Part 24
Langit di luar jendela sepenuhnya telah gelap gulita. Cahaya bulan menerangi langkahku menyusuri jalanan sempit menuju tempat kos. Persiapan pernikahan membuatku dan Priya justru kesulitan bertemu selain di kantor itu pun biasanya pada waktu istirahat. Dia ingin membereskan pekerjaannya sebelum mengambil cuti setelah kami menikah.
Baginya Pak Revian banyak berjasa mengembalikan kepercayaan diri dengan menempatkannya menjadi salah satu karyawan di perusahaan ini. Dia tidak ingin setengah-setengah melaksakan tugasnya dengan berlindung di balik persiapan pernikahan. Pak Revian sendiri memaklumi. Dia malah menyarankan agar Priya sedikit lebih santai, fokus pada hari besar kami. Priya menolak. Dia yakin mampu mengerjalan tugas sekaligus menyiapkan pernikahan dengan serius.
Diriku sadar diri melihat keadaan Priya. Berusaha mandiri dan tak merepotkannya. Keluarga Priya banyak membantu menyiapkan berbagai hal mengenai rencana pernikahan kami mengingat tidak mungkin mengurusnya seorang diri. Mereka terbuka mendengar pendapatku meski sebagian besar biaya dari pihak keluarga Priya. Aku bahkan harus menolak keras uang pemberian Priya untuk biaya penata rias. Dia tidak ingin melihatku mengeluarkan biaya.
Suasana tempat kos cukup sepi. Malam minggu seperti sekarang sebagian penghuni mempunyai rencana di luar sana. Biasanya mereka baru kembali di larut malam. Aku sendiri seharian menghabiskan waktu berjalan-jalan berkeliling mal seorang diri. Menjelang dekatnya tanggal pernikahan, aku sengaja memberinya waktu lebih banyak bersama keluarganya. Itu sebabnya Priya tidak wajib menyambangiku di sabtu malam.
Sebenarnya beberapa teman kantor mengajak pergi tetapi perasaan ingin menyendiri menguasai isi kepala. Entahlah, berada di keramaian justru membuatku semakin nelangsa. Seolah di sana bukanlah tempatku dan menyiksa agar pergi secepat mungkin.
Lampu kamar kubiarkan tanpa cahaya saat membuka pintu. Bias sinar bulan jadi penerangan paling nyaman seolah menghindariku dari tatapan penuh ingin tahu dunia. Aku meletakan tas di meja lalu berjalan gontai mendekati dinding dekat nakas. DIliputi lelah, tubuhku meluruh, bersandar pada dinding. Bola mata berputar, mengelilingi ruangan yang menjadi tempatku berisitirahat sejak kembali ke kota ini.
Dibanding ruangan kelas saat kuliah, ukuran kamarku jauh lebih kecil. Tapi malam ini, diriku merasa sedang berada di tempat tanpa ujung. Sendirian dengan kepala penuh perasaan yang menyeret pada mengalirnya air mata.
Setelah mengetahui jati diri, sudut hati masih terasa hampa. Bayangan Mimih melintas. Begitu juga saat otak mereka ulang wajah Ibu, persis gambar yang pernah Ayah tunjukan ketika kami kembali bertemu. Kedua sosok itu melintas, saling tumpang tindih, memenuhi dada dengan gumpalan sesak. Seandainya...
Deringan ponsel terdengar dari dalam tas. Aku berdeham, menyeka bulir yang lolos sambil bergerak cepat mengobrak-abrik isi tas.
"Halo, Pry."
"Malam, Dama." Keriuhan menjadi latar belakang suara lelaki itu. Priya sempat mengatakan kalau hari ini ada keluarga besarnya datang dari luar kota. Mereka berkunjung sekaligus ingin membicarakan perkembangan rencana pernikahan.
Aku menelan ludah. Suasana kamarku berbanding terbalik, terlalu sepi. "Ramai banget ya," ucapku sambil tertawa pelan.
"Begitulah kalau sepupu dan anak-anaknya datang. Rumah seperti pasar malam." Dia terdiam sejenak. "Sebentar lagi kami mau jalan, makan malam di luar. Kamu mau ikut?"
"Sepertinya aku nggak bisa. Aku baru pulang. Salam saja buat keluargamu."
"Kamu yakin? Maaf kalau belakangan aku terlalu sibuk dan nggak bisa menemanimu terlalu lama. Gimana kalau nanti aku datang ke tempat kosmu. Mereka pasti mengerti kalau aku nggak bisa ikut sampai acara selesai." Suara seorang anak kecil terdengar samar, mengajak Priya bermain.
"Jangan begitu. Sebaiknya kamu temani saja keluargamu, nggak enak mereka sudah datang jauh-jauh. Kita masih bisa ketemu di kantor."
Helaan napas terdengar. "Besok saja kita jalan ya. Gimana?"
"Maaf aku nggak bisa. Rencananya besok Ayah mengajakku bertemu. Hanya kami berdua. Kamu mengerti, kan."
"Baiklah kalau begitu. Sampai ketemu nanti ya. Miss you."
"Have fun. Miss you too."
Kuletakan ponsel di samping sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Pemikiran mellow seperti ini rasanya terlalu cengeng dan bukan sesuatu yang kuharap datang. Seharusnya kata bahagia mampu menghapus kegelapan hati tetapi kenyataannya melempar diriku pada kenyataan tentang keberadaanku di dunia.
Dengan malas tubuhku bergerak, mengendap-endap, menghindari cahaya bulan dari balik jendela menuju lemari. Setelah menemukan sweater berukuran besar yang selalu kupakai saat hujan tiba dan memakainya, kakiku bergegas kembali ke tempat semula. Berupaya mengusir gelisah, layar televise mulai menyala. Suara yang keluar sedikit membuatku merasa ada yang menemani.
Kantuk mulai menyerang, menggoda mata agar menutup sepenuhnya hingga deringan pesan masuk kembali menganggu indera pendengaran. Setengah memaksa bola mata terbuka lebar, tangan meraih ponsel dan memeriksa siapa yang telah menganggu istirahatku. Mulutku hampir komat-kamit, siap menyemburkan sumpah serapah kalau pesan yang masuk berisi pesan iklan kacamata tembus pandang.
Keningku berkerut sambil menggosokkan mata saat memastikan isi pesan.
"Sudah tidur? Aku ada di luar tempat kos kamu. Bisa keluar sebentar."
Pandanganku beralih pada jam tangan. Waktu menunjukan hampir jam sepuluh malam. Bukannya dia bilang mau pergi makan dengan keluarganya?
Didera penasaran aku pun segera bangkit. Perasaan senang tersembunyi dibalik gengsi. Aku memang merindukan Priya dari yang pernah kubayangkan.
"Priya," sambutku dengan seulas senyum begitu menemukannya tengah berdiri di luar pagar.
Priya mengalihkan pandangannya dari ponsel. Benda itu beralih ke saku jaketnya. Dia terlihat tampan meski hanya mengenakan pakaian casual. Mungkin ini efek terlalu merindukannya.
Aku harus menahan diri untuk tidak menghambur ke dalam pelukannya. Cukup menatap dari jarak beberapa langkah dari tempat lelaki itu berdiri. Lebih dari itu aku tidak yakin sanggup menahan air mata.
"Ini ada makanan dari keluargaku. Mereka memintaku memberikannya padamu. Tenang saja, aku sudah memberi alasan bagus karena kamu menolak datang." Sebuah plastik berlogo sebuah nama restoran disodorkan padaku. Aroma lezat menggelitik hidung saat plastik tadi beralih di tanganku.
"Maaf. Aku benar-benar capek, lain kali saja. Dan terima kasih oleh-olehnya."
Sorot mata Priya meredup membuatku merasa sedang dikasihani. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari sisi saku jaket yang lain. "Kamu belum terlalu mengantuk, kan? Kita sudah lama nggak punya waktu berdua selain untuk mengurus persiapan pernikahan. Nggak lama kok."
Kepalaku mengangguk. Pertemuan kami terlanjur mengusir kantuk. Aku bahkan berharap hari tidak segera cepat berganti pagi. Kuikuti langkah Priya menuju tempat kos-nya. Kebetulan beberapa hari lalu dia sempat meminta orang membersihkan kamarnya hingga kami tidak perlu bergotong royong membersihkan tempat itu agar bisa bicara tanpa bersin karena debu.
Priya menyalakan obat nyamuk elektrik sementara aku melangkah memasuki tempat kosnya lalu duduk sambil menyandarkan punggung di dinding. Plastik pemberian Priya kuletakan di samping.
"Nah, sekarang ceritakan seharian ini kamu kemana saja? Aku tahu kamu sudah memberitahu sebelum berangkat tetapi aku ingin tahu apa yang kamu lakukan," tanyanya antusias. Dia duduk di sampingku dengan posisi kaki bersila.
Mood yang berubah membuatku bicara tanpa henti. Bukan hanya tentang kegiatanku sepanjang hari tadi bahkan berbagai kejadian baik di kantor maupun berbagai hal sepele dan mungkin tidak terlalu penting. Kalimat demi kalimat meluncur bebas bagaikan kereta api super cepat. Perasaan terlalu senang hingga tak sadar kadang tangan bergerak-gerak seiring pembicaraanku.
Priya bersidekap, menatapku dengan tenang. Matanya agak menyipit, jarang berkedip seakan sedang yang sedang bicara di depannya seorang motivator. Sesekali dia mengangguk, mengerutkan dahinya namun tidak sekalipun menyela pembicaraanku. Tatapannya lembut walau ekspresi wajahnya terkesan serius.
"Ah apa aku terlalu banyak bicara?" Semburat merah merona di pipi, menyadari hampir dua puluh menit membicarakan diri sendiri.
"Nggak apa-apa. Aku datang karena ingin mendengar suaramu langsung. Kamu sangat ekspresif, lucu. Aku kurang yakin bisa tidur malam ini karena pasti akan merindukanmu lebih besar dari sebelumnya."
Bibirku mengerucut, memalingkan wajah ke arah lain. "Kupikir rindu itu hanya berlaku untuk diriku. Kamu terlalu santai meski kita hanya bertemu dalam hitungan menit. Pesanku pun biasanya kamu balas setelah lewat dari satu jam itu pun hanya kata-kata formalitas. Aku paham kalau kita sudah sepakat kalau akan memaklumi kesibukanmu. Tapi yah kamu mungkin berpikir aku sudah biasa sendirian, menunggu sedikit lagi bukan masalah."
Jemariku terasa hangat oleh sentuhan. Priya mencium lembut punggung tanganku. "Maaf. Aku memang terlalu sibuk tapi ini demi kita berdua sekaligus tanggung jawabku di kantor. Nggak ada niat mengabaikanmu apalagi membuatmu mengira aku berhenti peduli. Aku memang sempat terbuai oleh kemandirian dan pengertianmu. Alih-alih meminta bertemu atau berlama-lama berdua, kamu pasti memintaku beristirahat bila melihatku lelah. Jujur saja, pemikiran itu masih bercokol hingga melihatmu tadi. Kamu terlihat muram, seperti anak kecil yang tersesat." Tangannya yang lain mengusap pipiku. "Aku terlalu percaya diri hingga lalai membuatmu bahagia."
"Ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku mengerti kamu hanya melaksakan tugasmu sebagai karyawan, anak dan kekasih. Mungkin aku saja yang terlalu sensitive, membesar-besarkan perasaan yang seharusnya bisa diredam. Kekanakan ya."
"Bukan begitu. Seharusnya aku lebih peka. Membagi waktu dan perhatian sama besar. Ketika aku pulang ke rumah, melepas lelah di sambut oleh kasih sayang keluarga sementara diriku hanya mendapatkan ruangan kosong dan sudah tentu nggak akan peduli seberat apapun hari yang telah dilalui."
Aku menelan ludah, mengigit bibir sambil mengerjapkan mata berulang kali. Menahan lelehan panas meluncur. "Jangan mengasihaniku. Apa yang terjadi pada hidupku adalah takdir. Aku sudah lama terbiasa dan merelakannya."
"Ini bukan soal kasihan tetapi bentuk dari sayangku padamu, walau otakku terlalu lambat menyadarinya. Aku akan memperbaiki diri, menyempatkan waktu lebih banyak bersamamu hingga kamu nggak merasa seorang diri." Priya mengembuskan napas pendek. "Melihatmu begini membuat dadaku sakit."
"Dan melihatmu seperti sekarang membuatku lebih nggak bahagia. Aku mungkin harus belajar lebih terbuka. Kita akan menikah, aku nggak akan kesepian lagi."
Senyum Priya menggunging, tubuhnya mendekat lalu memberikan kecupan di kening. "Dengan senang hati aku berharap Tuhan menghadiahi kita keturunan, akan tetapi seandainya bila kita ditakdirkan mengarungi pernikahan hanya berdua, aku tetap nggak akan membiarkan dirimu merasa sepi hingga maut menjemput. Aku nggak mau kehilanganmu lagi. Itu perasaan terburuk yang pernah kualami."
Aku terkekeh pelan. "Kalau kamu mengatakannya saat awal kita berteman, aku pasti sudah muntah."
"Berhentilah membicarakan masa lalu terutama ketika kamu memandangku nggak lebih dari sekadar asisten atau partner mencontek. Aku sudah terlalu banyak menjadi tumbalmu," gerutunya kesal.
Kami berdua tertawa, mengobrol dan melepas rindu hingga waktu memberi tanda perpisahan. Perasaanku jauh lebih tenang dan siap menyambut esok hari dengan energi positif.
*****
Minggu pagi yang cerah adalah waktu paling menyenangkan untuk menghibur diri setelah menghabiskan hari demi hari dengan tumpukan pekerjaan. Kali ini aku bersiap-siap menemui Ayah di rumahnya. Ayah bilang ingin bertemu denganku dan kebetulan istri dan anak-anaknya sedang ke luar kota. Sebenarnya rencana awal kami akan bertemu di sebuah restoran tapi Ayah terdengar kurang sehat. Naluri sebagai anak meminta mengalah. Meski hubungan kami tidak bisa dikatakan harmonis, ada darahnya yang mengalir di tubuhku.
Sekitar pukul sepuluh aku baru sampai. Ayah menyambut dengan raut bahagia. Matanya menyipit karena tersenyum sangat lebar. Aku berusaha tidak canggung. Kami hanya beberapa kali bertemu dan belum terbiasa.
Aku terkejut ketika melihat Gaharu duduk di sofa ruang tamu. Ekspresi laki-laki itu pun sama bingungnya denganku. Setelah kejadian buruk yang pernah dia lakukan padaku, aku berbesar hati untuk tidak menjeratnya dalam masalah besar. Entah kenapa sudut hatiku justru merasa kami berada di posisi yang sama. Korban dari keegoisan orang tua.
"Sepertinya aku menganggu. Aku pergi dulu." Gaharu bergegas bangkit.
"Tunggu Gaharu. Ayah memang sengaja meminta kalian berdua datang. Damara sudah memaafkanmu. Ayah mengerti kita bertiga akan sulit berdamai dengan keadaan tapi Ayah harap bisa membangun awal yang baru." Ayah mencoba menahan keinginan Gaharu.
"Ayah nggak perlu repot. Sejak awal kita bahkan bukanlah ayah dan anak. Kita terikat oleh keterpaksaan."
"Ayah sudah menganggapmu bagian putra sendiri sejak kamu lahir. Ayah yang menjagamu saat ibumu tertidur." Ayah menoleh padaku yang masih berdiri di depan pintu. Sorot matanya dipenuhi rasa bersalah. "Bisakah kita bicara dengan baik dan kamu Damara, duduklah."
Aku melangkahkan kaki menuju sofa panjang, tempat Gaharu tadi duduk lalu bergabung di sampingnya. Tidak ada perasaan marah, jijik maupun dendam.
"Senang melihatmu lagi. Oh ya sofa ini terlalu panjang untuk kududuki sendiri. Aku nggak keberatan berbagi denganmu."
"Berhenti membual. Dalam hatimu pasti sedang memakiku."
"Siapa bilang. Aku serius mengatakan senang melihatmu lagi. Kamu memang nggak memiliki hubungan darah dengan Ayah tapi hubungan keluarga nggak selalu tentang itu. Ikatan yang terjalin dari hati sama istimewanya. Dan aku sangat senang menjadi saudaramu meski kita terlahir dari rahim yang sama."
Kedua tangan Gaharu mengepal. "Oh ya," ucapnya dengan nada mengejek.
Aku perlahan bangkit, menatap sosok laki-laki yang masih terlihat menarik. Kuhela napas panjang, berharap Gaharu tidak akan berbuat kasar. "Aku mengira diriku sebatang kara dan saat kamu bilang kita bersaudara, ada perasaan lega yang sulit kukeluarkan. Aku punya seorang kakak. Itu seperti mendapat lotere saat uang di dompetmu hanya tersisa dua ratus rupiah sementara perutmu belum terisi. Aku nggak sendirian lagi."
"Tapi aku pernah membuatmu sangat menderita!"
"Tetapi khimahnya aku dan Priya akhirnya bertemu kembali setelah pemikiran kami lebih matang. Aku memang pernah marah bahkan membencimu. Perasaan itu sudah kulupakan karena aku berharap kamu bisa mendapatkan kebahagiaan." Pandangan kami bertemu. Sorot matanya melunak. "Jadilah kakakku dan aku anggap itu ganti perbuatanmu dulu. Aku, kamu dan Ayah walau pasti nggak mudah, akan memperbaiki keadaan hingga kita bisa disebut sebagai keluarga. Aku butuh dukungan kalau Priya berbuat macam-macam."
Gaharu menggertakan giginya. "Aku akan menghabisnya kalau dia berani membuatmu terluka," ucapnya lantang lalu menutup mulut.
Aku tersenyum lega. "Kuanggap kamu setuju. Sekarang duduklah, leherku pegal karena harus mendongkak terus. Kita bicara dengan kepala dingin."
"Cepatlah waktuku nggak banyak."
"Memangnya kamu punya kesibukan?" sindirku.
"Bawel."
"Kalau Ayah sakit. Kamu nanti gantiin posisi Ayah di acara pernikahanku ya."
"Enak saja. Belum tentu pacarmu mau mengundangku."
Kutepuk bahunya. "Tenang saja. Dia sudah memaafkanmu. Ayolah acaranya nggak akan lama kok, hanya beberapa jam. Tugasmu cuma menyalami tamu undangan. Ya siapa tahu salah satu dari mereka jodohmu. Gimana?"
"Jangan terlalu berharap. Aku nggak janji," balasnya sambil membuang wajah.
Kami berdua akhir duduk bersamaan. Gaharu masih terdiam namun bahasa tubuhnya tidak lagi tegang. Ayah tampak senang. Senyumnya terus menyungging seolah pemandangan di hadapannya terlalu sayang untuk dilewatkan. Kata maaf tidak serta merta menyelesaikan masalah tetapi setidaknya mampu membuka pintu bernama kedamaian.
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro