Part 17
Sepanjang malam mata ini terjaga. Pembicaraan terakhir dengan Priya terngiang. Ajakan untuk menemui orang tuanya diucapkan tanpa berpikir panjang. Ia mengatakannya semudah membeli permen di mini market.
Aku bukannya menolak. Siapa sih yang mau hubungan percintaannya disembunyikan. Namun ada beberapa hal yang harus dibenahi. Priya belum lama berpisahan dengan Leorin. Perpisahan mereka bisa dikatakan tidak sepenuhnya berakhir baik. Pertunangan keduanya batal di tengah jalan dan tentunya keluarga Priya butuh waktu untuk menerima kenyataan.
Kehadiranku pun bisa saja mendatangkan masalah baru. Suka tidak suka masa lalu ayah Priya berkaitan dengan kepergianku dulu. Ah membayangkan harus berhadapan dengan merela saja sudah membuatku mual.
Tubuhku menghempas kasar kasur yang menjadi tempat berbagi mimpi. Hembusan napas terdengar berulang kali seperti habis lari maraton. Pandangan mata menyusuri langit-langit. Mengamati bagian yang warnanya mulai pudar bahkan di beberapa sudut rembesan tetesan air hujan membentuk lingkaran berwarna coklat.
Kamar sempit ini yang kutinggali menggambarkan status sosial di masyarakat. Latar belakang keluarga tidak jelas. Ditinggalkan sejak kecil seolah keberadaanku tak diharapkan. Perempuan yang merawatku bahkan tidak memiliki ikatan darah.
Berbicara tentang Priya, laki-laki itu memiliki kriteria yang umumnya seorang perempuan harapkan dari pasangan. Perawakannya yang tinggi sering kali mampu mencuri perhatian. Secara materi, ia tidak kekurangan. Dibalik sorot tajam, Priya merupakan sosok yang menyenangkan.
Deringan ponsel terdengar dari tas di ruangan lain. Aku memang lupa mengeluarkan benda itu dari dalam tas. Pasti Priya, gumanku dalam hati.
Setengah memaksa tubuh untuk bangkit, kaki mulai beranjak meninggalkan kamar. Lampu sengaja tidak kunyalakan karena malas bergerak. Cahaya dari sela-sela jendela cukup membantu mencari tempat aku meletakan tas tadi.
Dugaanku benar. Si penelepon memang Priya.
"Halo, Pry. Ada apa?" tanyaku tanpa semangat. Setelah bergulat dengan berbagai pemikiran buruk, sulit rasanya menemukan cara untuk tersenyum.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kamu tak berpikir macam-macam. Terutama pikiran yang mungkin saja membuatmu melarikan diri untuk kedua kali."
"Kalau begitu kenapa tidak membuat keadaan kita lebih mudah. Kenapa harus terburu-buru sementara kabar gagalnya pertunanganmu masih jadi bahasan hangat di kantor."
"Kita tidak bisa membatasi pikiran seseorang. Rumor akan berlalu seiring waktu. Aku melakukan ini untuk kebaikan kita. Apapun reaksi keluargaku nanti, kita akan hadapi bersama. Percayalah padaku."
Aku terdiam. Gelisah membuatku tanpa sadar mengigit ibu jari. "Baiklah tapi janji untuk menjaga emosi."
"Tentu saja. Aku tidak akan bertindak konyol yang berakibat buruk pada posisimu. Sekarang tidurlah."
"Selamat malam."
****
Hari yang selanjutnya terlewati tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Priya sepertinya memahami kekhawatiranku tentang situasi kantor. Kami jarang sekali memperlihatkan kemesraan. Bila kebetulan berpapasan pun hanya sebatas senyum atau pembicaraan ringan. Aku tidak protes, toh kami mempunyai banyak waktu berdua di luar jam kantor.
Teman-teman di kantor pun menyerah menjodohkanku. Berbagai alasan untuk menghindar setiap kali mendengar ajakan dari laki-laki lain membuat mereka bosan sendiri. Serba salah memang karena aku belum bisa jujur mengenai alasan sebenarnya ketika mereka mempertayakan penolakanku.
Priya mengetahui hal ini meski bukan dari mulutku. Terkadang rumor bisa menyebar saat jam makan siang walaupun minim bukti. Ia selalu bersikap seolah tidak terpengaruh. Percaya penuh padaku tapi senyumnya tampak berbeda setiap kali mendengar ada yang mendekatiku.
Kekasih sekaligus sahabatku sejak kuliah itu memang mendapat julukan playboy. Ia jarang terlihat tanpa ada perempuan yang menemani. Putus hubungan artinya ada pengganti baru. Pada saat itu aku tidak terlalu peduli dengan perjalanan cintanya. Satu hal yang menganggu, ia selalu saja menempel, tak menjaga jarak bahkan ketika sedang bersama kekasihnya.
Priya bukanlah tipe pencemburu. Jarang membatasi sosialiasi atau kegiatan pacar-pacarnya dulu. Tapi gerutuan dan nasehatnya selalu panjang lebar bila kebetulan ada laki-laki yang mencoba mendekatiku. Perdebatan di antara kami bukan lagi hitungan jari terutama saat aku merasa sikapnya sudah keterlaluan.
"Damara," panggilan Priya membuyarkan lamunan. Keningnya berkerut beberapa lipat.
"Ya," kataku. Kami berjalan bersisian, menyusuri gang kecil menuju tempat kos. Priya jarang menempati kamar kos nya tetapi ia tidak pernah absen mengantarku pulang.
"Apa yang kamu lamunkan sih? Dari tadi dipanggil tidak ada balasan."
Aku tertawa kecil. "Maaf." Priya mendengus sebal. "Kamu tahu, orang-orang sepertinya sudah mulai curiga dengan kedekatan kita," lanjutku seraya memeluk tas kantor.
"Bagus kalau begitu. Mereka akan tahu dengan sendirinya. Cepat atau lambat hubungan kita akan tercium juga. Biarkan saja," jawabnya enteng.
Pagar rumah tempat kosku mulai terlihat. Kebersamaan kami hari ini akan segera berakhir. Priya memilih pulang ke rumahnya. Semenjak pertunangannya batal, ibunya sering menjadi sasaran kekesalan ayahnya. Sebagai anak laki-laki paling besar, ia berkewajiban melindungi perempuan yang telah melahirkannya.
Kami berhenti tepat di depan pagar tempat kos. "Masuklah." Perintah Priya. Jemarinya menyusuri ke wajahku lalu mencubit gemas pipi dengan gemas.
Bibirku mengerucut tapi tidak lama. "Bagaimana kabar ibumu?"
Priya menghela napas panjang. Kedua tangannya menyusup di balik celana. Senyumannya terlihat dipaksakan. " Baik, selama tak berhubungan dengan Ayah. Terima kasih atas perhatianmu. Dia tentu senang mendengarnya."
Bola mataku terbuka lebar. "Ibumu sudah mengetahui hubungan kita?"
Priya mengangguk pelan. "Kali ini dia menyerahkan semua padaku. Apa yang terjadi di masa lalu masih menyisakan rasa bersalah di hatinya. Dia sebenarnya menyayangimu, hanya saja keadaan waktu itu memaksanya harus mengambil pilihan sulit."
"Aku mengerti. Ibumu hanya berusaha melindungi keluarganya. Sejak kita berteman, ibumu tidak pernah mempermasalahkan latar belakangku. Kekecewaan itu sudah lama hilang."
"Terima kasih atas pengertianmu. Lusa kita akan menemui orang tuaku. Aku tidak ingin menundanya lebih lama."
Pernyataan Priya memunculkan ketegangan yang sempat terpendam. Bayangan akan menghadapi penolakan nyaris menghapus habis kepercayaan diri.
Sentuhan lembut di kepala kembali menyadarkan lamunan. Senyuman Priya cukup membantu menenangkan kegelisahan. "Jangan takut, kamu tidak sendiri. Aku percaya hubungan kita layak diperjuangkan."
Pada akhirnya aku hanya bisa membalas dengan anggukan. Setiap kata yang terkumpul, tercekat di tenggorokan. Priya mengerti ini tak mudah bagiku. Kami berpisah tepat setelah langit gelap.
Satu hari menjelang rencana bertemu dengan keluarga Priya, mataku tidak bisa diajak kerjasama. Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam tapi kantuk belum menyerang. Sepanjang sisa malam, berbagai peristiwa yang terlewati bermunculan dari kotak ingatan. Satu persatu melintas memenuhi memori.
Aku terkadang bingung dengan diri sendiri. Berulang kali tak memahami cara berpikir saat menghadapi masalah. Semudah itukah diriku memaafkan kesalahan seseorang?
Bertahun-tahun aku dan Mimih tersingkir ke kota lain. Memulai hidup dari titik nol. Kerja keras, air mata hingga cemoohan menjadi santapan sehari-hari. Ada kalanya aku merasa ingin menyerah, merelakan hidup atau melakukan hal-hal buruk.
Andai Mimih tidak mengingatkan mungkin jalan hidupku akan berbeda. Aku bisa saja terseret pergaulan bebas. Narkoba atau melakukan tindakan bodoh yang pada akhirnya membawaku ke rumah sakit.
Air mata merembes saat ingatan mencipta raut wajah keibuan yang lama kurindukan. Dada terasa sesak, menyesali ketidakmampuanku yang belum bisa membahagiakan Mimih saat ia masih hidup. Mimih hanya memintaku untuk meneruskan hidup. Menemukan kebahagiaan tanpa dendam.
Aku bergelung di kasur. Kedua tangan memeluk erat guling. Tangis tertahan terus mengalir hingga lelah membawaku ke alam bawah sadar.
****
Nada panggilan di ponsel terus berdering tanpa henti. Tangan bergerak, meninggalkan hangatnya selimut. Beberapa menit menjelajah dinginnya lantai, mencari ponsel yang kuletakan di samping kasur semalam.
"Halo," Kusapa si penelepon di seberang dengan suara serak.
"Kamu baru bangun? Sekarang sudah jam sembilan, Dama Sayang. Bersiaplah, aku sudah menunggu di teras."
Mata mendadak terbuka lebar. "Jam sembilan?" pekikku tak percaya dan tersenyum masam ketika menoleh pada jam kecil di samping kasur.
Tawa renyah membalas keterkejutanku. "Tidak perlu terburu-buru. Cepat mandi dan bersiap-siap. Aku ingin segera melihat wajahmu."
Rona merah menjalari pipi. Debaran menggoda. Aku mengigit bibir, meredam luapan kebahagiaan. "Baterai ponselmu terisi penuh?" tanyaku setelah menenangkan diri.
"Ya, memangnya kenapa?"
"Kamu tahu, perempuan butuh waktu tidak sebentar untuk menyiapkan diri. Kita akan berkencan, bukan?"
Tawa Priya pecah. Aku menyukainya. "Tenang saja. Aku bawa power bank. Setelah terpisah lebih dari satu tahun, menunggu satu atau dua jam bukan masalah. Tapi bisakah kamu sedikit mempercepatnya?"
"Kenapa?"
"Aku sudah terlalu lama merindukanmu."
"Dasar perayu. Sudah ah, selamat menunggu."
Aku melempar selimut ke sembarang arah. Secercah harapan tumbuh. Sepahit apapun risiko pertemuan nanti, berpikir negatif hanya akan melepas kesempatan untuk bahagia. Lagi pula suatu hubungan tak bisa berdiri sendiri.
Satu jam berlalu. Biasanya aku tak pernah selama ini menyiapkan diri. Ketegangan benar-benar menyulitkan.
Tubuhku berputar di depan cermin panjang yang belum lama ini kubeli. Berulang kali memeriksa penampilan. Blouse biru tua dengan aksen renda pada kerah terkesan manis. Jeans hitam menutupi kaki yang menurutku tidak jenjang.
Rambut dibiarkan tergerai sementara polesan wajah kuhias dengan warna-warna natural. Beruntung lingkaran mata tertutupi dengan baik oleh make up. Sekarang aku siap pergi dan berdoa semoga semua sesuai harapan.
Priya terdiam saat aku menemuinya di teras. Ia mengenakan kaos polo hitam dan jeans biru muda. Rambutnya tersisir rapih.
Irama jantung berdebar tidak karuan saat Priya bangkit dari kursi sambil mengamati dari ujung rambut hingga kaki. "Cantik. Mm apa ini hasil menunggu satu jam lebih?" Mataku melotot lalu mencubiti lengannya.
Tangannya meraih jemariku. "Aku kan, sudah bilang cantik."
Kami meninggalkan tempat kos menuju mulut gang. Genggaman Priya menguat setiap kali aku berusaha melepasnya. Gerutuan karena ucapannya tadi belum hilang. Aku sengaja tidak membalas demi menjaga mood.
Sepanjang jalan, dalam mobil Priya, kami lebih banyak diam. Saling melempar senyum atau melirik. Alunan musik di radio menemani siang itu.
Priya tiba-tiba meraih jemariku saat mobil berhenti di lampu merah. Wajahku sontak berpaling ke arahnya setelah sekian lama menikmati pemandangan di luar jendela. Darah berdesir, kehangatan mengisi setiap ruang di tubuh ketika dengan gerakan lambat Priya mencium punggung tanganku. Sorot matanya yang meredup dan terpejam sesaat saat menyentuhkan bibirnya kembali.
Waktu seolah berhenti saat itu. Jantungku rasanya mau meledak.
Mulut Priya terbuka, berkata-kata tanpa suara. Pipiku memerah seperti tomat ketika menangkap dengan jelas kata yang terucap. I love you to the moon and back.
Sayang sekali momen manis tadi harus berakhir cepat. Mobil yang Priya kendarai mulai memasuki sebuah restoran keluarga. Aku hampir membatalkan rencana ini saking tegangnya.
Priya mematikan mesin mobil di parkiran. Letaknya tepat menghadap ke arah restoran. "Jangan khawatir. Aku sengaja mengaja mereka makan di luar. Ayahku akan berpikir ulang untuk memarahi kita di tempat umum seperti ini."
"Aku tahu.... "
"Setiap aksi akan memicu reaksi. Itu sudah hukum alam. Baik atau buruk hasilnya nanti setidaknya kita berani menghadapi. Kita akan terus berusaha, membuktikan pada mereka bahwa hubungan ini bukan kesenangan sesaat." Priya melepas seat bealt lalu mengecup keningku. "Semangat, Sayang." Ia mengusap kepalaku sebelum akhirnya keluar dari mobil.
"Semangat." Aku mengulang perkataan Priya sambil menghela napas pelan. Pandangan beralih ke arah restoran saat pintu mobil di sampingku terbuka.
Di balik jendela kaca restoran, sepasang perempuan dan laki-laki paruh baya memandang sedang mengobrol. Bulu roma seketika berdiri menyadari sorot tajam laki-laki bertubuh kurus tengah menoleh pada kami.
Ini mimpi buruk.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro