60
Aku merasakan ada seseorang yang tertidur mendengkur di sampingku. Awalnya aku terkejut, karena aku benar-benar lupa jika aku bermalam dengan Leon. Ketika aku terbangun, kupikir apa yang kulalui sepanjang malam hanyalah sebuah mimpi, bahkan aku sudah berniat untuk kembali terlelap dan melanjutkan mimpi indah itu.
Dan... sejak kapan aku berada di atas kasur? Karena yang kuingat terakhir kali adalah aku terbaring dengan lelahnya di atas sofa.
Kubalikkan tubuhku, kulihat Leon memunggungiku. Kemudian kupeluk tubuhnya dari belakang. Tiba-tiba Leon sedikit terhentak dan membalikkan tubuhnya ke arahku, ia seperti terkejut karena sesuatu.
"Apa aku mengganggu tidurmu?" tanyaku dengan suara pelan.
"Ka... kau sudah terbangun?"
"Ada apa? Apa aku membangunkanmu?"
"Tidak. Bukan apa-apa," ucapnya sembari beranjak dari kasur lalu ia mengecek arlojinya di nightstand. "Sudah pagi, aku harus kembali ke tempatku sebelum Anne pulang."
Kulengkungkan bibirku, aku ingin Leon tahu bahwa aku kecewa. "Kau begitu mementingkannya."
"Aku hanya tak ingin membuat Anne curiga," ucap Leon sembari memakai pakaiannya dengan sedikit terburu.
"Kau akan meninggalkannya 'kan?" tanyaku. Aku mulai meragukan Leon.
"Tentu. Aku akan meninggalkannya pada saat yang tepat," ucapnya sembari mengunci kancing terakhir kemejanya. Ia menyambar kunci mobilnya. "Kita akan bertemu di kantor."
"Leon!" panggilanku membuat ia menghentikan langkahnya persis ketika ia berhadapan dengan pintu kamar yang separuh terbuka. "Kau melupakan sesuatu."
Tangan Leon lalu merogoh semua saku yang ia miliki, memastikan ia tak meninggalkan benda-benda miliknya.
"Kau lupa menciumku," sambungku.
***
Jemariku dengan lihai menari-nari di atas keyboard, namun otakku tak sepenuhnya berkonsentrasi pada layar komputerku. Entah sejak kapan aku memiliki keahlian untuk berpikir dua hal yang berbeda secara bersamaan. Sembari merekahkan senyuman, kubayangkan apa yang terjadi antara aku dan Leon semalam. Itu sangat luar biasa.
Aku tak percaya aku melakukannya dengan Leon. Meskipun sampai saat ini aku merasa sangat kelelahan. Kulirik sosok Leon yang sedang berdiskusi dengan Anthonny di ruangannya. Sesaat pandangan kami bertamu, secara spontan kulambaikan pelan tanganku. Seakan ingin memberitahukan padanya bahwa aku selalu memperhatikannya meskipun aku sedang sibuk bekerja.
Namun ia hanya menatapku sejenak dan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Anthonny.
Jill : Apa seperti itu caramu menyapa pasangan kencanmu semalam?
Kutuliskan pesan singkat untuknya seperti itu, anggaplah aku memprotesnya. Setidaknya aku layak mendapatkan senyumannya 'kan? Kulihat dari kejauhan, Leon menatap ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.
Leon : Aku akan menemuimu sebentar seusai jam bekerja di tempat kemarin. Kau tak perlu membalas pesanku.
Ia membalas begitu cepat. Aku sangat senang. Meskipun isi dari balasan pesannya tak seperti yang kuharapkan. Leon menegaskan untuk memutus obrolan kami melalui pesan singkat. Ada apa dengannya?
***
"Aku takut Anne membacanya," ucap Leon sembari mendaratkan tubuhnya di sofa. Kemudian Leon menatap arlojinya. "Aku akan pergi sebentar lagi untuk mengantar Anne bekerja."
Kuberanjak dari sofa, berusaha untuk memberikan jarak dengan pria itu. Kulangkahkan kakiku menuju balkon. Leon pun beranjak dari duduknya dan menghampiriku. Aku mencoba untuk tak menatapnya dengan mengalihkan pandanganku pada kerlap-kerlip yang sinarnya mengalahkan bintang-bintang di langit. Aku ingin sedikit menenangkan diri dari kalimat yang baru saja Leon lemparkan yang berhasil membuatku gundah.
Anne, lagi-lagi wanita itu. Bersamaan dengan hembusan angin, rasanya ada duri yang turut terhempas ke arah jantungku. Sesak.
"Kau bisa menghapusnya sebelum bertemu dengannya 'kan? Apa itu sulit? Atau mungkin itu hanya alasanmu saja?" ucapku datar.
"Aku hanya tak ingin ia mengamuk kepadaku. Ia seperti wanita gila jika itu terjadi," jawab Leon. Entah mengapa, aku tak begitu mempercayai perkataannya. Aku meragukan Leon.
"Aku pun bisa lebih gila dari Anne jika aku mengamuk," balasku.
"..."
"Apa kau benar-benar mencintaiku lebih dari Anne?" tanyaku pelan sembari menatapnya dalam.
Leon lalu memelukku. Hangat. Tapi aku tak membalas pelukannya. Yang kuingin hanyalah mendengar jawabannya.
"Sudah kukatakan, jangan...."
"Jangan meragukanmu? Itukah yang ingin kaukatakan?" kusambungkan perkataannya. Kulepaskan pelukannya dari tubuhku, lalu kutatap matanya. "Jika benar seperti itu. Maka buktikanlah!"
"Aku akan meninggalkannya, tapi tidak sekarang. Aku akan melakukannya setelah kau meninggalkan Tuan Myers."
"Aku tidak bisa melakukannya untuk saat ini," jawabku.
"Begitu pula denganku. Aku pun butuh pembuktian. Kau tak tahu rasanya memendam perasaan kepada saudariku sendiri bertahun-tahun lamanya."
"Tapi situasiku dan James berbeda dengan kalian berdua. Aku melakukannya demi sebuah alasan yang kuat, demi Dreamcity," jelasku.
"Apa Dreamcity sedang mendapat masalah?"
"Ya. Dan aku sendirilah yang harus menyelamatkan Dreamcity," kutundukkan wajahku. Jika kupikir kembali mengenai Dreamcity, rasanya aku sedikit pesimis.
Telingaku menangkap helaan berat napas Leon. Kemudian dikeluarkan ponsel dari sakunya.
"Halo, Anne. Ummm... Aku tidak bisa mengantarmu. Sepertinya aku akan pulang sangat larut beberapa minggu karena pekerjaan." ucap Leon kepada seseorang di ujung sambungan teleponnya. Samar-samar kudengar sebuah jawaban panjang dari lawan bicara Leon dengan nada tinggi. Kemudian Leon sedikit melirik ke arahku. "Te... Tenang saja, aku akan selalu membalas pesanmu."
Leon kemudian menyudahi sambungan teleponnya. "Apa itu cukup sebagai pembuktian untukmu?"
"Sayangnya itu belum cukup!" ucapku tegas. Aku mencoba untuk tetap terlihat marah di hadapannya, meskipun suasana hatiku mulai membaik sedikit.
"Aku akan meninggalkannya perlahan," entah mengapa aku mulai bosan mendengar kalimatnya itu.
"Jadi, apa rencanamu malam ini setelah kau membatalkan rencanamu untuk mengantar Anne bekerja?"
Leon tersenyum. Lalu ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik. "Tentu saja menghabiskan malam bersama wanita yang kucintai."
Kalimatnya berhasil membuatku meleleh, tapi aku tak boleh terlihat dengan mudahnya terperdaya oleh Leon. Kubalas kembali senyumannya. "Sayang sekali. Aku sudah memiliki janji makan malam dengan tunanganku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro