Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9

Ah sepertinya menjadi semut menyenangkan, masuk dalam tanah dan menghindari tatapan yang terkesan menuduh dari orang-orang. Kurang lebih seperti itu perasaanku saat ini setelah peristiwa semalam. Keributan yang terjadi membuat tetangga berdatangan. Suasana menjadi kacau terlebih dengan kondisi Gaharu. Dia terkulai lemas, darah segar mengalir dari hidungnya akibat pukulan Priya. Andai tidak ada yang membantu melerai, bukan hanya hidungnya yang berdarah.

Entah bagaimana, beberapa orang berpakaian polisi datang dan membawa Priya sementara Gaharu dilarikan ke rumah sakit. Seolah mengerti kebingunganku, Priya memintaku menemani Gaharu. Emosinya memang mereda tetapi akibatnya diluar dugaan. Semua menjadi lebih rumit.

Orang tua Gaharu yang menyusul ke rumah sakit tampak sangat marah melihat kondisi putranya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Mimih yang ikut datang bersama mereka mengusap punggungku. Dia pun merasa serba salah mengingat posisinya hanya sebagai pekerja rumah tangga biasa.

Gaharu yang sudah siuman meminta ibundanya untuk tetap tenang. "Sudah Bun, nanti menganggu pasien lain."

"Tidak bisa. Orang yang membuatmu seperti ini harus mendapat balasannya. Bunda akan pastikan dia tidak akan bisa bebas dalam waktu dekat," geram Tante Leora.

Pandangan Gaharu berputar padaku yang duduk di sofa. Seringai licik terlukis sekilas di wajahnya sebelum berubah kembali menjadi senyuman. Entah berpura-pura atau memang ada maksud lain, dia berusaha membujuk ibundanya untuk mengurungkan niatnya. Rintihan Gaharu setiap akan menggerakan badan justru semakin membulatkan keinginan Tante Leora untuk meneruskan laporan pada polisi tentang perbuatan tidak menyenangkan. Dalam sekejap empatiku menghilang berganti kebencian.

Kehidupan keluarga Priya sudah cukup sulit tanpa perlu menambahi dengan masalah baru. Jemariku bergetar, tidak sanggup membayangkan hal buruk yang mungkin terjadi. Sekuat tenaga diriku harus menahan sesak mengingat pancaran kepedihan di sorot mata Priya semalam. Ini semua salahku yang terlalu lemah.

Mimih memintaku menemani Gaharu sementara dia pergi menemui dokter bersama Tante Leora. Aku terpaksa menurut meskipun enggan. "Untuk apa kamu datang padahal tau rumah sedang kosong? Kalaupun ada keperluan penting setidaknya bisa mengabari lebih dulu. Apa kamu memang sengaja memancing kemarahan Priya."

"Apapun alasannya keadaan kekasihmu lebih menderita sekarang. Kamu pasti ingin menolongnya, bukan begitu?"

"Cukup basa-basinya. Katakan terus terang apa mau kamu?"

Senyuman Gaharu semakin lebar. Dia bersikap layaknya orang sehat. "Kalau kamu meninggalkan dia, aku akan menjamin dia akan melanjutkan hidup di luar penjara dan foto-foto itu tetap berada di tempatnya. Aku rasa kamu cukup pintar untuk memahami tawaranku."

Kedua tanganku mengepal kuat disisi tubuh. Amarah dan sedih bercampur menjadi satu. Dia tidak mengerti kenapa Gaharu melakukan hal seburuk itu pada dirinya. Selama ini keduanya memang kadang selisih paham tetapi masih dalam kontek wajar.
"Keputusan semua ada pada dirimu tapi ingat baik-baik siapa saja yang akan terkena imbas masalah ini. Aku akan berbaik hati memberimu waktu hingga tiga hari kedepan." Gaharu kembali memejamkan mata.

Setiap helaan nafas terasa bagaikan tertusuk ribuan pisau. Menyesakan mengingat tidak ada yang bisa lakukan untuk memperbaiki keadaan. Semua pertanyaan terpaksa harus tersimpan begitu pintu ruangan kembali terbuka. Tante Leora muncul bersama seorang dokter dan suster. Mimih yang berjalan di belakangnya menatapku sedih.

Situasi semakin sulit, Tante Leora mendesakku memberi keterangan yang bisa memberatkan posisi Priya. Pihak keluarga Gaharu tidak akan diam saja dengan peristiwa ini. Permintaan basa-basi Gaharu untuk tidak memperpanjang di anggap angin lalu. Aku tau dia tidak bersungguh-sungguh, laki-laki itu justru tengah tertawa di atas penderitaanku.

Keesokan harinya Tante Sinta, ibu dari Priya mengajakku bertemu. Kami bicara di restoran sebuah Mall setelah aku menyelesaikan urusan di kampus. Kelelahan sekaligus kesedihan terlihat dari sorot matanya.

"Sudah lama menunggu, Tante?"

"Tante baru saja datang. Kamu mau minum atau makan apa?" tawarnya lembut.

Kepalaku menggeleng pelan. "Tidak perlu repot Tante, saya masih kenyang."

Tante Sinta menjelaskan maksudnya memintaku datang. Dia rupanya sudah mengetahui skandal yang dilakukan suaminya. Demi kebaikan semua terutama karir dan perasaan keluarga besar, Tante Sinta memendam kesedihan seorang diri. Masalah yang menimpa Priya semakin memperburuk keadaan.

"Kamu mungkin merasa berat atau tidak adil tapi bolehkan Tante meminta sesuatu?"

"Tentu saja boleh. Apa itu Tante?"

"Tolong putuskan hubunganmu dengan Priya. Keluarga besar kami berencana menjodohkan dia dengan salah seorang kerabat. Hubungan keduanya sedikit banyak akan membantu memulihkan status dan posisi Priya juga ayahnya."

Suasana mendadak hening baik Tante Sinta maupun diriku termenung sesaat. Aku mencoba mengerti perasaan Tante Sinta, tidak mudah baginya bertahan melihat penderitaan yang di alami orang-orang yang dia sayangi. Tapi permintaannya memang berat meskipun pada akhirnya sadar latar belakangku mungkin akan menjadi masalah dikemudian hari untuk Priya.

Tante Sinta mengamit pergelanganku yang semakin dingin. "Tante harap kamu mengerti, tidak sedikitpun Tante menganggapmu rendah hanya saja keadaan tidak berjalan sesuai harapan. Priya banyak berubah setelah mengenalmu tapi... "

"Tidak apa Tante, Damara mengerti dan berharap Priya bisa bahagia. Lagi pula kami sepertinya lebih cocok jadi sahabat," ucapku sambil tertawa getir.

"Terima kasih sayang. Sekali lagi maafkan Tante."

Jemariku mengusap tangan Tante Sinta. "Damara mencintai Priya tanpa syarat. Bila memang harus berpisah, selama itu membuatnya bahagia, Damara ikhlas."

Kami berpisah setelah mengakhiri pembicaraan tepatnya aku yang lebih dulu pamit. Gelombang kesedihan menghantam relung hati. Sedikit demi sedikit ketegaran yang kupasang sebagai topeng mulai goyah. Tidak pernah terbersit sebelumnya kisah cintaku dengan Priya harus berakhir secepat ini.

Setibanya di rumah, ketenangan sepertinya belum berbaik hati menghampiri. Mimih tidak hanya mencecari dengan berbagai pertanyaan tetapi juga mengajukan pilihan sulit. Kami harus menjual rumah ini untuk membayar semua hutang. Dan pilihan yang ditawarkan Mimih adalah pindah dari kota ini.

Aku meneguk air untuk membasahi tenggorolan yang mendadak terasa kering. "Bagaimana dengan pekerjaan Mimih? Bukankah waktu itu Mimih bilang ada yang mau membantu kita masalah rumah."

Mimih memijit pelipisnya. Dua buah koyo menempel disisi kening. "Rezeki pasti datang selama kita mau berusaha dan itu tidak harus di kota ini. Mimih berubah pikiran, menjual rumah ini merupakan pilihan terbaik dari yang terburuk." Kepalanya terangkat, memberi tatapan mengasihani. "Apa kamu sudah menemui Priya?"

"Belum. Dama butuh waktu untuk menyiapkan hati." Sebenarnya aku pernah datang ke kantor polisi tempat Priya ditahan untuk memberi keterangan tentang kejadian itu. Tapi sengaja tidak sekalian menjenguknya karena merasa bersalah. Keterangan dariku mungkin akan memberatkan statusnya dihadapan hukum.

Priya meminta maaf ketika aku baru bisa menemuinya setelah lima hari berselang. Dia menyadari telah membuat kesalahan besar dengan membiarkan emosi menguasai akal sehat. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, waktu tidak bisa di ulang kembali.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan?"

"Kamu tidak perlu khawatir, ada pengacara yang menangani masalah ini. Aku minta maaf jika kamu terpaksa terseret. Semua salahku jadi sekalipun kesaksianmu nanti akan mempersulit posisiku, aku tidak akan marah. Satu hal yang kuminta, jangan pernah mengorbankan diri hanya untuk membebaskan diriku."

Senyumku kecut. Priya kemungkinan bisa menebak apa yang membuat wajahku pucat. "Terkadang harapan dan kenyataan tidak berjalan seriring. Ada banyak hal yang terjadi di luar kuasa kita. Sekarang kamu sebaiknya fokus pada masalah ini."

Kami berdua terdiam tanpa mengalihkan pandangan satu sama lain. Priya menghela nafas berat. " Aku mengerti seandainya kamu memilih menjauh tapi dengan beralasan demi diriku. Jangan berpikir aku tidak mengetahui apa yang Gaharu rencanakan."

"Hidup itu pilihan dan setiap pilihan memiliki resiko terlepas akan berakhir baik atau buruk. Kita bisa egois tapi bagaimana dengan orang-orang yang terkena imbasnya? Keluargamu? Keluargaku."

"Damara... "

"Keadaan kita sekarang memang sulit, Pry tapi akan lebih sulit jika kita memilih untuk tetap bersama. Aku tidak berharap kamu akan mengerti tapi cobalah untuk menerima. Aku akan pindah, meninggalkan kota ini."

"Gaharu memaksamu?" Bola mata Priya berkilat penuh amarah.

Kepalaku menggeleng. Keputusan berat ini sudah terpikir selama beberapa hari terakhir. "Tidak, keputusan terbaik untuk kita berdua. Jangan mencoba untuk mencari karena aku akan menganggap kenangan kita tidak pernah ada," ucapku setenang mungkin dan memasang raut datar.

"Aku sudah bilang... "

"Lihat dirimu sekarang, bisakah kamu melindungiku sementara menolong dirimu sendiri tidak bisa. Sekalipun pahit, kenyataannya kamu tidak lebih kuat dari Gaharu," potongku sebelum dia menyeleseikan ucapannya.

Priya bangkit dengan gusar. Kedua tangannya yang mengepal bergetar. Mempertahankan ketenangan adalah usaha terakhirku untuk tetap kuat. Disatu sisi ada keinginan agar dia menolak, mencegah bahkan memohon aku untuk tetap tinggal tetapi hati nurani tidak bisa dibohongi, hubungan kami akan merusak masa depannya.

"Aku akan mengabulkan permintaanmu. Pergilah dan jangan pernah temui aku lagi." Sebelum aku tersadar sosok tegap yang pernah mengisi hari-hari sudah menghilang. Kebersamaan kami selama bertahun-tahun satu persatu terhapus. Tidak akan ada lagi senyuman, pelukan hangat atau belaian lembut darinya karena suatu hari semua itu akan menjadi milik wanita lain. Sekarang hanya ada aku dalam kesendirian tak terbatas waktu.

Jemari terasa lemas saat meraih ponsel dalam tas. Setiap kata yang tertulis diiringi air mata yang mulai membasahi pipi. Aku harus melakukannya meski sakit.

"Kami sudah putus, tolong tepati janjimu untuk mencabut laporan. Jangan lagi ganggu keluarga Priya. Kamu tidak perlu khawatir aku berbohong, secepatnya aku akan pergi dari kota ini."

tbc

Cerita sedikit ya tentang kisah damara-priya. Sampai saat ini diantara semua cerita, author belum bisa membayangkan ending yang sreg untuk kedua tokoh ini. Entah mau di buat pisah atau kembali bersatu. Akan di buat tetap hidup atau meninggal. Semua masih abu-abu.

Alur dan konfliknya juga paling gelap menurut author sampai sempat mau dipending karena sulit menggali perasaan Damara.

Inti dari curcol di atas harap sabar ya kalau update untuk cerita ini agak lama. Jangan lupa vote dan komen ya, supaya Damara nggak merasa sendiri dan tetap semangat. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro