Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14

Kepala terasa sangat pusing. Sepanjang sisa malam, sakitnya semakin menganggu. Berbaring dan merebahkan diri tak cukup mampu mengusir apa yang di rasa.

Bola mata berputar, memandangi langit-langit yang warnanya mulai pudar. Beberapa kali mencoba memejamkan indra penglihatan, memusatkan pikiran pada hal lain. Sayang, jalan hidupku di warnai kesedihan hingga sulit mencari secercah ingatan yang membahagiakan.

" Apa sih maksud Priya? Apa perpisahan kami membuat otaknya mulai tak waras? " gerutuku sambil bangkit untuk duduk.

Peristiwa sore tadi masih membayang. Setiap kalimat terulang dalam adegan lambat. Setengah memaksa diri untuk berdiri dan menguatkan hati, aku berniat menemui Priya. Sudah cukup selama ini diriku terombang-ambing masalah ini.

Tanpa menelepon lebih dulu, kaki mulai melangkah meninggalkan kamar menuju tempat indekos laki-laki yang pernah menjadi kekasihku. Sepanjang jalan, berbagai pertanyaan bermunculan. Bagaimana bisa Priya meminta sesuatu hal yang tak lazim? Seenaknya meminta diriku menjadi kekasihnya selagi ia masih berhubungan dengan perempuan lain.

Aku menghela napas panjang berulang kali. Berusaha meneguhkan niat ketika melihat lampu kamar Priya masih menyala. Ketegangan menyatu dengan debaran jantung yang berpacu sangat cepat. Semua harus di akhiri sekarang atau keadaan akan semakin rumit.

"Pry." Dua menit berlalu tanpa jawaban. Ketukan maupun panggilan memanggil namanya tidak mendapat balasan dari balik pintu.

Suara kunci di buka terdengar sesaat sebelum tubuhku berbalik. Pemandangan di hadapan menyentak kesadaran sepenuhnya. Priya berdiri hanya dengan menggunakan celana panjang. Dada bidangnya terekpos tanpa sehelai benang. Aroma sabun menguar dari pemilik bola mata hitam itu.

Belum sepenuhnya tersadar, sosok yang berada di dalam kamar Priya kembali menghadirkan perasaan perih.  Leorin tengah berdiri menghadap ke arah kami. Rambutnya berantakan dan ia mengenakan kaos yang kuduga milik Priya.

"Jangan mengambil kesimpulan hanya berdasar apa yang kamu lihat."

"Apa peduliku? Kehidupan pribadimu bukan sesuatu yang harus kupusingkan."

"Oh ya? Lalu kenapa wajahmu pucat begitu? Jarak tidak serta merta membuatku lupa dengan reaksimu saat sedang marah." Priya menahan lenganku yang bersiap pergi dari hadapannya. "Leorin, pulanglah. Jangan menambah masalah lagi. Kita bicarakan hal ini besok."

Perempuan berambut panjang yang sudah berada di dekat kami menatap lirih ke arahku. Kedua bola matanya sembap dengan ujung hidung agak memerah. Tatapannya sangat datar bahkan terkesan tidak peduli. Ia berjalan melewati kami tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Dan, kamu masuklah. Kita bicarakan hal yang membawamu datang kemari."

Aku mendadak menjadi penurut meski kata hati mengatakan sebaliknya. Tapi keadaan di antara kami semakin menganggu. Hampir saja membuat akal sehat terganti menjadi kegilaan akibat stres.

Kupandangi ruangan yang di tempati Priya sekilas. Bergerak ke arah sudut dinding dekat jendela lalu duduk pada lantai yang di lapisi karpet hijau. Perabotan tidak banyak, hanya barang yang diperlukan hingga ruangan terasa kosong.

Televisi, meja, kulas kecil dan rak buku. Dua pintu di sudut ruangan mungkin kamar tidur dan kamar tidur. Entahlah, aku tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Apalagi bila harus membayangkan apa yang sudah terjadi pada pasangan itu tadi.

Priya bergerak ke arah kulkas lalu kembali dengan membawa satu kaleng minuman susu coklat. Sepersekian detik pandangan mata tertuju pada minuman dingin yang ia sodorkan. Semenjak mengenalnya, aku tahu kalau Priya bukan penyuka minuman yang berasal dari susu sapi, rasa soklat lagi. Dan, merek minuman ini tidak lain kesukaanku.

"Kenapa diam? Tenang saja, aku tidak menaruh obat atau benda aneh ke dalamnya."

"Tidak perlu berputar-putar. Kedatanganku hanya ingin menegaskan bahwa aku menolak permintaan gila kalian berdua. Sebaiknya kalian selesaikan masalah tanpa melibatkan... "

"Leorin hamil," potong Priya. Degub jantung serasa akan keluar dari tempatnya. "Tapi bukan darah dagingku. Aku mungkin bukan laki-laki paling baik tetapi merusak anak perempuan bukan caraku. Mungkin kejadian ini tidak lepas karena diriku kurang memperhatikannya," lanjutnya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana lalu menyesap benda yang tidak kusukai itu.

Kepala mendadak kembali terasa pusing. Hari ini begitu banyak kejutan dan hampir semuanya  tak menyenangkan. Aku tidak tahu harus menyikapi kabar ini dengan reaksi seperti apa. Senangkah, sedihkah tapi raut penuh beban di hadapan mengguratkan segudang rasa tidak tega. Dan, lebih teriris saat menyadari sorot luka itu karena perempuan lain.

"Lupakan permintaan Leorin tadi. Hubungan kami sudah berakhir meskipun kamu menyanggupinya. Tapi mungkin aku akan mempertimbangkan menikahinya bila ayah anak yang ia kandung tidak mau bertanggung jawab. Anak itu tidak bersalah atas dosa orang tuanya," ucapnya sambil menghembuskan asap rokok.

Aku termanggu. Semua kata menguap begitu saja di udara. Priya masih tetap laki-laki yang mampu berpikir jernih dan mendahulukan kepentingan orang lain. Sama ketika ia memilih diriku yang latar belakang keluarganya masih dipertanyakan.

"Mungkin posisiku tidak pantas untuk memberikan pendapat tapi aku rasa kamu mampu memilih jalan yang terbaik untuk kalian berdua. Sepertinya masalahnya sudah selesai. Kalau begitu aku pulang dulu," ucapku sambil berusaha bangkit. Menegakkan tubuh yang mendadak terasa seperti tak bertulang.

Pandangan yang berkunang-kunang memaksa diri melangkah dengan sebelah tangan menyangga pada dinding. Sulit tapi semakin lama berada di tempat ini hanya akan semakin memperburuk keadaanku.

"Tunggu sebentar. Jawab dengan jujur pertanyaanku dan aku akan menghapus kenangan buruk tentang dirimu. Apa sebenarnya alasan dirimu meninggalkanku karena keberadaan Gaharu?" Suara Priya terdengar samar.

Mataku mengerjap beberapa kali tetapi justru semakin menggelap. "Hei, kamu baik-baik saja?" Telingaku masih bisa  menangkap suara di samping.

"Ngg... " Pada akhirnya kegelapan sepenuhnya menguasai sisa kesadaran. Menenggelamkan semua suara menjadi keheningan.

Detik jam perlahan membangunkan  indera pendengaran. Sedikit demi sedikit mata terbuka lalu kembali terpejam dan mengumpulkan ingatan. Ternyata diriku masih berada di kamar yang sama.

"Jangan banyak bergerak. Kamu tidak sadarkan diri tadi." Sosok Priya semakin jelas terlihat. Ia berjalan mendekatiku dengan membawa bungkusan dari sterefoam. "Makan dulu."

Dengan tenaga sisa, aku berusaha mengubah posisi menjadi duduk. "Berapa... lama tadi... aku pingsan." Kupijat kepala yang masih terasa pusing.

"Daripada memikirkan hal itu, isi dulu perutmu." Priya duduk bersila di hadapan, membuka kotak sterefoam yang berisi bubur. Ia juga menyodorkan botol air mineral.

"Terima kasih," ucapku susah payah.

Suasana kembali hening. Priya beranjak dan duduk bersandar pada dinding. Aku mencoba menelan, melahap makanan dengan cepat. Pandangan laki-laki itu membuat sebagian diri merasa risih. Waktu berjalan begitu lambat hingga hitungan detik bagai ribuan jam. Dan, Priya bergeming di tempatnya, mengarahkan tatapan hanya padaku dengan asap rokok mengepul tanpa henti. Dingin, tajam dan tanpa kelembutan.

****

Awal baru. Lembaran baru dengan kisah kehidupan yang berbeda. Seharusnya pembicaraan kami malam itu menjadi membuka pintu perubahan. Tapi Priya semakin hari justru terlihat aneh. Ia sering kudapati tengah mengawasi setiap kali kami tak sengaja bertemu. Sikapnya menghadirkan ketidaknyaman dari waktu ke waktu.

Sore seusai jam kantor berakhir, Priya tengah berada di lobi ketika aku bersama Sari tiba di sana. Aku pura-pura tak melihatnya sementara rekan kerjaku sibuk mengajak bicara. Beberapa hari belakangan ini Sari cukup gigih menjodohkan aku dengan salah satu temannya. Berulang kali, diriku menolak secara halus. Bukannya diriku menutup pintu pada semua laki-laki tetapi keadaan di rasa belum tepat untuk memikirkan suatu hubungan.

"Ayolah, Dam. Temanku itu tertarik padamu sejak pertama kali aku memperlihatkan fotomu padanya. Dia  laki-laki yang mapan dan dari keluarga baik-baik. Dia juga tidak mempedulikan statusmu yang hidup tanpa keluarga. Aku hanya berpikir kalau kamu pantas mendapatkannya. Setidaknya kalian bertemu dulu," bujuk Sari pantang menyerah.

"Beri aku waktu dua hari untuk memikirkan permintaanmu."

Sari tersenyum senang. "Baik, aku tunggu dua hari lagi atau aku minta dia sekalian menjemput kemari." Senyumku kecut namun tak tega mengusik kesenangannya.

Kami berpisah di tempat parkir. Aku memutar langkah menyusuri trotoar menuju tempat indekos yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor. Permintaan Sari kuanggap hanya sebagai hiburan di kala suntuk. Sejak awal, aku memang tidak terlalu banyak berharap pada suatu hubungan.

"Pembicaraan kalian sepertinya menarik." Suara Priya mengejutkan lamunan. Ia menjajari langkahku dengan padangan lurus.

"Aku baru tahu kalau kamu suka mendengar pembicaraan orang lain."

"Tergantung siapa orangnya. Tapi sepertinya rencana temanmu akan gagal."

"Kamu pikir aku masih terjebak dengan bayangan masa lalu bersamamu? Untuk apa aku memikirkan seseorang yang akan menikah dengan perempuan lain."

"Aku sudah menemui keluarga Leoni dan membatalkan rencana pernikahan kami. Ayah anak dalam kandungan Leoni bersedia bertanggung jawab meski keluarga Leoni tidak menyukainya. Aku pikir itu yang terbaik. Lagi pula masih ada urusan yang harus kuselesaikan."

"Apa hubungannya batalnya pernikahan kalian dengan gagalnya rencana Sari menjodohkan diriku," geramku mulai kesal.

Priya menghentikan langkahnya. Entah kenapa aku pun melakukan hal serupa. Bola matanya menyusuri garis wajahku dengan ekspresi tak tertebak. "Berhentilah bersikap seolah keadaanmu baik-baik saja. Sudahi sandiwaramu apalagi dengan diriku sebagai alasannya. Aku tidak selemah itu hingga harus kamu lindungi."

Semua praduga mulai bermunculan. Satu persatu menebak-nebak berbagai kemungkinan meski sebagian besar berharap salah menilai keadaan. Semua konsentrasi tertuju pada Priya  dan tentunya dengan sikap santai yang dibuat-buat.

"Sudah kubilang jangan berputar-putar. Katakan dengan jelas apa maksudmu?"

"Meta sudah mengatakan kebenaran dari kebohongan yang kamu tutupi selama ini."

Mataku terbelalak tak mampu menahan rasa terkejut. "A... apa kamu bilang tadi? Meta bilang apa padamu?" Tanpa sadar jemari meremas rok kuat-kuat.

Priya menatap lekat tepat di bola mataku. Ia mengabaikan  lalu lalang orang-orang yang penasaran. Senyuman licik itu berubah menjadi dingin seiring menajamnya tatapan  dan membangkitkan ketakutan. Butuh beberapa menit bagiku untuk menyadari ucapannya tadi hanya jebakan.

Priya merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel lalu kembali mengalihkan bola matanya ke arahku. Bulu roma sontak meremang melihat percikan kemarahan nampak jelas di wajahnya. Namun ia masih tersenyum  dan mempertahankan ketenangannya. "Aku tidak akan memaksamu bicara sekarang. Pergilah bila itu yang kamu inginkan. Ada banyak kesempatan lain bagi kita untuk membicarakan hal ini. Toh tempat kos kita saling bersebrangan, bukan begitu, Sayang? Dan satu lagi, selagi masalah kita belum selesai, jangan coba-coba berlindung di balik punggung laki-laki lain. Kamu tidak akan percaya apa yang sanggup kulakukan untuk merusak rencana kalian." Ia mendekat, mencium keningku lalu pergi dan dengan langkah santai meninggalkan diriku dalam kebingungan.

Aku masih tertegun, tak bergerak sedikitpun meskipun sosok itu telah menghilang. Sikap dan reaksi Priya tadi sekilas mengingatkan pada seseorang. Laki-laki yang keberadaannya hilang  bagai di telan bumi.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro