Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 22

Pertemuan dengan Gaharu telah selesai beberapa menit lalu. Ketegangan menyisakan berbagai ketidakpercayaan. Berita yang baru terdengar bukanlah sepenuhnya kabar baik.

Rasa terkejut masih bercokol di hatiku. Bagaimana tidak, duniaku berubah dalam waktu satu hari. Gaharu seolah mendukung bila kami ingin menanyakan langsung kabar ini pada ayahnya. Dia bahkan memberi secarik kertas berisi alamat tempat keluarga barunya tinggal. Laki-laki itu kini tinggal bersama ibunya setelah orang tuanya berpisah.

Dan yang paling menyedihkan, dalam pertemuan itu terselip tambahan informasi bahwa status ibuku dulu adalah orang ketiga. Perempuan simpanan yang rela melakukan apapun demi ambisi meski harus membuang darah dagingnya sendiri.

Wajahku memucat. Otak mendadak terasa kosong. Kabar tadi bukanlah kejutan menyenangkan.

Kupijit kening saat merasa pusing. "Kamu sudah selesai, Pry? Aku mau pulang."

Priya memanggil pelayan, membayar pesanan kami lalu menungguku bangkit. Dia belum mengeluarkan sepatah katapun sejak kepergian Gaharu. Ekspresi diamnya membuatku serba salah.

Kami segera pergi menuju tempat parkir setelah menyelesaikan membayar pesanan. Kesunyian membekap hingga mobil mulai meninggalkan kafe. Sepanjang waktu perhatianku teralihkan oleh kemacetan di balik jendela.

Anganku berkelana, mengusir kesedihan yang terus membesar dalam setiap tarikan napas. Aku bahkan kehilangan percaya diri oleh rasa malu ketika acap kali akan menoleh ke arah Priya. Hantaman pikiran negatif menyerang, membuatku percaya bahwa dia tengah menimbang untuk melepaskan hubungan kami.

Kebenaran cerita Gaharu memang perlu pembuktian. Menunjuk ayah kandung sendiri sebagai orang tua pada orang lain  bukan hal wajar. Tapi Gaharu sepertinya tidak akan berbuat segila ini kalau perkataannya hanya omong kosong. Mungkin saja dia telah mengetahui cerita itu sejak dulu. Dia melampiaskan kemarahannya pada Priya, dengan tujuan untuk menyakitiku. Pola itu terdengar masuk akal di kepalaku.

"Eh, kita mau ke mana, Pry?" Aku membuka mulut ketika mobil kami berbelok menuju sebuah hotel berbintang.

"Malam ini kita akan menginap di sini. Tenang saja, aku akan dua kamar terpisah."

"Untuk apa? Kita punya tempat tinggal masing-masing. Apa tujuanmu?"

"Cerita Gaharu masih mengangguku. Malam belum terlalu larut. Kita bisa membahasnya sampai selesai."

Aku menghela napas. Tindakan Priya di luar dugaan. Apa yang ada dalam pikirannya sulit ditebak. "Bisakah kita menyimpannya sampai besok? Nggak semua masalah harus selesai dalam satu hari. Aku sangat lelah."

"Kalau begitu kamu bisa tidur. Fungsinya hotel memang sebagai tempat istirahat. Kita akan bicara saat sarapan pagi." Priya mematikan mesin setelah memarkirkan mobil di basement.

"Aku nggak perlu tidur di hotel."

"Bagiku kamu membutuhkannya. Kamu bisa menangis tanpa perlu khawatir penghuni kos lain mendengar isakanmu. Mandi air hangat tanpa repot merebusnya. Kasurnya empuk dengan selimut tebal dan nyaman. Tidurmu akan jauh lebih nyenyak."

Senyumanku berubah kecut. Priya melakukannya karena khawatir. "Tapi menyewa dua kamar itu berlebihan. Kamu bisa pulang ke rumahmu. Aku juga nggak bawa pakaian ganti."

"Aku kehilangan kesempatan melakukan ini ketika kamu pergi. Setelah kita berpisah, kehidupanku berjalan seperti biasa walau keadaannya nggak lagi sama. Kala itu aku masih bisa menikmati dunia sementara hidupmu jauh dari kata bahagia." Priya menoleh, menatap lekat bola mataku. "Dan sekarang adalah kesempatan kedua untuk menebusnya. Marahlah, menangislah, lakukan apa yang bisa membuatmu lega dan jangan pedulikan keberadaanku. Anggap saja aku patung dewa tampan penghias kamar. Soal pakaian nggak perlu khawatir. Hotel ini juga ada butik. Kita bisa beli pakaian ganti untuk besok dan tidur."

Keharuanku berubah tawa. "Aku memang sedih tapi ini bukan pertama kalinya masalah datang menghampiriku. Aku justru mencemaskan caramu memandang hubungan kita."

Priya mengusap pipiku. Sentuhannya begitu lembut. "Bukankah aku sudah mengetahui ketidakjelasan latar belakangmu sejak dulu? Anggap saja kalau cerita Gaharu benar, aku nggak perlu bersusah payah mencari wali untuk pernikahan kita nanti."

"Kamu yakin? Bagaimana dengan orang tuamu. Jalan ceritanya akan berbeda. Bila aku dan Gaharu ternyata memang mempunyai ayah yang sama itu artinya kami memiliki ikatan sodara. Kamu tahu sendiri kalau Gaharu adalah orang dibalik masalah keluargamu."

"Kamu sendiri pun pasti akan memilih lahir dalam keluarga utuh bila diberi kesempatan mengulang sejarah hidup. Begitu juga dengan keluargaku. Masalah ini akan lebih mudah bila sejak awal ayahku nggak melakukan perbuatan melanggar norma. Bukannya nggak mungkin kamu pernah berpikir bahwa aku akan mengulang kesalahan ayahku kelak."

"Aku nggak membayangkan sejauh itu. Kamu dan ayahmu adalah dua pribadi yang berbeda. Nggak adil menilai buruk seseorang hanya karena terkait hubungan darah dengan orang yang pernah berbuat kekeliruan."

"Nah, itu kamu sudah jawab sendiri. Aku memang nggak suka sama Gaharu namun bukan berarti kamu sama jahatnya dengan dia. Cepat turun, kita lanjutkan bicaranya nanti saja."

Aku menyerah, Priya bukan lawan sepadan dalam pembicaraan ini. Semua argumen atau alasan akan dipatahkannya. Sekalipun kami menginap, aku percaya dia tidak akan menyentuhku. Kami sudah cukup dewasa dan memiliki kesempatan melakukan hal terlarang kapan saja. Jika Priya berniat buruk, dia akan melakukannya sejak kami menjalin kasih.

Sisa malam kami habiskan mengobrol di kamar yang Priya pesan untukku. Dia memposisikan diri sebagai pendengar. Aku banyak bicara tentang kehidupan yang telah terlewati dan mungkin pernah kuceritakan sebelumnya. Mengenai kabar dari Gaharu justru tidak seburuk dugaan. Aku justru masih menitikan air mata ketika mengingat Mimih.

Emosiku datar ketika membahas kemungkinan ayahku adalah ayah Gaharu. Kegembiraan atau perasaan semacam itu sama sekali tidak muncul. Rasa yang ada hanya sebongkah keingintahuan, benar dan salah tidak lagi penting. Selama ini hidupku berjalan baik tanpa orang tua. Bagiku tidak mengenal mereka lebih baik dibanding mengetahui betapa kecilnya arti diriku hingga harus dibuang.

"Ngantuk?"

Kepalaku mengangguk sambil menguap. "Sudah hampir tengah malam."

Priya bangkit dari sofa kecil sambil menggerakan kedua otot tangan. "Oh, kupikir tadi akan ada acara menangis. Padahal aku sudah siap menghiburmu," selorohnya.

"Sekarang masih kebal mungkin," balasku lirih lalu menarik selimut hingga leher. "Terima kasih sudah menemaniku."

Priya mendekat lalu mencium keningku. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Sudah jadi tugasku untuk menjagamu. Sekarang tidurlah, mimpi yang indah. Aku akan kembali ke kamarku."

Mataku terpejam namun tidak sepenuhnya tertidur. Ketenangan yang sempat kuperlihatkan saat terjaga berbeda ketika berada di alam bawah sadar. Ingatan buruk masa kecil menyeruak, menarikan mimpi buruk. Pertemuan dengan Gaharu memperbesar kegelisahan hingga akhirnya terjaga.

"Mimpi buruk?" Teguran lembut khas Priya mengalihkan perhatianku.

Laki-laki itu rupanya masih berada di kamarku. Dia beranjak dari sofa yang terlalu kecil untuk didudukinya. Pertahananku meluruh. Bagai anak ayam kehilangan induknya, tubuhku menghempas dadanya ketika dia baru saja duduk di tepi ranjang.

Suara yang keluar dari bibirku hanya raungan parau tidak jelas. Rintihan lirih bercampur isak tangis tertahan. Aku tidak peduli terlihat seperti remaja labil. Luapan emosi membutakan seluruh rasa malu.

Senyum Priya tetap menyungging. Dia hanya melihat dan mengusap jejak air mata di pipiku. Tidak ada sepatah kata dari mulutnya.

"Bagaimana bila dia memang ayahku?"

"Berarti pencarian kita selesai. Kamu masih memiliki seorang ayah dan sodara tiri. Kamu sebegitunya mempercayai Gaharu sebelum melihat bukti?"

"Aku nggak ingin percaya tapi kata hatiku mengatakan sebaliknya. Dia menganggu kita untuk membalas dosa ibuku."

"Katakanlah hal itu benar. Kalian memang mempunyai ayah yang sama namun bukan berarti kita seratus persen mempercayainya tanpa menanyakan kebenaran dari ayahmu. Kita harus dengan sudut pandang lain sebelum mengambil kesimpulan."

"Tapi itu nggak akan mengubah kenyataan kalau aku lahir dari rahim perempuan simpanan!"

Sorot Priya menajam. Ekspresi wajahnya berubah serius. "Itu sudah jadi takdirmu. Nggak ada satupun manusia di dunia ini mampu memutar waktu. Apakah keberadaanku nggak lebih penting dari kekhawatiranmu?"

Aku mendorong tubuh Priya dengan gusar. Bangkit dari pangkuannya sambil menghentakan kaki dan mendekati jendela. "Itu terdengar mudah bagimu karena kamu nggak berada di posisiku. Susah payah aku membangun harapan dari nol hingga sekarang. Bagiku jauh lebih mudah hidup sebagai yatim piatu daripada anak hasil selingkuhan. Orang-orang akan... "

"Cukup, Damara!" bentak Priya. "Dinginkan kepalamu sebelum mengucapkan kalimat yang menilai rendah dirimu sendiri atas hal yang bukan tanggung jawabmu. Aku benci mendengarnya."

Laki-laki itu masih belum beranjak dari tempatnya. Posisi tubuhnya agak menunduk. Kedua tangan saling mengait dengan kuat. Kemarahannya nyata seiring tatapan tajam yang mampu menusuk.

"Tidurlah." Sedetik kemudian suaranya merendah. Dia perlahan bangkit lalu menghampiriku. "Kamu tahu aku paling nggak suka mendengar orang merendahkanmu termasuk bila hal itu keluar dari mulutmu sendiri. Aku nggak akan membiarkan dirimu menghadapi masalah ayahmu sendirian, nggak untuk kali ini. Kamu bisa mengandalkanku."

Dalam satu sentakan, Priya membawaku dalam pelukannya. Rangkulan tangannya erat membelit pinggang. Sesekali diciumi puncak rambut yang berantakan.

"Kamu nggak jijik?" tanyaku putus asa.

"Kesalahan apa yang kamu perbuat hingga aku enggan bersamamu? Sikap bisa diubah tetapi sifat dasar akan selalu muncul meski tertimbun drama kebohongan. Setidaknya sejauh mengenalmu, aku belum menemukan alasan untuk menjauh. Setiap manusia pasti mempunyai sifat jelek tetapi kekuranganmu masih dalam tahap wajar."

Mataku tertutup, membayangkan berada di antara keluarga Priya. "Bagaimana dengan keluargamu? Apa yang harus kukatakan pada mereka?"

"Nggak ada. Kita tunggu sampai semuanya selesai lalu pikirkan cara terbaik menyampaikan ini pada mereka." Priya mengecup keningku. "Sementara itu kamu harus tetap berpikir positif. Semua masalah pasti ada penyelesaian."

"Kamu benar-benar suka padaku ya?"

Tawa renyah Priya terdengar bagai alunan lagu cinta. "Mungkin karena aku menunggu terlalu lama. Butuh kesabaran sampai kamu melihatku lebih dari sahabat. Kamu benar-benar nggak peka bahkan ketika aku berusaha membuatmu cemburu dengan mengencani perempuan lain. Kita juga harus terpisah padahal baru saja pacaran. Setelah perjalanan panjang melelahkan itu menurutmu aku akan menyerah?" Kepalanya menunduk hingga ujung hidung kami saling bersentuhan.

"Kamu selalu memilih perempuan cantik dan feminim sementara aku nggak termasuk dua kategori itu. Bagaimana mungkin aku berani berpikir sejauh itu. Kamu bahkan selalu menganggapku seperti teman laki-laki."

"Aku memang pengecut, khawatir kamu menjauh kalau mendadak  mengutarakan isi hati. Tapi keadaan kita berbeda sekarang, saling mencintai. Itu yang terpenting." Wajahku terpaku ketika Priya menyatukan bibir kami berdua. Mataku ikut terpejam, merasakan setiap kehangatan mengalir dalam setiap pagutan.

Kecupan demi kecupan semakin  memanaskan suasana. Kepala tidak lagi mampu berpikir. Gelora terlanjur mengambil alih dominasi.

Akal sehat terkubur oleh hasrat yang mendamba sentuhan. Keinginan itu begitu mendesak hingga membuatku tak sadar membalas setiap ciuman dengan erangan lirih.

Priya mengigit kecil bibir bawahku sebelum mengakhiri ciuman kami. Wajahnya masih memerah saat pandangan kami terkunci. Dia menyentuhkan kedua ujung hidung kami kembali. Senyumnya mengembang, menambah nilai tampan di mataku.

"Aku jatuh cinta padamu. Sulit bagiku menahan godaan saat bersamamu. Jadi maukah kamu melanjutkan tidurmu sebelum setan mengambil alih akal sehatku. Please."

Aku tertawa kecil lalu mengecup pipinya. "Selamat malam."

*****

Kehidupanku setelah pertemuan dengan Gaharu tetap berjalan seperti biasa namun bukan berarti tidak ada perubahan. Kekhawatiran yang dibalut keingintahuan menggedor-gedor benteng pertahanan dari hari ke hari. Aku belum sempat mendatangi alamat pemberian Gaharu. Priya melarangku datang sendirian. Dia meminta tetap tenang sembari mencari informasi lebih jauh tentang ayahku sebelum kami menemuinya.

Kesibukan di kantor sedikit mengurangi ketegangan. Tawa dan obrolan dengan rekan kerja sejenak melupakan berbagai gundah. Mereka tidak perlu mengetahui apa yang tersimpan di balik senyuman. Masalah pribadiku terlalu memalukan untuk kubagi. Lagipula ini bisa jadi boomerang bila aku salah mempercayai orang.

Dan Gaharu, laki-laki itu belum menunjukan lagi batang hidungnya. Keberadaannya hilang ditelan waktu. Tapi aku merasa dia sedang menunggu saat yang tepat untuk muncul.

Satu minggu berlalu dan kesabaranku mulai menipis. Priya terus mengulur-ulur, meminta tetap menunggu sampai saatnya tiba. Kami beberapa kali berdebat karena hal ini. Aku ingin semua berakhir secepatnya, mengetahui kebenaran apakah ayahku masih hidup atau tidak.

"Sampai kapan aku harus menunggu, Pry?" keluhku ketika Priya mengantar pulang ke tempat kos.

"Kita bicara di tempat kosku saja. Aku sudah minta ibu kos mencari orang untuk membersihkan kamar itu. Kamu tinggal duduk manis saja."

"Kalau jawabannya belum, sebaiknya kamu pulang saja."

"Ini bukan masalah sepele. Ada kaitannya dengan pihak lain. Kita belum bisa memastikan apakah cerita Gaharu benar atau hanya kicauan untuk menganggumu. Menemui orang lainpun ada etikanya apalagi kita akan menanyakan soal asal usulmu. Kita tidak mungkin tiba-tiba datang lalu langsung menyodorkan pertanyaan apakah dia ayahmu." Penjelasan Priya membungkam mulutku. Kami melanjutkan langkah tanpa kata-kata. Aku melakukannya demi menghindari  omelan.

Langit telah berganti gelap setibanya kami di tempat kos Priya. Kamarnya memang dalam keadaan bersih. Aku segera merebahkan diri dengan bersandar ke dinding, mengistirahatkan kaki yang lelah. 

Priya menyalakan lampu dan membiarkan pintu setengah terbuka. Tas miliknya diletakan pada meja kecil tempat dia biasa bekerja atau makan. Begitu juga plastik dari mini market yang kami datangi sebelum pulang. Dia menaruhnya di depanku.

Laki-laki itu belum berhenti bergerak, kali ini dia mendekati rak televisi. Tangannya meraih benda berwarna putih dan menghubungkan kabel di belakang benda itu ke stop kontak. Rupanya dia sedang menyalakan obat nyamuk elektrik. Ketika malam datang, aksi binatang penghisap darah itu memang kerap menjengkelkan. 

"Jadi gimana?" tuntutku tak sabar setelah Priya bersila di hadapan.

"Aku sudah mencari informasi. Kupikir minggu malam nanti kita akan datang membuktikan perkataan Gaharu," balas Priya. Tangannya sibuk membuka tutup botol minuman cola yang kami beli.

"Kamu yakin laki-laki itu ada di rumah minggu malam nanti?"

"Mungkin. Kita asumsikan saja begitu. Senin kan, pekerja sudah masuk kantor."

Aku terdiam, masih ada waktu memikirkan harus bereaksi atau mencari kalimat pembuka seperti apa saat pertemuan nanti. Tapi kegelisahan sekaligus antusias terus menyelimuti.

"Kenapa diam? Bukankah ini yang kamu inginkan. Membuat semua berita jadi lebih jelas?"

"Apa ada yang salah dengan diam." Kutarik plastik dari mini market dan mengambil botol minuman teh. "Aku memang ingin semua selesai, nggak lagi berlarut-larut hanya bisa menebak-nebak."

"Bila berita itu benar, apa yang akan kamu lakukan pada ayahmu?"

"Selain memintanya menjadi saksi nikah, aku nggak berharap banyak. Dia sudah memiliki kehidupannya sendiri. Aku pun telah terbiasa hidup sebagai anak yatim piatu. Lagipula bisa saja dia nggak menginginkan kedatanganku."

"Ya sudahlah, kamu nggak perlu memikirkan hal yang belum terjadi. Bagaimanapun kamu sosok luar biasa di mataku."

Kuteguk hingga habis minuman di tangan. Pura-pura tak acuh menutupi perasaan sebenarnya. Pujian Priya menghadirkan rasa nyaman walau dia mengatakannya dengan cara paling biasa.

"Apa Gaharu menghubungimu lagi?"

"Sampai detik ini nggak ada. Dia selalu pergi setelah membuat kekacauan. Aku nggak tahu harus senang atau sedih memiliki hubungan darah dengannya."

Priya bergerak ke arahku, menyandarkan punggung tegapnya ke dinding dan merapatkan tubuh kami berdua. "Kamu harus berhati-hati padanya. Aku nggak terlalu yakin dia membongkar kebenaran karena memiliki empati padamu."

Kepalaku bersandar di bahunya. "Tapi aku mengerti kemarahannya. Melihat anak dari perempuan yang pernah menyakiti perasaan ibumu pasti nggak mudah. Terlebih orang tuanya telah berpisah."

Rengkuhan di bahuku terasa sangat hangat. "Itu sebabnya kamu harus hati-hati. Kondisi keluangan keluarga Gaharu kurang baik. Setidaknya bila dibandingkan dengan kehidupan mereka dulu, keadaannya sangat berbeda. Gaharu dan ibunya tinggal di rumah sangat sederhana. Aku tahu karena sempat mencari tahu keberadaan mereka."

"Bagaimana bisa?"

"Aku belum menyelidiki penyebabnya tapi hidup manusia selalu berputar. Kita nggak pernah tahu kapan roda membawa kita turun dari puncak tertinggi." Priya mengecup keningku. "Oleh karena itu kita harus selalu bersyukur."

Aku hanya mampu diam. Hidup memang penuh misteri. Sebaik apapun rencana masa depan, semua kembali pada Tuhan. Perjalanan kami pun begitu, setiap niat bisa gagal kapan saja.

Hari mulai berganti hingga akhirnya saat paling menegangkan tiba. Sejak pagi aku sangat gelisah. Perut mendadak sakit karena semua perasaan bercampur aduk.

Priya terus menerus menenangkanku yang menganggunya setiap menit. Meneleponnya hanya untuk memastikan apakah menemui laki-laki itu jalan terbaik. Nyaliku terbang tinggi dan menyisakan jiwa pengecut.

"Kamu lupa siapa yang kemarin menggerutu karena kita menunda  datang ke rumah ayahmu?" Priya tersenyum geli saat menjemputku.

"Ralat, dia belum tentu ayahku."

"Baiklah, kita nggak perlu perdebatan panjang. Ayo cepat, sebentar lagi hujan."

Kami bergegas pergi menyusuri jalan sempit hingga mulut gang. Priya menarik tanganku agar melangkah lebih cepat. Gemuruh di langit saling bersahutan bersamaan dengan turunnya tetesan air.

Jalanan utama dipenuhi kendaraan. Hujan yang mulai turun menambah kemacetan. Lampu jalan tampak redup.

Aku memilih memejamkan mata. Priya mendiamkan aksiku, membiarkan diriku berkelana dalam alam mimpi. Dia sengaja menyalakan radio yang memutar lagu-lagu dengan tempo lembut.

Entah berapa lama Priya memacu kendaraannya menembus padatnya jalanan malam itu hingga kami memasuki sebuah perumahan di pinggiran kota. Letaknya agak jauh dari pusat kota bahkan dari tempatku tinggal. Setelah bertanya ke beberapa orang, akhirnya  kami tiba di depan sebuah rumah berlantai dua.

Hujan telah reda saat aku keluar dari mobil. Irama jantung berdegub tanpa irama kala memperhatikan keadaan rumah. Di banding kediaman Gaharu dulu, bangunannya jauh lebih kecil. Bagian depan hanya cukup untuk satu mobil. Sebuah taman kecil menghias dekat teras.

Aku sengaja membiarkan Priya maju lebih dulu. Dia sangat tenang ketika menekan tombol bel. Tubuhku berlindung di balik punggungnya sewaktu melihat ada seseorang membuka pintu rumah.

Perempuan berusia sekitar empat puluhan berjalan ke arah kami. Dia memandangiku dan Priya bergantian. "Mau cari siapa?"

"Maaf, benar ini rumahnya Pak Dama? Saya yang waktu itu menelepon." Mendengar Priya mengucapkan nama itu membuatku baru menyadari  kemungkinan namaku dipilih karena adanya ikatan darah di antara kami.

Perempuan itu dengan cepat membuka pagar. Perhatiannya beralih padaku. "Ayo silahkan masuk. Kalian duduk dulu, saya panggilkan Bapak sebentar," ajaknya ramah.

Priya mengangguk pelan padaku. Genggaman tanganku yang menguat memberi sinyal ragu. "Semua akan baik-baik saja," bisiknya pelan.

Aku menghela napas panjang berulang kali, memberanikan diri melangkahkan kaki menuju pintu. Perempuan tadi sudah masuk lebih dulu.

Ruang tamu yang baru kami masuki sangat nyaman walau tidak banyak barang di dalamnya. Warna dinding putih gading dipadu sofa berwarna cokelat. Beberapa hiasan foto terpasang menghadap sofa panjang tempat kami duduk. Cahaya lampu yang temaram semakin menghangatkan kesan keseluruh ruangan.

Sesosok laki-laki muncul dari ruangan lain. Raut wajahnya tak banyak berubah sejak terakhir kali sempat melihat. Helaian putih bercampur di rambut yang masih hitam.

Priya bangkit, menyalami laki-laki itu dengan sopan tapi aku justru terpaku di tempat. Kakiku seolah sekeras batu.

"Begini Pak, kami.... "

"Kamu nggak perlu menjelasankan. Saya sudah tahu maksud kedatangan kalian. Gaharu sudah memberitahukan kemungkinan pertemuan ini."

Aku menelan ludah. Kalimat pembuka atau basa-basi menguap dari otak. "Jadi apa benar kalau saya adalah putri anda?"

Kepala laki-laki yang Gaharu sebut sebagai ayahku mengangguk. "Ceritanya panjang. Saya ah... Ayah bisa menjelaskan keadaan ini."

"Nggak perlu. Saya hanya butuh kejelasan status anda karena rencana pernikahan kami." Kedua tangan yang mengepal di lutut bergetar. "Saya nggak butuh rasa kasihan atau apapun dari anda. Saya hanya butuh kesediaan anda menjadi wali nikah tapi bila keberatan, tolong tulis persetujuan menyerahkan wali nikah pada wali hakim."

"Ayah tentu bersedia menjadi wali nikahmu. Ayah berterima kasih karena kamu sudah mau datang."

Dadaku perih setiap kali membayangkan jadi anak yatim piatu. Berjuang seorang diri menghadapi kerasnya dunia tanpa tahu masih mempunyai seorang ayah.

"Bagaimana dengan ibuku?"

Ayah terdiam cukup lama. Dia seperti menimbang apa yang akan diucapkan. "Ibumu perempuan yang baik. Ayah adalah kesalahan terbesarnya. Dia seharusnya mempunyai kesempatan hidup lebih baik bila ibumu bersabar sedikit lagi. Keadaan sangat rumit pada saat itu."

"Rumit karena ibuku menjadi orang ketiga dalam hubungan anda dan ibunya Gaharu. Benar begitu?"

Kening Ayah berkerut. "Kamu salah paham. Ibumu sama sekali nggak bersalah. Ada alasan kenapa semua ini terjadi dan kenapa ibumu terseret di dalam masalah ini. Seharusnya semua selesai malam itu tapi ibumu mendadak hilang. Ayah sudah mencarinya kemana-mana namun sia-sia. Ayah bahkan nggak tahu kalau ibumu sedang mengandung. Ayah baru tahu tentang dirimu setelah bertemu dengan Mimih. Kalau bukan atas permintaan Mimih, Ayah pasti sudah mencarimu saat kalian pindah."

Aku tertegun. Mimih memang sedikit berubah sejak bekerja untuk keluarga Gaharu. "Lalu bagaimana bisa Ibu dan ibunya bisa Gaharu mengandung dalam  waktu berdekatan. Usia kami hanya hampir sama. Anda berselingkuh saat ibunya Gaharu hamil?"

"Ayah nggak akan membela diri tapi kejadiannya bukan seperti bayanganmu. Hubungan Ayah dan ibunya Gaharu sulit dijelaskan." Ayah memijit keningnya. "Semua nggak akan terjadi kalau Ayah bisa mengambil keputusan. Kamu harus tahu kalau.... "

"Saya kira penjelasan anda sudah cukup." Kepalaku terangkat, mengumpulkan segenap kekuatan untuk menatap langsung laki-laki di hadapan kami. "Saya tak butuh banyak alasan karena semua nggak akan merubah masa lalu. Maaf kalau sudah menganggu waktu anda."

Priya terkejut melihatku bangkit. Dia tidak bisa menahan  diriku lebih lama. Ayah ikut bangkit meski tak berusaha mencegah. Dia tahu kemarahanku masih meluap. Memaafkan dan menerima kenyataan tidak selalu beriringan.

Ayah hanya mengucapkan satu kalimat yang ditekankannya berulang kali sebelum kami pergi.   Seburuk apapun perkataan orang di luar sana, jangan pernah membenci ibumu.

*****

Sejak malam itu sikap Priya semakin protektif. Dia memintaku untuk tidak bertemu dengan Gaharu tanpa sepengetahuannya. 

Rasa bersalah membuatku ingin menebus dosa ibuku dengan mengembalikan kehidupan Gaharu. Diam-diam aku menarik sejumlah tabungan. Setelah pertemuan malam itu, Gaharu mendatangi tempat kosku. Dia datang bukan tanpa maksud. Ibunya sedang sakit dan membutuhkan uang.

Pemberian ayahnya hanya cukup  untuk hidup sehari-hari. Gaharu tidak secara langsung meminjam uang tapi dia tak akan datang kalau bukan karena terpaksa. Dia memintaku datang menemui ibunya.

Rasa bersalah membuatku lemah. Memikirkan masih ada ikatan darah di antara kami menutupi keraguan. Aku menyanggupi datang ke rumahnya saat libur kerja. Sengaja Priya tidak kuberitahu. Dia sedang bertugas ke luar kota dan tiga hari lagi baru kembali.

Setelah berkeliling sepanjang siang, alamat yang Gaharu berikan akhirnya kutemukan. Rumah yang Gaharu tinggali sangat sederhana. Bangunan tua tak terurus dan tampak kusam. Rumah itu berada di tengah-tengah sebuah lahan kosong. Dia mengatakan tanah itu warisan terakhir kakeknya. Ibunya menolak menjual selama dia masih hidup. Dinding tinggi mengelilingi sekeliling pekarangan dan tidak terlihat dari luar.

Gaharu mengajak masuk dan memintaku menunggu di ruang tamu. Suasana di dalam tidak lebih baik. Debu terlihat di beberapa sudut lantai. Jendela tertutup rapat. Kursi yang kududuki agak kotor dan memiliki sejumlah lubang kecil. Keadaan sungguh jauh berbeda bila mengingat kehidupan Gaharu dulu.

Deringan ponsel dari dalam mengalihkan perhatian. "Halo."

"Kamu di mana?"

"Mm... aku lagi di jalan. Kenapa?"

"Dengarkan aku. Ini tentang Gaharu. Kamu ingat pesanku untuk nggak ketemu dia tanpa ada yang menemani."

"Y... ya. Lalu?"

"Ayahmu kemarin meneleponku. Dia mengatakan sesuatu tentang Gaharu. Kalian sama sekali bukan  sodara sedarah. Dia memintaku agar kamu menjauhi Gaharu."

"Apa maksudmu?"

"Jangan potong pembicaraanku dulu. Dengarkan sampai selesai. Ayahmu lebih dulu menikah dengan ibumu. Dia terpaksa menikahi ibu Gaharu karena permintaan kakek Gaharu yang tak lain atasan tempat ayahmu bekerja. Pada saat itu ibu Gaharu dalam keadaan sudah mengandung. Pacarnya pergi begitu saja tanpa mau bertanggung jawab."

Tanganku bergetar. "Kamu serius? Tapi... "

"Gaharu sudah mengetahui tentang hal ini sejak lama. Dia belum bisa menerima kenyataan dan masih menyalahkan ayahmu hingga sekarang. Termasuk bangkrutnya perusahaan keluarganya. Padahal ibu Gaharu punya andil. Gaya hidup mewah nggak berubah saat perusahaan mengalami krisis. Kamu harus berhati-hati, aku khawatir Gaharu mempunyai maksud tertentu padamu." Suara di seberang hening sesaat. "Kamu benar sedang di luar rumah? Kedengarannya sepi sekali?"

Aku menelan ludah ketika Gaharu muncul dengan membawa dua gelas berisi air minum. "Aku pergi ke rumah laki-laki yang kamu larang," balasku nyaris berbisik.

Tanganku pura-pura membuat gerakan seperti sedang mengakhiri telepon padahal sambungan belum kumatikan.

"Priya?" Gaharu beranjak menuju pintu setelah menaruh gelas tadi. "Banyak nyamuk," lanjutnya sambil menutup pintu.

"Ibumu mana?"

"Ada di kamarnya. Kamu mau lihat?"

Kepalaku menggeleng. "Lain kali saja, biarkan ibumu istirahat." Tangan merogoh tas, mengeluarkan amplop yang sudah kusiapkan. "Ini. Jumlahnya nggak banyak tapi kuharap bisa meringankan sakit ibumu. Maaf. Aku masih ada perlu lain, nggak bisa lama-lama."

Gaharu menatap tajam. Dia masih berdiri di depan pintu. "Kenapa buru-buru? Apa pacarmu bilang sesuatu padamu?"

"Dia hanya menanyakan kabarku." Susah payah kuredam ketegangan agar tak mengalir dalam suara.

"Benarkah? Apa dia sudah memberitahumu kalau ayah kita berbeda?"

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro