubaca pada ponselku.  Karena sudah terlalu jenuh, kuputuskan untuk memasukkan nomor James pada daftar kontak yang kublokir. Aku tak ingin James lebih jauh merusak suasana hatiku pagi hari ini. Meskipun aku yakin dia akan melakukan cara lain untuk memaksa berbicara denganku.

Kali ini, aku memang jauh lebih egois. Aku bahkan tak ingin mendengar alasan apapun dari James mengenai rencana untuk mempercepat waktu pernikahan kami, meskipun ia sempat berdalih jika ini berhubungan dengan Dreamcity. Tapi aku ingin menikmati kebersamaanku dengan Leon lebih lama, bahkan untuk selama-lamanya.

Sesekali, tatapan kami bertemu. Ya, kami. Aku dan Leon yang sedang memimpin diskusi antar divisi kami. Rasanya belum cukup bagiku bersama dengan Leon, meskipun kami sudah menghabiskan waktu bersama pagi tadi. Semoga beberapa orang di tempat ini tak menyadari jika kami memakai pakaian yang sama dengan yang kami kenakan sehari sebelumnya. Pagi ini kami tak memiliki waktu untuk kembali ke rumah masing-masing karena nyaris saja terlambat.

Setelah satu jam lebih berlalu, karyawan lain pun telah meninggalkan ruang rapat yang kami gunakan. Menyisakan aku dan Leon yang masih berdiskusi mengenai pekerjaan.

Tok... Tok... Tok..
Seseorang mengetuk pintu kaca dari luar ruangan ini. Dan orang itu adalah... James. Sial.

Tanpa menunggu persetujuan dari kami, James masuk ke ruangan ini. Ia lalu menarik tanganku dengan seenaknya untuk mengikutinya ke arah koridor. Aku berusaha menarik kembali lenganku mencoba agar tak beranjak dari kursiku. Aku tak ingin bertemu James. Terlebih lagi, aku tak ingin mengomentari apapun yang menyangkut pernikahan kami.

"Apa kau tak lihat jika kekasihmu sedang sibuk bersamaku?" ucap Leon. Ia menahan kami dengan cara menggenggam pergelangan James yang sedang berusaha menarik tanganku. Ia terlihat jauh lebih mengagumkan dengan tatapannya yang sinis itu kepada James.

"Aku memiliki urusan dengannya," balas James. Dengan mencoba terlihat tenang James mendekatkan wajahnya dengan Leon. "Lepaskan tanganku."

Tatapan Leon semakin tajam pada James, mengisyaratkan ia tak takut dengan James yang menggertak. "Kau yang lepaskan tangannya. Ia masih bersamaku untuk membahas pekerjaan," balas Leon.

Jantungku berdebar dengan kencang melihat cara Leon untuk membuatku tetap berada bersamanya. Aku seperti berada di tengah-tengah adegan di film-film percintaan segitiga yang sering ditonton Marie. Wajahku serasa panas.

"Bagaimana jika aku tak mau melakukannya? Kau akan melawanku? Aku pemilik saham di tempat ini, aku bisa menendangmu dari tempat ini dengan sangat mudah, Tuan Walker," ini pertama kalinya kulihat James berbicara dengan nada yang sedikit meremehkan.

"Aku bisa saja menghajarmu, lalu seperti yang kau katakan Tuan Myers, kau menendangku dari tempat ini. Atau aku bisa saja membiarkan Jill pergi bersamamu, dan aku dipecat oleh Tuan Alba karena pekerjaanku tak selesai. Kedua pilihan itu tak ada yang menguntungkan untukku, bukan?" Leon lalu menatap ke arah lengan James yang masih terbalut gips. "Jika aku memilih menghajarmu, itu akan terlalu mudah untukku. Lagipula, aku tak ingin ada rumor jika seorang pemilik saham dihajar oleh seorang karyawan biasa sepertiku."

"...," James hanya terdiam.

Aku sedikit khawatir, bagaimana jika ia benar-benar akan menendang Leon dari perusahaan ini? "Aku berjanji akan berbicara padamu seusai pekerjaanku selesai," aku berusaha meredakan suasana yang begitu canggung ini. "Kau ingat ketika kita pergi ke pulau pribadimu? Karena hal itu Tuan Walker dan timnya, terkena masalah dari Tuan Alba. Aku tak ingin karena hanya urusan pribadi kita berdua, hal itu membuat orang lain nyaris dipecat." Aku mengungkit kejadian 'karangan' James untuk mempertegas bahwa aku mementingkan nasib karyawan lain.

"Apakah aku benar-benar bisa mempercayaimu, Jillian?" James mendekatkan bibirnya ke telingaku. Ia berbicara dengan sedikit berbisik.

"Jika kau takut aku lari darimu seperti semalam, kau bisa menunggu di luar ruangan untuk memastikannya," jawabku sembari mencoba terlihat ramah padanya, meskipun itu sulit. Kulebarkan senyuman palsuku.

James melepaskan lengannya dari lenganku, dan tak butuh waktu lama, Leon pun melepaskan genggamannya yang kuat itu pada lengan James. Aku dapat bernapas lega. Sesaat mataku berpetualang pada arah koridor, memastikan jika tak ada orang lain yang melihat peristiwa ini. Entah rumor apa yang akan beredar jika orang lain melihat kejadian ini.

"Aku menunggumu di luar," ucap James sembari menghadiahiku senyuman. Wajahnya kembali berubah seperti James yang biasa kutemui. Sebelum ia beranjak dari tempat ini, ia menghadiahiku sebuah kecupan di pipi.

Kali ini ia cukup berani. Dan sebaliknya, sekarang keberanianku untuk menolak kecupannya itu menghilang. Mungkin karena aku tak ingin Leon kehilangan pekerjaannya. Sedangkan Leon, kulihat ia begitu geram melihat perbuatan James. Namun aku senang melihat Leon yang terlihat kesal seperti itu.

Setelah James keluar dari tempat ini, aku dan Leon mulai kembali membuka beberapa berkas pekerjaan kami. Meskipun rasa tak nyaman menyeruak karena James memperhatikan kami dari balik dinding kaca.

"Terima kasih, karena membuatnya menjauh dariku sementara waktu," ucapku singkat sembari berpura-pura membalikkabbbeberapa lembar dokumen di tanganku.

"Sementara?" balas Leon heran. Ia pun melakukan hal yang sana denganku, berlagak seperti sedang membahas sebuah pekerjaan.

"Aku melarikan diri dari James,"

"Jadi, dia yang membuatmu muram seharian?" ucap Leon. Kami mencoba untuk tak menatap satu sama lain.

"Ya, seperti itulah," jawabku.

"Kau bertengkar dengannya?"

Kali ini kuarahkan tatapanku pada Leon yang masih berpura-pura sibuk dengan kertas-kertasnya itu. "Tidak juga," aku sendiri cukup bingung apakah aku dan James dapat dikatakan bertengkar atau tidak.

"Bertengkar? Jadi, hal itulah yang menjadi alasanmu untuk memintaku menemanimu semalaman?" Leon berasumsi.

Aku terdiam sejenak. "Ja.... James, ia memintaku untuk segera menikah dengannya," aku sendiri tak yakin ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Leon.

Leon mengangkat wajahnya, kami bertatapan beberapa saat. Setelah kalimat itu terucap, sudut-sudut mataku seakan berdenyut bersiap menjatuhkan air mata.

"Jangan menangis, Jill," setelah waktu yang cukup lama, akhirnya kalimat itu kembali Leon perdengarkan. Aku merindukan kalimat yang selalu membuatku kuat ketika aku dalam masalah.

Aku menarik napas panjang. Leon memang terlalu mengenalku, bahkan ia selalu tahu kapan aku merasa goyah dan ingin menjatuhkan air mata. Ya. Aku tak boleh menangis.

"Jill," Ketika ia memanggilku, Leon menatap ke arah James yang ada di luar. Lalu ia mengarahkan kembali tatapannya itu padaku.

"..."

"Berikan aku waktu dua setengah bulan. Dan aku akan meninggalkan Anne."

***
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro