Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16

Priya menjulurkan tangan. Payung dalam genggamannya kini beralih memayungiku. Hujan kembali turun. Setiap tetes membasahi tubuh tegap itu. Ia bisa memilih pergi seperti niatnya semula bukan tetap bergeming dan menatap dengan sorot redup.

"Aku tahu pasti tidak mudah bagimu untuk mengerti alasan di balik kebohongan yang tersimpan selama bertahun-tahun. Tapi bisakah sedikit saja kamu memahami keputusanku? Kita sama-sama terluka oleh keadaan. " Suara semakin lemah. Sesak di dada tak tertahankan. "Salahkah bila aku menginginkan ketenangan di sisa di hidupku?"

Kami saling diam hingga sedetik kemudian Priya tiba-tiba memberikan payungnya begitu saja. Aku belum sempat melayangkan protes saat dengan mudah tubuhku beralih dalam gendongan laki-laki yang berjalan cepat menuju mulut gang. Langkahnya terburu-buru membelah derasnya hujan.

Kepala seketika mendadak kosong sekaligus pusing. Kesadaran akhirnya pulih setelah tubuh berada di bangku penumpang di bagian depan mobil. Priya muncul tidak berapa lama dan menghempas bangku kemudi. Dengan gerakan cepat ia meraih ransel lalu dua mengeluarkan handuk. Salah satunya di sodorkan padaku sementara ia menggunakan handuk lain yang lebih kecil untuk mengeringkan rambutnya.

Air hujan hampir membasahi seluruh tubuhnya. Kemejanya menempel, memperlihatkan dengan jelas otot liat di perut dan tangan.

Kami kembali terdiam, sibuk mengeringkan bagian tubuh yang terkena hujan. Bola mataku melirik sekilas ke arah payung di lantai bagian belakang mobil. Bunyi benda patah samar terdengar sesaat setelah Priya melempar payung itu dengan kasar. Ia bahkan tidak merapikannya.

"Kehidupan terus berjalan selepas kepergianmu. Setiap hari belajar melupakanmu. Sesulit apapun itu, akal sehat dan logika tetap nomor satu. Aku mencoba menerima keputusanmu sebagai takdir. Itu sebabnya, aku tidak melarang diriku untuk mencarimu," ucap Priya sambil mengambil kaus dari dalam ranselnya. Tanpa peduli dengan keberadaanku, ia mengganti pakaiannya yang basah.

"Kehidupan yang kujalani memang jauh dari bayangan tapi bukan juga mimpi buruk. Perpisahan kita mengajarkan pengalaman dalam memandang masalah. Semua rencana untuk masa depan bahkan telah tersusun begitu rapih seperti seharusnya." Priya menyandarkan tubuhnya ke belakang. Matanya terpejam. "Dan, tanpa peringan kamu muncul seperti angin. Bukan hanya sosokmu tetapi kabar yang melatar belakangi perpisahan kita suka tidak suka mengubah semua. Aku sadar, sebesar apapun kemarahan yang tertanam tidak pernah mampu memudarkan perasaan ini padamu. Membayangkan kehilangan dirimu untuk kedua kali rasanya jauh lebih menyakitkan daripada luka yang kamu toreh."

Kami berdua tersakiti oleh cinta. Priya berjuang menata hati yang remuk. Aku sendiri menjalani risiko kehidupan. Pertemuan kami merupakan kado mengejutkan. Kado pahit nan menyedihkan.

"Aku pikir kamu dan Leoni pasangan yang serasi. Dia sepertinya cukup bahagia bersamamu. Terlepas masalah di antara kalian, aku tulus mendoakan kebahagiaan dirimu dan dia."

Priya menyandarkan tubuhnya kebelakang. Matanya terpejam. "Leony gadis yang baik. Berulang kali mencoba meyakinkanku ketulusannya. Aku tidak bisa menyalahkan perbuatannya. Semua itu terkait dengan caraku menjalani hubungan bersamanya. Selama ini aku kurang memperhatikan hingga ia mencari kebahagiaan lain untuk menutupi kekosongan hatinya."

"Kalau begitu selesaikan permasalahan kalian. Aku kira tidak ada lagi yang perlu kita jelaskan." Aku berusaha mengatur intonasi suara agar  aroma kecemburuan tidak tercium.

Kami berdua terpisah oleh jarak. Ada ruang waktu di mana keberadaan perempuan lain telah mengisi hati yang terluka. Perempuan yang seharusnya mendampingi Priya hingga tutup usia. Imajinasi liar tentang kebersamaan keduanya menari-nari di pelupuk mata. Bayangan mencipta sosok keduanya bersanding mesra.

Suasana menjadi hening. Irama hujan di luar sana menjadi pengiring kebisuan. Mulutku terkunci rapat.

Tetes air mata siap mengalir. Diri kini berdiri di puncak pertahanan. Kesedihan merenggut satu persatu alasan untuk bahagia. Salahkah aku bila merasa seperti itu? Meski tahu tak berhak mempertanyakan keputusan sendiri.

Kedua tangan meremas handuk dipangkuan sangat erat. Di batas kesabaran, segala bentuk emosi tertahan oleh sisa tenaga. "Sekalipun hidup ini bagai mimpi buruk setidaknya dirimu masih dilimpahi kasih sayang dari keluarga dan orang-orang yang peduli. Masa depanmu secerah langit di pagi hari." Bulir air mata lolos saat wajah berpaling ke jendela.

Tarikan di bahu membawaku dalam dekapan Priya. Rengkuhan tangannya mengurung tubuh hingga sulit bergerak, seakan ia khawatir terlepas.

Sebagai manusia biasa aku menyerah, tidak lagi menentang ego. Hangatnya depakan menyusup dalam setiap aliran darah. Luapan sayang berbalut rindu meluap melalui isak tangis. Setelah memutuskan pergi, tidak sekalipun terbersit akan kembali merasakan berada dalam pelukan laki-laki yang hingga detik ini menempati posisi paling istimewa di hati.

Priya mengecup puncak kepalaku. Usapan lembut terasa di rambut. Aku mengendurkan kekuatan, membenamkan wajah semakin di dadanya. Untuk sesaat menghalau berbagai kekhawatiran akan akhir kisah kami. Hubungan ini masih menyisakan banyak tantangan.

"Maaf, seandainya aku tidak terbawa emosi mungkin keadaan kita akan berbeda. Perasaan ini tetap sama bahkan tumbuh melebihi bayanganku. Bila memang ada sedikit saja kesempatan, aku ingin memperbaiki kesalahan di masa lalu."

Aku menghela napas dan melepas rangkulannya. "Kita terikat pada keadaan. Dunia ini bukan hanya berisi tentang cinta. Lingkungan, keluarga, masyarakat menjadi bagian dari kehidupan kita. Bukan salahmu bila ayahmu melanggar norma. Aku sendiri hanya berusaha semampunya untuk mengambil keputusan terbaik. "

Priya menarik daguku hingga pandangan kami bertemu. Gurat penyesalan sekaligus sayang tersirat jelas. "Apa kamu masih mencintaiku?"

"Entahlah. Aku tidak siap mengulang luka lama."

"Iya atau tidak," tegasnya mengabaikan sikap pengecutku.

"Sedikit."

Kelegaan menyeruak di wajah Priya. Bibirnya yang kaku kini tersenyum lepas. "Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku hanya butuh kerelaanmu untuk bersedia memulai kembali hubungan kita dari nol. Permasalahan yang menyangkut keluarga akan kuselesaikan. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa."

"Tapi Pry... "

Dia meletakan telunjuknya di bibirku. "Hujan sudah berhenti. Sekarang kamu pulang dan istirahat. Kita akan melanjutkan pembicaraan ini lain waktu."

Jalanan semakin sepi. Sepanjang kami bicara, hanya beberapa orang yang lalu lalang. Mereka berjalan terburu-buru, sebagian membawa payung dan sisanya nekat menembus hujan sambil berlari. Deras dan dinginnya udara membuat siapapun berpikir untuk segera tiba di rumah.

Priya membuka pintu mobil untukku sebelum lamunan memudar. Ia sempat membuka bagasi lalu mengeluarkan jaket kulit dengan label harga masih menempel. Setengah bersikeras, Priya memaksa melepaskan jaketku dan  menggantinya dengan jaket miliknya. Setelah dirasa puas, jemari kami saling menggenggam. Wajahnya agak masam saat mendengar penolakan sewaktu berniat membopong hingga tempat kos. Aku masih bisa merasakan sakit di kaki tapi masih sanggup berjalan meski pelan.

Memang terlalu dini untuk merasa lega. Kerikil tajam masih berserakan sepanjang jalan yang akan kami lalui. Setitik cahaya nun jauh di ujung sana menjadi satu-satunya harapan. Sekecil apapun mimpi merupakan penyemangat di kala merasa dunia tidak bersahabat.

"Dama, kita sudah sampai," tegur Priya kesekian kali.

"Oh... " Aku gelagapan, menahan malu menyadari kami berdiri di depan gerbang tempat kos beberapa menit lalu.

Priya terkekeh geli. Ia merangkul pelan bahuku. Diusapnya rambutku seraya memberi kecupan sayang di kening. "Cepat masuk."

Kepalaku mengangguk lalu bergerak menjauh darinya. Priya masih berdiri di tempatnya hingga sosokku menghilang dari pandangannya. Sengaja aku tidak bertanya lebih jauh tentang rencana pertemuannya dengan Leony. Selain

Keadaan dan hubungan kami tidak serta merta mengalami perubahan besar. Jalinan yang kembali terajut masih menyisakan banyak tantangan. Rasanya aku butuh kekuatan ekstra untuk menghadapinya.

Sikap Priya di kantor tetap sama. Kami memang lebih banyak bertemu seusai jam kerja usai. Aku tidak terlalu mempermasalahkan. Perpisahannya dengan Leony masih menjadi topik hangat di antara sebagian karyawan. Kedekatan kami akan menimbulkan kesalahpahaman bila dilakukan  terburu-buru.

Meski begitu, komunikasi tetap berjalan tanpa hambatan. Aku termasuk bukan penyuka sosial media.   Lika liku kehidupan, susah maupun senang lebih suka disimpan sendiri. Keberadaan Priya, sedikit banyak membawa arus keingitahuan tentang dirinya mendorongku menggunakan beberapa aplikasi sosial media untuk mengetahui kegiatannya. Usaha ini cukup membantu terlebih bila kami sedang berjauhan.

Priya semakin jarang menempati  tempat kosnya. Ia sering kali terlihat malas bila topik pembicaraan kami menjurus mengenai alasannya alasan kamarnya lebih sering dibiarkan kosong. Aku tidak yakin seratus persen tapi kemungkinan  sikapnya berkaitan dengan keluarganya.

Aku melirik kalender di nakas. Tanggal berwarna merah menjadi penanda libur panjang hingga tiga hari ke depan. Sebagian penghuni kos memilih pulang ke kota masing-masing. Hanya tersisa dua orang termasuk diriku yang bertahan.

Priya sejak kamis malam, pamit pergi ke luar kota. Ia akan mengantar Ibu dan dua adiknya ke tempat nenek mereka di Sukabumi. Rencananya mereka baru akan kembali akhir minggu ini.

Aku tak punya kuasa untuk melarang atau merengek agar ia pulang lebih awal. Pertemuan kami merupakan barang mahal. Bersabar menanggung rindu menjadi risiko yang suka tak suka harus dinikmati. Bagaimanapun diriku sendiri yang membuka membuka pintu hati. Selain itu, berbagai tawaran atau ajakan dari teman dan laki-laki lain sudah kutolak.

Jam menunjukan pukul setengah dua siang ketika aku memeriksa instagram Priya untuk kesekian kali. Foto pemandangan mendominasi akun miliknya. Ia termasuk pelit memperlihatkan sosoknya, kalaupun ada biasanya hanya siluete.

Bunyi perut merusak lamunan. Dengan malas, aku bangkit menuju keranjang kecil dekat televisi, tempat menaruh makanan ringan dan mie instan. Cuaca siang ini cukup terik, selain malas keluar, aku harus berhemat mengingat uang sewa naik bulan ini.

Deringan ponsel memaksaku menunda  niat membuat mie instan. Priya, desisku dalam hati. "Halo?"

"Halo,Dam. Aku tunggu di bawah."

"Di bawah? Jangan bercanda. Bukannya kamu bilang baru pulang hari Minggu?"

"Benarkah?" balas suara diseberang bercampur tawa senang. "Sudahlah. Cepat ganti baju dan temui aku di bawah."

"Siap ap... " Suaraku menggantung di udara. Priya dengan seenaknya mengakhiri pembicaraan.

Aku menahan jengkel sambil mengganti pakaian. Sifat pemaksa belum sepenuhnya pudar. Gerutuan karena berdandan dalam waktu terbatas meluncur dari bibir. Aku sadar  bukan perempuan berparas paling elok. Supaya terlihat lebih menarik setidaknya butuh usaha dan waktu untuk merias diri.

Priya tengah duduk di bangku teras saat aku menemuinya. Penampilannya mencuri debaran jantungku padahal ia hanya mengenakan kaus putih polos dan jeans hitam. Rambutnya yang mulai panjang tampak sedikit berantakan.

Ia bergegas bangkit begitu aku berdehem. Pandangannya menyapu dari ujung kaki hingga rambut. Caranya memperhatikan membuatku risih. Aku tidak sempat memilih pakaian yang sekiranya pantas. Blouse peach dengan aksen renda di bagian leher dan jeans biru tua kupikir akan cocok. Tapi sekarang keraguan justru mendominasi. Kenapa laki-laki itu diam saja? Apa aku salah memilih pakaian?

"Hei, katakan sesuatu?"

"Cantik seperti biasa." Ia mengedipkan sebelah mata. "Kesederhanaan tidak mampu menyembunyikan kecantikanmu," pujinya.

Wajahku memerah. Priya mengatakan kalimat itu tanpa berkedip. Aku sudah sering mendengarnya merayu, bergombal ria melancarkan aksinya mendekati perempuan atau saat kami masih berhubungan. Seharusnya kalimat itu terdengar biasa namun tetap saja perasaan senang sulit diredam.

"Kamu datang ke sini bukan untuk berbasa-basi, bukan?"

"Tadi bukan basa-basi tapi kenyataan. Ini sudah masuk jam makan siang. Mengisi perut dan nonton film sepertinya bukan ide yang buruk. Satu lagi, aku tidak menerima penolakan." Tanpa menunggu jawaban, Priya meraih tanganku menuju mobil yang terparkir di dekat mulut gang. Ia bersiul, pura-pura acuh mendengar gerutuan perempuan di sisinya.

Kami menikmati sisa hari dengan menonton film, makan dan berjalan-jalan di Mall. Semua tampak normal. Dalam pandangan orang-orang, kami mungkin tidak ada bedanya dengan pasangan lain. Kenyataannya jauh dari kata tenang. Kekhawatiran akan bertemu teman-teman kantor tetap ada, setidaknya bagiku.

Sementara Priya bersikap sangat tenang. Ia tampak rileks. Sebelum pulang kami mampir di sebuah kafe. Tempatnya masih di Mall yang kami datangi, di lantai paling bawah dekat pintu masuk.

Kami mengikuti langkah pelayan menuju sebuah meja. Ruangannya tidak terlalu besar tapi cukup nyaman. Nuansa coklat dari mulai warna dinding hingga parket menambah kesan hangat. Suasananya lebih cocok untuk pasangan dibanding keluarga terutama yang membawa anak-anak.

Aku menyebut sebuah minuman di daftar menu lalu memperhatikan sekeliling. Pengunjung kafe tidak lebih dari jumlah jari kedua tangan. Rasanya waswas setiap memikirkan ada yang mengenali kami.

"Hei, kita bukan pencuri. Berhentilah bersikap ketakutan."

"Bagaimana kamu bisa setenang ini? "

Priya meraih jemariku. Sentuhan lembut yang membawa aliran listrik ke sekujur tubuh. "Niatku bukan sekadar mainan. Bila pada akhirnya harus terkuak, itu sudah menjadi jalan hubungan kita. Untuk apa memikirkan tanggapan mereka. Kita tidak berhutang penjelasan pada siapapun."

"Pry, kamu baru saja berpisah dengan Leony. Tidak semua orang mengetahui penyebab perpisahan kalian. Tentu saja sedikit banyak kebersamaan kita akan membuat mereka salah paham," keluhku lalu melepas genggamannya.

Seorang pelayan datang membawakan pesanan kami. Dia bergegas pergi setelah melihat aura muram wajahku.

"Kamu selalu berpikir buruk pada sesuatu yang belum terjadi. Aku sudah bilang, kali ini masalah kita akan kuselesaikan termasuk bila kabar ini sampai di telinga karyawan lain." Priya menyeruput cangkir kopinya.

Pandanganku beralih pada beberapa paperbag dari butik ternama di sebelah kursiku. Priya bermurah hati menggelontorkan pundi-pundi hasil kerja kerasnya untuk membelikanku berbagai barang. Ia sangat keras kepala meski aku menolak tawarannya dengan alasan tidak enak.

"Aku tahu ini masih awal bulan. Gajimu sepertinya cukup besar tapi apa tidak masalah membelikanku barang-barang yang harganya cukup mahal? Tas saja harganya hampir satu kali gajiku," tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Salah satu dari kami harus mengalah demi mencairkan ketegangan.

Priya menggelang pelan. Kedua tangannya bersedekap. Tatapan tajam  memancarkan kepercayaan diri. "Tenang saja. Menyenangkanmu bukan pemborosan. Membuatmu tersenyum merupaka tugas paling menyenangkan. Dirimu adalah kemewahan tak ternilai milikku seorang." Suara laki-laki itu terdengar pelan dan merdu hingga mulutnya kembali terbuka. "Minggu depan, kita akan menemui orang tuaku."

Aku terbatuk, tersedak ice chocolate pesananku. "Untuk apa?"

"Tentu saja meresmikan hubungan kita."

"Meresmikan?"

"Benar. Aku tidak ingin menunda lebih lama. Setelah sekian tahun hidup dalam kebohongan, mereka harus menyadari bila Tuhan sudah berkehendak, jarak dan waktu tak akan mampu memutus benang merah di antara kita."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro