Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12

Suara detik jam terdengar jelas memecah keheningan. Pertemuan tak terduga dengan Priya tadi sore masih terbayang. Mood  seketika memburuk, sekuat apapun usaha untuk mengembalikan semangat. Kini tinggalah diriku sendiri, duduk dilantai dingin sambil memeluk lutut yang tertekuk.

Bagaimana caranya mengusir rasa bila  sayang itu ternyata tak juga menghilang. Belum lagi betapa beratnya  bersikap tak acuh di saat sebagian dari diri masih berharap lebih. Dan harus dengan cara apa melupakannya jika sakit di hati tidak mampu membebaskan diriku dari kenangan masa lalu.

Kepalaku mendongkak, menatap kesekeliling ruangan. Selain barang yang nilai dan jumlahnya tidak seberapa, pengisi ruangan ini menyisakan kesunyian. Rangkulan di lutut semakin menguat ketika sadar akan kesepian. Mimih, aku rindu.

Ketegaran itu runtuh seiring bergulirnya butiran bening dari sudut mata. Tubuhku bangkit sambil mengigit bibir. Menahan isakan yang meronta ingin keluar.  Kaki berjalan menuju tempat tidur. Perlahan kurebahkan tubuh, mengusap jejak tangis lalu memejamkan mata seraya tak henti berdoa, berharap semua ketidaknyaman akan hilang saat terbangun nanti.

Keesokan pagi aku memulai hari dengan wajah sembab. Semalam entah berapa kali terjaga dari mimpi buruk. Di kala terbangun,aku habiskan waktu dengan melamun lalu kembali mencoba memejamkan mata. Niat untuk menemui Tante Micha pun terpaksa di batalkan karena ingin mengurung diri di kamar.

Meta tiba-tiba muncul di depan pintu kamar kos. Ia mengomeli karena diriku tidak mengangkat telepon atau membalas pesan darinya sejak kemarin malam. Kekesalannya semakin bertambah melihat mataku yang memerah. Tanpa perlu banyak bertanya atau mendesak, ia sudah bisa menebak apa penyebabnya.

"Ayolah, Dam. Jujur saja pada Priya. Seburuk apapun reaksinya nanti, itu lebih baik daripada terus menerus menutupi kebenaran. Sekalipun sikapnya jadi menyebalkan, ia berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya."

"Keadaannya nggak semudah itu, Ta. Ini menyangkut pihak lain selain aku dan Priya. Apalagi saat ini Priya sudah memiliki tunangan. Aku tidak ingin mengacaukan hubungan keduanya. Menjadi orang ketiga bukan caraku memecahkan masalah."

"Maksudmu pihak lain itu ibunya priya atau Leorin? Cepat atau lambat kebohongan yang kamu sembunyikan akan terkuak juga. Tuhan memiliki jalan sendiri untuk memperlihatkannya. Dan apa tidak lebih menyedihkan bila Priya mengetahui soal ini nanti, menghadapi kenyataan bahwa ibunya adalah pihak yang justru menjauhkannya dari kekasihnya. Ini yang kamu maksud  untuk kebaikannya?"

"Semua sudah menjadi bubur. Aku tidak bisa menarik apa yang sudah terjadi. Lepas dari permintaan ibunya Priya, suka tak suka Leorin lebih pantas bersama Priya. Perempuan itu memiliki apa yang Priya butuhkan dari seorang pasangan. Kecantikan, latar belakang keluarga bahkan pendidikan. Sementara aku, asal usulku saja tidak jelas. Meskipun aku tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, rasanya mudah untuk di pahami kalau setiap ibu pasti ingin yang terbaik untuk putranya."

"Ini nih yang aku nggak suka dari kamu. Berapa lama kita berteman dengan Priya sampai kamu belum paham dengan caranya menilai seseorang. Ia pasti lebih memilih teman tapi mesra atau friend with benefit denganmu bila pikirannya picik. Tapi sepenglihatanku dulu, perasaannya tulus padamu tanpa memandang latar belakang dirimu. Cobalah untuk tidak selalu merendahkan diri sendiri. Sekalipun dunia memandang kecil arti dirimu tapi Tuhan menciptakan semua manusia sama rata, semua istimewa dengan kelebihan masing-masing. Hanya saja terkadang kita lupa bersyukur dan selalu merasa kurang ini dan itu. Sekalipun ibunya tidak menyukaimu tapi Priya berhak mendapat penjelasan. Setidaknya kalaupun keputusannya adalah perpisahan, hal itu  menjadi keputusan bersama bukan sepihak."

Aku tertegun, meresapi perkataan Meta. "Tapi dunia mempunyai aturan sendiri dimana kekayaan, fisik dan kekuasaan masih begitu di agungkan."

"Benar tapi tidak semua orang berpendapat sama, setidaknya masih banyak orang yang mempunyai empati dan hati nurani. Salah satunya dirimu. Setelah melewati rangkaian kehidupan yang sulit, kamu masih bisa bertahan. Aku sendiri belum tentu sanggup." Meta menghela napas sesaat. Jemarinya menggenggam erat tanganku. "Bila keputusanmu sudah bulat untuk tetap merahasiakan hal ini,  kenapa tidak mencoba untuk membangun kehidupan baru. Menjalin hubungan dengan laki-laki lain misalnya."

Genggaman tangannya kulepas. "Aku sedang tidak ingin membahasnya sekarang."

"Lalu kamu akan tetap seperti ini, meratapi laki-laki yang sebentar lagi akan menikahi perempuan lain? Menghabiskan waktu mengurung diri di kamar sambil menangis."

"Bukan begitu. Aku hanya tidak ingin memanfaatkan pihak lain hanya untuk jadi pelarian. Ini tidak adil."

"Baiklah tapi sampai kapan kamu tetap berpengang teguh untuk tetap sendiri?"

"Sampai Priya menikah, setelah itu aku mungkin akan berusaha menata hidup kembali."

"Argh. Sejak dulu kalian berdua memang pintar membuat kesal orang, sama-sama keras kepala," decak Meta.

Pembicaraan mengenai Priya terhenti ketika suara perutku mulai berisik minta diisi. Kami memutuskan pergi keluar untuk makan siang meski sebelumnya Meta mati-matian menolak tawaran delivery. Salah satu alasan keenggananku karena menghindari bila harus melihat kebersamaan Priya dan Leorin. Entah kenapa aku menduga kalau akan sering melihat laki-laki itu di sekitar tempat kos.

Meta mengajak diriku ke sebuah Mall. Kami menghabiskan waktu bersama mengingat momen seperti sekang akan sulit terjadi setelah ia menikah nanti. Kehadirannya sedikit banyak membantu mengalihkan perhatian. Aku cukup menikmati hari ini.

Dua hari berselang sejak pertemuan terakhir dengan Priya, laki-laki itu tidak menampakan batang hidungnya di kantor. Tapi aku sama sekali belum tenang. Sejak awal pertemuan kami kembali, rasanya seperti menunggu bom meledak.

Menjelang pukul enam sore, seusai membeli makanan setelah pulang kerja, aku baru menginjakan kaki di tempat indekos. Biasanya beberapa penghuni kos masih berada di teras, sekadar berkumpul atau menunggu tukang bakso langganan lewat. Aku kadang berbasa-basi dengan mereka  sebelum masuk kamar. Tapi sore ini keadaan tampak sepi.

"Sore, Dam." Sapa seseorang dari belakang. Suara beratnya terdengar tidak asing di telinga.

Tubuhku reflek berbalik tanpa berpikir lebih dulu. "Sore. Pry," balasku dengan suara hampir bergetar.

Sore itu, di bawah cahaya lampu teras yang temaram, Priya tampak sangat dewasa. Kemeja warna biru tua dan celana panjang hitam masih melekat membalut tubuh tingginya yang tegap. Rambutnya rapih meski sudah mulai panjang. Sorot matanya tampak lebih tajam, memandangi intens seolah sedang berhadapan dengan buruan. Rahang kokohnya ditumbuhi bulu halus. Ah, kenapa ia menjadi setampan ini keluhku dalam hati.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, tak kuasa menilai lebih jauh. Perasaan ini tidak boleh tumbuh, meneruskan cintaku padanya hanya akan menyakiti orang-orang di sekeliling kami. Sekalipun perih, pada kenyataannya kami sudah menempuh jalan yang berbeda.

Priya berdiri di depan pagar. "Sementara aku akan tinggal di tempat kos sebelah."

Sebenarnya aku sudah menduga maksud kedatangannya beberapa waktu laku tapi tidak pernah menyangka akan terjadi secepat ini. "Oh, semoga kamu betah. Kalau nggak ada pertanyaan lagi, aku mau kembali ke kamar."

"Silahkan tapi kamu masih berhutang penjelasan. Tenang saja, aku nggak akan memaksamu mengatakannya sekarang. Selamat beristirahat." Priya membalikan tubuhnya.

Mataku terpejam sesaat. "Aku minta maaf karena telah meninggalkanmu. Membicarakan hal ini kurasa akan membuat Leorin nggak nyaman. Terserah kamu bila ingin membenciku tetapi bisakah berhenti mengungkit kenangan itu. Aku sudah menganggap semua bagian dari perjalanan hidup." Dengan susah payah suaraku akhirnya mampu keluar.

Priya menghentikan langkahnya, wajahnya menoleh tanpa membalikan badan. Sudut matanya melirik tajam. "Aku sudah berhenti membencimu sejak menyadari ada perempuan lain yang lebih pantas untuk kusayangi."

Kedua tanganku mengepal kuat. Meremas tali plastik berisi makanan yang baru dibeli. Dada terasa sangat sakit, seolah ada ribuan paku yang tertancap. "Ya, Leorin memang lebih pantas untukmu," desisku pelan lalu berbalik, kembali berjalan dengan sisa kekuatan.

Malam itu perasaanku terasa remuk. Air mata kembali turun untuk kesekian kali. Aku tidak mengerti kenapa masalah hati bisa membuat ketegaran bagai bungkus plastik yang sudah tak terpakai. Bukankah pengalaman hidup mengajarkanku untuk tidak cengeng.

***

Besok dan hari-hari berikutnya, aku mencari cara demi menghindari Priya baik di kantor maupun sekitar tempat indekos. Mencari pekerjaan baru pun jadi salah satu agenda kala senggang. Semua mulai melelahkan sementara diriku harus menjaga pikiran agar tetap berfungsi dengan baik.

"Eh, Dam. Udah tau gosip terbaru belum?" Sari mendatangi meja kerjaku saat tiba waktu istirahat.

"Gosip tentang apa?" balasku malas-malasan.

"Pak Priya katanya, ini baru katanya ya, ketahuan selingkuh sama tunangannya."

Bola mataku berputar ke arah Sari. "Ketahuan selingkuh? Serius" ulangku tak percaya.

Sari mengangguk. "Berita yang aku dengar begitu. Katanya tunangannya mergokin Pak Priya lagi dinner sama perempuan lain beberapa waktu lalu. Katanya lagi nih, pertunangan mereka juga dibatalkan."

"Itu nggak mungkin, Priya eh maksudku Pak Priya kayaknya tipe laki-laki setia. Sepengetahuanku sejak mulai kerja disini, ia nggak pernah flirting atau menggoda karyawan perempuan lain."

"Kita memang nggak bisa menilai seseorang hanya dari penampilan luar. Pak Priya mungkin terlihat seperti laki-laki baik tapi siapa yang tahu dengan karakter aslinya. Oh ya, kamu mau ikut ke kantin nggak?"

Kepalaku menggeleng. "Nggak, bawa bekal dari rumah. Biasa tanggal tua."

Sari manggut-manggut dengan alasan yang kuberikan. Entah sampai kapan aku harus menutup kebohongan dengan kebohongan lain.

Bekal yang aku bawa hanya roti isi dan air mineral. Tidak terlalu mengenyangkan tapi cukup untuk mengganjal perut sementara waktu. Aku bersandar di dinding, memperhatikan keluar jendela seperti biasa sambil menyuap.

Keributan sepasang kekasih di bawa sana, tepatnya di parkiran mengusik rasa penasaran. Bila diperhatikan, kedua orang itu seperti Priya dan Leorin. Bahasa tubuh keduanya menunjukan ada permasalahan cukup serius. Apa rumor yang dikatakan Sari itu benar? Sebelum denganku, Priya pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita tetapi setiap perpisahan mereka bukan karena perselingkuhan.

Priya bergeming ketika Leorin mengguncang lengan laki-laki itu. Berbicara dengan berurai air mata. Pertengkaran mereka berakhir saar Priya berjalan kembali ke kantor, meninggalkan Leorin yang belum beranjak dari tempatnya.

Seiring berlalunya waktu makan siang, aku memaksa pikiran untuk fokus pada pekerjaan. Rumor dan pertengkaran Priya dengan Leorin mau tidak mau sedikit menganggu. Terlebih Sari sempat mengatakan kalau kabar  pertengkaran tadi sempat jadi perhatin karyawan lain ketika ia kembali. Ah sudahlah, permasalahan keduanya bukan lagi urusanku.

Pekerjaan yang menutup mengharuskan diriku pulang agak malam. Aku tidak terlalu keberatan selama bisa menghindari Priya atau Leorin. Setidaknya menghindari jadi sasaran kesalahpahaman lain bila perempuan itu melihatku. Aku merasa  yakin Priya belum atau tidak memberitahunya kalau kami bekerja dalam satu perusahaan.

Jam dinding sudah menunjukan pukul tujuh malam. Suasana ruangan tempatku bekerja tampak sepi, menyisakan diriku dan beberapa rekan kerja. Aku meregangkan otot tangan yang kaku setelah menyelesaikan laporan. Perut yang mulai keroncongan membuatku merapikan meja dengan cepat lalu pamit.

Sepanjang jalan pulang, pikiran kembali bertanya-tanya. Sulit sekali untuk tidak peduli. Sekalipun harus mengakui kalau perasaan pada Priya masih tetap sama, aku tidak berharap kejadian seperti tadi terjadi. Bagaimanapun nama baik Priya yang jadi taruhannya.

"Damara?" Suara perempuan memanggil namaku terdengar jelas saat menyusuri jalan menuju tempat indekos.

Penerangan memang temaram tapi bisa dipastikan sosok itu seorang perempuan paruh baya. Ia berjalan mendekat, langkahnya begitu tergesa-gesa. Kepalanya sempat menoleh kesekeliling seolah khawatir ada yang melihat.

"Damara? Kamu Damara, kan?"

Aku tertegun, menyadari siapa perempuan yang berdiri dengan raut kaget. Wajahnya tampak pucat. Ketakutan sekilas membayang dari sorot mata. "Iya, saya Damara. Tante sedang apa disini malam-malam?" tanyaku sesopan mungkin.

Tante Sinta menatapku dari rambut hingga ujung kaki. "Kamu tinggal di daerah sini?"

"Iya, saya kos di sekitar sini, Tante."

"Jangan-jangan kamu sudah bertemu dengan Priya?"

"Kami pernah bertemu beberapa kali. Saya juga sudah mendengar kalau ia akan segera menikah."

Tante Sinta mendekat tanpa aba-aba. Tubuhku terdorong hingga menyentuh dinding rumah warga sekitar, tangannya bergetar hebat saat mencengkram kedua lenganku. "Apa kamu mendekatinya karena berniat membalas dendam ?"

"Apakah bila saya bilang tidak, Tante akan percaya?"

Tante Sinta melepas cengkramannya tapi tubuhnya masih bergetar. "Maafkan Tante, Dama. Tolong biarkan Priya hidup tenang. Anak itu tidak tahu apa-apa. Katakan apa yang kamu inginkan?" Kalimat terakhir Tante Sinta mengejutkanku.

"Jangan sangkut pautkan saya dengan Priya lagi. Kami memiliki jalan hidup masing-masing. Tante tidak perlu khawatir, saya sudah merelakan Priya. Bukankah sekarang Priya sudah menemukan pasangan yang tepat, seharusnya keberadaan saya bukan sesuatu yang perlu dicemaskan. Atau Tante takut saya mengatakan pada Priya alasan sebenarnya perpisahan kami?"

"Ibu? Damara, kalian sedang apa di situ." 

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro