54
Nggak. Kalian nggak mimpi kok! Aku beneran update. Setelah berhibernasi beberapa lama. Yep, selamat membatja.
***
"Nyonya, apa benar jika Ayah Leon meninggal karena dibunuh?" Tanyaku.
"Apa?" Sahut Alicia sembari menampakan ujung-ujung alisnya yang berkerut. Aku tak tahu maksud dari kata 'apa?!' yang terlontar dari mulut Alicia. Kupikir antara ia memintaku untuk mengulangi pertanyaaanku atau ia menyuruhku membungkam diri.
"Umm... Maaf, maksudku... Ah, tidak. Tak usah pedulikan pertanyaanku. Maafkan aku," balasku. Haha. Tentu saja spontan kuanggap Alicia tak ingin mendengar pertanyaanku sebelumnya. Aku begitu bodoh. Bukankah aku sudah berjanji untuk tak membahasnya?
Semakin aku berusaha untuk tak memikirkan apa yang terjadi kepada Ayah Leon, hal tersebut berbanding terbalik dengan rasa penasaranku yang semakin meluap. Saat ini Alicia adalah kunci satu-satunya, namun ia seakan begitu ketakutan ketika kumulai menanyakannya. Seperti ada sesuatu yang sangat gelap di sana dan ia tak membiarkanku untuk menyentuhnya.
Tapi ini mengenai Leon, apakah aku harus menyerah? Melihat kondisi Alicia yang terlihat tertekan, aku tak mungkin memaksanya kan? Apa yang harus aku lakukan?
Rasanya seperti sedang menemukan sebuah jalan buntu dan tak bisa kembali ke tempat asalku. Kupijat kedua sudut-sudut mata dengan jemariku. Seakan kucoba memudarkan lelahku, tapi nyatanya aku sedang memastikan bahwa tak ada setetespun air mata mengalir dari sana. Aku tak boleh menangis.
Kali ini Alicia menatapku keheranan. Mungkin kegelisahanku ini terlalu nampak padanya.
"Kau baik-baik saja Nona?" Tanyanya.
"Aku tak apa," ucapku sembari kembali ke dalam mobil menyalakan mesinnya.
"Kau yakin?" Balasnya. Kali ini ia jauh terlihat lebih bersahabat.
"Ya," balasku sembari menghadiahinya senyuman palsu. "Aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik."
Beberapa saat setelahnya, kunaikkan kaca jendela mobilku dan mengendarai mobilku menjauhi rumah Alicia. Dari kaca spionku, kulihat Alicia masih berdiri di tempat yang sama sembari menatap mobilku yang lama kelamaan menghilang dari pandangannya.
***
Lorong-lorong museum pusat kota yang kudatangi kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Beberapa papan informasi tua telah digantikan oleh layar-layar interaktif besar yang canggih. Semua terkesan jauh lebih modern dan menarik.
Kupandangi sebuah touch screen besar yang menampilkan sebuah kehidupan makhluk bersel tunggal yang dapat diperbesar berkali-kali lipat. Cukup menakjubkan.
Namun sangat disayangkan, hanya ada beberapa pengunjung yang ada di acara pameran ini. Mungkin karena harga tiket untuk masuk ke pameran ini cukup mahal atau bisa jadi karena hanya sedikit orang yang tertarik dengan pameran semacam ini. Jujur saja, aku cukup antusias mendatangi tempat ini, rasanya seperti bernostalgia dengan pelajaran sains ketika sekolah. Selain itu tentu saja aku sangat bersemangat karena Leon-lah yang menghadiahiku tiket pameran ini.
Seharusnya kuajak James pergi ke tempat ini, seperti yang Leon katakan. Tapi tak kulakukan, aku tak ingin berbagi 'hadiah dari Leon' dengan siapapun. Lagipula, pria seperti James tidak mungkin tertarik dengan hal seperti ini. Dan lagi pergi seorang diri adalah hal yang kubutuhkan sekarang.
"Reed? Jillian Reed? Kaukah itu?" suara berat seseorang berhasil membuatku melemparkan pandanganku ke sumber suara tersebut. Sesosok pria tinggi menghampiriku sembari menampakkan mimik terkejut ketika melihatku.
Sesaat kemudian pria itu menghadiahiku sebuah senyuman, persis ketika ia menyadari bahwa tebakannya benar. Matanya yang dalam dan alis tebalnya cukup familiar untukku. Aku yakin aku mengenal atau setidaknya beberapa kali bertemu dengan pria yang memiliki bintik matahari pada wajahnya itu.
Kukeryitkan dahiku. "Umm... Ya? Apa aku mengenalmu?" Mungkin ia salah satu pegawai Dreamcity, tapi entahlah...
"Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di tempat ini," ucapnya.
"Kau tak mengenalku?" sambungnya sembari sedikit memudarkan senyumannya.
"Mungkin karena kita cukup lama tak bertemu." ucapnya kembali. "Aku Timothy, kita pernah berada di kelas sains yang sama ketika sekolah."
Ketika mendengar nama dan penjelasan singkatnya, aku teringat dengan seseorang anak lelaki berambut ikal yang ada di sekolahku. Anak itu cukup sering mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan oleh teman-temanku yang lain dikarenakan ia adalah seorang kutubuku yang tak pandai bergaul.
Jujur saja, jika ia tak menyebut namanya, aku hampir saja tak mengingatnya. Karena penampilannya sekarang benar-benar sudah berubah.
Pria bertubuh tegap dengan kemeja kelabunya yang rapi dihadapanku itu seperti bukan Timothy yang kukenal. Yang ada di hadapanku adalah seorang pria dengan tingkat kepercayaan diri yang cukup, bukan lagi seorang anak lelaki yang menunduk dan mencoba untuk tak terlihat ketika di tengah keramaian. Ia banyak berubah dan jauh lebih menarik tentunya.
"Kita pernah mengerjakan proyek sains bersama waktu itu. Kau masih mengingatnya 'kan?" Ucapnya.
"Ya. Dan proyek kita berdua gagal mendapatkan emas di olimpiade," balasku.
Pria itu kembali menarik senyumannya lebih lebar. "Mungkin lebih tepatnya hampir mendapatkan emas," balasnya dengan percaya diri. "Oh ya, selamat datang di pameran ini!"
"Umm.. kau bekerja di sini?" Tanyaku.
"Di museum? Tidak, bukan seperti itu. Ada beberapa penelitianku yang di pamerkan di tempat ini. Tentunya berkolaborasi dengan beberapa artis visual untuk alat peraganya." ucapnya sembari mengajakku untuk berkeliling.
"Jadi kau sekarang seorang ilmuwan?"
"Yap. Bukankah semua orang pasti sudah menduga si kutubuku ini akan menjadi seorang peneliti? Ini lebih baik dibandingkan menjadi seorang pecundang." Balasnya sembari sedikit tertawa. Lalu ia menjelaskan beberapa hasil penelitiannya mengenai alga padaku. Jujur saja, aku masih cukup tertarik dengan topik seperti ini.
"Lalu bagaimana denganmu? Di institusi penelitian mana kau bekerja?" Tanyanya.
Aku sedikit menunduk ketika ia menanyakan hal itu padaku, ia pasti mengira aku bekerja di bidang yang sama dengannya. "Saat ini aku bekerja di sebuah perusahaan periklanan." Ucapku sedikit tak bersemangat.
"Umm... Kupikir kau akan berakhir menjadi ilmuwan sepertiku. Karena ketika sekolah kau jauh lebih berbakat," balasnya.
"Tidak. Aku memuruskan untuk masuk jurusan bisnis ketika di universitas." Jawabku.
Jujur, aku iri. Sangat iri. Jauh dalam hatiku masih ada keinginan besar untuk bekerja di bidang sains, seperti Timothy. Tapi bukankah aku sendirilah yang memutuskan hal itu? Lagipula menjadi Direktur utama Dreamcity di masa depan merupakan pekerjaan yang sangat keren bukan?
Tapi tetap saja... Sepertinya pekerjaan Timothy jauh lebih mengasyikkan.
"Sepertinya aku benar-benar kehilangan kabar mengenaimu. Kau bahkan tak hadir ketika prom." Ucap Timothy. "Bagaimana jika setelah ini kutraktir kau untuk minum kopi di kedai seberang Museum?"
***
Lagi-lagi aku termenung di meja kerjaku, aku tak begitu bersemangat hari ini. Bahkan menatapi Leon yang ada di ruang kerjanya tak cukup menghiburku, tak seperti biasanya. Kuhela nafas panjang. Aku teringat ketika Timothy mengajakku untuk pergi ke kedai kopi dan menceritakan banyak hal mengenai pekerjaannya. Pekerjaannya yang mengagumkan. Bahkan dengan umur yang sama denganku, ia sudah mempersiapkan penelitian untuk gelar Doktornya.
Bukankah ini jalan yang kupilih sendiri? Aku sendirilah yang memutuskan untuk memperdalam bidang bisnis dan menggantikan Leon untuk menjadi pimpinan Dreamcity. Tapi apakah ini semua setimpal?
Leon bahkan masih berlagak dingin, meskipun terkadang secara tersirat ia cukup perhatian padaku. Lalu tuduhan Leon mengenai keluarga kami yang membunuh Ayahnya pun masih belum terpecahkan. Alicia tak mau berbicara padaku.
Belum lagi mengenai Anne, kekasih Leon yang entah sejak kapan mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Hubungan mereka pasti sudah sangat lama.
Andai saja aku bisa berhenti dari tempat ini dan bekerja di tempat yang sama dengan Timothy. Setidaknya aku memiliki pekerjaan pada bidang yang kusukai. Andai saja...
Semakin lama, aku semakin mengasihani diriku sendiri. Kemana Jill yang bersemangat?
Ukh... Rasanya aku ingin menangis.
Tidak. Jill tidak boleh menangis.
Deringan telepon di atas meja berhasil mengagetkanku. Seakan itu adalah alarm untukku agar tak menjatuhkan air mata. Dengan sigap kuangkat sambungan telepon yang ternyata berasal dari bagian resepsionis. "Halo Nona Reed. Ada seorang yang ingin menemui anda di lobi utama."
"Aku tak memiliki perjanjian dengan siapapun hari ini. Bisakah kau mengatakan pada orang itu bahwa aku sedang sibuk dan tak bisa diganggu?" Jawabku sedikit arogan. Aku bahkan tidak peduli siapa yang ingin menemuiku. Mood-ku sedang tak baik.
"Aku sudah mengatakan padanya bahwa ia harus membuat perjanjian sehari sebelumnya. Namun wanita ini sedikit bersikeras." Balas sang Resepsionis.
Bersikeras? Apa orang itu adalah Marie? Apa yang ia lakukan di tempat kerjaku?
Ia pasti akan merengek padaku untuk minta dipinjamkan salah satu sepatu pesta yang baru saja kubeli beberapa pekan lalu. Sudah beberapa hari ini kami hampir bertengkar karena aku bersikeras untuk tak meminjamkan sepatuku.
"Katakan saja aku sedang sibuk." Ucapku singkat dan sedikit geram.
"Oh ya, ia mengatakan bahwa namanya adalah..."
"Marie?" Aku bahkan tak memberikan kesempatan pada sang resepsionis untuk meneruskan perkataannya. Itu karena aku sangat yakin tebakanku benar.
"...Alicia." sambung sang resepsionis.
"Katakan padanya, aku akan menemuinya dalam sepuluh menit." Ucapku spontan dan langsung menutup sambungan telepon tanpa mengucapkan 'terima kasih' pada sang resepsionis.
Kuberlari dengan cepat ke arah elevator. Dan karena sikapku yang terkesan terburu-buru ini, aku berhasil menjadi pusat perhatian sepanjang lorong. Termasuk Leon yang nampak aneh ketika melihatku bergegas.
Saat di lobi utama, kutemukan sosok Alicia yang berdiri di samping sebuah kolom besar sembari menatap ke arah lobi elevator. Ia nampak gelisah, terlihat dari caranya meremas ujung rok terusannya. Ketika matanya menangkap kemunculanku di pintu elevator, ia sedikit tersenyum kecut.
Aku merasa ada sedikit kejanggalan padanya. Karena biasanya, akulah yang mengejar-ngejarnya untuk mendapatkan informasi apapun mengenai Ayah Leon yang 'terbunuh'. Tapi sekarang Alicia sendirilah yang datang menemuiku, walaupun aku tak tahu apa tujuannya menghampiriku ke kantor.
"Bisa kita bicara?" Tanya Alicia. Ketika jarak antara diriku dan Alicia cukup dekat, kudapati sepasang kantung mata hitam menggantung di bawah matanya. Ia nampak kelelahan.
Tanpa beribu alasan, tentu aku menyetujui untuk berbicara dengannya. Bahkan aku meninggalkan rapat yang seharusnya kuhadiri satu jam kedepan begitu saja tanpa meninggalkan memo kepada anggota divisiku.
Beberapa belas menit kemudian kami sudah berpindah ke sebuah taman yang letaknya tak begitu jauh dari gedung kantorku. Sesekali ia menengok ke arah belakang, seperti gelisah akan ada seseorang yang mengikutinya. Lalu kami mendudukkan diri di sebuah bangku taman tua.
"Apa kau baik-baik saja Nyonya?" Tanyaku.
Tiba-tiba Alicia menangis, dan tentu saja membuat beribu tanya muncul di benakku. "Nyonya?" Ucapku sembari membelai lembut pundaknya.
"Kupikir aku sudah benar-benar terlepas dari semua ini," ucapnya sembari terisak.
Aku hanya terdiam sembari menebak apa yang akan keluar dari mulut wanita yang seusia dengan mommy-ku itu.
Dengan susah payah Alicia menghentikan tangisannya. "Aku akan menceritakan semuanya. Tapi berjanjilah, setelah ini jangan ganggu diriku. Jika suatu saat kita bertemu kembali, anggap saja kita tak pernah saling mengenal."
Aku mengiyakan. Dari perkataannya, aku tahu, setelah ini aku akan mendapatkan informasi mengenai Ayah Leon. Kali ini firasatku benar-benar terjadi. Alicia menceritakan banyak hal kepadaku.
Bukan hanya mengenai siapa Ayah kandung Leon. Tapi juga mengenai sisi lain dari diri Alicia. Sisi yang kelam untuk seorang ibu.
Ya. sangat kelam dan hitam. Ketika Leon lahir, Alicia tak ingin menggendong bayi mungilnya atau bahkan sedikit menyentuhnya.
Ia tak peduli bayinya lelaki atau perempuan. Tak peduli bayinya sehat atau tidak. Bahkan matanya tak sedikitpun mau memandang ke arah bayinya.
Alicia berharap Leon tak pernah ada. Atau setidaknya, Leon tak terselamatkan ketika dilahirkan.
***
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro