Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

57

Aku hanya menatap makan siangku dengan tatapan kosong. Aku bahkan belum menyentuhnya sama sekali. Aku masih terkejut dengan perkataan Leon mengenai mommy dan Daddy-ku yang secara tak langsung membunuh Tuan Walker. Dan masih kuingat kejadian setelahnya, Leon pergi dari ruanganku sembari membanting pintu. Hal itu berhasil menjadikan kami pusat perhatian orang-orang di sekitar kami.

"Boleh aku duduk disini?" Anthonny tiba-tiba muncul begitu saja dan menarik kursi di hadapanku.

"Umm.. Ya, silahkan saja." Kutarik kesadaranku kembali ke tempatku berada—ruang makan kantorku. Kulirik arloji sembari menegakkan sedikit bahuku lalu kumulai menyuap makananku, agar aku tak terlalu terlihat seperti orang yang menghabiskan separuh jam makan siangnya dengan aktivitas melamun.

"Ia memang menyebalkan akhir-akhir ini," ucap Anthonny membuka pembicaraan antara kami berdua. Sedetik kemudian ia menyuap sandwich-nya. "Wajar saja, ia dimarahi habis-habisan oleh Tuan Alba. Dan setelahnya ia pun turut memarahi semua anggota timnya. Termasuk aku."

"Mungkin ini tak akan terjadi jika aku tak meninggalkan kantor," balasku, secara tak langsung aku berusaha untuk sedikit membela Leon.

"Oh tidak! Tidak! Bukan seperti itu," setelah Anthonny mendengar ucapanku, tingkahnya spontan terasa aneh. "Itu bukan salah Nona Reed tentunya. Maksudku adalah... umm... Tuan Walker terlalu berlebihan. Terutama ketika kejadian antara kalian berdua tadi pagi. Ia sampai membanting pintumu, seharusnya ia tahu jika calon suamimu cukup berpengaruh di tempat ini," Anthonny memperjelas maksud dari ucapannya.

Aku tahu, Anthonny pasti sedikit takut karena menyalahkanku atas kejadian itu secara tak langsung. Seperti apa yang diucapkannya, bayang-bayang James seakan menempel padaku, sehingga karyawan di sini akan berpikir dua kali untuk berurusan denganku.

"Itu memang sedikit berlebihan, aku baru tahu jika Tuan Walker adalah orang yang pemarah," balasku.

"Ia tak seperti itu sebelumnya. Mungkin karena jabatannya di tempat ini," jawab Anthonny. Dari nadanya bicara, ia terkesan meremehkan Leon.

"Kau tak menyukainya?" Tebakku. "Bukankah kau mengatakan jika kalian berteman baik sejak lama?"

"Kami memang berteman sejak kuliah. Tapi, ketika bekerja situasinya menjadi sedikit berbeda. Mungkin karena saat ini ia berada 'di atasku'. Padahal jika dibandingkan dengannya sewaktu dulu, kemampuanku lebih..."

"Jika kau berharap naik jabatan dengan menceritakan keburukan atasanmu kepadaku dikarenakan tunanganku merupakan pemilik saham di tempat ini, sebaiknya urungkan saja niatanmu. Mungkin Tuan Walker hanya seorang yang beruntung berada di posisinya saat ini, tapi setidaknya aku tahu jika ia mendapatkan hal itu bukan karena menjilat seseorang," ucapku tegas sembari menyudahi kegiatan makanku dan segera beranjak dari tempat ini.

Aku cukup kesal dengan Anthonny, ia seakan berusaha menjatuhkan Leon.  Tentu saja, secara otomatis aku akan selalu berada di pihak Leon.

Aku akan selalu berada di pihak Leon.

***

Aku berlari sekuat tenagaku untuk mengejar Leon yang sedang berjalan ke arah mobilnya. Lalu ketika ia membuka pintu mobil, aku langsung segera menahan pintunya, meskipun napasku masih terengah. Aku harus bicara padanya! Harus.

Aku bahkan sudah menunggunya di basement satu jam yang lalu. Aku tak ingin berbicara dengannya di area kerja, mengingat kejadian yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu antara kami. Aku tak mau kejadian tersebut terulang kembali dan membuat Leon mendapat pandangan yang negatif—seperti yang Anthonny  katakan ketika makan siang.

"Kita harus bicara!" ucapku sembari menyandarkan tubuhku pada pintu mobilnya.

"Semua sudah jelas, bukan? Tak ada yang perlu dibicarakan kembali," jawabnya datar.

"Sudah jelas? Bagian mana yang kau sebut sudah jelas?" timpalku. "Kau menuduh keluargaku seperti itu."

"..."

"Kau menyalahkan Mommy dan Daddy. Padahal, itu semua sudah jelas adalah kecelakaan," belaku.

"..."

"Katakan sesuatu. Atau kuanggap tuduhanmu kepada keluargaku hanya omong kosong," desakku.

"Aku masih mengingat betapa bahagianya aku ketika pertama kalinya aku memanggil Jane dengan sebutan Mommy." Akhirnya Leon mengeluarkan suaranya

Dan kali ini giliranku-lah yang mengunci mulut. Kemudian, perlahan ia bercerita tanpa menatap ke arahku.  Ia menceritakan bahwa ternyata Mommy merupakan mantan kekasih dari Tuan Walker, tapi itu sudah lama berlalu. Aku sangat terkejut mendengarnya.

"Lalu entah bagaimana caranya mommy meninggalkan rumah. Dan ketika ia kembali, ia bersama Tuan Reed. Mereka hanya menemuiku ketika akhir pekan saja. Ia tak lagi tinggal di rumah. Ia tak lagi mengantarkanku ke sekolah dan memasakanku makanan lezat. Aku hanya berdua saja dengan Ayahku hingga kejadian itu terjadi," ucap Leon.

Leon akhirnya mengalihkan pandangannya ke mataku. Ia menatapku sangat dalam. Tatapannya itu membuat jantungku semakin berdetak keras. Bahkan saat ini aku tak begitu memedulikan betapa terkejut dengan fakta yang Leon berikan.

"Tuan Reed mengambilnya dariku," ucap Leon. "Jika saja ia tak membawa mommy pergi, maka kami bertiga masih bersama," kebencian kembali terpancar dari tatapannya.

"... dan aku tak pernah ada," ucapku kecewa. "Itukah yang kau inginkan?"

Lagi-lagi Leon terdiam. Aku tak tahu apakah yang diceritakannya benar atau tidak. Tapi dari caranya bicara, ia seperti begitu bersungguh-sungguh.

"Aku tahu, mommy dan daddy adalah orang baik. Mereka pasti tak bermaksud seperti itu," sambungku.

Aku kemudian tertunduk sejenak dan sedetik kemudian aku kembali menatap wajah tampannya. "Namun, jika itu membuatmu bahagia...," Kurasakan air mataku mulai menggenang dan bersiap terjatuh. "Aku rela untuk tidak di lahirkan."

Aku tahu, itu adalah pernyataan yang bodoh. Tapi aku sungguh-sungguh ketika mengatakannya. Seketika, pandangan Leon sedikit berubah. Kuharap kebenciannya mulai meluntur.

Namun yang terjadi adalah ia menarik lenganku dengan keras. Mencoba menyingkirkanku yang sedari tadi menghalanginya. Aku kecewa, Leon. Kupikir dengan mengatakan hal itu, emosimu dapat sedikit teredam.

"Aku tahu jika kau tak mempercayainya. Tapi aku bersungguh-sungguh mengatakannya, Leon," ucapku.

Leon lalu membuka pintu mobilnya untuk kedua kalinya.

"Itu karena aku mencintaimu," entah bagaimana kalimat itu terlontar dengan mulus.

Aku tahu, aku sudah patah hati sejak lama. Aku tak berharap apapun. Aku hanya ingin ia mengetahui bahwa aku akan melakukan apapun untuk membahagiakannya.

Leon mematung. Sedangkan, aku hanya berusaha untuk tidak menjatuhkan air mataku.

Tak berapa lama, ia mendekatiku dan menerjangku sehingga aku terpojok ke salah satu tiang beton besar. Kemudian Leon menghadiahiku sebuah ciuman.

***
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro