Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 19

"Damara?" Untuk kesekian kali tepukan di bahu mengejutkan. "Kamu sedang melihat apa? Dari tadi melamun terus." Tante Micha mengikuti arah pandanganku.

Kepalaku menggeleng, membalikan badan hingga menghalangi pandangannya. "Bukan apa-apa, cuma sedang mengingat-ingat daerah sekitar sini."

"Kita bicaranya di rumah saja ya sambil makan."

Aku menurut, kebetulan perutku mulai keroncongan. Tapi keberadaan laki-laki masih menyisakan tanda tanya meski sosoknya telah hilang. Selagi aku bicara dengan Tante Micha, laki-laki itu pergi entah kemana.

Rasanya mustahil membayangkan Gaharu bergaul dengan orang-orang di lingkungan daerah padat dan keras seperti ini. Penampilannya pun selalu terkesan berkelas. Dia memang tidak terang-terangan memamerkan benda-benda miliknya namun penghuni kampus terutama di fakultasku sudah mengetahui latar belakang keluarganya.

"Apa yang sedang kamu lamunkan, Dama." Tante Micha menyodorkan bungkusan nasi padang di atas piring. "Keningmu berkerut seperti memikirkan sesuatu."

"Terlalu banyak pikiran di kepalaku, Tante. Bicara sampai pagi pun tidak akan selesai."

Tante Micha terkekeh. Dia kembali menyodorkan gelas berisi air minum lalu membuka pintu hingga sepenuhnya terbuka. Udara yang berhembus lembut, meredakan hawa panas di ruangan. "Kamu bisa menginap di sini dan Tante akan anggap ceritamu sebagai pengantar tidur."

Aku mulai menyuap. "Aku tidak tega membiarkan Tante bermimpi buruk setelah mendengar ceritaku."

Tante Micha duduk kembali di tempatnya semula. Kursinya melesak saat tubuh besarnya menghempas. "Tante pernah melewati deretan kenyataan yang lebih buruk dari sekedar mimpi. Tambahan cerita darimu tidak akan berpengaruh. Tante justru senang bila sedikit berguna untukmu."

"Tante sudah aku anggap seperti keluarga sendiri jadi kata berguna rasanya kurang tepat."

"Benarkah? Lalu kenapa kamu baru datang sekarang? Jangan bilang kamu baru datang di kota ini."

Aku hampir tersedak makanan di tenggorokan. Cengiran membayang di wajah. "Maaf, Tante. Aku sudah berniat sejak lama untuk menemui Tante. Hanya saja tumpukan pekerjaan sering kali memperparah penyakit lupa."

"Ya sudahlah. Tante tahu kamu harus bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri." Dentingan sendok yang beradu di piring mengiringi pembicaraan kami. "Lalu sekarang kamu sudah punya pacar?"

Wajah Priya melintas. Getaran hangat menggema, meneriakkan sejuta kata rindu. "Tante sendiri bagaimana? Sampai kapan mau tinggal sendiri atau jangan-jangan sudah ada yang siap melamar."

Rona merah bersemu di wajah perempuan paruh baya yang tidak lagi kencang. Garis kerutan menjadi tanda kemudaannya telah termakan usia. Namun, binar di bola matanya tidak berubah. Cinta tergambar di sana.

"Kamu bisa saja," ucapnya menahan malu. "Bagi Tante, perempuan yang pernah jadi santapan pria hidung belang, bermimpi mempunyai keluarga merupakan barang mahal. Cap buruk itu terlanjur melekat walau telah menjauh dari kubangan dosa."

Aku meneguk habis air di gelas. "Tapi?" Perkatan Tante Micha bagiku terdengar masih menggantung.

"Ada seseorang. Dia seorang penjaga keamanan ruko di dekat gang masuk, duda tanpa anak. Dia berniat melamar Tante." Suara Tante Micha merendah. Kesedihan mengisi setiap kata.

"Jodoh itu milik semua manusia. Kita tidak pernah tahu siapa dan kapan datangnya. Bila memang Tante yakin, kenapa harus memusingkan masa lalu. Toh laki-laki itu bersedia menerima Tante termasuk catatan kelam saat muda." Kupandangi perempuan di sampingku. "Tante berhak bahagia."

Tante Micha menyandarkan tubuhnya ke belakang. "Kamu sendiri gimana? Sudah dapat pengganti mantanmu saat kuliah."

"Tunggu kabar baik saja, Tante," jawabku singkat. Kami masih memiliki banyak waktu untuk membicarakan kehidupan asmaraku. Pasalnya, Tante Micha sempat menuduh Priya sebagai biang perpisahan dengan teman dekatnya, Mimih.

Kami bicara cukup lama hingga senja mulai menguning. Matahari segera kembali ke peraduan. Aku pun bergegas pamit meski awalnya mendapat penolakan. Beralasan ada keperluan lain, Tante Micha akhirnya melepasku dengan permintaan agar mengunjunginya lain waktu.

Sepanjang jalan pulang, ingatan melayang-layang. Mereka ulang adegan demi adegan kejadian tadi tak terkecuali kehadiran sosok yang mengingatkan pada Gaharu. Ah seharusnya aku bersikap masa bodo pada laki-laki itu. Bagaimanapun bentuk pertemanan kami dulu, dia telah merusak kebahagiaanku.

****

Hujan menyambut di keesokan pagi. Suasana paling menyenangkan untuk bermalas-malasan sepanjang hari. Kebetulan kantor juga masih libur, tidak ada gerutuan karena pakaian atau rambut terkena tetesan air dari langit. Sayang, persediaan makanan sudah habis, itu artinya mau tak mau aku harus mengangkat badan dari tempar tidur.

Tanpa semangat, setelah membasuk wajah dan gosok gigi, aku mengganti pakaian. Kaus oblong kebesaran dan celana pendek selutut kuambil asal dari tumpukan baju di keranjang yang belum sempat dimasukan dalam lemari. Sebuah payung dengan kondisi kurang layak pakai terpaksa jadi pilihan.

Hembusan angin dingin menusuk kulit begitu sampai di teras. Hujan rupanya semakin deras dan aku lupa memakai jaket.

"Kamu mau ke mana?" Sapaan berat terdengar saat payung terbuka.

Bola mata sontak beralih pada sumber suara. Seorang laki-laki tengah bersandar pada dinding di sudut rumah. Kedua tangannya bersidekap. Matanya menyipit kala tersenyum. Dia memakai kaus polo biru dan celana motif loreng pendek. Sandal hitam melengkapi penampilannya. Rambut yang mulai panjang terlihat agak berantakan.

"Priya?" Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Belum sempat melanjutkan reaksi, angin berhasil mengangkat payung dalam genggaman hingga semua jari-jari di dalamnya melengkung ke atas.

"Aku rasa gajimu lebih dari cukup untuk membeli sebuah payung." Priya berjalan mendekat.

"Aku memang berencana membelinya setelah yang satu ini rusak," gerutuku sambil berusaha mengembalikan payung ke posisi semula. "Kamu kapan sampai? Bukannya kemarin pergi dengan keluargamu."

Usapan lembut terasa menyentuh kening. Priya berhati-hati mengusap sisa jejak tetesan air di ujung rambut. "Kemarin malam. Kami sudah lama tidak bepergiaan bersama tapi rasanya ada yang kurang. Percuma saja berlibur kalau seluruh isi kepala malah membayangkan wajahmu."

"Jangan childish begitu. Aku tidak enak pada keluargamu. Seharusnya liburan kalian bisa menjadi momen untuk mengembalikan ikatan keluarga. Kita bisa bertemu lain hari."

"Tenang saja, ada dua adikku yang menjaga." Priya menepuk pelan puncak kepalaku. "Lagi pula ini bukan soal kekanakan atau bukan. Aku hanya sedang merindukanmu dan solusinya adalah bertemu. Yang penting, sebagai anak, tugasku mengantar keluarga ke tempat tujuan sudah selesai."

Bibirku mencibir. Kami memang cukup keras kepala. "Kalau begitu bantu aku. Tunjukan fungsimu sebagai laki-laki."

"Fungsi? Aku tidak keberatan menunjukan kemampuanku tapi nanti, setekah kita menikah."

Kusikut perutnya dengan wajah semerah tomat. Priya bergeming. Kedua alisnya naik turun dan diakhiri pelukan gemas. "Imajinasimu terlalu tinggi, Tuan. Setidaknya lihat situasi. Apa jadinya kalau ada yang mendengar."

"Tapi situasinya memang mendukung, Sayang." Pelukannya semakin erat. "Secara usia, pekerjaan maupun mental, rasanya aku sudah pantas untuk melepas masa lajang. Toh calon istrinya sudah ada. Masa kamu tega membiarkan kita berkubang di lautan dosa."

"Kepalaku habis kesambar petir ya? Kalau tentang dosa, kendalikan nafsumu. Pernikahan bukan sekadar urusan di tempat tidur. Kita bahkan baru bicara dengan keluargamu sekali."

"Justru menikah adalah caraku membuktikan kesungguhan arti kata cinta. Aku lebih leluasa untuk melindungi, menjaga dan memberi kehidupan. Sesuatu yang terbentur batasan pada saat ini. Dan untuk masalah di tempat tidur, itu bagian tak terpisahkan dari rumah tangga atau... " Priya sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Berhenti berpikir macam-macam," gerutuku. "Mana payungmu?"

"Aku tidak membawanya. Hujan belum turun saat aku datang. Tapi sepertinya aku punya satu di kamar kosku. Tunggu sebentar, aku ambil dulu." Priya bergerak menuju bangunan di seberang. Tubuh tingginya menghilang setelh melewati pagar. Selang beberapa menit dia muncul dengan membawa payung. 

Cuaca dingin menyurutkan niat pergi membeli makanan. Priya menggeleng kepala, mendengarkan dengan saksama apa saja pesananku. Dia mengatakan sebelum pergi bahwa kamarnya tidak terkunci. Aku mengerti apa maksudnya. Secara tak langsung, dia ingin aku menunggu di kamarnya. Bisa dibayangkan setebal apa debu di ruangan itu.

Kamar kos Priya nyaris kosong. Tersisa karpet dan meja kecil di tengah ruangan. Aku mengerang pelan setelah memutarkan pandangan ke seluruh ruangan. Akan butuh waktu tidak sebentar menghilangkan debu dan membuatnya layak ditempati. Dengan sebelah tangan menutup mulut sebagai pengganti masker, aku meraih sapu di sudut ruangan dekat kamar mandi. 

Pintu dan jendela sengaja dibuka selebar mungkin untuk mengusir bau apek. Di temani rinai hujan, aku mulai bergerak mengelilingi ruangan. Membersihkan jejak sarang labar-laba di atas atap. 

Hujan mulai mereda saat aku keluar dari kamar untuk membuang debu ke tong sampah. Suasana sangat sepi. Seperti halnya di tempat kosku, sebagian penghuni kos di sini kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Beberapa yang memilih tinggal mungkin lebih senang berada di dalam kamar daripada menghabiskan waktu di hari hujan seperti sekarang. 

Sudut mata tiba-tiba menemukan seseorang berdiri di dekat pagar. Tubuhnya tinggi dan memakai sweater. Dia berdiri dekat dinding hingga hampir menempel sambil menelepon. Payung yang digunakannya tampak rusak sebelah. Bahu kanannya basah oleh hujan tapi dia terkesan tak peduli. Sayang, wajahnya tidak bisa terlihat dengan jelas karena kepalanya tertutup oleh tudung sweater. 

Di dorong oleh rasa penasaran, aku berjalan mendekat. Entah kenapa saat melihat orang itu, ingatan memutar peristiwa ketika mengunjungi Tante Micha. Mungkin aku terlalu berlebihan dan mungkin saja orang itu hanya sekadar lewat. Tapi memastikan tidak ada salahnya apalagi sekarang banyak modus pencurian. 

Ketika jarak menyisakan beberapa langkah, orang tadi bergegas pergi. Selang beberapa menit, Priya muncul dengan dua plastik besar. Payung yang dipakainya berada di salah satu plastik. "Kamu kenapa di sini?"

"Kamu tidak lihat?" Kutunjuk sapu dan pengki dengan wajah. "Kamu pasti sengaja menyuruhku menunggu di kamarmu." Setengah mati aku berusaha bersikap wajar. Menghindari topik tentang laki-laki lain terutama Gaharu merupakan pilihan terbaik.   

Priya berjalan melewatiku. "Aku tidak memintamu melakukannya. Sekalipun begitu, anggap saja latihan sebelum kita menikah. Di mana kita akan terbiasa bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Aku tidak  keberatan membantu menyiapkan sarapan saat kamu sibuk membereskan rumah."

Aku mengikuti langkah Priya. Laki-laki itu terdengar serius ingin menghalalkan hubungan kami. Satu demi satu masalah di antara kami memang terbuka. Keadaan sudah lebih membaik dibanding awal pertemuan kami. Restu keluarga Priya bukan lagi halangan setidaknya Tante Sinta telah memberi izin. Rekan kerja di kantor juga tak terlalu bermasalah. Kami berhubungan setelah pertunangan Priya berakhir. Semua terlihat tanpa kendala namun masih ada pekerjaan yang mengganjal. Sebelum memastikan semua terjadi, aku harus lebih dulu mencari tahu latar belakang keluargaku.

Sepanjang sisa hari kami menghabiskan waktu bersama. Tentunya setelah menghabiskan hampir satu jam membersihkan ruangan. Kami berbicara tentang banyak hal tanpa gangguan ponsel atau televisi. Kehangatan menguar di udara. Suasana menyeret memori saat kami masih sepasang sahabat. Perasaan yang menyenangkan. Perbedaannya, kali ini ada percikan hangat mengalir dalam nadi. Gejolak di perut setiap pandangan bertemu. 

"Ah perutku kenyang sekali dan sekarang aku ngantuk." Bungkusan kosong makanan ringan berceceran di meja. 

Priya tersenyum. Punggungnya bersandar pada dinding. Dia meneguk habis kaleng berisi cola. Sebelah tangannya menopang pada lutut kanan yang menekuk. "Mau kembali ke kamarmu?"

Kubereskan bungkusan makanan ringan pada plastik lalu mengelap meja dengan tisyu. Setelah memastikan telah bersih, kepala kurebahkan di meja. "Berada di dalam selimut pasti hangat tapi." Bola mata melirik padanya. "Aku belum ingin berpisah denganmu."

Priya melepas jaketnya lalu bergerak mendekat. Dia menaruh jaketnya di punggungku. "Tumben bilang begitu? Biasanya itu kata-kataku."

Kedua tangan naik ke atas meja, menjadi sandaran kepalaku. Mata perlahan terpejam. "Jangan ge er dulu. Aku mengatakannya sebagai balasan karena kamu sudah berbaik hati membelikan makanan."

"Tidurlah kalau begitu." Belaian mengusap pipi. "Tapi sebelum bermimpi, aku ingin mengucapkan sesuatu."

Mataku sontak terbuka. Bukan karena penasaran dengan kalimat terakhir Priya tapi sentuhan lembut menekan bibir.

Wajah kami sangat dekat. Aku bisa merasakan aroma mint dari hembusan napasnya. Otakku mendadak kosong. Priya mengartikan sikap diamku sebagai tanda untuk melanjutkan aksinya.

Laki-laki itu memiringkan wajahnya, menekan lebih dalam bibirnya. Paksaan lembut yang membuat bibirku terbuka. Seluruh indera menjadi lebih sensitif. Akal sehat sibuk menasehati namun naluri telah menutup kesadaran bahkan rasa malu.

Kepalaku sedikit terangkat demi membalas ciumannya. Hawa dingin tidak sanggup meredap getaran panas di sekujur tubuh. Suara yang tercipta bagai alunan musik seksi.

Tanpa sadar, tanganku bergerak dari tempatnya. Perlahan meraih belakang kepala Priya dan menekannya. Laki-laki itu mengikuti keinginan kekasihnya. Ciuman keduanya semakin intens dan dalam. Gelora menuntut lebih dari sekedar pagutan.

Erangan lirih keluar dari bibir ketika lidah Priya menjelajah, memasuki hangatnya mulutku. Tepat di saat suaraku terdengar, Priya menghentikan ciuman kami.

Untuk beberapa menit kami terdiam meski begitu pandangan tidak beralih dari satu sama lain. Kabut di mata Priya masih berkelebat. Sorot yang menyiratkan hasrat itu belum hilang. Dan, entah kenapa dia terlihat lebih  maskulin. Aku sendiri dilanda gugup. Jarang sekali emosi tidak terkendali seperti tadi.

"Apa tadi suaraku keras sekali?" Kupalingkan wajah ke arah pintu. "Menurutmu ada yang melihat ci... ciuman kita?" lanjutku berusaha menutupi kikuk.

Priya tiba-tiba berdiri. Aku mendongkak, menatapnya cemas. "Kamu mau ke mana?"

"Ke depan sebentar buat meredakan ketegangan. Merokok boleh ya?" Raut masam Priya menahanku untuk tertawa. Ketenangannya memudar.

"Tapi jangan banyak-banyak. Aku tidak ingin kamu sakit sebelum ijab qabul."

"Tidak akan sakit..." Langkahnya menuju pintu terhenti. "Kamu bilang apa tadi? Ijab qabul."

"Iya. Kenapa?"

Priya kembali menghampiri. Dia duduk bersila sehingga kami berhadapan. "Kamu bersedia menikah denganku?"

"Aku tidak bilang dalam waktu dekat." Sudut bibirnya terangkat. "Tapi keinginan memilihmu rupanya telah berkembang jauh lebih besar dari perkiraan. Jadi apa itu bisa dikatakan bersedia?"

Pelukan melingkar erat tubuhku. "Aku tahu ini bukan momen romantis tapi terima kasih. Semenjak kita berpisah, kupikir perasaan ini hanya akan tersimpan dalam bayangan semu." Suara Priya bergetar. "Kamu tidak pernah tahu sebahagia apa diriku sekarang."

Kuusap pelan punggung kokohnya. Merebahkan kepala di lekukan lehernya. Menghirup sebanyak mungkin aroma tubuhnya. Kalimat balasan tercekat di tenggorokan. Aku pun merasakan kebahagiaan yang sama. Rasanya sulit dipercaya ada laki-laki yang mendamba perempuan seperti diriku.

"Maaf, aku ke luar dulu. Otakku sedang tidak beres." Kedua tangan yang melingkar terlepas dari tubuhku. Priya bangkit. Wajahnya memerah. Punggung tangan kanannya menutup bibir sambil menggeleng. Dia melangkah dan bersandar pada pintu.

Aku meletakan wajah kembali di meja. Asap rokok tercium samar. "Sebelum idemu terlaksana. Kia harus lebih dulu mencari laki-laki yang akan menjadi wali nikahku, Pry. Kamu mengerti maksudku?"

"Iya. Aku sudah memikirkan hal itu. Kita akan berusaha keras mencari asal usulmu. Tapi kamu harus paham ini bukan sekadar pencarian biasa. Ada resiko yang harus ditanggung."

Kuhela napas panjang. "Aku akan baik-baik saja selama kamu berada di sisiku."

Suara Priya batuk menggema. "Berhenti mengeluarkan kata-kata manis. Kamu sama sekali tidak membantu menurunkan tensi."

Tawaku pecah. Priya terkadang kikuk bilang aku bersikap lebih berani. "Oh ya, kamar tidurmu belum dibersihkan. Apa kita harus membereskannya? Berdua lebih cepat apalagi kalau pintunya ditutup." godaku.

"Sialan."

Tbc

Pagi semua. Sekarang giliran Jika yang dapat giliran update. Mungkin ke depannya cerita yg di update ngga akan selalu setiap malam minggu, bisa kapan saja bila memang sudah selesai diedit. Yup, Author lagi di titik  jenuh jadi penginnya semua cerita yang ada segera diselesaikan lebih cepat biar ngga ada utang.

Oh ya, skalian promosi boleh ya. Untuk cerita kiara sudah open order. Bagi yang berminat bisa cek info di ceritanya.

Terima kasih.

Dinni83

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro