08
Leon tak datang. Sudah tahun terakhir aku bersekolah di tempat ini. Tapi Leon tak pernah datang di acara reuni para alumni setiap tahunnya. Padahal aku sengaja mendaftar sebagai relawan untuk mempersiapkan acara ini. Aku bahkan selalu menjadi orang pertama yang mengajukan diri tak lama setelah pengumuman pendaftaran panitia tertempel di papan pengumuman sekolah.
Apa yang kulakukan seakan tak ada gunanya. Aku bahkan sudah bertanya kepada beberapa alumni yang pernah satu kelas dengannya ketika sekolah. Namun tak ada satu pun yang pernah mengontaknya sejak ia pergi. Leon benar-benar menghilang.
Ini adalah hari terakhirku menjadi relawan. Tak ada lagi kesempatan di tahun depan untuk berpartisipasi sebagai panitia acara seperti ini karena aku sudah berada di bangku Universitas.
Para tamu sudah beranjak dari tempat yang sudah berserakan oleh sampah dari sisa dekorasi malam ini. Aku kembali mengambil cocktail dan memutuskan berdiri bersandar di salah satu dinding aula yang tepat menghadap ke pintu utama. Kuharap Leon terlambat untuk datang malam ini.
Sudah tiga jam aku menunggunya, ini bahkan. Sudah lewat tengah malam. Dan tak ada orang lain selain petugas kebersihan dari pintu aula.
Leon, aku merindukanmu.
Aku ingin menangis rasanya. Namun, kalimat itu seakan muncul tiba-tiba di otakku.
Jill tak boleh menangis.
Kalimat yang sering Leon ucapkan padaku.
***
Apakah Leon memang tak ingin diganggu saat ini? Mungkin saja, mengingat ia menghilang tanpa jejak. Leon pasti sangat fokus dengan cita-citanya.
Sebaiknya aku sendiri pun harus fokus dengan masa depanku, sama seperti Leon. Mengingat aku harus memasukan aplikasi untuk masuk universitas. Karena selama SMA aku sangat sibuk mencari Leon, bahkan aku masih belum memastikan jurusan dan universitas yang aku tuju.
Tak seperti Jean, walaupun nilainya tak sebaik nilaiku karena ia sibuk menggoda beberapa junior selama sekolah. Namun ia tahu apa yang diinginkannya, ia ingin menjadi seorang koki.
"Bagaimana denganmu?" Jean mengagetkanku yang sedang merenung di atas sofa. Ia seakan dapat membaca pikiranku. "Aku akan pergi ke Perancis, kau tak akan rindu denganku?"
Ya. Perancis, tempat yang tepat untuk menggapai cita-citanya.
"Kau bahkan belum menentukan tujuanmu." Ucapnya sembari duduk di sampingku. "Kau cukup baik di semua pelajaran, kecuali..."
"...olahraga." Sambungku. "Aku sering terjatuh ketika berlari."
"Kau selalu seperti itu sejak kecil."
"Dan menangis adalah bagianmu. Setiap kali aku terjatuh, kaulah yang menangis." Ucapku meledek masa lali Jean. Ia lebih mudah menangis.
"Tapi tidak untuk sekarang." Ucap Jean.
"Ya. Jean dewasa lebih pandai membuat perempuan menangis." Ledekku. "Sudah berapa perempuan yang kau buat menangis? Kau benar-benar nakal. Akan kulaporkan pada Mommy agar kau..."
"... Tak dapat jelly beku." Sambung Jean. "Aku jadi teringat ketika kota berdua sering melaporkan Leon yang sering mengucapkan 'kata terlarang' sehingga ia dihukum dan tak mendapatkan dessert."
Kami berdua seakan kembali memutar memori bersama. Memori mengenai peraturan di keluarga kami, siapapun yang melanggar peraturan, maka ia tak akan mendapat dessert makan malam. Dahulu, kami sering melaporkan Leon yang beberapa kali mengucapkan kata tak sopan sehingga ia harus dihukum.
"Leon..." Tiba-tiba aku terdiam sejenak. Jean mengingatkanku pada Leon yang menghilang. Tak seperti biasanya, ia selalu mengalihkan pembicaraan mengenai Leon yang menghilang. Tapi kali ini, Jeanlah yang membahas mengenai Leon.
Aku menatap pintu utama rumah kami. Sudah empat tahun dan Leon belum muncul dari balik pintu itu.
"Bantu aku menyiapkan berkas-berkas untuk ke Perancis." Ucap Jean sembari menarik lenganku dan mengajakku ke oerpustakaan kecil di rumah kami, tempat menyimpan beberapa dokumen.
Aku tahu, ia sedang berusaha mengalihkan pembicaraanku mengenai Leon. Ia pasti sangat paham jika aku sedikit bersedih. Aku memang tak pernah menangis di hadapannya, sekalipun aku bersedih. Mungkin karena sejak kecil, Jean akan turut menangis jika aku meneteskan air mata.
Seperti yang Jean pinta, aku membantunya menyiapkan beberapa berkas untuk sekolah sebagai juru masak di Perancis selama dua tahun. Beberapa dokumen yang harus dibawanya cukup sulit untuk dicari di tempat ini, mengingat Jean tidak mengorganisirnya dengan baik.
"Baiklah, kuharap dokumen terakhir yang kita butuhkan ada di lemari ini." Ucapku sembari mengambil beberapa map untuk kuobservasi nantinya.
Kubuka map itu perlahan. Dan aku tak menemukan hal yang kucari di dalamnya, sertifikat dari klub sepakbola milik Jean. Namun yang kutemukan adalah sesuatu. Sesuatu mengenai...
"Leon..."
***
Tbc.
Sudah up dobel ya... Berhubung kemaren ga sempet up... :P
Hayoo apa yang Jill temukan? Yang berhasil jawab aku kasih pulsa 10k :v batas waktunya sampe updatean selanjutnya ya..
Can you read my mind?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro