Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 11

Malam ini hujan turun sangat lebat. Angin yang berhembus kencang menambah dingin suasana disekeliling. Halte bus, salah satu tempat berteduh mendadak dipenuhi orang-orang yang menghindari guyuran air dari langit.

Aku termasuk salah satu diantara mereka. Sebenarnya sepulang dari rumah Pak Revian, dengan terpaksa diriku menerima tawaran Priya untuk pulang bersama. Laki-laki itu mungkin hanya berbasa-basi atau sengaja menjaga image agar terkesan punya empati. Mungkin.

Pertemuan tak terduga sore tadi masih membekas. Sesuatu yang sebenarnya kapan saja bisa terjadi mengingat kami bekerja dalam satu perusahaan. Tapi ternyata kenyataanya tak semudah bayangan, terutama ketika kilatan tajam laki-laki itu dipenuhi kebencian.

Udara dingin yang mengigit kulit terasa lebih baik bila dibanding berada dalam satu mobil dengan Priya. Aura mendominasi dirinya membuatku gugup dan gelisah. Ia bukan lagi laki-laki yang kukenal dulu, sosok ceria itu berganti dingin dan angkuh. Aku sadar ini adalah resiko dari keputusanku.

Ketika Priya tiba-tiba menepikan mobil dan mengatakan tidak bisa mengantar karena ada keperluan lain, bukan sesuatu yang harus di permasalahkan. Suara perempuan yang menelepon disela-sela konsentrasinya menyetir sudah pasti jadi alasannya. Ada perempuan lain yang telah mengisinya.

Tanpa sadar jemari mengusap dada. Berusaha menenangkan serpihan perih yang menusuk-nusuk. Sedikit menyebalkan, setelah sekian lama dipisahkan oleh jarak dan waktu, rasa sakit ini masih sama seperti saat terakhir kali melihatnya.

Jam menunjukan pukul sembilan tepat ketika tiba di tempat kos. Kendaraan umum yang lewat hampir selalu penuh, tidak sebanding dengan jumlah penumpang yang menunggu giliran naik. Begitu pula dengan taksi atau kendaraan umum lain. Aku harus bersabar sampai akhirnya hanya beberapa orang tersisa.

Suasana tempat kos mulai sepi, biasanya sebagian besar penghuni lain sudah berada di kamarnya. Hujan di luar sana yang belum juga berhenti membuat orang-orang lebih menyukai berada di tempat hangat.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian basah, aku duduk dilantai setelah membuat segelas teh manis hangat. Menyesap perlahan kehangatan yang mengaliri tenggorokan meski belum mampu mengusir dinginnya angin dari sela-sela jendela. Perasaan mendadak menjadi melankolis ketika menyadari hanya diriku sendiri di ruangan ini.

Aku meneguk habis sisa teh di gelas, lalu memilih berbaring di kasur. Beberapa kali mata mengerjap, menahan lelehan panas yang mulai menggenang. Kekuatan, ketegaran dan keyakinan yang selama ini tertanam seolah menghilang satu persatu. Selain Mimih, Priya menjadi bagian terpenting tapi kini aku bahkan tidak berhak mengingatnya.

Kamu kuat, Dama.

Panas dan pusing mulai menganggu saat terbangun keesokan pagi. Entah karena kehujanan semalam atau terlalu mengkhawatirkan keberadaan Priya. Aku mengucek-ngucek mata, mengumpulkan kesadaran lalu perlahan mengubah posisi menjadi duduk.

Tanpa menunda lebih lama dengan diam, kupaksa tubuh agar bangkit. Menyeret kaki untuk segera menyegarkan tubuh dan bersiap pergi ke kantor. Mengingat hal terakhir sukses membuat semangat menjauh. Tapi apa boleh buat, selama belum mendapat pekerjaan baru, aku harus membiasakan diri melihat sosok Priya.

"Pagi, Dam. Kamu kenapa? Wajah kamu pucat banget? Sakit ya." Sapa Sari begitu tubuhku menghempas kursi kerja.

"Nggak enak badan kayaknya, Sar ."

"Coba aja izin kerja setengah hari daripada kamu makin sakit."

"He eh, nanti aku coba bilang sama Bu Manda deh." Aku tersenyum kecut mendengar saran Sari, mengingat Ketua Divisi tempatku bekerja itu terkenal galak.

Hidup itu tidak mudah, butuh perjuangan dan harus selalu bersyukur baik itu sesuatu yang baik maupun buruk. Tekanan dan masalah yang hadir sejak mengenal dunia sedikit banyak cukup membantu setiap berhadapan dengan masalah. Hanya saja kadang perasaan ingin menyerah muncul begitu kuat tanpa bisa dicegah.

"Dam, masih melamun aja. Mau ke kantin nggak?" Sari dan Dewi menepuk bahuku. Terlalu memusatkan konsentrasi membuatku lupa waktu.

Kepalaku menggeleng. "Masih pusing nih. Boleh titip makanan aja ya, please."

"Sip. Eh kamu nggak jadi minta izin sama Bu Manda?" tanya Sari.

"Nggak apa-apa, nanggung. Toh besok juga libur."

"Kalau begitu kita ke kantin dulu ya. Kamu istirahat, jangan kerja terus nanti kepalamu makin pusing."

Perhatian kedua teman baru jadi hiburan tersendiri. Setelah semua cerita pahit yang datang, aku sungguh membutuhkan kehidupan normal. Bersosialisasi layaknya seperti orang pada umumnya dan bukannya mengalihkan kekesalan pada hal negatif.

Bosan dengan suasana ruangan yang sepi. Aku melangkah menuju jendela. Menikmati lalu-lalang keramaian di luar sana. Kebetulan ruangan tempatku menghadap ke arah tempat parkir dan jalanan utama. Setiap waktu makan siang dan sore hari memang selalu padat oleh kendaraan.

Pandangan mata tiba-tiba menangkap sosok di tempat parkir. Seorang perempuan berambut panjang keluar dari mobil sedan merah. Ia berlari kecil menghampiri laki-laki yang berdiri di depan pintu masuk kantor. Laki-laki itu membuka kedua tangan, menyambut Sang wanita yang menghambur dalam pelukan.

Jantungku serasa di remas begitu kuat. Menatap perih pasangan yang tampak bahagia. Priya tersenyum saat mengusap puncak kepala Leorin. Perempuan itu tampak akrab dengan rekan kerja Priya lainnya. Aku berusaha tersenyum, ikhlas. Ini yang terbaik, gumanku dalam hati.

Semenjak itu aku selalu berusaha untuk tetap tegar. Berulang kali meyakinkan diri sendiri agar tidak lemah. Sulit? Pastinya apalagi menyadari rasa yang tertinggal masih begitu kuat tertanam. Berhadapan dengan realita tidak semudah mengucap kata-kata penambah semangat.

"Damara." Panggil Sari di tengah kesibukan mengerjakan laporan."Di panggil Pak Priya."

Jemari berhenti bergerak di atas key board. "Pak Priya? Dari bagian pemasaran?"

"Iya."

Aku mengigit bibir cukup keras. "Sekarang?" tanyaku belum sepenuhnya yakin. Berharap ada yang salah dengan indera pendengaran.

"Minggu depan. Ya sekarang tau, Dam. Cepat pergi, nanti di marahi lagi." Dengan terpaksa aku bangkit.

Gelisah membayangi setiap langkah. Padahal selama ini, aku sudah mempelajari waktu dan tempat yang biasa di datangi Priya demi menghindari pertemuan tak terduga. Terkadang membawa bekal sendiri atau mengajak teman makan di luar kantor agar tidak perlu ke kantin.

Kuhirup udara dalam-dalam, mengambil napas panjang ketika melihat ruangan Priya semakin dekat. Apa yang ada dalam pikiran menjadi serba salah. Menenangkan jemari yang masih bergetar menjadi begitu sulit.

Dan oh Tuhan, apa yang sedang laki-laki itu lakikan di depan pintu ruangannya. Dama bodoh, tentu saja ia bebas melakukan apa saja termasuk menerima telepon di luar ruangan.

Aku memasang wajah setenang mungkin. Menyelipkan gugup dan perasaan sejenisnya jauh melewati batas pertahanan. Tak ada pilihan daripada mempermalukan diri sendiri dengan bersikap pengecut. Aku harus mampu beradaptasi, membedakan masalah pribadi dan urusan kantor.

Priya menoleh, memincingkan mata ketika menyadari kehadiranku didekatnya. Ia menghentikan sambungan teleponnya, mengucapkan kalimat sayang pada seseorang diseberang sana. Well, siapa lagi kalau bukan untuk Leorin, tunangannya.

"Lama sekali, masuk." Sikap arogannya menyebalkan. Ia bukan lagi orang yang sama yang pernah kukenal. Senyumannya bukan lagi milikku. Sorot mata itu kini dipenuhi kebencian. Amarah yang mampu meremukkan setiap sendi dalam tubuh.

Priya duduk di mejanya. Bahasa tubuh laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Aku tidak pernah menyangka akan bertemu kembali denganmu."

Dengan sisa kepercayaan diri, kuberanikan menatap tanpa ragu. "Apa saya dipanggil bukan untuk urusan pekerjaan?"

"Teruslah menghindar. Dimana nyalimu seperti saat memutuskan pergi meninggalkanku."

"Apa kamu bahagia, Pry?" tanyaku tulus.

"Tentu saja."

"Kalau begitu untuk apa mempertanyakan masa lalu toh kamu akhirnya menemukan kebahagiaan. Belum tentu semua ini kamu dapatkan jika kita masih bersama."

"Kebahagiaanku tidak tergantung dari masa lalu kita. Bukan hal aneh karena sejak awal dirimu memang meragukan kemampuanku. Alasanku memanggilmu memang bukan untuk masalah kantor, aku hanya ingin tau sebenarnya apa alasan kepergianmu."

Aku menghela napas. Selalu saja sulit menemukan kata-kata yang pas untuk mengakhiri pembicaraan inu. "Hal itu tidak penting lagi sekarang. Apa masih ada pertanyaan lagi? Bila bukan menyangkut pekerjaan, sebaiknya aku pergi."

Priya memainkan jemarinya di atas meja, mengetuk-ngetuk dalam adegan lambat. Tatapan tajamnya bagai siap menghunus. "Sepertinya aku sudah membuang waktu lima menit berhargaku. Tapi setidaknya aku cukup lega kerena roda kehidupan berputar tepat pada waktunya terutama setelah melihat dirimu sekarang."

"Seperti katamu, roda kehidupan berputar tepat pada waktunya. Bertemu kembali denganmu semakin menguatkan keputusanku untuk pergi. Bukan hanya dirimu yang sudah move on. By the way, congrat atas pertunangan kalian."

Kukerahkan segenap tenaga untuk bangkit. Berdiri tegak dan memastikan berjalan lurus. Setelah bicara dengan sedikit agak angkuh. Menahan gelombang dan riak kepedihan.

"Apa kalian masih bersama? Katakan dimana Gaharu sialan itu sekarang!" Priya bergerak cepat berjalan selanglah di hadapanku. Jemari besarnya menahan pintu yang hampir terbuka. Kilatan kemarahan dimatanya berpedar kuat.

"Gaharu," gumanku tanpa sadar. Sosok itu sudah lama tidak terdengar kabarnya. "Aku tidak tau dimana dia sekarang tapi dengan siapa aku bersama bukan lagi urusanmu."

"Kamu pikir setelah meninggalkanku begitu saja, aku akan membiarkanmu melenggang bebas."

"Please, Pry. Grow up. Di dunia ini banyak pasangan yang putus sambung setiap detiknya. Kenyataan hubungan kita tidak berjalan lancar merupakan sesuatu yang biasa. Tapi aku minta maaf kalau waktu itu sudah menyakitimu. Urusan kita sudah selesai, kan."

"Kamu banyak berubah atau memang diriku baru menyadari inilah sosokmu yang sebenarnya," ucapnya sinis dibalik nada getir.

"Terserah padamu menilaiku seperti apa. Tapi jangan terlalu keras mencoba karena ada hati lain yang akan tersakiti. Aku tidak keberatan kalau bila kita pura-pura tak saling mengenal."

"Kamu pikir aku akan meninggalkannya hanya karena kamu tiba-tiba muncul? Hanya untuk dirimu, heh." Percikan amarah membayang di bola mata dihadapanku.

"Nope. Tapi aku ragu, bayanganku sudah terhapus bersih dari hatimu. Jika tidak, kenapa aku masih bisa melihat rasa itu dari sorot matamu. Apa tebakanku benar?" balasku tenang.

"Kau," geramnya.

"Boleh saya pergi, Pak?"

"Kamu akan menyesal. Aku tidak akan membiarkanmu tenang."

Aku tersenyum, menepikan perasaan yang bercampur aduk."Bukankah dari awal kita bertemu, aku memang sudah membuatmu tak tenang. Permisi, Pak Priya."

Sore itu menjadi pertemuan terakhir kami. Keberadaannya di kantor jarang terlihat. Selama itu aku berusaha tetap berpikiran positif. Toh kondisi saat ini lebih baik daripada bertemu tetapi saling melontarkan kata-kata tajam.

"Dam, malam nanti kita jalan yuk. Besok, kan libur," bujuk Sari setelah selesai waktu kerja.

"Minggu depan aja ya, udah bulan tua nih. Sisa gaji baru habis buat bayar kos."

"Memang udah habis banget? Gue pinjemin dulu deh. Kita belum pernah malam mingguan bareng loh."

"Namanya juga anak kos, Sar. Masih ada sih sedikit simpanan cuma itu buat jaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Next time aja ya, minggu depan pas gajian." Sari merengut kesal meski akhirnya berhenti membujuk. Ia mulai mengenal karakter sahabatnya yang keras kepala.

Sebenarnya aku sudah mempunyai rencana lain. Pergi mengunjungi Tante Micha, sahabat dekat Mimih sekaligus orang terdekat kami. Kabar terakhir ia sudah berhenti dari dunia remang-remang dan membuka warung. Rumah tempat tinggalku dulu kebetulan di beli olehnya. Tapi sebelumnya, aku ingin beristirahat sebentar.

Keningku mengerut melihat mobil yang tampak familer terparkir di depan gang menuju tempat kos. Sapaan salah satu penghuni kos dari arah berlawanan tiba-tiba membuyarkan lamunan. Langkah kembali kulanjutkan setelah kami berpisah.

Degub jantung kembali berlomba untuk kesekian kali ketika melihat seseorang keluar dari bangunan besar tepat di depan tempat kosku. Ingatan kembali berputar pada mobil yang baru terparkir tadi. Pantas rasanya tidak asing, ternyata pemiliknya berada di tempat ini.

Priya tengah bicara dengan perempuan paruh baya di depan pagar. Bangunan berlantai dua dan merupakan salah satu tempat kos paling mahal di deretan jalan ini. Semoga saja ini bukan pertanda ia akan tinggal di sebelah tempat tinggalku.

Bola mata berputar ke arah gang kecil di sisi kiri. Jaraknya hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Ini bukan soal pengecut atau tidak tapi baru saja memikirkan ada ketegangan di antara kami sudah membuat perasaan tak nyaman.

Dan terlambat, sebelum aku melangkah, Priya lebih dulu menoleh. Otak mulai panas mencari alasan bila keadaan mengharuskan kami bertegur sapa. Aku memutuskan bersikap tak acuh sambil terus berjalan. Sedapat mungkin menghindari tatapannya dengan berpura-pura menjawab telepon.

Tubuhku hampir membeku menyadari pemilik tempat kos sebelah tak lagi terlihat. Priya berdiri di sisi pagar, menyusupkan kedua tangannya ke saku celana. Ia menatap tempat kos yang kutinggali dengan tatapan datar.

"Aku pikir Gaharu memberimu kehidupan yang lebih nyaman," ucapnya sebelum tanganku membuka pagar.

Nama laki-laki yang di sebut Priya melintas. Keberadaannya mendadak lenyap tanpa kabar. Aku pikir ia akan terus menganggu setelah memberi penawaran sulit yang mengubah jalan hidup kami.

"Sudah kubilang, kehidupanku bukan lagi urusanmu."

"Jangan sinis begitu. Seburuk apapun masa lalu kita berdua, aku masih menghargai Mimih. Sayang sekali ia sudah meninggalkan dunia ini sebelum aku bisa menemuinya. Setelah berjuang membesarkanmu, ia layak mendapatkan rasa aman dan nyaman. Aku kira Gaharu mampu memenuhi hal itu."

"Terima kasih atas simpatimu. Bila kamu memang menghargainya, tolong doakan ia. Permisi."

Priya memilih diam. Aku mencoba mempertahankan ketenangan. Menghindari kecerobohan atau berbuat kesalahan kecil karena gugup. Priya bisa tersenyum puas jika tiba-tiba aku terpeleset karena kurang hati-hati. Tapi memang sulit ketika sudut mata masih mendapatinya belum bergerak sedikitpun.

Napas terasa sesak masih bisa mendengar suara deringan ponsel miliknya. Kedua tangan memeluk tas sangat erat seolah menjadi penyangga tubuh yang terasa lemas. Mata mengerjap beberapa kali, menahan bulir panas.

Suara berat itu berubah rendah dan lembut saat menjawab, "Aku tidak sedang bersama perempuan lain. Aku jemput kamu sekarang ya."

tbc
Maaf ya baru bisa update. Cerita lain di usahakan bisa cepat update juga. Have a nice sunday.

Dinni83

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro