Part 7
Di usia yang sudah menginjak kepala dua, sudah sewajarnya jika aku berusaha mencari uang sendiri. Pekerjaan apapun akan bukan masalah selagi itu halal. Beberapa teman bahkan menawari pekerjaan part time disela-sela jadwal kuliah, tidak besar tapi cukup untuk meringankan biaya kuliah. Semua terpaksa ditolak, larangan ibu angkatku untuk bekerja sebelum lulus kuliah bukan hanya sekedar gertakan.
"Masih cari lowongan pekerjaan Dam? Memangnya Mimih kasih izin?" Meta memperhatikan koran yang baru kubeli sebelum ke kampus. Kami duduk di koridor tidak jauh dari perpustakaan, salah satu jalan yang tidak terlalu banyak di lalui mahasiswa lain.
"Belum sih tapi siapa tau nanti aku bisa membujuknya. Kami bukan keluarga mapan jadi diam saja sementara Mimih bekerja keras membuatku merasa seperti anak tidak tau diri yang hanya tau cara menghabiskan uang," keluhku lirih. Membayangkan kesibukan ibu angkatku di usia yang tidak muda lagi menghadirkan rasa bersalah.
"Ah kalian disini rupanya." Priya menghampiri kami dengan senyum lebar. Langkahnya terhenti, menyipitkan mata dan menatap koran dalam genggamanku. Desahan kesal terdengar , pertanda dia tidak menyukai dengan dilihatnya.
Meta beranjak dari sisiku, dia paling tidak suka jika kedua sahabatnya mulai berdebat. Dia memilih duduk diseberang sambil mendengarkan musik melaui ponsel. Matanya beralih pada buku tebal yang sempat di pinjam dari perputakaan, berpura-pura tidak melihat ketegangan di antara kami.
"Aku hanya melihat-lihat jadi sebaiknya kamu tidak perlu memperbesar hal ini," gerutuku tanpa menoleh.
Priya meraih puncak kepalaku lalu mengecupnya sekilas. Sejak dulu dia memang lebih banyak bersabar dengan sikap keras kepala yang sudah mendarah daging. "Bukannya aku ingin membatasimu tapi tidak ada salahnya menuruti permintaan Mimih. Itu semata-mata demi kebaikanmu. Fokus dan konsentrasi saja agar kamu cepat lulus. Soal biaya kuliah, aku bisa sedikit membantu."
Aku melipat koran dengan malas. Melirik laki-laki yang tengah menghempaskan tubuhnya dilantai." Aku hargai tawaranmu tapi berhentilah bersikap seolah kita sudah menikah. Lihat, aku masih kuat untuk bekerja tanpa harus bergantung padamu."
"Kenapa kamu selalu sensitif jika kita membahas sesuatu yang berhubungan dengan uang. Tidak sekalipun aku memandang rendah dirimu hanya karena materi." Nadanya mulai meninggi.
"Justru karena itu aku menolak. Semua yang kamu miliki masih berasal dari pemberian orang tua. Kita berdua bahkan belum mempunyai pekerjaan tetap. Aku hanya tidak ingin kesusahanku menjadi tanggunganmu," jelasku menahan diri dari emosi.
Priya mendengus sebal lalu bangkit kembali dengan gusar. Tatapannya yang semakin tajam membuat tidak nyaman. "Aku sama sekali tidak merasa terbebani. Sebagai laki-laki yang paling dekat, sudah seharusnya aku membahagiakanmu. Waktu kita belum pacaran, kamu tidak pernah menolak dengan semua pemberianku. Kenapa baru sekarang kamu mempermasalahkannya?"
Meta menghela nafas panjang, menatap kami bergantian yang diselimuti aura negatif. "Berhentilah saling berteriak. Kalian berdua saling mengenal cukup lama. Mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sekarang berpikirlah dengan kepala dingin. Sebagai orang luar, aku melihat niat kalian berdua sebenarnya baik hanya saja cara pandang kalian berbeda dalam menyikapinya."
Perkataan Meta secara tidak langsung mempertanyakan kesungguhan kami dalam hubungan ini. Tidak pernah kusadari, terlalu banyak berpikir dan berhati-hati justru lebih sering menyakiti perasaan Priya. Merasa paling benar sendiri hingga terlupa kalau dia belum tentu berpikir dengan cara yang sama.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu hanya saja... " Suaraku mendadak tercekat di tenggorokan. Tidak menyisakan sepatah katapun di kepala.
Priya kebingungan dan cemas melihatku menundukan kepala dengan menopang pada kedua lutut yang ditekuk. Dia kembali jongkok, setengah berlutut sambil mengusap lembut rambutku. Sepanjang kami saling mengenal, belum pernah aku menangis atau tampak lemah di hadapannya.
"Maaf. Aku tidak berniat menyakitimu jadi jangan menangis lagi. Sebagai pasangan, aku hanya merasa belum cukup berusaha membuatmu bahagia."
Raut wajahnya terlihat lega melihatku akhirnya mendongkak. Tangannya mengusap kepalaku selagi aku menyeka sisa air mata. "Jangan menangis lagi, rasanya menyakitkan melihatmu seperti ini."
Wajahku merona, bukan karena perkataan tetapi tatapannya. Dulu aku mampu menatapnya lebih dari lima menit sekarang satu menit saja sudah jadi rekor terlama. "Argh menyebalkan, berhenti melihatku seperti itu."
Priya mengelak ketika kedua tanganku hendak menutup wajahnya. "Kenapa? Ada yang salah atau kamu lebih suka aku memperhatikan wanita lain seperti Leorin misalnya," godanya dengan kedua alis terangkat.
"Silahkan. Gaharu juga bukan pilihan yang buruk," balasku yang disambut dengan delikan tajam.
"Aku tidak akan mengizinkannya meskipun itu hanya mimpi. Di dunia ini selain keluarga, kamu adalah seseorang yang tidak pernah rela untuk kulepaskan pada siapapun termasuk dia." Priya mengucapkannya dengan mimik serius. Perubahan sikap laki-laki itu membuatku sedikit takut.
Meta berdecak ketika wajahku dan Priya tinggal berjarak satu ruas jari. "Hei pasangan labil! Ini kampus, cari tempat lain kalau mau pacaran. Kalian pikir aku ini tembok ya."
"Ish kamu senang sekali sih menghancurkan momen berharga kami. Aku sedang merayunya agar mau aku ci... ." Aku mencubit pipi Priya cukup keras. Alih-alih merasakan sakit, dia malah tertawa seolah aku sedang menggelitikinya.
"Huh percuma saja bicara pada kalian. Pry, jangan lupa janjimu untuk mentraktir."
"Enak saja. Kesempatan emasku hilang gara-gara kamu, dasar Tante genit!"
"Apa kamu bilang tadi playboy cap minyak tanah hah!" Meta bangkit. Matanya melotot sambil berkacak pinggang.
Aku tersenyum kecil melihat kini giliran Priya dan Meta saling berdebat. Di antara ketidakberuntungan, pedih dan luka. Keberadaan keduanya dalam hidupku menjadi anugerah yang sangat berharga.
Satu hal yang masih menjadi beban pikiran hingga detik ini, bagaimana menghadapi keluarga Priya. Orang tuanya selama ini bersikap baik meskipun mengetahui latar belakangku yang tidak jelas. Tapi hubungan kami berbeda sekarang, perasaan cemas sering muncul jika memikirkan keluarganya akan mempersoalkan siapa diriku.
"Kalau begitu aku juga mau di traktir, pokoknya harus yang mahal. Kamu sendiri yang bilang tidak akan mempermasalahkan soal materi." Permintaanku menghentikan perdebatan keduanya.
Meta tergelak, menertawakan Priya yang hanya tersenyum masam. "Tuh Pry, Damara mau makan yang mahal."
Sorot mata Priya berbinar saat meraih bahuku. Dia menuruti permintaanku yang sebenarnya hanya sekedar bercanda. Priya juga tidak keberatan mengajak Meta dan kekasihnya ikut makan bersama kami. Untuk sejenak perasaan ini bisa sedikit lebih tenang.
"Bisa tidak kamu fokus sebentar padaku?" gerutu Priya saat kami menghabiskan malam minggu bersama di sebuah kios jagung bakar. Hari ini aku ingin menikmati keindahan kota dari atas bukit.
Pandanganku tetap tertuju pada keindahan kelap-kelip lampu rumah. "Bagaimana jika orang tuamu tidak setuju?" keluhku sambil merapatkan jaket.
"Tidak ada hubungan yang tanpa masalah. Aku sudah memperkirakan semua resiko saat memilihmu. Seperti yang sudah kubilang, hubungan ini bukan untuk kesenangan sesaat. Sekalipun keluargaku menentang, aku tidak akan berhenti berusaha membuktikan pada mereka bahwa kamu adalah terbaik untukku." Jaket yang dikenakan Priya beralih di tubuhku meskipun udara cukup dingin.
"Tapi aturan di dunia ini tidak semudah kita bicara. Ada norma dan bibit, bebet juga bobot yang biasanya jadi patokan dalam menilai seseorang."
Priya menghela nafas, diraihnya kepalaku hingga bersandar di dada yang bidang. "Memang tapi aku percaya untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan tidaklah selalu mudah, begitu juga dengan hubungan kita. Masalah akan selalu ada dan bagiku itu bukan alasan untuk menyerah. Masa depan tidak pernah bisa ditebak tapi kita tidak akan pernah maju jika selalu takut melangkah."
Aroma maskulin laki-laki yang belum lama menjadi kekasihku menenangkan kegelisahan. Dia mengecup pipiku sekilas setelah memastikan tidak ada yang memperhatikan kami. Mimiknya lucu seperti pencuri yang takut aksinya ketahuan. Ingin rasanya menghentikan waktu saat ini.
"Aku tau itu tapi membayangkan semua berakhir dengan kata pisah, rasanya ugh... ." Kuhembuskan nafas dalam-dalam, berharap sesak yang menghimpit dada berkurang.
"Mencintaimu memang tidak mudah, butuh waktu cukup lama bagiku untuk mengatakan perasaan yang terpendam. Jujur, aku sempat berpikir untuk mempertahankan persahabatan daripada harus kehilanganmu. Berbagai cara termasuk menjalin hubungan dengan wanita lain tapi sulit sekali untuk menghapus bayanganmu. Pada satu titik, aku menyerah untuk tidak lagi menjadi pengecut yang hanya bisa menjadi pengagum rahasia. Bagiku baik atau buruk, seorang Damara pantas untuk dicintai."
Aku menahan haru, berusaha tidak terlihat cengeng di hadapannya. Priya cukup mengerti, dia mencium kepalaku beberapa kali. "Seharusnya kamupun bisa lebih mencintai dirimu sendiri," bisiknya lembut.
Hampir tiga tahun kami bersahabat. Selama itu Priya tidak lebih dari teman setia yang berada di barisan depan saat hariku memburuk. Mata hati seolah baru saja terbuka, menyadari betapa baiknya sosok yang hampir terlewatkan. Masa depan memang masih abu-abu tapi perasaan kami sebiru langit. Aku hanya mampu berdoa semoga kami bisa menempuh jalan yang sama.
Awan mendung perlahan mulai menaungi kehidupan kami. Seperti mimpi buruk, kabar tidak enak tiba-tiba menyebar di antara teman-temanku. Rumor tentang di tangkapnya ayah Priya karena kasus korupsi. Dia mencoba untuk tetap tegar, tidak terusik dengan bisikan-bisikan yang menyudutkan keluarganya.
Sebagai kekasih, semangat dan dorongan tidak pernah berhenti terucap dari mulutku. Priya tidak terlalu terpengaruh, dia cukup pintar menyembunyikan kepedihan dalam tawa. Tidak pernah terbersit sedikitpun niat untuk menjauh meskipun hubungan kami kedepannya masih belum sepenuhnya mendapat titik terang.
"Benarkah kamu masih ingin mempertahankan hubungan kita? Aku tidak akan marah jika kamu memilih pergi dengan keadaanku sekarang." Priya membantu membuka helm setelah mengantar pulang dari kampus.
Aku mencubit pipinya dengan kesal. Jantung ini mendadak sakit seolah kami akan berpisah. "Bodoh, kamu belum cukup mengenalku jika berpikir seperti itu. Lagi pula semua tuduhan pada ayahmu masih bersifaat dugaan. Masalah kamu memang berat tapi... aku... ah perasaanku tetap tidak berubah."
Wajah tampan didepanku tersenyum lebar, sedikit melegakan karena senyuman itu sempat menghilang belakangan ini. "Kamu sudah pintar bicara rupanya."
"Aku sedang menirumu tau." Tanganku mencubit lengannya.
Priya terkekeh lalu menjentikan jarinya dihidungku. Binar matanya sesaat meredup, menggetarkan sayang keseluruh tubuh. "Aku hanya tidak ingin bersikap egois dengan melihatmu terseret masalah keluargaku. Hal ini cukup rumit dan tidak akan selesai dalam waktu dekat. Tapi terima kasih atas pengertianmu, aku pulang dulu ya." Dia mengecup singkat keningku.
"Hati-hati." Lidah mendadak kelu, tidak tau harus menyemangatinya dengan cara apa. Jauh didasar hati, ketakutan akan kehilangannya semakin menguat.
Aku terkesiap ketika baru saja membuka pagar yang tidak dikunci. Seorang laki-laki terlihat tengah berdiri di ujung rumah. Pepohonan yang rimbun menyembunyikan keberadaannya dari pandangan. Gaharu, sosok yang lama tidak kujumpai tersenyum misterius. Aku sulit bersimpati padanya setelah pertemuan kami yang berakhir buruk. "Hai Dam. Lama tidak jumpa. Aku sudah dengar tentang masalah Priya dan ikut prihatin."
"Terima kasih tapi sepertinya kamu salah alamat. Ucapkan simpatimu pada orangnya langsung. Ada perlu apa kamu datang kesini? Setauku Mimih masih bekerja di rumahmu bukan," tanyaku tanpa basa-basi.
"Maaf, aku tidak bermaksud menganggumu. Kebetulan tadi lewat sekitar rumahmu jadi... . Mm... boleh aku minta minum?"
Demi kesopanan meskipun jengkel, aku tetap mengambil air minum untuk Gaharu. Sedikit tidak nyaman, khawatir jika laki-laki itu berbuat yang aneh mengingat hanya ada aku di rumah. Lebih menyeramkan lagi kalau Priya tiba-tiba muncul. Sekalipun kami dalam kondisi normal, aroma kemarahan bukan hal yang mustahil.
"Ini minumnya, maaf cuma ada air putih. Jadi kedatanganmu cuma sekedar lewat?" Aku tidak terlalu peduli jika terdengar sinis. Memikirkan Gaharu memilih menunggu sekian lama di teras dan beralasan hanya mampir karena sekedar lewat tidak masuk akal. Untuk apa dia menunggu penghuni rumah yang belum tentu jam pulangnya.
Gaharu menenguk habis minum yang kusodorkan. "Tidak juga sih. Aku datang memang ada perlu denganmu. Soal kejadian itu, aku minta maaf sudah berlaku kasar."
Pandanganku masih memperhatikan gerak-gerik, mencari ketulusan dari kata-katanya. "Ya sudahlah. Aku juga tidak ingin mengingat momen seperti itu. Bukannya aku mengusirmu tapi jika hanya itu yang ingin kamu katakan, sebaiknya kamu pulang. Aku ingin istirahat."
Ekpresi Gaharu sama sekali tidak bisa terbaca. Sikapnya terlalu tenang tetapi membuat perasaan tidak nyaman. "Maaf kalau sudah menganggumu. Sebelum pulang aku ingin menanyakan satu hal, apa kamu yakin tetap ingin bersama dengan Priya dengan semua masalah yang dihadapinya saat ini?"
"Ya," jawabku jujur.
Sudut bibirnya terangkat, terkesan mengejek jawabanku. Perubahan wajahnya kali ini mengingatkanku pada saat peristiwa yang terjadi di kamarnya tempo hari. Reflek aku bangkit, bersikap waspada hingga Gaharu memasang senyum manis kembali. "Baiklah kalau begitu, mudah-mudahan kalian tetap bisa bersama ya."
Pandangan beralih pada amplop coklat di meja teras. "Haru, barangmu ada yang ketinggalan."
Gaharu menoleh sekilas, kembali memamerkan deretan gigi rapihnya. "Itu hadiah dariku."
Amplop berwarna coklat di meja menggelitik rasa ingin tau terlepas dari siapa yang memberi. Perlahan jemariku membuka benda itu dengan jantung berdebar. Mataku terpaku pada amlop yang ternyata berisi dua lembar foto. Semua masih belum pasti tetapi prasangka buruk mulai berkembang tanpa arah.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro