Part 8
Kedatangan Gaharu dan berita yang di bawanya berhasil membuat pikiranku terjaga semalaman. Lingkaran di bawah mata semakin menghitam mengingat beberapa hari terakhir banyak masalah yang bermunculan. Isi kepala tidak ubahnya seperti benang kusut, sulit menemukan jalan keluar. Semua gara-gara memperhatikan gambar di dua foto itu. Sepasang laki-laki paruh baya tengah merangkul seorang wanita muda keluar dari sebuah hotel.
Sampai detik ini Gaharu belum memberitau alasannya memberikan dua lembar foto itu. Perasaan tidak nyaman semakin membesar seiring keanehan-keanehan yang di perlihatkan laki-laki itu. Dia muncul sesuka hati di kampus, bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku bahkan sempat melihatnya tengah mengobrol dengan Priya, seseorang yang kemungkinan besar tidak di sukainya. Entah apa yang salah dengan jalan pikirannya.
"Sedang memikirkan apa? Kelihatannya serius sekali." Tegur Priya, menghampiriku yang duduk di pojokan perpustakaan. Tempat persembunyian jika merasa sedang ingin sendiri.
"Laporan akhir praktikum belum selesai," keluhku pura-pura menyibukan diri dengan tumpukan kertas di meja. Selain memikirkan masalah foto itu, tugas kuliah menjadi hal lain yang perlu di khawatirkan.
Dia menarik kursi di sampingku lalu menyeretnya hingga kami duduk berdampingan. Beruntung perpustakaan masih sepi, malas saja kalau ada tatapan kurang nyaman karena merasa terganggu dengan kedekatan kami. "Ada yang bisa kubantu?"
Kedua alisku bertaut menanggapi pertanyaannya. Selama mengenal Priya, baru kali ini dia menawariku menyeleseikan tugas. Selama ini aku lah yang memberinya contekan. "Memangnya tugasmu sendiri sudah selesai?"
"Sudah di kumpulkan kemarin. Batas waktu penyerahannya besok kan," jawabnya enteng. Seingatku, Priya jarang sekali tepat waktu menyerahkan laporan setiap ada tugas kuliah atau praktikum.
"Tumben, biasanya kamu selalu menyerahkan laporan di detik-detik terakhir. Nyontek punya siapa lagi?"
"Nggak, aku kerjakan sendiri. Ya biar kamu nggak malu punya pacar kayak aku," balasnya sembari meraih tumpukan kertas di hadapanku. Dia mengeluarkan laptop miliknya dan mulai mengetik.
"Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku menerimamu apa adanya jadi tidak perlu berubah meski mengerjakan tugas sendiri bukan sesuatu yang buruk. Lagi pula aku tidak pernah malu mempunyai kekasih seperti dirimu. Sifat ayahmu juga belum tentu menurun padamu."
Priya menghentikan gerakan jemarinya. Dia memalingkan wajahnya ke arahku, agak tersinggung mungkin. "Apa maksudmu dengan sifat ayahku?"
Aku berdehem, tersadar ada yang salah dengan perkataanku tadi. "Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Begini, maksudku entah benar atau tidak berita tentang ayahmu di luar sana, hal itu sama sekali tidak mengubah pandanganku tentang dirimu."
Pandangannya beralih pada laptopnya kembali tapi ketegangan terlanjur menyelimuti kami. Aku benci jika keadaan mulai tidak nyaman, seolah kepala ini belum di pusingkan dengan masalah yang ada. "Aku pun mempunyai pandangan yang sama denganmu. Kita berdua memang mempunyai riwayat hidup yang tidak bersih."
"Kenapa sih kamu terlalu sensitif. Aku kan sudah bilang maaf dan sama sekali tidak bermaksud menyinggung ayahmu. Ah sudahlah, aku bisa mengerjakan tugas sendirian." Priya terdiam saat lembaran kertas milikku beralih dari hadapannya.
Kecewa lebih mendominasi daripada amarah. Andai tidak ingat sedang berada di tempat umum, sudah ku maki-maki dirinya. Tidak bersih? Yang benar saja, hanya karena diriku di buang oleh orang tua sendiri membuatku terlihat 'kotor' di matanya. Jadi selama ini dia melihatku seperti itu. Andai bisa memilih, aku pun ingin terlahir di keluarga utuh tapi apa daya, tidak mungkin juga menentang takdir.
Rental komputer sekaligus internet di belakang kampus jadi tempat pelarian. Resiko bertemu dengan Priya tetap ada, itu sebabnya aku memilih lokasi yang paling jauh. Masa bodoh jika harus berjalan memutar kalau berniat kembali ke kampus.
Aku menghela nafas berulang kali ketika dada terasa sesak. Air mata sudah berada di pelupuk, menyerang benteng pertahanan dan bersiap meluncur. Setiap komputer di batasi oleh dinding dari triplek. Setidaknya sekalipun berurai air mata tidak akan mengundang perhatian orang-orang kecuali sambil bersuara keras.
Layar komputer masih dalam posisi semula. Sejak menekan tombol power hingga lima belas menit berlalu, aku belum melakukan apa-apa. Kesalahpahaman tadi masih menguasai sebagian besar ingatan.
"Dam." Bulu kuduk tiba-tiba berdiri mendengar suara berat di hadapanku. Priya berdiri dengan raut bersalah.
Wajahku berbaling ke arah lembaran tugas meskipun tulisan-tulisan di kertas mendadak sulit terbaca. Kami bisa di usir jika aku tidak bisa mengendalikan emosi dan membuat keributan. Mendiamkannya adalah pilihan paling tepat.
Priya masih berdiri di tempatnya. Dia bergeming tanpa mengalihkan pandangan. Orang-orang yang keluar masuk memperhatikan kami. Lirikan dan bisik-bisik sinis memaksaku menghentikan aksi mogok bicara.
Kekakuan di antara kami tidak mudah mencair. Priya pantang menyerah untuk memperbaiki suasana muram. Ada saja yang di bicarakannya sambil sesekali menyelip kata maaf dalam setiap ucapannya. Aku berusaha sedikit dewasa meski perasaan jengkel tidak bisa hilang begitu saja.
"Aku mengerti kalau kamu masih marah dan tidak ingin mendengar apa alasan sikapku. Ucapanmu tidak sepenuhnya salah, sekeras apapun aku berusaha mengelak, bisa saja tuduhan itu memang benar. Kamu tau dua adikku masih SMA, memikirkan ejekan yang akan mereka terima membuatku marah" Priya mengatakannya dengan datar tapi tidak mengurangi kesan sedih di dalamnya.
"Kamu tidak perlu khawatir selama tidak ada bukti yang memberatkan. Tetaplah berpikiran positif. Sebagai anak laki-laki pertama kamu harus tetap tegar untuk melindungi keluargamu." Oh Tuhan tidak bisa terbayangkan andai dia tau soal foto itu, pekikku dalam hati.
"Apa kamu akan pergi jika semua terbukti?" desahnya pelan, nyaris terdengar seperti putus asa.
"Kita sudah pernah membahasnya. Sebelum terjadi kesalahpahaman lagi sebaiknya kita ganti topik pembicaraan."
Priya terseyum getir saat menyandarkan tubuhnya ke dinding. Matanya terpejam sesaat lalu terbuka, menatapku dengan lembut. "Beberapa waktu lalu, aku bermimpi buruk. Pada awalnya kita berada di taman penuh bunga dan saling bergandengan. Semua berubah ketika gemuruh di langit terdengar. Kamu tiba-tiba melepas genggaman, berjalan menjauh dan menghilang dalam pandangan. Aku hanya bisa diam karena suara tertelan derasnya hujan."
Dia mengusap wajah yang lelah. Menarik nafas dan membuangnya dalam-dalam. Emosi dan kepedihan berpedar meski dia sengaja menghindari tatapanku. "Jangan mengasihaniku. Kamu tau aku bukan tipe orang yang mudah putus asa. Seribu penolakan tidak akan mengentarkan pendirianku untuk tetap mencintaimu."
Perlahan tubuhku bergerak mendekatinya. Melingkarkan tangan kanan di lengannya yang kokoh. Ketakutan itu bukan hanya miliknya. Jauh di relung hati, aku tau jalan kami tidak akan mudah. "Tugasku tidak akan selesai kalau kamu terus mengatakan hal sedih."
"Maaf. Bersandarlah di bahuku dan beri aku waktu satu jam untuk menyeleseikannya." Aku menurut, meletakan kepala di bahunya.
Genggamannya menguat hingga sulit bergerak. Darahku berdesir hebat ketika dia menarik jemariku dan mengecupnya. "Sekarang diriku memang bukan siapa-siapa tapi pegang janjiku, suatu saat nanti aku akan menjadi yang terbaik untukmu." Aku tersenyum kecut, berusaha mempercayai janjinya meski yang terjadi mungkin saja kebalikannya.
Masalah belum ingin beranjak dari kehidupan kami. Mimih sering kudapati melamun belakangan ini. Setiap kutanya, jawabannya selalu baik-baik saja. Semua terjawab ketika aku pulang lebih awal. Beberapa tetangga berkerumun tidak jauh dari tempat tinggalku. Mereka bahkan berusaha menahan agar diriku pergi ke tempat lain dulu. Aku mengabaikan permintaan mereka, setengah berjalan cepat menuju rumah.
Dua orang laki-laki bertubuh besar, berkepala plontos dan berperawakan kekar duduk di ruang tamu bersama Mimih. Kesan seram melekat pada keduanya. Penampilan mereka mengingatkanku pada orang-orang yang bekerja sebagai preman. Keduanya bergegas bangkit dan pergi begitu melihat kedatanganku. Kerutan di kening muncul ketika melihat seringai mesum saat kami bertapan. Siapa sih mereka?
"Mih, dua orang tadi siapa?" Pandanganku mata masih tertuju ke luar rumah. memperhatikan gerak-gerik kedua laki-laki tadi.
Mimih seperti sengaja mengabaikan pertanyaanku. Dia memilih berlalu dari pandangan menuju dapur, menyibukan diri bahan masakan. Aku mulai kesal tapi tidak berniat pergi karena penasaran. Usiaku sudah cukup dewasa untuk di libatkan andai memang ada masalah yang Mimih hadapi.
Ruangan sempit terasa semakin sesak dengan peralatan masak yang menggantung di dinding. Lemari berukuran sedang menempel dekat pintu belakang. Sebagian dinding dekat kompor menghitam karena asap. Satu-satunya ventilasi hanya jendela berukuran kecil di atas pintu. Biasanya aku atau Mimih membuka pintu lebar-lebar saat memasak tapi tidak kali ini.
Aroma cabai menusuk indra penciuman. Entah apa yang di masak Mimih tapi sepertinya dia memang sengaja agar aku berhenti bertanya. Capek bersin-bersin dan di abaikan, kakiku bergegas pergi menuju kamar. Setelah meletakan tas di meja, aku menghempaskan tubuh di ranjang. Terlalu banyak kejutan hari ini dan semuanya bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Ayolah Mih, ceritakan yang sebenarnya. Siapa dua orang itu?" tanyaku untuk kesekian kali setelah makan malam.
Mimih terdiam sejenak, tatapannya di penuhi rasa bersalah. Tebakanku ternyata tepat pada sasaran. Kedua laki-laki menyeramkan tadi merupakan orang suruhan Tante Widha yang Mimih pinjami uangnya, seorang lintah darat cukup terkenal di lingkungan rumah. Berbagai rumor buruk tentang dia bukan sesuatu yang aneh.
Aku tertegun mendengar penjelasan Mimih. Untuk membiayai sekolah dan hidup kami, Mimih terpaksa menggadaikan surat tanah. Merasa tidak punya pilihan, bunga tinggi pun di setujui. Belum satu tahun berlalu, jumlah pinjaman membengkak semakin besar.
"Kenapa Mimih tidak cerita? Dama tidak keberatan memilih kampus yang biayanya lebih murah atau menunda kuliah sementara waktu."
"Tidak banyak yang bisa Mimih berikan selain pendidikan. Supaya kamu bisa mempunyai kehidupan yang lebih baik dari sekarang. Tapi tidak perlu khawatir, Mimih akan bicara dengan Tante Widha. Kamu hanya perlu memikirkan kuliahmu. Titik."
Bagaimana mungkin aku hanya diam saja setelah mengetahui kabar ini. Membiarkan Mimih menanggung beratnya tekanan dan melanjutkan hidup seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Pengorbanan Mimih terlalu banyak di banding orang tuaku sendiri.
"Melamun lagi?" tegur Priya.
"Eh apa?"
Priya tersenyum sembari membantu melepas kaitan helm yang kupakai. "Kita sudah sampai. Bukannya tadi kamu mau nonton film." Aku baru tersadar kami sudah berada di pelataran parkir sebuah Mall.
"Oh iya," ucapku seperti orang bodoh.
"Ceritakan semuanya padaku nanti. Aku tidak suka melihatmu murung belakangan ini."
"Siapa yang murung? Aku baik-baik saja kok."
"Matamu tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Percuma saja berbohong padaku meskipun semua orang bisa kamu kelabui."
"Ok, aku akan menceritakan semuanya tapi tidak sekarang. Setidaknya biarkan aku menikmati malam minggu ini."
Priya tidak lagi banyak bertanya. Aku di minta menunggu di depan pintu masuk sementara dia pergi menitipkan helm. Ah harus dengan cara seperti apa permasalahan keluargaku di jelaskan tanpa kesan minta di kasihani. Priya sendiri sedang mengalami masalah cukup pelik dalam keluarganya. Menambahkan cerita tidak menyenangkan tentang kehidupanku pasti semakin memperberat bebannya. Aku sangat yakin dia akan melakukan apapun untuk membantu meringankan hutang keluargaku.
Pada akhirnya kami menikmati kebersamaan tanpa membahas hutang keluargaku. Menonton film, makan dan memutari Mall jadi rutinitas biasa setiap menghabiskan waktu. Perhatian Priya teralihkan dengan sikapku yang memasang wajah bahagia.
"Titip tas dulu ya, aku mau ke toilet." pintaku ketika kami bersiap untuk pulang.
Pantulan bayangan di cermin saat mencuci tangan memperlihatkan gurat lelah. Kehidupan yang keras menghisap sari-sari kebahagiaan. Menyisakan seberkas impian semu tanpa harapan. Roda kehidupan memang terus berputar dan kali ini posisiku berada pada titik terendah.
Priya mendadak lebih banyak diam sejak aku kembali dari toilet. Pertanyaanku di jawab singkat seolah enggan menangapi. Rasanya ada yang salah tapi aku mencoba untuk tidak menebak-nebak. Membicarakan masalah lebih baik daripada menahannya hingga memunculkan dugaan-dugaan buruk.
"Tadi ada telepon masuk ke ponselmu."
"Eh... " Tanganku yang bergerak cepat membuka ransel tiba-tiba terhenti. Dua lembar foto pemberian Gaharu berada di samping ponsel. Aku menelan ludah, mulai mengerti arti diam yang di tunjukan Priya.
Pandangan laki-laki itu menajam. Rahangnya mengeras menyiratkan kemarahan. Hubungan kami sebelum dan setelah menjalin kasih hampir tidak lepas dari pertengkaran. Emosi juga salah paham bukan sesuatu yang baru. Diam, tak acuh, mengabaikan merupakan tanda dia sedang marah, murka tepatnya.
"Aku bisa jelaskan... " Kalimatku menggantung begitu melihat tangannya terangkat.
"Gaharu yang memberikannya, bukan begitu?"
"Maaf. Aku... " Ah lagi-lagi delikan mata Priya membungkam mulutku. Menyebalkan, kenapa semua menjadi rumit.
Keheningan menyelimuti kami berdua meskipun suasana di cafe cukup ramai. Di mata pengunjung lain, aku dan Priya mungkin terlihat seperti musuh. Semua kata yang biasa terlontar jika sikapnya mulai mengesalkan hilang di telan bumi.
"Siapa yang memberikan foto itu?"
Aku menelan ludah, tenggorokan mendadak terasa pahit. "Ga... Gaharu."
Priya tersenyum sinis sekaligus getir. "Dugaanku ternyata benar. Sekarang baru aku mengerti ucapanmu tempo hari." Dia menepuk lututnya lalu bangkit. "Ayo aku antar kamu pulang." lanjutnya setelah membayar pesanan makanan kami.
Bagai terhipnotis, kakiku terus melangkah mengikutinya. Priya mengamit tanganku paksa, meremasnya cukup kuat hingga sakit. Kemarahan yang terpancar dari aura tubuhnya membuatnya tidak peduli sudah menyakitiku.
Keadaan semakin memanas ketika Gaharu berada di teras rumah saat kami sampai. Kilatan amarah berpedar di bola mata Priya. Laki-laki yang di kenal karena keramahannya berubah menjadi sosok menakutkan. Tubuhku bahkan sempat mundur karena takut padanya.
"Pry tunggu!" Pekikku tertahan begitu dia berjalan cepat menghampiri Gaharu.
Kata-kata kasar meluncur bebas dari bibirnya. Gaharu tidak memberi reaksi, diam dengan tatapan datar. Keadaan semakin memanas dan sulit di kendalikan ketika pukulan demi pukulan di arah Priya ke arah tubuh Gaharu.
"Pry berhenti! Priya... " jeritku tertahan melihat Gaharu tumbang. Tubuhnya tidak bergerak dengan mata tertutup. Cairan berwarna merah mengalir dari hidung dan mulutnya.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro