Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 21

Aku membisu dalam kesunyian. Sendiri di ruangan sempit tanpa menyalakan lampu. Kepala tengah memutar jejak menakutkan karena kedatangan seseorang tadi. Dia yang pernah hadir sekaligus merusak tangga impianku menuju bahagia.

Ya, firasat itu rupanya benar. Dia  memang Gaharu. Teman satu kampus dulu.

Waktu hampir menunjukan pukul dua belas malam. Tubuhku masih bersandar pada dinding. Satu persatu ingatan mulai memutar rekaman pembicaraan kami tadi.

Sosok itu membuka tudung jaketnya. Aku terkesiap begitu melihat wajah di balik jaket. Tebakanku tidak meleset. Sosok yang pernah terlihat saat berkunjung ke rumah Machi ternyata Gaharu.

Dia banyak berubah. Kulitnya lebih gelap. Janggut tak terawat dibiarkan memenuhi wajah. Penampilannya sangat berbeda dengan Gaharu di masa lalu. Seingatnya, salah satu mahasiswa populer di kampus itu selalu rapih. Sekarang laki-laki di hadapanku memakai kaus kumal warna merah dan jeans belel. Kakinya pun hanya sandal dengan model paling sederhana.

"Darimana kamu tahu tempat tinggalku? Untuk apa kamu datang?" Kesadaran pulih setelah sekian menit terdiam.

"Kamu dan Priya masih bersama?" Gaharu seperti sengaja mengabaikan keingintahuanku.

"Kamu keberatan atau berniat membongkar lagi aib lama keluarganya?" Emosi sontak menyala. Permainan kotornya membuatku muak.

"Tidak, itu sudah jadi cerita lalu." Sikap Gaharu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja ditemui dan mempunyai kebencian padanya. "Kedatanganku khusus menemuimu. Aku ingin mengucapkan senang bertemu denganmu lagi."

"Jadi maksudmu, kamu susah payah menemuiku hanya untuk bilang halo?"

Tawa Gaharu memenuhi udara. Sekilas nadanya terdengar getir. Pandangannya sesaat beralih ke arah lain. Pada rimbunnya pepohonan di taman. Tangannya merogoh saku jaket, mengeluarkan secarik kertas lalu menyodorkannya padaku. "Ini nomor teleponku. Hubungi aku secepatnya."

Kutepis uluran tangannya dengan kasar. Ekspresi Gaharu bagai tak menyesali penderitaanku akibat perbuatannya menggurat kebencian di mataku. "Aku berharap ini pertemuan terakhir kita."

"Oh ya. Yakin kamu nggak berminat mengetahui siapa orang tuamu? Di mana keberadaan ayahmu?" Tangannya tidak lagi terulur namun kertas tadi masih berada di genggamannya.

Aku hampir tersedak ludah sendiri. Apa yang  Gaharu ketahui tentang orang tuaku. "Apa katamu tadi?" kataku setengah tak percaya.

Gaharu memakai kembali tudung jaketnya. Dia mengabaikan keterkejutanku. Dilewatinya diriku dan menaruh kertas tadi di meja teras. Tubuhnya lalu  berbalik menuju pagar. "Semua pilihan ada di tanganmu. Aku nggak akan memaksa kamu mengambil keputusan atau percaya. Lagi pula ini hidupmu bukan hidupku." Sosok bertubuh tinggi itu tersamar oleh derai hujan kala langit mulai gelap.

Kulirik meja teras. Pertanyaan besar menggantung di benak saat menatap kertas tadi. Setelah bertahun-tahun menghilang, alasan apa yang membawa Gaharu mengusik ketenanganku. Kemunculannya membuatku bingung setengah mati. Dia bahkan belum menjelaskan darimana tahu alamat tempat tinggalku.

Kepala terasa pusing. Berpikir berulang kali pun tidak juga menemukan jalan keluar. Semua terjadi terlalu tiba-tiba. Sesak melanda ketika membayangkan informasi Gaharu tentang asal usulku. Debar jantung perlahan berdegub tanpa irama. Antusias tanpa dasar mengalir seperti keringat dingin yang muncul di telapak tangan. Kemungkinan tindakan Gaharu hanya ingin mengelabuiku bukan sesuatu yang mustahil. Tapi dari dasar hati terdalam, sekali ini aku ingin percaya. Bila keajaiban itu ada, bila orang tuaku masih bernapas, aku ingin bertanya kenapa mereka memilih melepaskan kesempatan untuk membesarkanku. Apa salahku?

Jemari memijit kening yang berkerut. Gelak tawa dari acara komedi di  televisi tidak membantu memancing selera humorku.  Sebaliknya kepala terasa penuh oleh kebingungan. 

Semua kalimat tanya berakhir dengan kebuntuan. Menguras otak hingga pusing berakhir sia-sia. Aku tidak bisa menemukan satu jawaban yang masuk akal atau setidaknya memuaskan sedikit saja rasa penasaran. Logika telah tertinggal ribuan langkah. Percik kekhawatiran semakin menganggu mengingat jalan yang kutapaki bersama Priya mulai tumbuh seperti harapan.

Sisa malam terisi lamunan. Dengan sengaja pesan maupun panggilan dari Priya kuabaikan. Ada keenganan berbalut takut walau hanya sekadar menatap layar ponsel. Gaharu bukanlah sekadar masalah kecil dalam hubungan kami. Dia pernah menjadi duri dalam daging hingga kami pernah  terpisah dalam kesalahpahaman. Entah reaksi seperti apa yang akan Priya tunjukan bila mengetahui kemunculan Gaharu.

Aku menyadari, berkata jujur sedikit banyak bisa mengurangi beban. Terkadang melelahkan harus menyimpan masalah sendiri dan berpura-pura terlihat baik dari luar. Tapi sebelum itu terjadi, berbicara empat mata dengan Gaharu mungkin pilihan paling baik di antara yang terburuk.

Keesokan dan hari-hari selanjutnya ritme kehidupan berjalan seperti biasa. Tumpukan pekerjaan mengalihkan kekhawatiranku untuk sementara. Kebersamaan bersama Priya tidak mengalami perubahan. Kedatangan Gaharu hampir tidak dicurigainya. Sandiwaraku berhasil menutupi perasaan yang sebenarnya. Ini agak  menyedihkan, sering kali aku mengasihani diri sendiri. Ketika merasa terlalu sering menghadapi perihnya hidup, membuatku berpikir adalah hal biasa memainkan peran anak baik walau harus menutup kelemahan dengan kebohongan.

Di saat kepala penat bahkan mendekati stres. Aku mengambil memilih menghubungi Meta. Dia satu-satunya orang yang kupercaya mampu  menyimpan rahasia.

Meta sangat senang sekaligus mengomel karena sudah lama kami tidak berhubungan ketika kuhubungi. Jarak hanya memisahkan secara fisik namun tidak dengan hati. Aku malu sendiri karena selama ini lebih banyak menunggu daripada mengabarinya lebih dulu.

Meta tidak terkejut mendengar perkembangan hubunganku dengan Priya. Dia pernah memperkirakan kami akan menjalin kembali hubungan yang sempat terputus. Derai tawa mengiringi pembicaraan hingga topik Gaharu keluar dari bibirku.

"Gaharu datang lagi?" pekik Meta tak percaya. "Oh Tuhan. Ah aku belum sempat mengatakan ini padamu. Gaharu tiba-tiba berhenti kuliah tidak lama setelah kamu pindah. Dia nggak memberitahu alasannya. Teman-teman yang lain juga bingung."

"Dia pindah kampus?"

"Entahlah. Keberadaannya menghilang begitu saja seperti hantu. Kabarnya dia juga pindah rumah. Aneh saja dia keluar di saat persiapan kerja prakteknya tinggal menghitung hari."

"Met, tolong jangan bilang masalah ini sama Priya. Aku perlu mencari tahu dulu maksud kedatangan Gaharu. Aku nggak ingin menambah pelik masalah dengan perkelahian atau semacamnya. "

"Aku paham maksudmu. Lakukan yang menurutmu baik tapi usahakan selesaikan tanpa berlarut-larut. Kebohongan tidak akan selalu tertutup rapih, ada saja celah untuk menguak kebenaran. Di saat itu terjadi berikan  Priya penjelasan supaya kalian nggak terjebak dalam keadaan salah paham."

"Ya, kuharap semua nggak menimbulkan konflik baru. Aku hanya ingin hidup tenang."

"Ini menang nggak mudah tapi aku yakin kamu pasti bisa melewatinya. Kamu salah satu perempuan paling tegar yang pernah kukenal. Lebih baik  dinginkan kepalamu sebelum bertindak. Berpikir berat di saat stres hanya akan membuat konsentrasimu terbagi." Nasihat Meta menutup pembicaraan kami. Pundakku agak melemas.  Berbicara dengannya sedikit membantu meredakan ketegangan.

Kemunculan Gaharu menimbulkan kegelisahan berkepanjangan. Priya memang belum curiga. Ekspresi dan binar matanya tetap menyiratkan rasa cinta yang sama. Dia lebih dulu membuka hubungan kami di kantor. Tanpa canggung menempatkan posisinya sebagai kekasihku. Perlahan semua orang mengetahui hubungan kami. Rekan kerjaku ikut senang. Mereka berpikir kami belum pernah berhubungan sebelumnya.

"Dama, kamu mendengar pembicaraanku tadi?"

Kepalaku mendongkak, menatap seraut wajah heran. "Ah maaf, tentang cincin, kan?"

Di minggu siang seperti hari ini kami biasa  bertemu. Selain melakukan kegiatan layaknya pasangan lain, obrolan rencana pernikahan kami jadi salah satu topik tak terlewatkan. Usai menonton tadi, Priya membawaku ke sebuah restoran di mal yang sama.

Aku mencoba fokus pada pembicaraan kami. Tapi keringat dingin diam-diam membasahi telapak tangan saking tegangnya. Tenaga dan otak telah terkuras menutupi keadaan yang sebenarnya.

"Ada masalah? Kamu nggak fokus, melamun terus dari tadi."

"Nggak. Sepertinya aku butuh liburan," ucapku sambil menyuap cake di meja. 

"Kamu sedang ingin ke mana? Kita bisa  pergi jumat malam nanti dan pulang minggu sore," tawar Priya. Dia menyesap kopi pesanannya lalu menyandarkan tubuh ke belakang kursi.

"Berdua?"

Priya mengangguk pasti. "Cintaku bukan untuk memiliki kehormatanmu sebelum ikrar terucap kalau itu yang kamu khawatirkan."

"Jangan lupa, setan memiliki banyak cara mengelabui akal sehat. Ketika cinta diselimuti nafsu, logika menjadi barang langka."

"Perasaanku nggak melulu tentang  syahwat. Aku bisa bersabar. Semua memiliki waktunya." Jemari besar miliknya menyentuh daguku bersamaan dengan sorot mata yang menajam. "Ini hanya firasat atau kamu memang terganggu dengan kehadiranku?"

"Bukan begitu," ucapku hati-hati. "Aku hanya ragu mampu mengendalikan diri ketika berada satu ruangan denganmu. Cinta bukanlah milikmu seorang. Bagaimana bila aku bersikap seperti penggoda ulung, melupakan moral dan menuntut lebih dari sekadar ciuman."

Kening Priya berkerut. Sorot tajamnya  menyipit. Dia melepaskan wajahku. Punggungnya kembali bersandar dengan kedua tangan bersidekap . "Sejak pertama mengenalmu, sekalipun dirimu sering bersikap nekat tetapi untuk urusan asmara, ada batasan tegas yang kamu pegang. Setelah kita bertemu lagi, prinsipmu nggak berubah. Jadi apa yang membuatmu berpikir rela mengorbankan mahkotamu sebelum penghulu mensahkan ikatan antara kita?"

Balasan Priya menyentak seluruh kesadaran. Aku belum memahami sepenuhnya perkataannya tapi tanda bahaya bergengung dalam kepala. "Aku nggak bilang begitu."

"Apa kamu ingin mengikat hubungan kita dengan cara memanfaatkan naluri laki-lakiku? Mengusik kelemahanku?"

"Priya! Aku nggak sepicik itu." Aku menggeram pelan.

"Kalau begitu hentikan sandiwaramu. Kamu nggak pernah pintar berakting. Jelaskan alasan dibalik senyuman dan tawa palsu yang kamu pasang setiap hari. Aku tahu kamu menyimpan sesuatu." Suara Priya tetap tenang namun ketegasan kental mengalir.

"Setiap orang memiliki rahasia. Lagi  pula kita belum sepenuhnya mengikat janji. Hargailah sedikit privasiku toh aku nggak pernah menuntutmu menceritakan semua kisah hidupmu secara detail," elakku membela diri.

"Oh dugaanku benar. Kamu menyembunyikan sesuatu dariku."

Kami berdua terdiam. Aku mati kutu kali ini. Priya sangat menakutkan. Pandangannya tak beralih sedikitpun dariku. Tatapan tajam melayang layaknya ketika berhadapan dengan musuh.

"Waktumu untuk menjelaskan hanya sisa lima menit ke depan." Ancaman Priya membuat bulu romaku berdiri. Dia tidak terlihat senang. "Atau dengan senang hati aku akan melayani godaanmu."

Kami saling terdiam selama beberapa saat. Priya tidak memberi ruang untuk mengelak. "Baiklah," kataku sambil menghela napas pendek. "Aku akan jelaslan semua tapi berjanjilah untuk nggak memotong pembicaraan atau marah."

Priya meneruskan aksi diamnya. Kata terakhir yang kuucapkan membuat rahangnya mengeras.

Tanpa tahu harus mengawali kisah dari mana, aku mulai berbicara tentang pertemuan dengan Gaharu. Ketegangan menguar dari tubuh kami berdua. Suaraku memelan diliputi  gelisah.

Sebelum mengakhiri cerita, Priya mengusap wajahnya kasar. Api amarah menyala saat bola mata kami bertemu.

"Kebohongan apalagi yang masih kamu simpan?"

Kepalaku reflek menggeleng. "Semua sudah kuceritakan. Gaharu datang hanya sekali. Dia memberi nomor teleponnya dan itu menyangkut tentang asal usulku. Dia jugansudah mengetahui hubungan kita."

"Ada lagi?"

"Ngga, Pry. Aku berkata sejujurnya." Putus asa kucoba menenangkan getaran suara.

"Mana ponselmu." Meski cemas, terpaksa kuberikan benda kesayanganku. "Password?"

"Tanggal lahirku."

Satu menit kemudian Priya sibuk mengotak-atik layar ponsel lalu meletakannya di dekat telinga. Dia  tiba-tiba menyeret kursi lalu bangkit. Aku mendiamkan aksinya. Memperhatikan dirinya yang bergerak keluar dari restoran. Mulutnya terbuka,  tampak sedang bicara dengan seseorang sambil menyelipkan sebelah tangan di saku celana.

Selang sepuluh menit, Priya kembali dan meletakan ponsel di meja. "Selesaikan makananmu. Setengah jam lagi kita pergi."

"Pergi? Ke mana?" Kebingunganku  semakin membesar.

"Bertemu Gaharu."

Aku terbelalak. Berita yang seharusnya sudah kuduga sebelumnya tetap mengejutkan. "Kita akan ketemu di mana?"

"Dekat rumahmu yang lama. Sekarang selesaikan makananmu." Priya menghabiskan sisa kopinya.

Keadaan menjadi kurang nyaman. Priya tak bergerak. Dia seperti robot, kaku dan dingin. Bola matanya berputar mengikuti setiap gerak-gerikku. Selera makanku menguap.

Sesuai rencana, kami pergi menemui Gaharu setelah keluar dari mal. Aku tidak kuasa menolak ketika Priya mengenggam jemariku. Kelembutannya hilang. Dia tengah menunjukan kepemilikan atas diriku.

Sepanjang perjalanan di mobil, aku tetap membisu. Kepala mendadak kosong bagaikan bayi yang belum mengenal kata. Untuk menyalakan radio saja rasanya serba salah.

Mengalihkan pandangan ke luar jendela membantu mengurangi tekanan. Keramaian mencuri perhatian. Kusandarkan kepala di kaca jendela sampai Priya menarik lenganku. "Jangan menyandarkan kepala di kaca. Kalau mobil  mendadak berhenti, kepalamu nanti terbentur."

Aku menurut. Situasi kami bukan sedang bermesraan. Priya kembali berkonsentrasi pada jalanan.

Satu jam telah berlalu. Kami akhirnya sampai di gang dekat rumahku yang lama. Priya memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah kafe. Tempatnya kecil namun pengunjungnya lumayan banyak. Aku baru pertama kali datang ke tempat ini.

"Kita bertemu di sini?"

"Benar." Priya membuka pintu mobil.

Aku menghela napas panjang. Adrenalin semakin meningkat. Priya menyadari kegelisahanku. Aku mengkhawatirkan banyak hal termasuk bila dia tidak mampu mengendalikan emosi. Dengan sekian banyak orang di tempat ini, entah kekacauan seperti apa yang akan terjadi.

Genggaman tangannya meregang ketika  kami memasuki kafe. "Tenang saja, aku datang untuk bicara dengan kepala bukan otot."

Senyumku kecut. Masa depan tidak bisa ditebak. Mataku berkeliling, menyapu satu persatu pengunjung. Seorang laki-laki berkaus hitam menghentikan pencarianku.

"Itu dia," kataku pelan. Priya mengikuti arah pandanganku. "Laki-laki yang  duduk di dekat jendela."

"Ayo kita temui dia."

Langkahku terasa berat. Priya menoleh. Dia terlihat sangat tenang. "Bila dia mempunyai informasi tentang orang tuamu maka itu akan membantu  rencana pernikahan kita. Aku rela berdamai selama menyangkut kepentinganmu."

Kami akhirnya beranjak mendekat. Gaharu mendongkak tanpa senyum. Penampilannya tidak lebih rapih tapi warna kausnya tidak sepudar dari yang dipakainya tempo hari.

Priya menarik kursi untukku sebelum menyeret kursi lain di sampingku. "Lama tidak bertemu, Gaharu. Apa kabarmu?"

"Baik. Aku lihat kamupun begitu. Kalian mau pesan apa?"

"Kami baru saja makan. Jadi bisakah kita bicara ke inti permasalahan."

Gaharu terkekeh. Dia menyesap rokoknya. "Kenapa terburu-buru."

Mulutku mulai gatal. "Jangan banyak basa-basi. Apa yang kamu ketahui tentang orang tuaku?"

"Baiklah kalau kamu memang nggak sabar. Aku bisa memberikan alamat di mana tempat tinggal orang tuamu."

Priya tidak terusik sikap meremehkan Gaharu. Kedua tangannya bersidekap. "Apa yang kamu inginkan sebagai balas jasa informasi ini? Jangan bilang kamu melakukannya secara gratis atau merasa bersalah."

"Kamu benar, Pry. Semua nggak gratis." Gaharu tersenyum puas. "Tapi bukan uang yang kuinginkan."

"Lalu?" selaku tak sabar.

"Pengakuan."

"Pengakuan apa lagi?" Priya menepuk jemariku yang gemetaran.

Gaharu memalingkan wajahnya. Dia menghembuskan asap rokok ke arah jendela. Garis rahangnya mengeras. Kepalanya menggeleng pelan lalu menatap ke arahku. "Kamu tahu,  ayahku selalu melihatmu dengan cara berbeda. Dia selalu memperhatikanmu bahkan tanpa kamu sadari. Aku pikir dia sedang mengalami fase puber kedua. Tebakanku meleset. Alasan dia melakukannya karena darahnya mengalir di tubuhmu. Ayahku adalah ayahmu hanya saja kita dilahirkan oleh ibu yang berbeda. Aku sodaramu, satu-satunya sodaramu di dunia ini."

Tbc

Selamat puasa untuk yang menjalankan. Maaf ya belakangan ini agak lelet update. Selain kondisi badan yang naik turun, waktu author buat nulis sedikit terbatas karena kesibukan lain. Tapi tetap berusaha supaya semua cerita bisa selesai.

Have a nice day. Sampai jumpa di cerita lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro