Part 25
Hari paling bersejarah dalam hidupku akhirnya tiba. Waktu di mana status akan berganti. Perubahan besar terbuka lebar dengan berbagai tantangan yang sudah menanti.
Aku sudah pernah melewati masa terburuk, momen di mana menyerah terdengar bagai nyanyian kematian. Meneruskan hidup seorang diri bukan sesuatu yang mudah apalagi embel-embel latar belakang yang tidak jelas. Keteguhan diuji hingga sejauh mana kepala mampu mendongkak menentang dunia.
Pernikahan ini akan jadi gerbang awal yang baru. Tentu saja aku tidak bodoh. Ikatan resmi di antara kami bukanlah jaminan hanya akan ada tawa di sepanjang perjalanan. Kenyataannya banyak pasangan yang memilih berpisah meski mereka mengawali dengan cinta.
Aku akan mencoba menikmati setiap jalanan terjal, bersenangdung kala hujan lebat dan berdoa saat pelangi muncul.
Detik demi detik ketika ijab qabul terucap begitu mendebarkan. Perasaan bahagia sekaligus gugup meluap begitu tersadar diri ini telah memiliki pendamping. Seseorang yang bisa diajak berbagi. Lelaki yang bertanggung jawab serta menjaga. Dan tentunya teman hidup dan tidak hanya menemani saat weekend atau libur.
Priya tampak lebih tegang dariku namun sekaligus tidak tahu malu. Dia bahkan mencium keningku sangat lama hingga harus disela pembawa acara.
Kebahagiaanku tidak berakhir di momen itu. Keberadaan Ayah dan keluarganya membuatku semuanya lengkap. Tentu saja Gaharu akhirnya muncul. Ekspresinya tidak enak dilihat ketika diminta memakai pakaian adat untuk keluarga. Aku setengah mengancamnya agar dia mau mengikuti kemauanku.
Priya menunjukan kebesaran hatinya. Dia tidak sungkan merangkul laki-laki yang pernah sekelas dengan kami ketika tiba waktunya acara resepsi. Aku sudah menceritakan pertemuan kami padanya. Priya justru senang melihatku mampu memaafkan dengan tulus.
Aku melirik Gaharu disela menyalami para tamu. Lelaki itu mengerutkan dahinya pada seorang gadis berkacamata. Priya tidak mengenal gadis itu. Kemungkinan dia salah satu keluarga dari tetangga atau rekan kerja dari pihak kerabat.
Gaharu memang terlihat tampan. Ditunjang tubuhnya yang tinggi. Dia hampir menyaingi sang mempelai. Beberapa gadis yang menyalaminya menunjukan ketertarikan atau sejenis sikap takjub tapi Gaharu justru menganggap hampir semua tamu undangan hanya angin lalu.
Sikap dinginnya terlalu berlebihan malah terkesan angkuh. Tapi beberapa kali dia kudapati melirik wanita berusia lebih tua atau bisa dibilang lebih pantas disebut tante. Habit lamanya belum hilang ternyata.
Gadis itu menyalami Gaharu cukup lama hingga mata lelaki itu mulai memicing. Seandainya aku tidak memberinya tatapan tajam, kemungkinan besar dia akan menyudahi salaman itu dan menarik paksa tangannya dengan kasar.
Setelah berdiri berjam-jam akhirnya kakiku bersorak sorai dan bisa meregangkan otot yang pegal sambil mengisi perut. "Aku baru ingat." Priya tiba-tiba menyela suapanku.
"Ingat apa?"
"Gadis yang pakai kacamata tadi. Kamu ingat gadis yang hampir memeluk Gaharu kalau nggak diingatkan orang di sebelahnya?"
"Tentu saja." Ingatanku melayang pada pemandangan tadi. "Reaksi Gaharu seperti sedang melihat kecoa. Campuran antara takut dan jijik. Kenapa?"
"Dia salah satu anak teman ayahku. Ayahnya pengusaha sukses. Punya banyak properti dan perkebunan."
"Hebat dong. Gadis itu sepertinya suka sama Gaharu. Lumayan cantik daripada seleranya yang kamu tahu sendiri seperti apa."
Priya meneguk habis air di gelas. "Dia begitu mungkin karena kurangnya kasih sayang seorang ibu. Tanpa disadarinya, perempuan lebih tua membuatnya nyaman dibanding berada di sekitar wanita yang seusia atau lebih muda darinya."
"Kamu benar juga. Kita nggak bisa memaksakan jodoh seseorang. Aku hanya ingin dia bisa mengawali hidupnya dengan sesuatu yang baik termasuk pasangan."
Priya menarik wajahku. "Berhenti memikirkan orang lain. Meski kamu mendeklarasikan hubungan kalian sebatas saudara, itu bukan berarti mencegahku dari rasa cemburu."
Kusikut lengannya pelan, tetap mempertahankan cara elegan mengingat kami masih dikelilingi keluarga besar. "Kamu bilang sendiri wanita yang sebaya dengannya bukan tipe yang akan membuatnya tertarik."
"Yah, kasusmu berbeda." Priya menoleh pada Gaharu yang menyendiri di pojok ruangan. Duduk membungkuk dan menyibukan diri dengan ponsel. "Kami sempat mengobrol dan dia menempatkan diri sebagai kakakmu. Memberiku peringatan mengerikan jika berani macam-macam."
"Itu bagus bukan. Akan ada seseorang yang sepadan denganmu bila kamu berani meninggalkan aku lagi."
"Uh takut." Ekspresi Priya dibuat seolah sedang melihat sesuatu yang menakutkan.
Mataku melotot. Kami lalu tertawa bahagia. Semua bayangan tidak lagi hanya berupa mimpi. Di antara tumpukan kado, apa yang terwujud pada hari ini adalah kado terindah.
Memori tentang kehidupan yang penuh lika liku yang tak jarang menggiring air mata keluar dari benteng pertahanan seolah terbayar dengan kemeriahan pesta dalam balutan euforia kebahagiaan. Aku tidak terlalu fokus pada megah atau keramaian penuh ucapan selamat. Poin paling penting bagiku hanya Priya. Kesempatan kedua bersama dengannya hingga napas berhenti merupakan keajaiban yang sebelumnya bahkan sulit kuimpikan.
"By the way. Malam ini akan sangat panjang. Isi perutmu tapi jangan terlalu kenyang. Awas kalau sampai ketiduran sebelum... " Priya memasang seringai nakal begitu kupelototi.
"Pelankan suaramu. Di sini masih banyak keluargamu."
"Tenang saja. Mereka akan mewajari sikapku. Kamu tahu beberapa sepupuku bahkan memberi nasihat, trik dan tips untuk nanti malam," lanjutnya sambil terkekeh.
Wajahku merona, semerah tomat busuk. "Tapi kamu membuatku malu, untung keluargamu sudah selesai makan. Mereka bisa berpikir sesuatu yang aneh dan menganggap diriku ada kaitannya dengan pikiran mesummu."
Seringai Priya semakin lebar namun hanya sesaat. Tubuhnya tiba-tiba bangkit. "Selesaikan makanmu. Aku mau mengobrol dengan keluargaku dulu."
"Kamu sudah selesai makan?" Kuperhatikan makanan di piringnya masih tersisa setengah.
"Pembicaraan kita tadi membuat... "Keningnya berkerut lalu menghela napas. "Bagian bawah perutku bergoncang. Kesabaranku ada batasnya, Nyonya."
"Berdoalah kalau begitu, siapa tahu kalau jadwal menstruasiku datang lebih cepat."
Kedua bola matanya terbelalak, mulutnya terbuka namun tak ada kata yang terucap. Dia tampak menelan ludah. "Aku nggak keberatan menunggu. Niat menikahimu bukan hanya untuk memenuhi hasrat biologis. Kamu adalah hidupku, alasanku mempertahankan akal sehat di antara godaan yang dunia coba tawarkan. Kita masih punya banyak waktu dan aku akan bersabar hingga kamu nggak punya pilihan selain menerima dengan senang hati."
"Perutku mendadak mual. Berhentilah berperan layaknya tokoh utama dalam novel. Dunia nyata bersiap menyambutmu."
Priya mengedipkan mata lalu beranjak menuju kerumunan saudaranya. Aku meruskan makan sambil mengobrol dengan salah satu keluarganya yang ikut duduk di samping.
Yeah, kami memang memiliki banyak waktu.
*****
Minggu pertama setelah pernikahan adalah masa tersibuk. Kami sengaja menunda masa cuti hingga pindah ke rumah baru. Priya rupanya sudah menyiapkan sebuah tempat tinggal. Bangunan dua lantai namun tidak terlalu luas. Dia memilih jarak yang dekat dengan kantor walau tidak terlalu besar daripada jauh ke pinggir kota namun memerlukan waktu lumayan lama untuk sampai di kantor.
Perubahan tidak selalu tanda bagus apalagi ketika berbenturan dengan ego. Kami pernah bertengkar cuma karena memilih perabotan. Aku masih terbuai suasana pengantin baru jadi merencanakan perbotan yang akan mengisi rumah salah satu kegiatan menarik.
Priya sebenarnya tidak mempermasalahkan. Dia memberiku keleluasaan untuk memilih. Mungkin diriku yang berlebihan hingga kadang membeli benda-benda tidak penting. Barang-barang itu akhirnya tersimpan dalam kardus .
Mataku perlahan terbuka, menyipit saat memperhatikan bias sinar menyusup di balik tirai. Kepala masih terasa berat membuatku enggan bergerak. Hangatnya pelukan sepenuhnya menyadarkan keberadaanku di tempat tidur.
Aku mengangkat wajah dari dada lelaki yang masih tertidur pulas di samping. Memperhatikan setiap detail keindahan ciptaan Tuhan sambil bergumam. Kegiatan pagi hari kala baru saja terbangun yang menjadi hobi terbaru. Aku hanya bisa melakukannya saat dia tertidur kalau tidak, tanpa banyak bicara laki-laki itu akan menarikku ke bawah selimut, mengira tindakanku sedang adalah tanda menggoda.
"Pagi, Sayang." Priya tiba-tiba bicara dengan mata terpejam. Sebelah tangannya melingkar ketat di pinggangku.
Aku menahan tubuh dengan menempelkan kedua tangan di dadanya yang tidak mengenakan kaus. Aku baru tahu kalau Priya punya kebiasaan tidur hanya mengenakan celana piama.
"Kamu benar-benar pemalas. Hari sudah siang, Tuan."
Priya tertawa keras. Tangannya yang bebas mengusap wajahnya lalu membuka mata. "Bagaimana lagi, menikah denganmu membuatku candu. Aku bisa gila hanya karena sentuhanmu." Suaranya serak dan hampir membuat urat maluku putus.
Aku berusaha bangkit namun rangkulannya semakin ketat. "Jangan berlebihan. Berapa kali kamu hampir membuat kita telat datang ke kantor. Teman-teman kita malah menjadikan kita tebakan apakah kita akan datang tepat waktu atau sebaliknya."
Priya menarik kepalaku hingga wajahku terbenam di lehernya. Jantungku berdebar kencang, sama seperti saat kami bersentuhan untuk pertama kali. "Mereka akan berhenti dengan sendirinya. Biarkan saja." Dia mengecup keningku sambil mengusap bahuku.
"Tapi sekarang kita harus bersiap-siap."
"Sebentar lagi. Keluargaku sedang berlibur. Kita bisa bebas bangun siang."
Atas permintaan orang tua Priya. Kami sementara tinggal bersama mereka sebelum akhirnya menempati rumah baru. Sambutan hangat yang mereka berikan membuatku tidak terlalu sulit beradaptasi.
"Kamu lupa hari ini kita akan memindahkan sebagian barang dari tempat kosku ke rumah kita. Aku sudah memberi kuncinya sama Gaharu. Dia pasti mengomel kalau kita telat datang."
Priya menarik selimut hingga menutupi kami berdua. "Kalau kamu bekerja sama dengan baik, saudaramu itu nggak akan menunggu lama." Dia berkedip nakal.
"Priya," ucapku tertahan saat dia mulai menciumi leherku. "Setidaknya gosok gigi dulu."
Dia tiba-tiba membuka selimut. Menyeret tubuhnya hingga bangkit dari tempat tidur. Tanpa peringatan dengan mudah tubuhku di tarik hingga posisiku dibopongnya. Kedua alisnya turun naik. "Bekerja samalah, Manis," bisiknya saat membawaku ke kamar mandi.
Dasar.
Gaharu berdiri di dekat sebuah pick up hitam di dekat mulut gang menuju tempat kosku. Dia melirik tajam ketika mobil Priya berhenti tepat di belakang mobil itu.
"Lewat dari jam yang sudah kalian janjikan," gerutunya sambil membuang rokok ke tanah dan menginjaknya.
"Maafkan aku. Jalanannya macet. Kamu tahu sendiri gimana jalanan di hari minggu." Aku memasang wajah tak berdosa.
"Kenapa selalu menyalahkan jalanan sementara kalian tahu pasti penyebab datang telat."
Priya tersenyum seraya mendekati lelaki itu. "Kamu akan mengerti nanti bagaimana rasanya. Sementara itu belum terjadi sebaiknya kita segera memasukan barang-barang."
"Berhentilah bersikap aku pegawaimu." Keduanya berjalan bersisian namun terpisahkan oleh jarak.
Aku segera mengisi kekosongan di antara keduanya, tanpa banyak bicara mengalungkan kedua tangan pada lengan mereka. Gaharu mendelik, hampir menepis tangannya sebelum mataku membesar.
"Kita kan saudara, bahkan pernah satu kelas. Berprasangka baik itu nggak merugikanmu. Priya berniat baik kok. Dia nggak bermaksud merendahkanmu. Tapi aku memang butuh bantuanmu dan kamu bisa menempati tempat kos Priya secara cuma-cuma."
"Kamu pikir aku nggak mampu menyewa sebuah tempat tinggal?"
"Bukan begitu, sayang kalau tempat kos Priya dibiarkan begitu saja padahal sudah dibayar. Selain itu aku akan lebih mudah menemuimu bila ada sesuatu yang mengharuskan kita bertemu. Aku mempercayai dan mengkhawatirkanmu seperti saudara sendiri."
"Dia sudah besar, bukan anak kecil lagi," decak Priya.
"Kamu masih saja cemburu seperti dulu."
"Cemburu itu wajar dalam suatu hubungan. Tapi aku sulit menjelaskan pada seseorang yang menutup hatinya seperti batu."
Keduanya saling melempar tatapan tajam sambil terus berjalan.
Aku menghela napas panjang. "Ah sudahlah. Berhenti bersikap kekanakan. Kalian nggak malu sama umur."
Setibanya di tempat kos, sesosok gadis muda tengah berdiri di depan pagar. Pandanganya berputar, mengamati sekeliling seolah sedang mencari sesuatu.
"Bukannya itu gadis yang waktu itu salaman lama banget sama kamu ya?" Gaharu tersenyum masam melihat telunjukku mengarah.
"Kenapa dia ada di sini?" Priya ikut kebingungan.
"Kamu tahu sesuatu?" Wajahku menoleh pada Gaharu.
Gaharu melepas rangkulan tanganku. Dia berjalan malas-malasan menghampiri gadis itu. Aku dan Priya mengikuti dari belakang.
"Ngapain kamu di sini? Jadwal les mu baru minggu depan."
"Aku hanya ingin tahu di mana guruku tinggal." Gadis berkacama itu mendekati kami, mengulurkan tangan dan menyebut nama. "Luna."
Kami segera membalas perkenalannya dengan sambutan hangat. Walau dia termasuk dalam undangan, aku tidak mengenalnya secara personal.
"Aku adalah gurumu bukan temanmu. Nggak ada gunanya kamu tahu di mana aku tinggal."
"Ini kan bukan jalan milik nenek moyangmu. Aku bebas ke sini kapan saja. Dan soal tempat tinggalmu, aku hanya memastikan bukan alamat palsu," dalih Luna mencari pembenaran.
"Kamu kenal dengan Gaharu, Luna?" Interaksi keduanya membuatku penasaran.
"Dia maksudku Om Gaharu diminta Ayah jadi guru les pribadiku atas rekomendasi ayahnya Om Gaharu. Kami bertemu saat pernikahan Kakak. Tapi Om Gaharu bilang jangan panggil dia Om kalau lagi di luar. Dia nggak suka dengan panggilan itu."
"Kenapa?"
"Ya Tuhan. Dia masih SMA," sela Gaharu sambil menepuk dahi. "Gadis bandel, cepat pulang atau kamu akan mendapat guru baru!"
Luna merengutkan bibirnya namun akhirnya menurut. Gadis itu pamit lalu berjalan menjauh seraya meloncat-loncat kecil.
"Hm... pedofil," ejek Priya yang lebih dulu melewati kami.
"Berengsek. Dia cuma muridku," omel Gaharu. Bola matanya mendelik padaku yang masih berdiri di depan gerbang. "Ini gara-gara Ayah. Aku nggak akan mengiyakan seandainya Ayah nggak membicarakan diriku seolah sedang promosi."
Aku bergerak mendekatinya. "Jodoh itu nggak melulu tentang umur. Kalau ternyata Luna memang jodohmu, kamu bisa apa? Dan biasakan dirimu dipanggil Om. Nanti pun anak-anakku kelak akan memanggilmu begitu. Oke, Om." Kutepuk bahunya sebelum meninggalkannya.
"Dasar pasangan gila."
Aku terkekeh pelan saat setibanya di kamar. Priya tengah sibuk menumpuk kardus ke dekat pintu masuk.
Kamar yang kutempati tampak lengang, kosong karena semua barang telah beralih dalam kardus. Seperti hal nya dulu ketika akan pindah dari rumah lama, perasaan sedih menyusup dalam hati.
"Kamu masih bisa tinggal di sini kalau mau. Kita bisa jadikan tempat istirahat saat makan siang."
Kepalaku menggeleng. "Sayang uangnya. Aku lebih baik menggunakannya untuk keperluan kita."
Priya meraih pingangku, mengecup lembut bibirku dalam-dalam. "Gajiku memang belum sebesar Pak Revian tapi memenuhi kebutuhan rumah tangga sudah jadi kewajibanku. Gunakan saja uangmu untuk dirimu sendiri."
Aroma tubuh Priya membangunkan percik naluri alami. Aku melupakan bahwa kami tidak sedang berada di rumah sendiri. Siapapun bisa memergoki apalagi pintu kamar dalam keadaan terbuka.
"Kapan kita pindah ke rumah baru? Aku rasa semua barangku sudah semuanya siap dikirim."
"Secepatnya, setelah perabotan dikeluarkan." Priya mengusap jemarinya di bibirku. "Sudah kubilang kita satu kali putaran nggak akan cukup," bisiknya pelan.
"Orang rumah sedang pergi. Kita bisa melewatkan makan malam," godaku sambil mengerling.
Priya tersenyum, mendekatkan wajahnya kembali, menghirup leherku pelan-pelan lalu bergerak ke atas dan mencium bibirku. Untuk beberapa saat kami saling mencumbu, terbuai suasana yang mendadak berubah romantis.
Deheman menghentikan aksi kami. Gaharu menyandarkan tubuhnya di sisi pintu. "Aku sudah memberi kalian waktu bermesraan selama lima menit. Jadi penjaga pintu agar aksi kalian nggak jadi tontonan gratis. Sekarang biarkan bantu aku menyelesaikan tugas. Dan lanjutkan saja di sarang cinta kalian." Dia bergegas meraih salah satu kardus.
Priya meraih kardus di dekatnya. "Kamu bisa memulai ceritamu dengan gadis tadi, siapa namanya oh Luna. Tenang saja, dia nggak akan minta dinikahi cepat-cepat jadi peluangmu memperbaiki hidup masih panjang. Beda cerita kalau kamu pacaran sama tantenya."
"Siapa bilang! Gadis itu tanpa malu mengatakan nggak keberatan menikah muda di depan ayahnya. Dia itu bandel, lemot sampai-sampai harus gonta ganti guru les karena nggak ada yang tahan dengan kelakuannya. Ayahnya saja sudah menyerah apalagi aku."
"Anggap saja tantangan." Kakiku bergerak mendekati Gaharu. "Itu pun kalau kamu masih punya nyali atau otakmu hanya bisa menarik sebatas perhatian tante-tante?" sindirku lalu dengan sengaja menginjak sepatunya.
Gaharu siap membalas namun urung karena Priya memberinya tatapan tajam.
"Cih."
Menjelang malam kami mendatangi kampus tempatku dulu sempat menimba ilmu. Setelah menurunkan barang di rumah baru, kami memutuskan pergi berjalan-jalan sambil melihat-lihat toko-toko yang menjual peralatan rumah tangga.
"Ngapain kita ke sini. Kan seram kalau sudah malam begini."
"Nggak apa-apa, sesekali sambil nostalgia." Priya mengganggam jemariku, membawaku berjalan menyusuri jalanan kampus menuju kantin.
"Tapi kan sepi, Pry. Pulang saja yuk. Dingin lagi."
"Iya, sebentar lagi, nanggung. Kapan lagi kita ada waktu buat ke sini."
Aku akhirnya menurut, menjajari langkahnya tanpa protes. Suasananya terlalu sunyi hingga bulu romaku berdiri. Aku paling menghindari berada di kampus menjelang malam.
Mataku terbelalak saat memasuki kantin. Kegelapan kini bergenti terang benderang. Orang-orang keluar dari persembunyiannya. Mereka adalah teman-teman sekelas kami saat kuliah dulu.
Priya mengusap kepalaku. "Teman-teman kita banyak yang nggak bisa hadir di pernikahan kita. Mereka berinisiatif mengadakan pesta kejutan untukmu. Nikmatilah malam ini."
"Terima kasih," pekikku senang. Kucium pipinya sebelum bergabung bersama teman-temanku.
Gaharu duduk di salah satu meja, mengobrol dengan teman dekatnya dulu sementara Priya berbaur bersama teman-teman kami yang lain.
Udara malam ini memang cukup dingin tapi hatiku diliputi kehangatan. Kisahku tidak sepenuhnya berakhir. Kami baru saja membuka pintu, menjejakan langkah di jalanan penuh pengalaman seru. Aku juga yakin masalah tidak akan berhenti datang menyapa tapi kali ini semua akan kusambut dengan tangan terbuka.
Priya mengedip dari kejauhan saat pandangan kami tak sengaja bertemu.
Ya, doa dan syukur akan terus terucap atas kehadiran laki-laki itu dalam hidupku.
The end
Kisah Dama Priya akhirnya selesai. Author mengucapkan terima kasih untuk para pembaca setia yang telah memberi dukungan selama ini. Maaf bila masih ada kekurangan baik itu dalam segi cerita maupun membelas komentar. Semoga di tahun depan author bisa berkarya dengan cerita maupun kisah yang lebih baik.
Sekali lagi terima kasih. Sampai jumpa di cerita" lain. Salam hangat untuk readers semua 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro