Part 13
Tante Sinta mematung, kikuk tetapi berusaha tersenyum sewajar mungkin untuk menutupi kegugupannya. Pertemuan kami yang disaksikan putranya tentunya bukan sesuatu yang ia harapkan. Aku lebih dari mengerti apa dikhawatirkan perempuan paruh baya itu.
"Eh ini, Ibu tidak sengaja bertemu Damara sewaktu mau ke tempat indekos kamu. Ada yang ingin Ibu bicarakan. Handphone kamu susah di hubungi dari siang jadi Ibu datang sekalian ingin melihat tempat kos mu."
Priya memandangi kami bergantian. "Kita bicara di kamar Priya saja. Nanti Ibu masuk ke kamar nomor enam kalau sudah selesai ngobrolnya." Laki-laki tinggi itu berjalan melewati kami, memasuki bangunan yang salah satu kamarnya ia sewa.
"Kalau begitu saya juga permisi dulu, Tante," ucapku pamit.
"Tunggu sebentar, Dama. Apa kamu mengetahui masalah yang di hadapai Priya? Maksud Tante, apa Priya memberitahumu tentang hubungannya dengan Leorin?"
Kepalaku mendongkak ke arah balkon bangunan indekos yang Priya tinggali. Laki-laki itu tengah bersandar pada salah satu pilar dengan pandangan tepat ke arah kami. Dari mulutnya terlihat asap rokok. "Kami hanya bicara seperlunya. Itu pun karena saya dan Priya bekerja di kantor yang sama. Saya sudah mengetahui hubungan Priya dan Leorin dari karyawan lain. Soal apa yang terjadi pada hubungan mereka, saya tidak pernah mencampurinya."
Tante Sinta mengangguk pelan. Senyumannya masih canggung. Aku sulit membencinya atas peristiwa perpisahan beberapa tahun lalu. Selama mengenal Priya dan keluarganya cukup lama, Tante Sinta tidak pernah mempermasalahkan latar belakang keluargaku.
"Apa kabar Mimih? Dia tinggal bersamamu?"
"Mimih sudah meninggal, Tante. Saya sekarang tinggal sendiri."
"Ah maaf, Tante ikut berduka dan terima kasih untuk tidak memberitahu Priya tentang... ."
"Tante tidak perlu berterima kasih. Saya sudah cukup senang bila Priya akhirnya bahagia dengan pasangan hidupnya, siapapun itu. Maaf bukannya saya tidak ingin bicara lebih lama tapu hari sudah malam, saya masuk dulu, Tante. Permisi," ucapku memotong perkataannya. Sosok Priya tak lagi berada di balkon saat tubuhku berbalik.
Keadaan di antara kami semakin menegangkan sekaligus menakutkan. Aku seolah sedang menggali kuburan sendiri. Diantara begitu banyak kejutan, pertemuan kembali dengan Priya membuka semua kemungkinan bila kebohongan yang selama ini tersembunyi. Berhenti bekerja atau pindah ke kota lain mungkin bisa menjadi salah satu jalan keluar tetapi hatiku sudah teramat lelah melarikan diri dari kenyataan.
***
Semenjak sore itu, pertemuan demi pertemuan dengan Priya bukan lagi hitungan jari. Setiap hari kecuali weekend, ia berada di tempat kosnya. Keberadaan laki-laki itu terlihat hanya setelah jam kantor usai. Kadang ia berjalan di belakangku bila kami kebetulan bertemu di depan gang.
Aku mencoba meredam berbagai harap yang tidak pada tempatnya. Terlepas dari masalah yang terjadi pada Priya dan Leorin, impian pada masa kuliah itu sudah runtuh. Jarak di antara kami semakin jauh untuk bersatu lagi meski hanya jalinan persahabatan.
Entah karena dendam atau kebencian, Priya tidak membuat hubungan kami lebih mudah. Ia memang jarang mengajak bicara kecuali sesuatu yang penting. Sikapnya di kantor masih dingin dan tak acuh. Hanya saja tatapannya selalu berhasil membuatku gelisah.
Hari ini pun begitu, setelah selama dua minggu kami selalu pulang dalam waktu bersamaan. Membayangkan ia tengah menatap tajam di belakang menghadirkan perasaan tidak nyaman. Kedua tanganku mengepal, mengurungkan niat pulang dan mencari tempat untuk mengisi perut.
Jantung berdegub sangat kencang ketika membalikan badan. Priya berdiri tepat di hadapanku. Sorot mata itu memancarkan kebencian walau bahasa tubuhnya tetap tenang. Aku tidak bodoh untuk pura-pura buta pada luka yang dengan sengaja kugores di hatinya.
Beruntung sore itu suasana di sekitar tampak sepi hingga posisi kami tidak menjadi tontonan gratis orang-orang. Setelah menenangkan diri, kakiku melangkah kesamping, berniat menghindarinya tanpa harus bertegur sapa.
"Mau melarikan diri lagi?"
"Aku mau beli makanan. Ada yang salah dengan itu?"
"Kebetulan perutku juga belum terisi. Di depan sini ada restoran yang baru buka. Aku akan mentraktirmu makan malam."
Aku menghela napas pendek. Itu bukam ide bagus. "Sebaiknya jangan. Aku tidak ingin ada yang salah paham terutama tunanganmu."
Priya berjalan satu langkah lebih dekat. "Kamu bukan perempuan pertama yang pernah aku ajak makan maupun terlihat berdua denganku. Ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan denganmu tentang ibuku."
Sekelebat ingatan pada saat pertemuan kembali dengan Tante Sinta berulang di kepala. Aku sempat mengintip dari balik tirai. Perempuan paruh baya itu keluar dari kamar putranya dengan langkah gontai. Kabut gelisah tidak menghilang dari raut wajahnya. Apa Priya akhirnya mengetahui rahasia itu? Eh tapi tunggu, apa maksudnya dengan kalimat awal yang ia sebut tadi.
"Hubunganmu dengan Leorin baik-baik saja, kan?"
Ia mencengkram pergelangan tangan kananku. "Kenapa? Apa kamu pikir aku berselingkuh?"
"Bukan begitu, aku.... ." Kesan tak bersahabat begitu kentara ketika memberanikan diri menatap Priya lebih lama. Kalimat yang kusiapkan menghilang di balik tenggorokan.
"Apa atau dengan siapa aku berhubungan bukan urusanmu. Jangan coba menasehati tentang hidup yang kujalani. Diriku yang dulu sudah lama mati jadi berhenti berpikir keadaan kita akan tetap sama." Tubuhku semakin membeku. Sosok hangat yang kukenal dulu telah hilang. "Tapi aku tidak sepenuhnya menolak tuduhanmu," lanjutnya dengan seringai licik.
Aku berusaha menepis tetapi Priya tetap bergeming. "Lepaskan tanganku atau aku teriak!"
"Teriaklah tapi aku jamin keadaan di kantor akan seperti neraka untukmu. Kamu tahun sendiri bagaimana rumor cepat menyebar terutama menyangkut kabar negatif."
"Jadi apa maumu?" balasku mengalah.
Priya akhirnya melepas genggamannya. Jejak berwarna kemerahan membayang di kulit putihku. "Temani aku makan dan jangan coba untuk lari."
Kami berjalan bersisian tanpa suara. Priya menatap lurus ke arah jalan dengan tangan kanan menyusup di balik saku celana sementara tangan yang lain menggenggam tas kantor. Aku sendiri sibuk dengan pikiran buruk. Mulai menyalahkan diri sendiri atas perubahan sikap laki-laki yang masih menempati sudut hati. Priya tidak pernah selingkuh meskipun sempat berganti-ganti kekasih. Dan, sekarang karena diriku, ada perempuan lain yang tersakiti.
Pandangan mata berputar mengelilingi kafe yang kami datangi. Letaknya tidak jauh dari tempat kos kami berdua. Susananya cenderung sepi, mungkin karena belum lama di buka.
Aku menurut ketika Priya berjalan menuju bagian belakang kafe. Beberapa meja di sediakan untuk para pengunjung yang ingin merokok atau menyantap makanan di luar ruangan. Sebuah taman dan kolam ikan menjadi pemandangan yang sedikit menyejukkan.
Priya menyalakan sebatang rokok begitu duduk di kursi. Kami menempati meja yang menghadap ke arah kolam. Ia terlihat leluasa, bersandar ke belakang kursi sambil terus mengeluarkan asap dari mulutnya.
Kepalaku menunduk, mengalihkan pandangan pada menu makanan. Sebuah nama makanan kusebut tanpa banyak berpikir ketika seorang pelayan datang. Satu-satunya yang ada di kepala hanya memikirkan berbagai cara agar bisa pergi dari tempat ini secepatnya.
"Apa kamu sangat tidak menyukai berdua denganku?"
"Aku hanya lelah dan ingin istirahat," balasku pura-pura memperhatikan menu makanan.
Suara helaan napas terdengar. Sedetik kemudian menu makanan di hadanku terenggut. Priya melipat sampul kulit berwarna coklat itu dan meletakannya di meja. "Kamu tahu, ada dua hal yang melekat kuat dalam ingatan setiap orang. Momen paling membahagiakan dan kejadian paling menyakitkan. Ingatanku tentang dirimu mencakup dua hal itu. Apa selama ini ucapan maafmu hanya sekadar kata tanpa makna?"
"Cukup, Pry. Haruskah aku mengulang kata maaf ribuan kali agar kamu puas. Katakan saja kamu inginkan tapi bila aku sudah melakukan apa yang keinginanmu, jangan pernah mengangguku lagi!" balasku kesal.
Seorang perempuan tiba-tiba mendekati meja kami. Keberadaannya sangat mengejutkan terlebih ketika aku sadar siapa yang baru saja datang. "Leorin, aku bisa jelaskan. Kamu jangan salah paham. Kami bukan... "
Leorin, tunangan yang menjalin hubungan dengan Priya, berdiri di sampingku. Wajahnya pucat dengan mata yang sembab. Ia menatap lirih ke arah Priya tapi ekspresi laki-laki itu begitu dingin. "Kak, kita harus bicara."
"Tidak ada hal penting yang harus di bicarkan lagi. Keputusanku tidak akan berubah kecuali kamu mampu melakukan permintaanku."
Leorin menoleh padaku. Tatapan sendunya membuatku bingung. Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan. "Kak Dama masih sayang sama Kak Priya?"
"Maksud kamu apa, Rin?"
"Kakak mau kembali sama Kak Priya?"
"Kamu sudah gila? Pertanyaan macam apa itu? Pry... "
"Tolong kembali pada Kak Priya. Cuma itu jalan agar hubungan kami kembali membaik."
Aku memijat kening yang mendadak pusing. "Bagaimana mungkin Kakak kembali padanya sementara kalian berdua masih terikat."
"Aku tidak keberatan," balas Leorin penuh harap.
Priya tersenyum padaku. "Kamu lupa dengan ucapanmu tadi kalau akan melakukan apapun untuk mendapatkan maafku?"
Tbc
Maaf ya readers semua, update kali ini delay nya lama. Kalo yg pernah baca status author di fb beberapa waktu lalu masih kurang fit jadi imbasnya ke cerita ya. Agak sulit buat ngerangkai kata karena kondisi badan jadi maaf kalau kali ini part nya pendek. Harap dimaklumi ya, bukannya sengaja mau php.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro