Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4

Dunia itu dipenuhi kejutan, ada yang menyenangkan tapi tidak jarang lebih banyak bagian yang tidak mengenakkan. Begitupula kehidupan yang kujalani, rasanya seperti mendapat mimpi buruk melihat sosok Gaharu di rumahku. Sikapnya yang mendadak sopan membuatku curiga dengan isi kepalanya saat ini.

Mimih menjelaskan maksud kedatangan Gaharu. Siapa dia dan seribu alasan yang tidak ingin kudengar. Siapa yang menyangka kalau laki-laki yang hobi mengusiliku ternyata anak majikan di tempat Mimih bekerja yang baru.

"Boleh Damaranya dipinjam sebentar Mbak Mimih?" Sudut bibirku terangkat melihat sikap Gaharu yang terlalu berlebihan di mataku. Anak sekarang mungkin bilang lebay.

"Memangnya aku barang, bisa di pinjam seenaknya." Suaraku hampir tidak terdengar.

Mimih mendelik sementara Gaharu pura-pura tidak mendengar. "Boleh saja asal jangan terlalu malam pulangnya."

Bibirku merengut dan mendengus kesal. Tidak ada niat sekalipun untuk pergi keluar malam ini apalagi bersama orang ini. "Malas ah Mih."

Mimih terus membujuk yang lebih menjurus kearah pemaksaan hingga akhirnya perdebatan kami berakhir dengan anggukan. Gaharu menatap dengan antusias melihatku menyerah dan berganti pakaian dengan yang lebih layak pakai.

Dia membawa mobil yang dikendarainya menuju jalanan yang biasa jadi tempat berkumpul anak muda. Kami berdua memilih sibuk dengan pikiran masing-masing daripada berbasa-basi yang berujung pada suasana canggung. Aku menolak untuk turun saat kami berhenti disebuah kedai makanan. Tempatnya sangat ramai, hampir tidak menyisakan kursi kosong. Andai diperbolehkan, lebih baik kembali pulang daripada harus berada di tempat ramai seperti ini.

Gaharu menyodorkan sepiring makanan yang kupesan. "Nggak dikasih racunkan?"

Dia tidak menjawab, mengabaikan sikap ketusku dan melahap makanan dalam diam. Mataku lebih menyukai memandangi orang-orang, semua terlihat larut dalam senyuman dan tawa. Melepas kepenatan dengan berkumpul bersama sahabat, pasangan atau keluarga.

"Kamu masih dendam ya?" kepalaku berpaling pada laki-laki yang menghentikan suapannya.

"Dendam apa?" Gaharu mendelik tanpa menghentikan suapannya.

"Empal dagingnya keras banget tau. Kamu sengaja ya mau biar gigi aku rusak, argh apa bedanya ini sama ban mobil," gerutuku sambil berusaha kembali mengigit empal daging yang seperti karet.

Laki-laki disampingku tertawa untuk pertama kali saat bersamaku. "Tenang saja, aku punya garansi ke tukang gigi kok."

Aku mendengus lalu memandangi empal daging yang tersisa. Rahangku pegal rasanya menguyah terus. Di buang sayang tapi di makan hanya semakin menambah penderitaan gigiku saja.

Seorang pengamen mendekati mobil kami, berdiri tepat disampingku yang kebetulan sedang membuka jendela. Tanpa aba-aba dia mulai bernyanyi.

"Mas dikasih berapa biasanya sekali nyanyi?" tanyaku iseng memotong nyanyiannya.

Laki-laki muda beberapa tahun di bawahku itu tersenyum. "Tergantung sama yang ngasih mba, seikhlasnya saja."

Tanganku meraih dompet dipangkuan. Mengeluarkan uang kertas sepuluhribuan satu lembar. "Makasih mba," ucapnya dengan mata berbinar.

"Ya udah mas nyanyi tiga lagu ya, terserah lagunya yang mas bisa. Jangan di potong nanti saya nggak ikhlas ngasihnya."

Pengamen itu masih terdiam, matanya mengerjap. Gaharu ikut memperhatikan sikapnya. "Mas ayo cepat nyanyinya. Siapa tau ada produser yang lagi makan."

"Iya juga ya mba. Saya spesialkan nyayian ini buat mba deh." Laki-laki muda itu kembali bersemangat.

Detik berikutnya aku menyesal telah memintanya menyanyikan tiga lagu. Senyumku kecut, menikmati alunan musik yang tidak bernada dengan suara fals yang menyakitkan telinga. Gaharu berusaha menahan tawa melihat perubahan raut wajah anehku setiap pengamen itu bernyanyi.

"Seharusnya kamu hentikan dia setelah menyanyikan lagu pertama."

"Mengamen itu bukan pekerjaan mudah. Dia sudah bersusah payah mengorbankan rasa malu demi sesuap nasi. Itupun belum tentu mendapat respon bagus, masih syukur tidak diusir atau hanya mendapat bayaran senyuman." Pandanganku masih terarah pada pengamen tadi yang berkeliling disekitar kedai makanan. Memuji kepercayaan dirinya dalam hati.

Gaharu kembali terdiam, menyeleseikan makanannya sementara aku berpikir keras antara menghabiskan empal daging itu atau tidak. "Kamu tidak bertanya apa alasan keberadaanku di rumahmu tadi?"

"Mimih bekerja di tempatmu bukan?" tebakku. Sepanjang perjalanan aku memang memikirkan kedatangan Gaharu. Hanya alasan itu yang masuk dalam logika.

"Rupanya kali ini otakmu bekerja dengan baik. Aku tidak perlu repot menjelaskan."

Aku menyodorkan piring di tanganku padanya. Mataku mulai mengantuk dan badanku sudah teramat lelah untuk bicara. "Terserah. Apapun yang ingin kamu bicarakan, simpan saja nanti. Aku mau pulang sekarang."

Gaharu mengamini permintaanku. Rasanya keadaan saat ini sedikit canggung mengingat setiap pertemuan kami selalu berakhir dengan kekacauan. Dia tidak pernah membuatku tenang, ada saja kelakuannya yang membuat darahku mendidih. Priya biasanya menjadi tamengku, lawan seimbang yang membuat siapapun berpikir ulang untuk mengikuti jejak Gaharu. Mm...tunggu dulu, sepertinya aku melupakan sesuatu tapi apa ya?

Jam menunjukan pukul sebelas malam saat aku tiba di rumah. Gaharu kupaksa menurunkanku di depan gang rumah. Aku tidak terbiasa dengan sikapnya yang mendadak baik. Menjaga jarak mungkin hal yang harus kulakukan sebelum memastikan kebaikannya memang tulus. Apalagi dia tau kalau Mimih bekerja untuk keluarganya, itu bisa jadi senjatanya untuk melemahkanku.

"Baru pulang kencan?" Sapaan bernada sindiran menyambut kedatanganku. Ah ternyata yang terlupa itu sahabatku sendiri.

Priya duduk di kursi teras dengan tatapan tajam. Dia terlihat berbeda malam ini setidaknya begitu yang terlihat di mataku. Sosoknya tampak lebih maskulin dan rapih. Ini bukan pertama kalinya dia berpenampilan seperti sekarang, terutama jika malam minggu seperti sekarang. Apa yang berbeda ya? kenapa juga debaran jantung ini semakin tidak menentu. Payah sekali diriku.

"Kencan dengan siapa?" Aku duduk disampingnya dengan memasang wajah polos.

Pandangannya tertuju ke arah jalanan. "Mimih sudah menceritakan semua tadi."

"Kami hanya pergi sebentar. Gaharu.... " Sikap dingin Priya mengurungkan usahaku untuk menjelaskan kesalahpahaman.

Laki-laki itu bangkit sambil meraih jaket yang dia taruh disampingnya. "Aku sudah bawa pesanan makananmu. Sekarang aku pulang dulu."

Perasaanku mulai memburuk, kantuk yang tadi mengusik kini pergi entah kemana. "Terserah, pergi saja," ucapku bergegas masuk kedalam rumah tanpa menghiraukan Priya yang masih berdiri ditempatnya.

Sumpah serapah keluar dari mulutku setelah berada di kamar. Panggilan Mimih tidak kugubris bahkan ponsel terus berdering tanpa ada niat untuk menjawab panggilan masuk. Aku tidak mengerti kenapa harus marah, untuk apa merasa kesal pada Priya. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih bukan malah meninggalkannya tanpa pamit. Rasanya seperti orang bodoh saja.

Keesokan pagi kekesalan itu masih tersisa. Mimih diam saja saat melihatku keluar dari kamar dengan wajah kusut. Tidak ada pertanyaan yang berhubungan dengan sikapku semalam.

"Siapa yang menginap semalam Mih?" tanyaku saat melirik peralatan tidur yang sudah rapih di sofa ruang tamu.

"Kamu juga tau. Orangnya lagi mandi." Pandanganku kembali ke meja makan. Bukan hal yang aneh, beberapa teman wanita Mimih terkadang memang suka menginap.

Kuletakan kepala di meja setelah meraih selembar roti, menguyahnya tanpa semangat. Kejadian semalam kembali terbayang. Priya pasti marah padaku yang meninggalkannya. Jujur akupun tidak ingin begitu tapi entah kenapa perasaan ini sulit dikendalikan, seperti bukan diriku saja.

"Pagi Damara." Teguran bersamaan dengan usapan dikepala mengejutkanku.
Priya menyeret kursi tanpa menunjukan sedikitpun kemarahan. Senyumnya tidak berubah, ramah seperti biasa jika kami bersama. Tapi perasaan bersalah ini masih belum ingin menghilang.

"Maaf soal semalam." Susah payah kuucapkan kata yang biasanya bukan hal sulit bagiku mengatakannya.

"Kamu tidak perlu memikirkannya. Aku yang harus minta maaf karena telah menyinggungmu." Dia mengacak-acak rambutku.

Mimih memandangi kami bergantian dengan senyuman yang tidak bisa kuartikan. Lidahku mendadak kelu padahal biasanya kami punya banyak topik untuk dibicarakan. Beruntung Mimih dengan mudah mencairkan suasana. Priya ternyata semalam menginap dan tidur disofa setelah usahanya meredakan kemarahanku gagal. Mimih mengomeliku yang dianggapnya bersikap seperti anak kecil.

Priya sesekali melirik kearahku yang lebih memilih menjadi pendengar. Cibiranku berbuah senyuman di wajah tampannya. Rupa dan raga yang banyak diidamkan oleh banyak mahasiswi di kampus. Diam-diam kuperhatikan dia yang tengah tertawa, sepertinya ada yang salah dengan mataku?

Tidak ada yang istimewa setelah malam itu. Gaharu bersikap biasa tanpa mengatakan pada orang-orang tentang Mimih yang bekerja di keluarganya. Teman sekelas kebingungan dengan perubahan laki-laki yang biasanya selalu menjahiliku. Dia bahkan tidak segan memberitau jawaban pada ujian hari terakhir. Priya tidak bergeming saat kutawari contekan. Sikap dinginnya membuatku serba salah.

Gaharu memang mulai sering mengajakku bicara. Dia tidak pernah menunjukan sifat pengangganggunya, beberapa kali tanpa diminta Gaharu bahkan mengajariku materi sebelum ujian dimulai. Bersamaan dengan itu, hubunganku dengan Priya semakin renggang. Laki-laki itu terkesan sulit disentuh dan lebih banyak bersama teman-teman yang lain.

"Met. Priya kenapa ya akhir-akhir ini jadi banyak diam. Di tanya juga jawabnya singkat terus," keluhku saat menikmati waktu istirahat di taman.

Meta menghela nafas lalu merangkul bahuku. "Aku ngerti kamu sangat berhati-hati menjaga perasaan. Menutup pintu selain untuk dirimu sendiri dan Mimih. Tapi ada hal lain yang tidak bisa kamu abaikan. Seseorang yang mampu menyayangimu sepenuh hati tanpa memikirkan latar belakang kehidupanmu."

"Apa hubungannya semua itu dengan Priya?"

"Jangan bertanya sesuatu yang sebenarnya sudah kamu ketahui jawabannya. Aku tidak bodoh, sudah cukup lama mengenalmu dan Priya untuk tau ada sesuatu yang berubah diantara kalian. Hal yang kamu anggap mustahil terjadi."

Aku terdiam, memandangi Priya yang tengah bersama teman-temannya di kantin. Bertanya pada diri sendiri tentang perubahan yang terjadi diantara aku dan Priya. Sesuatu yang sejak awal kuanggap tabu dan memilih menempatkannya dalam zona nyaman. Tidak kupungkiri keraguan belakangan sangat menganggu, mempertanyakan sekaligus mengetuk pintu hati untuk lebih terbuka.

Seorang wanita bertubuh mungil tiba-tiba menghampiri kami. Leorin, adik kelasku yang cukup populer karena kecantikan dan kepintarannya. Wajahnya merona dengan raut gugup. "Kak Damara. Mm... boleh tidak aku jadi pacarnya kak Priya?" ucapnya malu-malu.

"Apa?" ulangku, tidak percaya dengan apa yang baru kudengar.

Meta mengamit jemariku yang mulai berkeringat dingin. Bola matanya beralih pada Leorin yang masih berdiri menunggu jawaban. "Priya yang menyuruhmu?"

Leorin mengangguk pelan, kegugupannya terlihat jelas. "Kak Priya bilang, aku harus minta izin kak Dama dulu kalau mau jadi pacarnya."

Kusentuh dada yang tiba-tiba terasa sakit bersamaan dengan perasaan tidak nyaman. "Ya... boleh." Genggaman Meta semakin menguat seiring tubuh yang hampir luruh.

Wajah manis didepanku semakin berbinar bahagia. Dia mengucapkan terima kasih pada kami berdua lalu setengah berlari menuju kantin. Pandanganku mengikutinya yang ternyata menuju kearah Priya dan teman-temannya. Sahabatku itu tengah merangkul Leorin dan memberinya pandangan lembut. Keriuhan yang terdengar menjadi pertanda ada pasangan yang sedang berbahagia. Aku mengigit bibir cukup keras, menahan sakit yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Sorot Meta meredup, menatapku dengan kasihan. "Dama, Priya minta kita datang ke kantin."

Senyumku terasa kaku, menahan panas yang dipelupuk mata. "Tolong bilang sama Priya, aku pulang duluan."

Meta memelukku erat. "Telepon aku kapan saja ok," bisiknya lirih sambil menepuk pipiku.

Aku mulai meninggalkan kampus dengan gontai. Suara Priya yang memanggilku dari kejauhan tidak menghentikan langkahku meski hanya sekedar menoleh. Dengan cepat kuseka sudut mata yang mulai berair sebelum ada yang menyadarinya. Aku akan baik-baik saja, pasti akan baik-baik saja. Sakit ini akan hilang bersama rasa yang seharusnya tidak boleh ada. Harus....

tbc

Cerita lain masih di tulis ulang buat repost dulu ya, banyak part yg kepotong yang harus di tulis dari awal lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro