Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 23

Pertanyaan Gaharu sekaligus menegaskan pernyataan bahwa ada hal yang dia tutupi. Masalah besar dan terbungkus oleh kebohongan.

"Kita bukan saudara kandung, itu maksudmu?"

Gaharu tertawa sangat keras. Dia pasti menyadari perempuan di hadapannya terdengar kebingungan. Laki-laki itu menghempas sofa dengan kasar. "Benar. Ceritanya panjang tapi kesimpulannya kurang lebih seperti itu."

Bola mataku berputar mengelilingi ruangan sebelum kembali menatap Gaharu. Penerangan sangat minim. Tirai tertutup rapat. "Jelaskan karena aku belum mengerti untuk apa kamu memintaku datang."

"Kamu tanyakan saja pada laki-laki yang kamu sebut ayah. Aku sudah masa bodoh menghadapinya setelah dia meninggalkan ibuku. Tapi status saudara nggak terlalu buruk di antara kita. Toh kamu selama ini hanya sendiri. Dan tiba-tiba saja ide yang lebih baik terlintas. Kita bisa memiliki ayah yang sama."

Nada suara Gaharu setenang air mengalir namun tersirat ancaman dibaliknya. Tanda bahaya mengalun keras di kepala. Gaungan peringatan agar keluar dari tempat ini memacu adrenalin.

"Jangan berbelat-belit. Aku datang bukan untuk membahas soal status kita."

Laki-laki itu bangkit, mendekatiku hingga jarak kami hanya sejangkauan lengan. Gaharu memandangiku datar. Kepalanya menunduk, memperhatikan diriku yang seolah terpaku di tempat.

"Kita akan ciptakan sebuah keluarga. Tentu saja aku butuh perempuan untuk melengkapinya."

Dengan kekuatan penuh aku beranjak, menghindari ke sudut lain sembari memutar otak. "Jangan bercanda. Perempuan sepertiku bukanlah tipemu."

"Jodoh nggak bergantung pada tipe. Hubungan kita tentu akan mengikat lebih dari saudara."

Kakiku perlahan bergeser ke arah jendela. "Hentikan Gaharu! Ini salah. Kamu masih punya waktu memperbaiki hidup tapi bukan dengan paksaan."

Satu sentakan mendorong tubuhku ke dinding. Kepalaku sedikit pusing karena benturan keras.

"Hidupku terlanjur kacau. Ayahmu lah yang telah menghancurkannya. Kini aku akan membuatnya merasakan penderitaan ibuku," geraman Gaharu menggema di udara. Kemarahan dan kepedihan bergelung di dalamnya.

"Usahamu sia-sia. Laki-laki itu nggak akan hancur karena mengetahui tindakanmu. Dia pernah melupakanku jadi sadarlah." Aku berusaha berontak ketika Gaharu mencengkram pergelangan tanganku.

Suara keras terdengar bersamaan dengan cahaya masuk ketika pintu masuk terbuka. Sedikit kemudian, sebelum penglihatan mampu mencerna kejadian di depan mata, seseorang memberi pukulan pada perut Gaharu.

Laki-laki itu tersungkur, meringis sambil memegang perutnya. Keadaan di ruangan mendadak ramai. Sejumlah orang masuk dan berusaha menjauhkan Gaharu ke ruangan lain.

Tubuhku bergetar, ketegaran meluruh oleh rasa takut. Aku baru sadar baru saja terhindar dari masalah besar.

Priya, laki-laki yang belum puas melayangkan pukulan diseret menjauhi Gaharu. Wajahnya memerah dengan sorot mata dipenuhi kemarahan. Laki-laki paruh baya di sebelahnya menepuk pundaknya, berbicara seolah sedang menjinakan binatang liar.

"Pry... " Getaran dalam suaraku terdengar jelas.

Priya berbalik menghadapku. Tatapannya menajam. Setengah berjalan cepat, dirinya menghampiriku yang berdiri tegang. Kedua tangannya membingkai wajahku saat kami berhadapan. "Bagaimana bisa kamu membuatku gila seperti ini? Apa sulitnya menunggu hingga aku pulang."

"Aku pikir semua akan selesai dengan baik-baik tapi Gaharu bilang kami bukanlah saudara. Dia... dia... "

"Ah sudahlah. Kita keluar dulu dari rumah sialan ini." Priya menarik lenganku keluar dari rumah. Dia membawaku ke sebuah kursi kayu di pekarangan.

Pandanganku beralih ke arah pintu masuk yang terbuka. Beberapa orang laki-laki keluar masuk dan tampak sibuk. "Mereka siapa?"

"Aku datang bersama ketua RT dan warga. Itu pilihan terbaik daripada melapor pada polisi. Aku masih punya empati mengingat ibunya bergantung padanya. Tapi sedikit saja dia menyentuhmu, aku nggak akan segan menelepon polisi."

Kepalaku berpaling pada Priya. Dia berdiri di sampingku, memperhatikan keramaian di kediaman Gaharu. "Kamu tahu dari mana aku di sini? Bukankah kamu sedang ada di luar kota."

Tangannya terangkat lalu mengusap lembut rambutku. "Perasaanku nggak enak. Aku berbohong soal acara di luar kota. Belakangan ini aku menyelidiki Gaharu. Ada yang nggak beres tapi aku belum bisa mengambil kesimpulan. Dan yah, tiba-tiba saja kamu datang ke rumahnya. Beruntung aku sedang di sekitar sini."

"Maaf, aku merepotkanmu terus. Aku nggak pernah mengira keadaannya akan berubah. Kupikir apa salahnya datang ke rumah saudara sendiri apalagi kami memiliki ketidaksukaan yang sama pada Ayah."

Priya beralih ke hadapanku. Tubuhnya setengah berjongkok. Sorotnya meredup penuh kasih sayang. "Kamu nggak sendiri, ada aku di sampingmu. Aku bisa jadi apapun yang kamu mau, seorang ayah, kakak atau teman. Melihatmu dalam kondisi baik sudah cukup bagiku, aku nggak akan meminta hal selain bisa memilikimu hingga tua nanti."

Perasaan senang dan sedih menari-nari ketika tanpa sadar aku merangsek masuk dalam pelukannya. "Terima kasih untuk semuanya."

Kami berdua berpelukan, merasakan kelegaan setelah terhindar dari kejadian buruk. Priya melepas pelukannya dan mengecup keningku. "Kita akan lanjutkan pembicaraan setelah mengurus Gaharu. Kamu diam di sini dulu." Bola matanya berputar ke arah belakang. "Ayahmu sudah datang. Kita selesaikan masalah keluargamu dulu."

Aku duduk kembali, menatap Priya menghampiri Ayah yang baru saja datang. Keduanya bicara sebentar lalu memasuki rumah tua itu. Semilir angin menyapu kulitku, menenangkan gundah namun tidak menghilangkan sejumlah tanya.

Selang setengah jam, Priya keluar sendirian. Dia memintaku ikut dengannya. "Ayahmu sudah mengurus Gaharu. Dia akan tinggal sementara dengan salah satu kerabat. Kamu mau melaporkan tindakannya ke polisi?"

Kepalaku menggeleng. "Aku rasa dia melakukannya karena akal sehatnya tertutup oleh kebencian. Tawanya getir, seperti putus asa."

"Dia mungkin sedang berada di titik terendah. Ibunya mengalami gangguan jiwa setelah bercerai dengan ayahmu. Kemarahannya semakin tersulut melihatmu mampu bertahan." Priya menarik bahuku hingga kepalaku bersandar di dadanya.

"Dia marah padaku karena ibuku pernah menjadi duri dalam daging kehidupan keluarganya?"

Kecupan kecil terasa di kepala dan keningku. "Ayahmu sudah menceritakan semuanya. Ibumu bukan perempuan seperti itu. Dia lebih dulu menikah dengan ayahmu yang pada waktu itu bekerja di kantor keluarga Gaharu. Dia tiba-tiba saja ditawari menikah dengan ibunya Gaharu untuk menutup aib. Ibunya Gaharu telah berbadan dua sementara pacarnya kabur entah kemana."

Penjelasan Priya membuatku tersentak.

"Kondisi ibumu juga sedang hamil dan butuh banyak biaya. Ayahmu terpaksa menyetujui demi memperbaiki ekonomi walau tentu saja ibumu nggak setuju. Puncaknya setelah melahirkanmu, ibumu mendadak menghilang dan muncul tanpa membawamu. Ayahmu sangat marah lalu berusaha mencarimu walau ibumu tutup mulut. Dia nggak berniat bercerai karena perjanjian pernikahan dengan ibu Gaharu hanya sampai melahirkan. Tapi keadaan berbalik ketika ibumu meninggal karena sakit dan ibu Gaharu menolak bercerai."

Priya menghela napas dan mengecup rambutku lagi. "Ayahmu masih bertahan karena kebaikan kakek dan nenek Gaharu. Dia juga kasihan pada Gaharu. Ayahmu didera rasa bersalah hingga pintu hatinya tertutup meski ibunya Gaharu mulai mencintainya. Hanya kenyamanan sebagai kepala keluarga yang bisa dia berikan sebagai balasan bukan cinta. Seiring waktu sifat asli ibunya Gaharu muncul. Dia nggak terbiasa kekurangan, terlalu banyak menuntut hingga akhirnya mereka berpisah. Gaharu juga sudah mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak ayahmu."

"Aku nggak tahu jalan ceritanya serumit itu tapi akan lebih mudah bila Ayah nggak menerima tawaran menikahi ibunya Gaharu."

"Memang tapi mungkin ayahmu punya pemikiran lain. Perjanjiannya hanya sampai Gaharu lahir dan tanpa kontak fisik. Dia hanya ingin membalas budi pemilik perusahaan tempatnya bekerja, menutupi aib putrinya. Setiap pilihan memiliki konsekwensi. Ayahmu telah mendapat hukuman setimpal, kehilangan dua orang yang dicintainya."

"Jadi Ibu sama sekali nggak bersalah. Selama ini aku pikir lahir dari rahim perempuan yang tega menghancurkan kebahagiaan orang lain."

"Doakan ibumu, itu lebih baik daripada menyalahkan diri sendiri."

Aku mengalungkan lengan di tangan Priya. Jemari kami saling bertaut erat. "Hidupku rumit sekali."

"Dibalik kerumitan ada segudang penyelesaian, pengalaman, pembelajaran tentang arti dewasa yang sesungguhnya. Dan terselip banyak hikmah dan pentingnya bersyukur karena roda kehidupan selalu berputar. Nggak ada yang abadi di dunia ini. Semua memiliki waktunya. Be positive."

Mataku terpejam, membayangkan peristiwa yang pernah datang dan pergi setelah kami berpisah dulu. Priya menoleh, menguatkan genggamannya ketika merasakan aliran hangat membasahi kemejanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah. "Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan hidupku kalau kamu ternyata milik perempuan lain. Mati terdengar mudah daripada hidup sendirian di dunia ini."

"Sttt. Jangan bilang begitu. Tuhan nggak akan menguji melebihi batas kemampuanmu. Bertemu denganmu lagi adalah momen paling membahagiakan. Hidupku akan kosong dan hampa tanpa napasmu."

Tangisku pecah. Tubuhku bergetar hebat. Priya menepikan mobilnya di jalanan sepi. Kontrol diriku hilang. Aku tidak ingin menangis tetapi air mata turun sederas hujan. Ketakutan, kepedihan dan takut kehilangan bergulung-gulung dalam dada.

Reaksi Priya hanya tersenyum. Sesekali diusapnya kepala dan punggung sampai hanya menyisakan isakan lirih. Dia meraih tisyu, mengelap jejak air mata di wajahku. "Maafkan aku yang dulu, laki-laki lemah dan tak mampu melindungimu. Sekarang pun aku bukanlah kesatria berbaju besi atau pangeran dari negeri minyak tapi setidaknya aku nggak akan mudah menyerah menjagamu dengan seluruh hidupku. Aku nggak akan meminta banyak, hanya senyumanmu. Berikan aku senyuman agar bisa tidur tenang malam ini."

Kusentuh jemari Priya yang membingkai wajahku. "Aku nggak menganggapku kekanakan, kan?"

"Kamu menangis seperti anak kecil tapi kamu bukan anak kecil, Sayang." Priya mendekatkan wajahnya. Kepalanya dimiringkan lalu mengecup bibirku. "Kamu baru saja hampir mengalami peristiwa buruk, menumpahkan emosi dengan menangis bukan sesuatu yang salah."

Aku perlahan menjauh darinya. Menundukan kepala setelah menyadari telah lepas kendali. "Kita pulang?"

"Sebaiknya begitu tapi sebelumnya kita makan dulu. Malam ini aku akan tidur di tempat kos. Kalau ada apa-apa kamu bisa segera menelepon."

"Setelah ini aku sepertinya nggak berminat keluar rumah. Sebaiknya kamu pulang saja."

"Nope. Aku akan pulang setelah memastikan kamu baik-baik saja," ucapnya sambil mencuri ciuman di pipiku.

Wajahku merona. "Kalau begitu apa aku boleh numpang istirahat di kamarmu sampai malam?"

"Tapi di kamarku nggak ada apa-apa. Kamu mau tiduran di lantai?"

Aku menggeleng pelan. Kusentuh tangannya dan menaruhnya di pipiku. Sentuhan hangat semakin menambah rona merah. "Aku cuma mau sedikit lebih lama bersamamu. Masih kangen. Boleh?"

Priya memalingkan wajahnya keluar jendela tanpa menarik tangannya dari pipiku. "Bo... boleh saja tapi jangan terlalu malam karena aku khawatir pengendalian diriku melemah. Berada di dekatmu nggak baik untuk kesehatan jasmani."

"Terima kasih," kataku lalu melepas genggamannya. Aku kembali merapikan posisiku.

Priya tidak segera menyalakan mesin mobil. Dia menundukan kepala pada setir dengan lengan sebagai alasnya. "Tunggu sebentar. Aku harus menenangkan detak jantungku."

"Kenapa? Apa ada yang sakit?" tanyaku khawatir.

"Aku cuma terlalu senang. Beri aku waktu beberapa menit lagi."

Perasaan mendadak haru. Belum ada laki-laki yang menunjukan kasih sayang seperti Priya. Bahkan saat aku merasa tak layak mendapat cintanya. "I love you."

Priya menyandarkan tubuhnya ke belakang. Dihelanya napas panjang. Matanya mengerjap beberapa kali. Tangannya kembali terulur, mengusap kepala, pipi lalu turun ke bibir. "Love you more."

*****

Persiapan pernikahan berjalan semakin lancar. Ayah Priya akhirnya menerimaku sebagai calon anggota baru keluarga besarnya. Semua berjalan tanpa hambatan berarti.

Hubunganku dengan Ayah sedikit demi sedikit membaik. Aku memang masih menjaga jarak. Bagaimanapun kekosongan karena tak mendapat kasih sayang orang tua tidak bisa dihapus dalam waktu singkat. Aku belajar memaafkan dirinya karena telah melukai perasaan Ibu apapun alasannya.

Dan Gaharu, aku sempat menemuinya didampingi Priya. Keadaan laki-laki itu sedikit lebih baik dari sebelumnya. Kesedihannya belum hilang tapi dia tampak lebih hidup.

Ayah mengunjunginya kala weekend. Gaharu sudah dianggap seperti anak sendiri itu sebabnya Ayah tidak berterus terang padaku tentang statusnya. Hanya saja karena perasaan bersalah kehilangan istri dan putrinya membuat laki-laki itu menyembunyikan kasih sayang di balik tatapan dingin.

Biaya ibunya Gaharu ditanggung oleh Ayah. Dia prihatin dan tidak tega melihat mantan istrinya tak terurus. Perempuan itu menyiksa dirinya sendiri karena cinta tak berbalas. Andai kesukaannya akan harta bisa dikendalikan mungkin hati Ayah akan sedikit melunak. Nasi sudah menjadi bubur, peristiwa di masa lalu telah menjadi sejarah hidup.

"Pagi, Cantik. Sudah bangun?" Suara di seberang telepon mengusik mimpi.

"Teganya kamu mengusik kebahagiaanku," keluhku dengan suara serak khas bangun tidur.

"Ayo bangun dan bersiap-siaplah. Aku sudah bilang kemarin akan mengajakmu pergi pagi sekali."

"Baiklah." Kuubah posisiku menjadi duduk. "Kamu di mana sekarang?"

"Di tempat kos, hubungi aku kalau sudah siap."

Ponsel kuletakan di tempat tidur lalu beranjak menuju kamar mandi. Hari ini minggu terakhir diriku berstatus lajang. Awalnya aku berniat berdiam diri seharian di kamar namun Priya memberitahu kalau ada sedikit masalah dengan cincin pernikahan kami. Dia bilang kami harus datang ke toko tempat memesan cincin pagi ini.

Aku segera menemuinya setelah memastikan penampilanku tak memalukan. Ketegangan mempersiapkan pernikahan hampir membuat malam-malamku sulit tidur nyenyak dan sekalinya bisa bermimpi indah, ada saja gangguan datang.

"Si cantik kesayangan udah datang." Priya menyambut kemunculanku. Dia rupanya sudah menunggu di teras tempat kosku.

Aku mencubit pinggangnya, khawatir kata-katanya terdengar penghuni kos lain. "Cepat pergi."

"Sudah sarapan?" Priya menjajari langkahku.

"Belum."

"Kita mampir ke restoran dulu ya. Isi perut dulu biar nggak masuk angin."

"Kamu juga belum sarapan?"

"Sudah. Aku nggak mau kamu sakit. Nanti aku temani."

"Kita beli roti saja. Ngapain juga kamu cuma lihat aku makan."

"Lihat kamu makan itu tambahan vitamin setelah sarapan. Baik untuk mata, sehat untuk otak."

"Apaan sih." Bibirku mengerucut, memasang ekspresi pura-pura sebal.

Priya mengusap-usap kepalaku. "Tuh, cemberut aja cantik begini apalagi kalau senyum."

"Sudah ah, kalau ada yang dengar, malu tahu." Priya berkelit ketika mendapat serangan cubitan. Dia tersenyum lebar kupelototi. Dasar.

Kami mampir di sebuah restoran fast food untuk mengisi perut, tepatnya hanya aku yang makan. Priya cuma memesan kopi. Dia benar-benar memperhatikan gerak-gerikku saat menyantap makanan. Tatapannya membuatku risih. Dia bergeming mendengar protes yang memintanya mencari kegiatan selain melihatku makan.

Setelah perut terisi, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Priya memarkirkan mobilnya di sebuah pemakaman. Aku terkejut melihat Ayah dan keluarga barunya sudah menunggu di sana.

Aku sempat marah karena dibohongi tapi berusaha menahan diri. Rupanya di tempat itulah Ibu dimakamkan.

Gengsi membuatku berpikir ulang untuk melepaskan sesak di dada. Aku termenung, menatap tempat peristirahatan Ibu dalam kebisuan. Ayah berdiri di sampingku. Kemarahan yang sempat muncul perlahan menguap. Rasa bersalah menggelayuti wajahnya.

Aku mencoba berdamai. Sebenci apapun, darahnya tetap mengalir di tubuhku.

Pandanganku beralih pada Priya. Laki-laki itu berjongkok di sisi makam. Bibirnya bergerak-gerak tanpa suara sebelum akhirnya mengusap wajah. Dia bangkit lalu mengamit tanganku. "Ibu, izinkan saya menjaga putri Ibu. Saya mungkin nggak bisa berjanji hidupnya akan selalu terhindar dari masalah tetapi ketika itu terjadi, saya akan selalu di sampingnya. Menjaganya hingga maut memisahkan kami."

Ayah tersenyum begitu juga dengan keluarganya. Aku sendiri sulit memandangnya dengan cara biasa. Sejak sampai di tempat ini butiran panas seolah mendesak untuk turun. Tindakannya semakin membuat rasa haru menggumpal.

Setibanya di mobil, aku baru bisa melepaskan tangis. Hampir saja air mata mengalir ketika Ayah memelukku sebelum kami berpisah.

"Aku tahu ini nggak bagus tapi melihatmu menangis ternyata ada baiknya." Dia membiarkan bahunya basah oleh air mataku.

"Maksudnya?"

"Kamu kalau lagi menangis jadi suka nempel kayak perangko sama aku." Giginya yang putih bersih tampak berderet rapih. "Sekaligus bikin gemes, pengin aku bawa pulang ke rumah."

Aku menunjuk keningku. "Ini cium dulu di sini."

Priya tersenyum lebar lalu mengikuti permintaanku. Sebuah kecupan hangat mendarat di kening. "Benar, kan? Coba kalau lagi normal, pasti bilang 'apaan sih, kan, malu dilihat banyak orang'."

Kututup wajahnya dengan tanganku. "Berisik. Kita kemana lagi sekarang? Toko nya sudah buka ya?"

"Perjalanannya agak panjang jadi kamu istirahat saja." Aku tidak mengerti dengan balasan Priya. Mobil yang kutumpangi menembus jalanan, menjauh menuju pinggiran kota. Kebingungan semakin menjadi memperhatikan kami memasuki jalan tol.

Priya diam saja ketika kutanya. Dia memintaku menikmati perjalanan. Aku baru bisa menebak arah tujuannya ketika mengenali kota yang baru kami masuki. Tempat di mana aku dan Mimih tinggal setelah berpisah darinya.

"Jadi kamu sudah merencanakan ini, ya?" tanyaku setelah kami tiba di pemakaman umum. "Tahu dari mana tempat ini?"

"Tante Micha yang memberitahuku. Dia menasihatiku banyak hal dan mengancam akan mengutukku kalau berani menyakitimu."

Aku terkikik geli membayangkan Priya berhadapan dengan Tante Micha . "Usahamu pasti nggak mudah, ya?"

Dia melirik kesal walau terus menuntunku melewati jalan kecil di antara makam. "Entahlah, tatapan Tante itu membuatku merasa seperti sedang berada di sarang laba-laba. Kabur salah, memilih diam malah bulu kudukku merinding. Dia menggoda seolah masih muda." Kepalanya menggeleng ngeri.

"Maklumi saja. Dia sudah lama sendirian. Kehadiran seorang laki-laki muda menambah semangat hidupnya." Sesekali pandanganku mengeliligi sekitar makam. "Kamu lupa, dulu kamu suka tersipu malu mendengar godaannya."

Priya mengencangkan genggamannya. "Di mana makam Mimih?" Aku memiringkan kepalaku lalu menunjuk sebuah makam di dekat pohon besar.

Kami membersihkan makam dan berdoa dalam hati. Kuusap nisan sambil menghela napas. Priya pasti mengejek habis-habisan kalau air mataku mengalir lagi. Dia sudah cukup kesal kugoda tadi.

Kenangan masa lalu berputar, menari-nari satu persatu dalam adegan lambat. Berbagai peristiwa sejak aku kecil bermunculan. "Semoga Mimih tenang di sana," bisikku lirih.

Priya berdeham sambil menepuk bahunya. Bagian tubuh laki-laki itu yang selalu kujadikan sandaran ketika menangis. Aku mencibir melihatnya mengejek kelemahanku.

"Sekarang giliran saya yang akan menjaga Damara. Terima kasih Mimih telah merawatnya, memberinya kasih sayang sampai aku bertemu dengannya." Priya kembali berdoa setelah selesai bicara.

"Sudah sore. Kita pulang, Pry." Aku lebih dulu berdiri. Berada di tempat ini lebih lama menguras emosi.

Priya segera bangkit lalu berjalan di belakangku hingga tiba di tempat parkir. "Apa yang kamu pikirkan?" Dia menyalakan mesin mobil begitu kami duduk.

"Hanya sedang berandai-andai. Aku belum bisa memberi pada Ibu dan Mimih tapi ketika kemampuan itu datang, justru keduanya nggak ada lagi di dunia." Mataku sudah berkaca-kaca namun suara tetap tenang.

"Kalau begitu doakan mereka. Doamu jauh lebih berarti. Jangan menangis lagi ya, Cantik," bujuknya sambil memasang raut di manis-maniskan.

Aku senang sekaligus sebal diperlakukan seperti anak kecil. "Lapar nih. Cari makan dulu ya."

"Di sekitar sini aku lihat ada mal. Kita ke sana saja ya."

Kami pergi ke sebuah mal. Di bagian luar sedang diadakan bazar. Priya patuh dan mengiakan ketika aku ingin mencoba salah satu makanan di sana.

Sejenak perasaan sedih terlupakan. Aku merasa sedang bermimpi. Tidak pernah terbayangkan akan mengalami situasi seperti sekarang. Keluar dari masa sulit bahkan berencana menikah dengan Priya.

Perpisahan kami dulu sempat memupus harapan bertemu dia lagi. Hidupku hanya dipenuhi oleh kerja keras agar bisa bertahan setiap harinya. Aku tidak memiliki kekuatan untuk berpikir terlalu muluk.

"Eh ada yang jual baju couple. Bisa sablon nama juga."

Aku menyuap sisa makanan di piring sembari memalingkan wajah ke arah yang Priya tunjuk. Sebuah stand kaus berada tidak jauh dari tempat kami makan. "Bukannya kamu nggak suka pakai baju couple?"

"Nggak harus pakai warna yang sama, kan. Yang penting ada tulisannya."

Aku mengikutinya setelah makan. Priya tampak bersemangat jadi aku urung menggodanya. Kami memilih warna biru dan merah muda dengan nama masing-masing di kaus. Beberapa saat menunggu, hasil akhirnya mengejutkan.

Senyum Priya sangat masam ketika memperhatikan kaus di tangannya. Pilihan warnanya tidak salah tapi tulisan di kaus birunya membuatnya gusar sendiri, Ms. Priya sementara kausku bertuliskan Mr. Damara.

"Apa-apaan ini. Apa selama ini nama kita tertukar?" gerutunya dengan kening berkerut.

Tbc

Selamat pagi semua. Maaf updatenya yang lama. Mungkin nanti akan ada kisah Gaharu, mungkin ya, kalau ada peminatnya setelah cerita ini selesai. Have a nice day.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro