Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20

Priya rupanya benar-benar serius. Pembicaraan tempo hari mengenai pencarian asal usulku dibuktikannya dengan meminta bantuan beberapa orang. Sebelum melaksanakan niatnya, dia sempat memberiku sejumlah pertanyaan mengenai kehidupan semasa kecil. Ingatan samar tidak membantu. Sepanjang mampu mengingat, sosok yang kuanggap keluarga hanya Mimih.

Bukan kegiatan menyenangkan setiap kali mengorek masa lalu. Kesedihan mengiringi jejak langkah. Sindiran, perkataan kurang enak didengar hingga tuduhan yang menyakitkan hati kerap menjadi makanan sehari-hari. Tidak terhitung seberapa banyak waktu habis untuk menangis. Dan sadar bahwa dikala diri ini rapuh, Mimih selalu jadi pelindung.

Priya mengetahui bahwa tindakannya akan berefek padaku. Suka tidak suka, pilihan melanjutkan hubungan memang mengharuskan melalui cara ini. Kami diperbolehkan menggunakan wali hakim bila ujung pencarian berakhir buntu.

Keseriusannya berlanjut ke kantor. Priya mulai tak segan menunjukan kepemilikannya atas diriku. Teman-temannya kebingungan melihat laki-laki yang biasanya tidak banyak bicara kini sering tersenyum lepas terutama ketika berada di sekitarku. Perasaan sedikit lega karena banyak mendapat respon positif.

"Kamu nggak ingin tahu kabar pencarian keluargamu?" Priya mengingatkan topik yang belakangan ini sering kami bahas. Biasanya kami membicarakannya setelah jam kantor selesai.

"Sejujurnya aku masih ragu ingin mencari keberadaan mereka. Bisa saja kehadiranku memang nggak diinginkan. Walaupun akhirnya ketemu, belum tentu keberadaanku berarti bagi mereka." Kuaduk jus lemon sambil sesekali menyesapnya. Rasa asam dirasa membantu membuka mata dan menajamkan ingatan.

Priya tersenyum. Jemari besarnya mengusap punggung tanganku. Sesaat aroma kegelisahan teralihkan. "Sepahit apapun kenyataan, jangan lupakan aku yang  menginginkanmu." Diangkatnya tanganku lalu diciumnya sangat lembut. "Selama ini kamu begitu teguh mempertahankan konsep persahabatan tanpa melibatkan asmara. Ketika perasaan kita akhirnya terikat, melepasmu merupakan salah satu mimpi terburuk. Aku nggak ingin mengalaminya untuk kedua kali."

Aku justru ingin tertawa. Dia mungkin berniat menyemangati tapi terkesan sedang melancarkan aksi rayuan maut. "Yakin kamu nggak akan berubah pikiran? Menikah dan pacaran itu dua kondisi yang berbeda. Perubahan pasti ada. Perceraian juga nggak pandang bulu bahkan pada pasangan yang  saling mencintai sekalipun ."

"Aku nggak akan membuang waktu bersamamu bila berpikir seperti itu. Aku bahkan nggak sabar menjadikanmu sebagai kekasih yang halal. Pendamping dunia akherat."

"Calon suami yang baik," ucapku sambil terkekeh.

"Tentu saja karena ada calon istri super tegar." Pujiannya membuat senyumku kikuk. "Hanya kamu yang kupercayai mampu bertahan mendampingiku ketika badai menguji rumah tangga kita. Aku tahu dirimu nggak mudah menyerah dan meninggalkan kenangan manis saat perjalanan hidup meleset dari harapan."

"Hentikan pujianmu sebelum kamu menyesalinya." Kupijit hidung mancung Priya. "Aku nggak akan berbaik hati setelah menikah nanti. Bersiaplah mendengar omelanku. Nikmati keluh kesahku. Kemanjaanku yang terlihat kekananakan. Belum lagi aku akan sangat cerewet kalau urusan keuangan."

Priya terkekeh. Sorotnya meredup dan kutemukan pancaran kasih sayang tulus. "Bukan masalah. Silahlan mengomel, mengeluh, bermanja dan cerewetlah hanya padaku karena aku tahu kamu pun rela menerima semua kurangku. Sepadan bukan."

"Ah sudahlah. Aku bisa diabet mendengar kata manismu tanpa henti. Kita pulang saja ya. Sudah malam."

Anggukan Priya mejawab permintaanku. Di luar langit mulai beranjak gelap. Bulan telah mengganti tugas matahari. Kelelahan mengantar kami menuju kediaman masing-masing.

Keesokan hari, aku mendapat pesan dari Leorin. Dia mengajak bertemu. Awalnya tawaran itu ragu untuk kuturuti. Setelah rangkaian masalah, berhubungan dengan perempuan atau mantan kekasih Priya bukanlah topik menyenangkan. Tentu saja logika dan akan sehat masih berperan. Masa lalu telah tercatat. Mengubahnya adalah sesuatu paling mustahil di dunia.

Tapi aku lelah berlari. Ketenangan sulit diraih bila menghindari kenyataan. Untuk itu aku berusaha menenangkan pikiran. Bertindak sedewasa mungkin dan menghadapi masalah di hadapan.

Pendapat Priya masih meragukan. Aku tidak bisa memastikan reaksinya bila kuberitahu rencana pertemuan dengan Leorin. Lagi pula ini kesempatan untuk mencari tahu sosok Priya dalam kehidupan yang tidak kuketahui. Jarak pernah memisahkan kami dan sisi kosong itu terisi perempuan lain.

Kami berencana bertemu setelah aku tiba di tempat kos. Priya bisa curiga bila aku menolak diantar pulang.

Seperti yang telah dijanjikan, Leorin menunggu di sebuah kafe tidak jauh dari tempat tinggalku. Biasanya suasana di malam hari agak ramai. Sekalipun tempatnya berukuran tak terlalu besar, dengan harga murah dan rasa makanan tidak kalah lezat dari restoran mahal, tempat ini nyaris jarang sepi.

Dia tersenyum ramah ketika kuhampiri. Jenis senyuman tulus dan bukan sekadar basa-basi. Sorotnya lembut seperti selembut midi dress hitam polos yang dikenakannya. Rambut panjang sebahu dibiarkan terurai. Kehadirannya berhasil menarik perhatian banyak pasang mata.

"Malam, Kak. Maaf ganggu waktunya." Leorin berdiri ketika jarak kami tersisa beberapa meter.

Kepalaku mengangguk. Priya dan perempuan ini tampak serasi bila disandingkan. Dalam hati, segurat kecemburuan terbersit. Konyol bukan.

"Nggak apa-apa. Bagaimana kabarmu?" tanyaku sambil menarik kursi di hadapannya.

Leorin kembali duduk. Raut sumringah masih terpasang. Dia terlihat bahagia. "Aku baik-baik saja." Disodorkannya sebuah undangan berwarna emas. "Aku ingin mengundang Kakak."

Alasan perpisahannya dengan Priya melintas. Perut perempuan itu tersembunyi dalam pakaian agak longgar. "Semoga acara berjalan lancar ya."

"Terima kasih, Kak. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar. Mungkin ini salah satu tanggung jawab meski keluarga menanggung malu." Senyumannya sesaat berubah getir. "Aku sudah mengetahui hubungan Kak Dama dengan Priya. Dia laki-laki yang baik. Sikapnya selalu melindungi walau aku bukanlah perempuan pilihan hatinya. Cinta memang nggak bisa dipaksa."

Keadaan mendadak canggung. Perkataan Leorim membuatku merasa seolah sebagai orang ketiga. Penghancur hubungan keduanya.

"Maaf. Aku nggak bermaksud menyinggung perasaan. Justru sekarang aku lega karena Kak Priya telah menemukan belahan jiwa yang selama ini dia tunggu. Aku harap kalian  bahagia," ucapnya lugas.

"Aku pun berharap kamu nggak kalah bahagia dengan kami. Priya pasti mendoakan yang terbaik untukmu."

Kami berdua saling melempar senyuman. Pembicaraan dilanjutkan dengan persiapan pernikahan. Leorin menunjukan antusiasnya. Syukurlah, calon suaminya rupanya menunjukan penyesalan dan bersungguh-sungguh ingin memperbaiki keadaan dengan menjadikan dirinya bagian dari keluarga.

"Oh ya, kamu tahu Gaharu? Teman sekelas Priya?"

Leorin mengangguk. "Kak Priya jarang membahas masalah pribadinya tapi dia nggak suka dengan laki-laki itu. Kak Priya nggak bilang kalau Gaharu berhenti kuliah nggak lama setelah Kakak pergi? Ada yang bilang dia pindah ke kampus atau kota lain. Sosoknya menghilang dan nggak pernah kelihatan lagi di kampus."

Penjelasan Leorin sangat mengejutkan. Priya memang belum pernah berbicara tentang Gaharu. Wajar bila kebencian membuatnya menutup mulut walau sekadar menyebut nama. Tapi kabar menghilangnya Gaharu bagiku masih terasa membingungkan. Tidak pernah terbersit laki-laki itu akan pindah kampus mengingat pada waktu itu tengah persiapan kerja praktek.

Setelah pertemuan dengan Leorin, aku belum sepenuhnya tenang. Di mana dan kenapa Gaharu memutuskan pindah dari kampus kami muncul dalam tanda tanya besar. Itu bukan urusanku tapi tetap saja mengenyahkannya bukan perkara mudah.

Demi kebaikan bersama, semua hal yang berhubungan dengan Gaharu sebaiknya tak perlu muncul.

Untuk sementara keadaan tampak normal. Priya disibukan dengan pekerjaan kantor dan pencarian asal keluargaku. Ritme kehidupan kami mulai selaras layaknya pasangan lain. Perlahan meski lambat, hubungan dengan orang tua Priya menunjukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Pertengkaran, perdebatan maupun kemarahan tidak lepas dari cara kami menjalin asmara. Ego dan keras kepala berlomba-lomba mencari pemenang. Namun perasaan sayang selalu mempunyai tempat di hati.

Suatu sore, seperti biasa aku beranjak meninggalkan kantor ketika jam menunjukan pukul lima lewat. Priya mengantar hingga tempat kos setelah sebelumnya setengah memaksa mengajak makan malam dan berbelanja cemilan untukku.

Aku selalu menahan tawa setiap kali melihat kecemburuan atau posesifnya.  Proses menjajaki hubungan serius kami diawali perkenalan dengan saling sindir. Kesan pertamaku padanya sama sekali bukan sesuatu yang baik.

Priya memang tipe laki-laki humoris. Ada saja akal atau obrolan yang membuat orang di sekitar memasang senyum atau tertawa. Keramahan menjadi daya tarik untuk memikat perempuan bahkan para senior.

Aku mungkin pengecualian di antara sekian perempuan yang memilih menghindarinya. Priya tidak pernah membuat masalah atau jengkel namun  melihatnya selalu dikelilingi perempuan membuatku jengah. Dia bersikap bak Don Juan, seolah tak pernah khawatir stok penggemarnya menipis.

"Sedang memikirkan apa?" Priya menaruh tangan kirinya di pinggangku. 

Kulepas paksa rangkulannya mengingat kami masih berjalan di antara pemukiman. "Ingat waktu kita masih gengsi buat berteman."

Priya terkekeh. Jemarinya beralih mengusap rambutku. "Sifat menyebalkanmu nggak pernah berubah. Cuma kamu yang bilang aku kayak tiang listrik dan terang-terangan bilang diriku bukan seleramu. Padahal ada banyak perempuan yang mencari perhatian. Kamu bahkan lebih menanggapi Gaha... " Rautnya berubah  geram. "Si berengsek itu," lanjutnya lalu menutup mulut.

"Jalan kehidupan seseorang memang berbeda-beda. Aku nggak pernah menyangka akan berjalan bersamamu seperti sekarang. Asal usulku nggak jelas. Sejak kecil, orang-orang terbiasa memandang sebelah mata. Bisa hidup seperti keluarga pada umumnya itu sudah menjadi kemewahan bagiku. Terlepas peliknya hubungan kita, aku bersyukur memilikimu."

"Jika aku melewatkan kesempatan mendapatkanmu, penyesalan akan mengiringi sisa hidupku." Senyuman di wajahnya kembali menyungging. Bola matanya bergerak-gerak dengan mimik jenaka. "Betapa bodohnya diriku jika melewatkan kesempatan mendapatkanmu untuk kedua kali."

"Lalu bagaimana jika keberadaanku di dunia ini ternyata bukan sesuatu yang bisa dibanggakan? Apakah kamu masih bisa berkata nggak akan menyesal berada di sampingku?"

Priya menatap lurus. Langkahnya tidak terhenti. "Kamu nggak bisa menentukan ingin lahir di keluarga seperti apa. Kalaupun orang tuamu memang sengaja meninggalkan dirimu, aku nggak mempermasalahkannya. Yang harus malu itu orang tuamu, bukan bayi yang sengaja  mereka tinggalkan di rumah keluarga lain."

"Bukan begitu. Pacaran atau menikah itu bukan hanya tentang kita berdua. Keluarga juga termasuk di dalamnya. Aku cuma khawatir, keberadaanku justru membuat keluargamu nggak  nyaman. Kadang aku merasa tak cukup  baik bagimu. "

Genggaman tangan Priya semakin menguat. "Di hadapan Tuhan, kita itu hanya manusia yang memiliki banyak kekurangan. Dan bukan pula segunung harta maupun tingginya jabatan yang membawa kita ke surga." Dia menghela napas panjang. "Cintai aku dengan tulus. Setialah hingga waktu kita di dunia telah selesai. Maka aku akan beri semua cinta, kasih sayang, baik itu hati maupun materi sampai kamu tak punya waktu meratapi masa lalumu."

Getaran hangat menyelimuti seluruh tubuh. Priya mungkin sedang mencoba menyemangati. Mengucapkan kata-kata penuh agar harapan tetap berpijar. Yah, sekalipun dia berbohong,  aku akan tetap mempercayainya.

Dia memiliki kesempatan mencari perempuan yang lebih baik dibanding menjadi benteng pertahananku namun alih-alih memikirkan kebahagiaan lain di luar sana, Priya berdiri bersamaku. Pilihan itu tidak berubah sejak kami mulai bersahabat.

Kepalaku terangkat. Rasanya sikapku terlalu berlebihan. Terlalu mendengar ketakutan hingga melupakan pengorbanan dirinya. "Terima kasih."

Priya melirik sekilas lalu memutar pandangan ke arah depan. "Tersenyumlah. Biarkan aku sedikit bernafas lega karena usaha membuatmu bahagia tak sia-sia."

Senyuman lebar menyungging di wajahku dengan sikap dibuat-buat. Priya mendesis sebal. Aku tertawa. Selalu menyenangkan melihatnya gusar karena kewalahan menghadapiku.

Di depan gerbang tempat kos, Priya segera pamit. Kami berkomitmen untuk menghabiskan waktu pada saat malam minggu atau hari libur. Permintaan ini berasal dariku. Sebisa mungkin aku ingin Priya memiliki momen bersama keluarganya. Lagi pula di hari biasa, kondisi kami sudah cukup lelah oleh beban pekerjaan.

Setelah sosok Priya menghilang dari pandangan, aku bersiap melanjutkan langkah menuju pintu rumah. Membersihkan diri dan menonton film terbayang akan sangat menyenangkan.

"Damara." Suara laki-laki terdengar dari belakang.

"Ada apa lagi, Pry?" tanyaku sembari membalikan badan.

Seseorang memakai sweater hitam berdiri di hadapanku. Kepalanya agak menunduk. Topi yang dia pakai dan temaramnya cahaya menyulitkan pandanganku. Bila diperhatikan lebih saksama, sosoknya mengingatkan diriku pada laki-laki yang kulihat saat menemui Tante Micha.

"Mas siapa ya?" Sengaja kakiku mundur beberapa langkah demi menghindari bila laki-laki itu berniat buruk.

Mataku terus mengawasinya. Perlahan dia mengangkat wajah dan membuka topi. "Malam, Dama. Senang bertemu lagi denganmu."

Ya Tuhan. Senyuman sinis itu. Gaharu?

Tbc

Dikarenakan Author masih flu 😷. Harap sabar nunggu antrian update cerita selanjutnya ya. Terima kasih. Selamat malam semua. Oh ya cuaca lagi kurang baik. Jangan lupa jaga kesehatan 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro