46
"Jim?!" panggil Marie dengan nada riang tepat ketika kedua bola matanya menangkap diriku dan James yang baru saja muncul dari balik pintu. Ia lalu menjauhkan ponsel yang sebelumnya berada begitu dekat dengan wajahnya. Dan ia beranjak dari salah satu dinding foyer untuk menghampiri kami. "Tumben sekali kau turut berkunjung selarut ini,"
"Aku hanya ingin memastikannya benar-benar sampai dengan selamat," jawab James. "Bagaimana kuliahmu Marie?"
"Bisakah kau tak menanyakan hal itu?" Marie sedikit terkekeh. "Kau beruntung sekali Jill!" sambung Marie sembari sedikit menampakkan mimik wajah yang menggodaku.
"Kau tahu? Saudarimu melewati makan malamya. Aku khawatir ia akan pingsan sebelum melewati pintu rumah," ucap James.
"Kau terlalu berlebihan Tuan Myers," ucapku dengan nada datar. Sejujurnya, aku merasa risih karena ia turut mengantarku sampai masuk ke dalam rumah. Namun kali ini aku membiarkannya, sesekali aku harus menghargainya.
"Benarkah itu Jill?!" tanya Marie. "Apa kau berniat untuk menurunkan beberapa pound lagi? Akan kulaporkan pada Mommy!"
Marie lalu berlari dan menghilang ke arah ruang utama. "Mommy! Jill melewatkan makan malamnya. Sudah kuduga ia terkena anorexia," ucapnya nyaring.
Kuputar bola mataku. Sialan, James!
***
Zrshh...
Kunyalakan keran pencuci piring yang ada di dapur dan kubiarkan airnya mengalir begitu saja agar suaraku sedikit tersamar oleh James yang tengah mengobrol dengan Marie di ruang tengah ataupun Daddy dan Mommy yang bisa saja muncul tiba-tiba.
"Kau harus tahu apa yang baru saja Leon katakan hari ini padaku, Jean," ucapku dengan nada berbisik pada Jean yang tengah sibuk memasak menu makan malamku dan James.
Atau lebih tepatnya terpaksa memasak--Mommy menyuruhnya menyiapkan makanan agar aku tak melewatkan makan malam kali ini. Yap. Aku bisa melihat Jean seakan terpaksa melakukannya dari caranya mencincang daging dengan jauh terburu-buru seperti saat ini.
"Jean?! Apa kau mendengarkanku?" Tanyaku dengan nada sedikit meninggi.
"Bukankah kau mengatakan akan membantuku memasak?" Jean menjawab pertanyaanku dengan kalimat tanya. "Ambilkan aku telur di kulkas!"
Seperti yang Jean katakan, sebelumnya aku mengatakan jika aku akan membantunya untuk memasak. Tapi tentu saja aku berbohong. Justru akulah yang ingin meminta bantuannya untuk mendengarkan ceritaku.
"Ayolah Jean! Kau tahu 'kan jika aku tak dapat berteman baik dengan isi dapur ini?" ucapku. "Kau marah padaku hanya karena membuatmu terlambat pergi ke klub? Aku ini saudarimu Jean!"
Ia lalu menghentikan kegiatannya dan menaruh pisaunya perlahan. "Aku akan kehilangan teman kencanku malam ini Jill," balasnya. Ia bahkan mendecak ketika mengakhiri kalimatnya.
Kuputar bola mataku. "Oh Tuhan! Hanya karena itu?!"
Jean lalu melipat kedua tangannya di dada. "Harusnya kau tahu aku begitu tertekan di dalam rumah, aku tak bisa membawa satu pun kekasihku masuk ke tempat ini. Aku butuh hiburan Jill," Jean memasang wajah yang teramat menyebalkan ketika mengatakan hal itu.
"Argh!" geramku. "Tunggu! Kau berkata seolah kau tak akan pernah mendapatkan satu pun teman kencan,"
"Kau tak mengerti Jill, aku akan pergi ke The Oak! Di klub itu ada begitu banyak wanita cantik yang berprofesi sebagai model majalah dewasa. Aku tak boleh kehilangan kesempatan seperti ini,"
Entah bagaimana cara untuk merubah isi otak Jean. Jika dengan cara membenturkan kepalanya ke tembok adalah jalan yang tepat, tentunya akan kulakukan sejak lama. Tapi aku tahu itu tak akan berhasil. Sepertinya aku tahu cara terbaik mengatasi hal ini meskipun hanya sejenak.
"Bukankah kau selalu menganggap dirimu pria paling mempesona di dunia?" Rasanya aku merasa sangat mual mengatakannya, namun aku harus tetap mengatakannya. Kuharap caraku dapat membuat rasa kesal Jean sedikit berkurang padaku dan selanjutnya ia mau mendengarkan ceritaku. "Seharusnya kau tak perlu khawatir, kau bisa saja mendapatkan mereka kapanpun meskipun tidak hari ini. Apa kau meragukan pesonamu sendiri Jean?"
Sejenak Jean terdiam dan berpikir. Lalu ia mengangkat kedua alisnya bersamaan dengan bahunya. "Yap. Seharusnya itu tak perlu kukhawatirkan. Kau benar, aku bisa mendapatkan mereka kapanpun," ucap Jean dengan penuh percaya diri, ia lalu kembali menggapai pisaunya dan memulai mencincang daging dengan cara yang jauh lebih santai.
Aku sedikit tersenyum penuh kemenangan. Bagus Jill!
"Jadi, nona yang berpura-pura menjadi asisten koki, apa yang sebelumnya kau akan katakan padaku?" Ucapnya.
"Leon mengatakan sesuatu padaku,"
"Jadi ini mengenai Leon? Kupikir kau akan bercerita mengenai kisah percintaanmu dengan..."
"...dengan James?" ucapku dengan nada sinis menyambung kalimat Jean. "Tidak. Tidak. Ini mengenai Leon,"
"Oh! dan mengenai Leon! Maafkan aku jika aku belum sempat menemuinya. Kau tahu 'kan? Jika Daddy mengawasiku seperti penghuni alcatraz," keluh Jean.
"Itu salahmu sendiri Jean," balasku.
"Tenang saja Jill, aku sudah memiliki rencananya untuk bertemu dengannya di Rumours Bar. Aku pasti akan menemuinya. Pasti," ucap Jean begitu yakin jika ia akan menemuinya di bar yang baru saja ia sebutkan namanya itu.
"Aku tak yakin kau dapat menemuinya di sana," ucapku pesimis. "Ia sulit diajak bicara."
"Benarkah?"
"Ya. Terakhir kali kami berbicara, ia mengatakan jika keluarga kita telah membunuh Ayahnya."
Untuk kedua kalinya, Jean menghentikan kegiatan dengan pisau di tangannya itu dan selanjutnya ia hanya menatap daging yang berada di hadapannya. Beberapa menit kemudian, kami hanaya terdiam, hanya ada suara air mengalir dari keran pencuci piring.
"Itu... sangatlah buruk," ucap Jean pelan.
***
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro