49
Leon, malam ini aku ingin lebih dari sekedar ciuman.
Jemariku terhenti sesaat setelah aku berhasil membuka kancing ke tiga kemeja Leon. Tanganku sedikit bergetar ketika mataku menangkap ada bekas ruam merah pada kulit yang berada di dekat tulang selangka milik Leon. Sebuah kissmark. Seakan seseorang telah menandai Leon sebagai miliknya. Aku tahu, ia adalah Anne.
Kulihat Leon kembali memejamkan matanya, ia tak sadarkan diri. Ia sepertinya terlalu mabuk. Walaupun dalam hati, kuharap ia sempat sadar ketika mencium dan tersenyum padaku. Kupasangkan kembali kancing-kancing kemejanya. Tanda merah itu seakan memperingatikanku secara tak langsung agar tak melangkah lebih jauh lagi.
Kutatap foto mereka berdua yang menggantung di kaca spion. Lalu kusandarkan kepalaku pada bahu Leon sembari memeluk lengannya.
"Dalam seminggu, berapa kali kau dan Anne melakukannya?" tanyaku parau.
Tidak. Aku sama sekali tak penasaran dengan jawabannya. Karena aku tahu, tanda itu masih baru. Mungkin saja sisa semalam atau morning sex mereka. Ya. Leon milik Anne.
Ukh. Rasanya, aku sangat ingin menangis.
Kuharap aku adalah Anne. Kuharap akulah yang menghadiahi Leon tanda ruam merah di kulitnya.
Tidak. Jill tidak boleh menangis.
***
"Oh, Tuhan! Apa yang terjadi?!" Seorang wanita yang baru saja membuka pintu apartemen Leon begitu terkejut ketika melihatku yang dengan susah payah menahan lebih dari separuh beban tubuh kekasihnya itu. Tentu saja wanita itu adalah Anne.
"Ia minum terlalu banyak karena kalah dalam permainan truth or shot," jawabku.
Kemudian Anne melepaskan lengan kiri Leon yang melingkar di bahuku dan memindahkan rangkulan itu pada bahunya. Rasanya aku tak ingin melepaskan Leon dari tubuhku, namun aku tak punya pilihan. Ketika ia mencoba membawa Leon masuk ke apartemen mereka, Anne begitu kewalahan, ia tak begitu siap menahan tubuh Leon yang cukup berat. Dan tentunya dengan sigap kubantu Anne.
"Aku tak bisa membayangkan kau membawanya seorang diri sampai ke tempat ini. Kau begitu kuat!" ucap Anne sembari membaringkan Leon di sofa.
Kuakui tubuh Leon memang sangat berat dan berhasil membuat pinggangku pegal ketika membawanya. Tapi kubiarkan hal itu dan tetap berusaha sekuat tenaga untuk membawanya sampai ke tempat ini. Aku memang sedikit mengambil keuntungan dari kejadian ini, yaitu bersentuhan dengan tubuh Leon tanpa perlawanan darinya. Walaupun sebenarnya, aku bisa melakukan hal lain saat Leon tak sadarkan diri. Tapi mengingat mengenai tanda merah itu...
Seakan membuat aku harus tahu batasan diriku.
"Aku sangat berterima kasih padamu, ummm.... Jillian? Itu namamu 'kan?" ucap Anne sembari memastikan.
"Yap. Itu karena sebelum ia mabuk, ia mengatakan harus kembali sebelum tengah malam. Jadi, kupikir ada sesuatu yang penting yang harus ia kerjakan. Kebetulan sekali aku tak terlalu banyak minum, sehingga aku dapat membawanya," ucapku sedikit canggung.
"Ia berjanji untuk mengantarku bekerja malam ini," balas Anne. Lalu ia menghela nafasnya. "Sepertinya, itu tak akan terjadi malam ini."
Jujur, aku sedikit menyesal membawa Leon ke tempat ini. Aku benar-benar tolol.
"Kau bekerja di malam hari?" kucoba untuk mencari topik pembicaraan dengan Anne. Ketika kuperhatikan pakaian yang dipakainya—seragam berwarna biru khas perawat, aku baru teringat jika Anne bekerja sebagai perawat seperti yang pernah Anthonny katakan.
"Ya. Aku bekerja di klinik. Dan sangat menyebalkan jika aku mendapatkan jadwal malam," keluhnya. "Cukup sulit mencari taksi pada tengah malam. Untunglah Lionel cukup sering mengantarku." sambung Anne sembari menatap Leon.
Aku tahu, Anne. Leon adalah pria yang sangat baik.
"Dan, hari ini aku harus kembali berburu taksi," ucap Anne sembari menyambar tasnya. "Kuharap aku tidak terlambat hari ini."
"Oh! Hampir saja aku melupakannya," ucapku sembari merogoh isi tasku, mengambil kunci mobil milik Leon lalu memberikan benda itu pada Anne.
"Kau membawa mobilnya? Kupikir kau meninggalkannya di bar," ucap Anne riang sembari menggenggam erat kunci mobil Leon. "Kau benar-benar pembawa keberuntungan untukku! Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu. Oh! Aku tahu! Apa kau pulang seorang diri? Bagaimana jika aku mengantarmu?"
"Tidak, terima kasih."
"Kau tak perlu sungkan," ucap Anne sembari menarikku keluar dari apartemennya.
Anne adalah wanita yang baik dan riang. Itulah yang kutangkap sejauh ini. Ia bahkan tak canggung untuk menawariku tumpangan.
***
"...Ia pasti akan marah padaku jika aku memaksanya makan wortel." ucap Anne sembari terkekeh. Sepanjang jalan, selama ia menyetir Anne terus menceritakan mengenai dirinya dan Leon.
Hubungannya dan Leon sudah berjalan selama tiga tahun, dan memutuskan tinggal bersama setahun belakangan ini. Bahkan sejauh perjalananku dengan Anne, aku sudah tahu jika sebuah cafè bernama Two Hands merupakan tempat kencan favorite mereka. Aku pun tahu Leon memberikan sepasang tiket untuk menonton konser musisi yang diidolakan Anne sebagai kado ulang tahunnya.
Tanpa kutanya, Anne menceritakan segalanya mengenai dirinya dan Leon. Anne, hentikan! Aku tak tahan mendengarnya lebih jauh. Aku takut, aku semakin iri dengan dirimu.
"Kau tinggal di sini?!" tanya Anne. Ia sedikit berteriak terkagum ketika menghentikan kendaraannya di depan rumahku. "Kau memiliki rumah besar yang sangat indah!"
Aku hanya tersenyum sembari membuka pintu mobilnya. "Terima kasih atas tumpangannya." ucapku.
"Itu bukan masalah besar," balas Anne. "Sangat menyenangkan berbicara denganmu, Jillian."
Kuberanjak turun dari mobil itu lalu kulambaikan tangan pada Anne. Ketika mobilnya menghilang di ujung jalan, aku hanya termenung. Sangat menyakitkan ketika aku terpaksa mendengar ocehan Anne mengenai dirinya dan Leon. Namun, entah kenapa aku tak dapat benar-benar membenci wanita itu, mungkin karena ia cukup baik padaku. Dan mungkin karena hal itulah yang membuat Leon menjadikannya kekasih.
Bukankah aku seharusnya membencinya? Membenci wanita yang menjadi kekasih pria yang kucintai.
Anne, wanita yang telah menjalin hubungan spesial dengan Leon selama tiga tahun terakhir. Anne, wanita yang menganggap dirinya paling mengetahui apapun mengenai Leon. Kau salah Anne, aku lebih mengetahui Leon. Aku lebih mengenalnya dibandingkan dirimu.
Kau bahkan tak mengetahui sepersepuluh dari semua hal yang kuketahui tentang Leon. Kau pasti tak tahu jika Leon mau memakan masakan olahan wortel yang dibuat oleh mommy. Anne pun pasti tak mengetahui jika Leon sangat menyukai kegiatan berkemah ketika ia remaja. Kau tak tahu apa-apa Anne.
Dan kau pasti tak mengetahui jika beberapa saat lalu kukecup bibir kekasihmu di kursi belakang mobilnya.
Sekali lagi, kau tak tahu apa pun Anne.
***
"Aku akan pulang esok hari," suara Jean di ujung sambungan telepon membuatku sedikit keheranan.
"Bukankah kau berjanji akan pulang hari ini?!" protesku.
"Aku harus menemani teman kencanku," balas Jean.
"Tunggu?! Kau mendapatkan teman kencan di sana?! Argh!" geramku.
"Tenang saja Jill, ini hanya sehari saja. Lagipula tugasku untuk mencari informasi telah selesai. Aku ingin sedikit bersenang-senang selagi aku berada jauh dari rumah. Aku sangat membutuhkan refreshing." Jean beralasan. "Hanya satu hari, aku berjanji."
"Bukan itu yang kupermasalahkan. Aku sudah tak sabar untuk mendengarkan informasi yang kau dapat dari tempat itu. Aku ingin meyakinkan pada Leon bahwa apa yang dikatakannya itu adalah sesuatu yang salah," aku mulai menaikkan nada bicaraku.
"Seperti yang kujelaskan di pesan sebelumnya, aku mendapatkan informasi bahwa Ayah Leon meninggal dunia karena penyakitnya. Bukan kasus pembunuhan atau kecelakaan seperti yang ada di otakmu," balas Jean.
"Aku butuh detail Jean!" omelku.
"Aku tak bisa mengatakannya sekarang, teman kencanku mengajakku untuk me..."
Pip.
Kuputus begitu saja sambungan teleponku dengan Jean. Aku sangat kesal dengan kembaranku yang menunda kepulangannya demi berkencan seorang wanita yang baru dikenalnya.
Aku benar-benar kesal. Bukan hanya kepada Jean, namun juga kepada diriku sendiri. Seharusnya aku tak mengantar Leon kembali ke apartemennya semalam, sehingga aku tak bertemu dengan Anne dan mendengarkan semua bualan romantismenya dengan Leon.
Kutarik selimutku dan kuputuskan untuk kembali terlelap melanjutkan tidurku sampai tengah hari, berharap kudapatkan sesuatu yang indah di alam mimpi. Aku begitu malas beranjak dari kasurku di sabtu pagi ini, mengingat tubuhku sedikit pegal karena aku harus menopang sebagian berat Leon dan mengantarnya ke apartemen.
Namun beberapa puluh menit kemudian, mataku tak kunjung tertutup. Lalu kuambil buku dongeng yang sering Leon bacakan di masa lalu untukku. Aku ingin bernostalgia dan membayangkan Leon ada di sampingku sembari membacakanku dongeng hingga terlelap.
***
Deringan ponsel berhasil membangunkanku. Ketika kutatap jam bekerku, ternyata tanpa sadar aku telah melewati empat jam terakhir dengan terlelap. Argh! Jean! Aku begitu kesal ketika nama Jean-lah yang terpampang di layar ponselku.
Jean benar-benar berhasil membuatku kesal sepanjang hari. Kucoba untuk menghiraukan panggilan di ponselku, namun Jean cukup bernyali untuk meneleponku berkali-kali.
Kuputuskan untuk mengangkat panggilannya. "Selamat Jean! Kau berhasil mendapatkan penghargaan sebagai saudara yang paling menjengkelkan di dunia!" ledekku.
"Apa kau meneleponku untuk memberikan kabar jika kepulanganmu akan tertuda lima hari yang akan datang?" ucapku sinis.
"Come on Jill! Jangan meledekku," Jean memperdengarkan suaranya. "Aku meneleponmu karena ada hal yang harus kusampaikan."
"Biar kutebak! Apa kau ingin membahas mengenai teman kencanmu itu padaku. Terima kasih Jean, aku tak tertarik. Akan kututup teleponnya," ucapku
"Tidak Jill, ini mengenai Leon. Dengarkan aku baik-baik..."
***
Tbc.
Nanya dong gengs! Di cerita ini, tokoh mana yang paling kalian suka? Comment di inline ya, dan sertakan alasannya juga.
1. Jill
2. Leon
3. James
4. Jean
5. Marie
Makasih bagi yg udah partisipasi 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro