51
Wanita itu adalah Alicia Francie yang kami cari!
Kutatap foto wanita itu yang terdapat di ponsel Jean. Terlihat wanita yang bernama Alicia Francie itu tersenyum sembari memeluk seorang bocah lelaki berusia sekitar tujuh tahun. Bocah yang mirip dengan Leon, hanya warna rambut pirang yang berbeda dari anak itu. Kuyakin bocah itu adalah anaknya. Sepertinya, Alicia benar-benar mewariskan gen itu pada anak-anak lelakinya, yaitu wajah yang rupawan.
Caranya tersenyum benar-benar mirip dengan Leon. Dari beberapa kerutan yang ada di sudut kelopak matanya, dapat kusimpulkan jika wanita itu mungkin berumur empat puluh tahunan, seperti Mommy.
Sejenak aku berpikir mungkin saja ketika Leon pergi dari rumah, ia menetap di tempat Alicia. Mengingat di masa silam, Leon tak memiliki orang yang benar-benar dekat dengannya selain kami.
Aku begitu serius mengobservasi halaman sosial media milik Alicia. Ia cukup sering mengunggah foto-foto kesehariannya, baik bersama bocah lelaki itu ataupun ketika ia sibuk dengan lukisannya. Sama seperti Leon yang gemar melukis.
"Bukankah aku benar-benar dapat diandalkan?" ucap Jean membanggakan dirinya, lalu dengn cepat ia mengambil ponselnya dari tanganku.
"Not bad," balasku sembari menyuap chicken waffle-ku.
"Bagaimana rasanya?" tanya Jean.
"Sangat biasa," komentarku terhadap waffle yang sedang kumakan.
Jean sedikit tersenyum. "Buatanku sepuluh kali..."
"...jauh lebih enak dari pada ini" ucapku menyambungkan ucapan Jean.
Tiba-tiba pak tua berkulit hitam-sang pemilik tempat ini menghampiri kami. Sepertinya komentar yang kami katakan tentang makanannya terdengar oleh pria itu.
"Bagaimana mengenai makanannya?" tanya pria tua itu dengan ramah.
"Ini cukup baik," jawabku singkat.
"Benarkah? Sebenarnya aku sangat berterima kasih jika kalian mau memberikan kritik mengenai makanannya," ucap pria itu. "Aku mempekerjakan koki baru, ia amatir dan sedikit keras kepala jika masakannya dikritik olehku. Jadi akan sangat membantu jika kalian..." pria itu melanjutkan kalimatnya dengan cara berbisik.
"Ia terlalu banyak memberikan minyak pada ayamnya. Lalu waffle-nya sedikit keras dan terlalu manis," Jean memotong kalimat pria tua itu lalu mengeluarkan komentarnya, seakan ia ingin menunjukkan kelebihannya pada orang lain.
Lalu pria tua itu tersenyum. "Maksudku, kalian bisa menuliskannya di comment card," ucap pria itu sembari memberikan kami dua lembar kertas untuk kami isi. "Itu akan sangat membantu."
"Dengan senang hati," ucap Jean.
Pria itu lalu memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi kami. Namun baru saja dua langkah menjauh, pria itu kembali memutar tubuhnya menghadap meja yang kami tempati.
"Namaku Eddie," ucapnya. "Aku merasa cukup familiar dengan wajah kalian berdua. Itu mengingatkanku pada Tuan dan Nyonya Reed."
Aku dan Jean saling bertatapan sejenak, sembari memikirkan mengenai popularitas Mommy dan Daddy. Cukup keren jika ada orang lain yang mengenali mereka, terlebih lagi di tempat terpencil seperti ini.
"Whoa, bagaimana kau mengenal mereka?" tanya Jean. "Kami berdua adalah anak mereka. Aku Jean dan ia Jill."
"Pantas saja! Aku tak menyangka jika akan bertemu keluarga Reed yang lain di tempat ini. Oh Tuhan, aku benar-benar sudah tua!" ucap Tuan Eddie. "Ketika Davis masih hidup, mereka selalu menyempatkan pergi ke tempat ini bersama-sama setiap akhir pekan."
Dari caranya bicara yang begitu antusias, sepertinya pria ini cukup mengenal Mommy dan Daddy. Aku tak menyangka jika Daddy mau pergi ke tempat sesederhana ini.
"Oh, ada hal yang ingin kutanyakan pada kalian. Bagaimana keadaan Lionel aku sudah tak melihatnya beberapa tahun ini?"
***
Lionel baik-baik saja. Kalimat itulah yang menjadi jawabanku untuk Tuan Eddie.
Ya. Keadaannya baik, bahkan bisa dikatakan jika ia sangat baik. Aku bisa melihatnya sendiri saat ini, Leon yang ada di meja kerjanya sedang berbicara pada Tuan Alba. Ini pertama kalinya Tuan Alba langsung menghampiri ruangan karyawannya, kuyakin Tuan Alba sedang melemparkan pujian kepada Leon atas kerja kerasnya.
Beberapa jam yang lalu, aku dan Jean baru saja kembali ke kota ini. Perjalanan kami cukup melelahkan karena membutuhkan waktu seharian jika berkendara menggunakan mobil. Kami hanya mendapatkan halaman sosial media mengenai Alicia Francie sebagai informasi terakhir kami.
Sesekali aku menguap, aku sangat mengantuk siang ini. Mengingat aku harus menggantikan Jean menyetir ketika ia mulai lelah. Kucoba menghilangkan rasa kantukku dengan membuka halaman sosial media Alicia menggunakan komputerku. Beberapa foto dan video miliknya cukup menghibur untukku, wanita itu terlihat periang.
"Nona Reed," suara Tuan Alba cukup mengagetkanku.
Tunggu! Sejak kapan ia ada di sini? Dengan cepat kuganti tampilan layar komputerku menjadi berisi hasil pekerjaanku. Kuharap ia tak menyadari jika aku sedikit bersantai saat ini.
"Yes, sir," Sahutku sembari beranjak dari kursi.
"Aku sangat menyukai hasil pekerjaanmu. Kau selalu terlihat fokus. Kau bahkan tak menyadari kedatanganku karena begitu fokus," ucap Tuan Alba. Sejenak kupikir ia sedang menegurku melalui kalimat sarkastis.
"Aku bersyukur telah mempekerjakanmu dan Tuan Walker di perusahaan ini," puji Tuan Alba. Syukurlah ia benar-benar memujiku, dan tak sadar dengan apa yang sebelumnya tampil di layar komputerku.
"Apa kau pikir kita memerlukan tambahan karyawan khusus di divisimu dan divisi seni?" tanya Tuan Alba. "Mengingat akan ada lima proyek yang harus selesai tahun ini. Dan mungkin akan terus bertambah."
"Umm... Ya. Kupikir, aku membutuhkan tiga atau empat orang untuk membantu divisi ini," ucapku tegas.
"Baiklah, aku akan meminta bagian perekrutan untuk mencarikannya," ucap Tuan Alba.
"Dan jika kau butuh apapun, kau bisa mengatakannya langsung padaku," ucap Tuan Alba sebelum beranjak dari ruanganku.
Setelah memastikan jika Tuan Alba telah benar-benar menghilang di ujung koridor, dengan sigap aku kembali mengobservasi sosial media milik Alicia. Entah bagaimana caranya aku dapat mengetahui tempat tinggalnya saat ini. Karena sangat tidak mungkin jika seseorang akan memberikan alamat tempat tinggalnya kepada seseorang yang dikenalnya melalui internet.
Leon pasti mengetahui dimana Ibu kandungnya berada saat ini. Namun aku tak mungkin menanyakan hal itu padanya. Sangat tidak mungkin, aku tak ingin Leon tahu jika aku sedabg menyelidikinya.
Apa yang harus kulakukan?
Tok tok tok.
Fokusku tiba-tiba teralihkan oleh ketukan pada pintu kaca ruang kerjaku.
"Apa kau sedang sibuk, Jill?" Tanya Leon.
Astaga! Aku tak mempercayainya! Leon menghampiriku, dan kali ini kupikir ia jauh lebih bersahabat karena sebelumnya ia mengetuk pintu ruanganku, seakan memintaki untuk membiarkannya masuk. Tentu saja secara spontan, jantungku berdetak lebih cepat ketika melihat Leon yang ada di ambang pintu dengan kemeja berwarna birunya.
"Aku tak begitu sibuk, masuklah!" jawabku.
"Ini sangat menyebalkan bagiku. Tapi aku tetap harus mengatakannya, selain itu ada hal yang ingin kutanyakan padamu," ucap Leon sembari melangkahkan kakinya ke ruanganku. "Terima kasih untuk tak membiarkanku menginap di bar."
"Yep, itu bukan masalah besar untukku," jawabku.
"Aku mengingat jika sebelumnya kau sempat mengatakan bahwa kau harus kembali sebelum tengah malam. Dan kupikir, aku harus membantumu kembali pulang," aku memberikan penjelasan sedikit panjang pada Leon, agar ia tahu jika aku sangat mempedulikannya.
"Ketika mabuk, apakah aku membuat kekacauan?" tanyanya.
"Kekacauan?"
"Ya. Seperti memukul seseorang atau membuat kekacauan yang lain?" tanyanya.
Tentu saja ada kekacauan yang kau perbuat, Leon. Kau membuatku harus mendengar kisah percintaanmu dan Anne ketika wanita itu mengantarkanku pulang. Dan yang terparahnya adalah...
Kau menciumku. Rasanya aku ingin mengatakannya pada Leon. Namun kuurungkan niatanku, karena aku masih mengingat ia tak mau membahas ciuman kami delapan tahun silam.
"Tak ada. Kau hanya tak sadarkan diri," jawabku. Kualihkan tatapanku darinya. Kuharap dengan tidak menatapnya, rasa perih di hatiku sedikit menghilang. Namun ternyata itu tak merubah apapun.
"Aku sudah mengirimimu surel yang berisikan dokumen mengenai konsep iklan dari divisiku," ucapku mencoba mengalihkan topik pembicaraan kami.
"Divisi kami memutuskan pada proyek selanjutnya untuk melibatkan beberapa konsumen yang telah setia mengonsumsi produk yang akan kita iklankan. Itu seperti membuat pernyataan kepada masyarakat bahwa banyak orang yang mongonsumsi produk tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama," ucapku panjang lebar.
"Itu ide yang cukup menarik, " jawab Leon.
Sejenak aku berpikir. Oh! Aku tahu! Aku tahu bagaimana cara mendapatkan alamat Alicia Francie.
Aku tersenyum. "Itu ide yang sangat menarik dan pasti akan berhasil," ucapku optimis.
***
Dengan riang, aku memencet tombol bel pada sebuah pintu yang berhiaskan wreath bunga mawar merah muda. Pintu rumah milik Alicia.
Ya. Dan bahkan saat ini berdiri di teras rumahnya. Aku mendapatkan alamatnya dengan sangat mudah. Aku memasukannya pada daftar konsumen produk yang rencananya akan tampil pada proyek iklan yang sedang kukelola. Aku memang sedikit menggunakan wewenangku tidak pada tempatnya. Aku memang tak profesional kali ini. Namun tak ada pilihan lain. Aku bahkan rela menyetir selama empat jam tanpa henti untuk dapat mendatangi tempat ini.
Dari balik pintu, muncullah seseorang dengan wajah yang sama persis dengan Leon. Tak salah lagi, ia adalah Alicia. Ia mengikat rambutnya ke belakang dan dari caranya berpakaian, ia terlihat seperti seorang stay at home mom pada umumnya.
Ia menyapaku dengan sangat ramah. Dan mempersilahkanku untuk duduk di ruang tamunya yang indah. Ia bahkan membuatkanku teh yang berhasil membuat separuh lelahku hilang begitu saja. Terlihat sebuah lukisan abstrak besar yang menjadi vocal point di ruangan ini. Terdapat huruf A dan F di salah satu sudut lukisannya, tak salah lagi ini pasti lukisan Alicia.
"Aku hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan untukmu mengenai sereal yang dikonsumsi anak-anak," ucapku sembari membuka beberapa berkas dari tasku.
"Apakah seluruh anak-anakmu mengonsumsi sereal yang sama?" tanyaku.
"Tidak. Anakku yang berusia tujuh tahun menyukai corn flakes, sedangkan yang berusia sepuluh tahun menyukai sereal cokelat." jawabnya.
Setelah beberapa pertanyaan yang kuberikan, kuputuskan untuk mengutarakan maksud sebenarnya menemuinya. Mungkin saja ini menjadi hal yang buruk, atau bahkan hal yang baik mengingat ia adalah wanita yang ramah. Kuharap ia mau menceritakan apa yang ingin kutanyakan selama ini.
Alicia, apakah benar yang dikatakan Leon mengenai Ayahnya yang dibunuh oleh keluargaku?
"Nyonya, sebenarnya aku mendapatkan kontakmu secara tak langsung dari seseorang bernama Leon," ucapku.
Alicia lalu meminum tehnya. "Oh ya? Leon? Apa yang kau maksud adalah tetanggaku? Tapi kupikir namanya Lea atau sejenisnya."
"Umm... Maksudku, aku mendapatkannya dari Tuan Lionel Walker," balasku.
"Rasanya aku cukup familiar dengan nama belakangnya," ucap Alicia.
Aku sedikit merasa aneh ketika Alicia seakan tak mengenali Leon. Aku mulai ragu, bagaimana jika Leon tak pernah menemui ibunya? Atau apakah Alicia sedang berpura-pura tak mengenali Leon?
"Kau tak mengenalnya?" tanyaku memastikan. "Lionel Walker adalah anak yang pernah kau lahirkan sekitar tiga puluh tahun yang lalu."
Tiba-tiba tangan Alicia yang masih memegang cangkir teh bergetar hebat, bahkan ia menumpahkan tehnya.
"Nona, sebaiknya kau keluar dari rumahku," ucap Alicia padaku. Caranya berbicara berubah, seakan ia bukan lagi Alicia yang ramah seperti sebelumnya.
"Aku hanya ingin menanyakan suatu hal padamu Nyonya," ucapku.
"KUKATAKAN SEKALI LAGI, PERGILAH DARI RUMAHKU!" Pekiknya.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro