Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1

IF you love somebody, let them go, for if they return, they were always yours, If they dont, they never were - Kahlih Gibran

***********

Hujan menyisakan rintiknya, membasahi bumi sejak tadi pagi. Malam semakin larut, menggoda setiap tubuh lelah segera berlindung dalam hangatnya balutan selimut. Dinginnya angin menghembus dedaunan, menciptakan suara yang membuat bulu kuduk berdiri.

Tubuhku masih belum beranjak dari kursi tua yang mulai rapuh. Satu-satunya penghias di halaman yang gersang. Pandanganku terarah pada keramaian di ujung jalan. Geliat kehidupan yang baru di mulai di saat sebagian besar manusia terlelap dalam buaian mimpi. Semua aroma dunia bercampur didalamnya dan menciptakan pandangan buruk di di setiap kepala yang melewatinya. Ya, disanalah dunia para kupu-kupu malam.

"Dama." Usapan lembut di bahu mengejutkan lamunanku.

Kepalaku mendongkak, menatap seraut wajah yang mulai di hiasi keriput halus. Senyuman tulus tersungging menghadirkan perasaan hangat. Wanita yang mengenakan jaket tebal itu duduk di sampingku. "Tidurlah, udara malam tidak bagus untuk tubuh. Lagi pula untuk apa kamu memperhatikan orang-orang itu? Di sana bukan tempatmu."

Senyumku miris, teringat lingkaran peristiwa yang tidak bisa di katakan bahagia. "Tenang saja Mih, akal sehatku masih berfungsi dengan baik. Hanya saja semua terasa menggelikan, keluarga yang seharusnya melindungi justru membuang Dama dan satu-satunya yang peduli hanya Mimih. Wanita yang di anggap kotor meskipun sudah meninggalkan dunia kelam itu sejak lama. Ironis bukan, orang yang Dama anggap bersih justru melakukan hal yang tidak lebih baik dari wanita-wanita itu."Kedua tanganku mengepal menahan amarah.

Mimih mengusap punggungku yang menegang. "Hidup semua orang tidak selalu sama. Berbaik sangkalah, klise memang tapi semua cerita pahit yang kamu jalani hari ini pasti ada hikmahnya."

"Andai saja Dama tau apa hikmah semua ini sekarang," keluhku sambil mengendorkan tenaga.

"Sebuah penyesalan tidak akan pernah datang jika terjadi di awal masalah. Percayalah bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan lebih dari yang mampu di tanggung umatnya." Hibur Mimih masih dengan menepuk lembut punggungku.

Aku menghela nafas berat. Melirik lirih ke arah wanita yang membantuku berdiri tegak hingga hari ini. "Lalu kenapa Mimih memilih jalan yang salah?"

Pandangan Mimih beralih pada langit tanpa bintang. "Setiap orang mempunyai pilihan dan terkadang tidak semua berujung pada kebaikan. Andai saja Mimih bisa memilih jalan lain tapi sayang masa lalu tidak mungkin terulang. Mimih hanya punya masa depan, waktu yang tersisa untuk kembali berjalan ke arah yang benar. Berusaha mengurangi dosa yang bertumpuk tanpa akhir."

Jemariku meremas tangan yang sering bekerja kasar. Mimih menggantungkan hidupnya dengan bekerja di sebuah pembuatan barang dari rotan rumahan. Kegiatan yang di adakan untuk wanita ingin keluar dari lembah hitam meskipun hasilnya tidak seberapa.

"Kalau begitu, biarkan Dama bekerja paruh waktu. Mimih tidak punya alasan untuk membiayai kuliah Dama. Harusnya Dama yang membayar semua biaya yang sudah Mimih keluarkan."

Wanita paruh baya itu menggeleng kuat. "Tidak boleh. Kamu harus tetap fokus pada kuliahmu. Tidak perlu memikirkan apa yang Mimih sudah keluarkan untuk kamu. Keberadaanmu sudah menjadi penghibur dan harapan yang Tuhan kabulkan. Anugerah yang tidak pernah Mimih sangka akan dapatkan dan salah satu alasan kembali hidup dengan benar."

"Bukannya beban. Hidup Mimih sendiri saja sudah sulit, sekarang ada tambahan Dama lagi."

"Semua masalah tidak akan selesai dengan mengeluh. Sekarang masuklah, besok kamu ada ujiankan?" Ingat Mimih sambil bangkit.

Tubuhku ikut berdiri, menggaruk kepala yang tidak gatal. Teguran Mimih semakin merunyamkan perasaanku. Sekeras apapun usahaku membaca buku berhalaman ratusan, duduk di deretan paling depan atau hadir di kelas tanpa absen sekalipun tetap saja nilai ujian selalu berakhir di huruf C.

Pagi menyambut hari yang tidak cerah. Sisa hujan semalam masih membayang. Mimih hanya menggeleng melihatku tidak bersemangat. Dengan setengah menyeret kaki, aku bergegas pergi setelah menyeleseikan sarapan.

Sepanjang jalan, dalam angkot, pikiranku masih fokus pada materi yang akan kuhadapi. Mengulang catatan yang sempat kubaca sebelum tidur. Bola mataku tiba-tiba berhenti tepat di depan motor saat mobil yang kutumpangi menunggu lampu hijau.

Tempat duduk yang berada di depan pintu tidak mungkin menyembunyikan keberadaanku. Laki-laki yang tengah mengendarai motor besar yang kupandangi menoleh. Dia membuka kaca helm sebelah tangan. Beberapa anak sma di sampingku berbisik sambil mencuri pandang.

Kupalingkan wajahku, berpura-pura tidak melihat sosok yang sekarang dengan terang-terangan menatapku. Dalam hati aku mengutuk lampu merah yang belum juga berganti. Sepanjang sisa jalan menuju kampus, telingaku harus terganggu dengan celotehan anak-anak sma tadi. Beranggapan kalau si pengendara motor tadi memperhatikan mereka.

Kampus masih sepi saat kakiku mulai memasuki gerbang. Kepalaku kembali mencoba fokus dengan mengingat apa yang sudah kupelajari. Ternyata daya ingatku memang tidak bisa di andalkan, semakin banyak mengingat, semakin banyak pula yang terlupa. Payah.

Aku sengaja mengambil jalan memutar, menghindari parkiran motor. Suasana hatiku akan semakin memburuk jika harus melihat orang itu. Heran, di antara semua mahasiswa di kampus ini, kenapa harus aku yang jadi objek bully dia dan teman-temannya.

Perasaan lega menghampiri saat melihat suasana kelas yang masih kosong. Mataku mulai mencari-cari kursi yang sesuai dengan nomor ujian. Letaknya sudah pas, tempat kesukaanku saat ujian, apalagi kalau bukan deretan paling belakang.

Tanganku mulai mengeluarkan catatan setelah duduk. "Masih jaman nulis di meja," sindiran seorang laki-laki menghentikan aksiku.

"Berisik mata empat. Urus saja dirimu sendiri, dasar pelit!" gerutuku kesal. Kenapa dia harus harus satu ruang ujian denganku sih. Sepertinya awan ketidakberuntungan akan segera datang.

Gaharu, laki-laki berkacamata paling menyebalkan di mataku dengan santai menarik kursi di sampingku. Tubuhku mendadak kaku melihat dia dengan sengaja memutar kursi ke arahku. "Ayo lanjutkan nulisnya. Kenapa jadi diam," sindirnya dengan senyum puas.

Kakiku berusaha menendang lututnya tapi dia lebih dulu menghindar. Tawanya semakin keras melihat isi tasku berhamburan karena tidak sengaja terjatuh. Mataku melotot ke arahnya, menahan sabar yang mulai menipis.

Dia bangkit dari kursinya setelah menaruh ransel di meja. Dengan sengaja kakinya menendang salah satu bolpoin yang terjatuh agak jauh dari kakiku. "Sorry," ucapnya tanpa rasa bersalah.

Kuhela nafas panjang, memandangi Gaharu yang berjalan menuju pintu masuk. Tenang Dama, jangan biarkan laki-laki busuk ini menghancurkan konsentrasimu, hiburku dalam hati.

Kepalaku mendongkak ke arah suara keras yang tiba-tiba terdengar. Sedetik kemudian aku tergelak, menertawakan laki-laki berubuh tinggi besar yang sedang tersungkur di lantai. Rupanya Gaharu terjatuh saat tidak sengaja menginjak bolpoint milikku yang dia tendang tadi. Terlalu banyak gaya sih.

Laki-laki itu berdiri dengan susah payah. Sikapnya tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Dia sempat mendelik sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Perlahan tubuhku beranjak menuju bolpoin yang jatuh tadi.

"Ini punya kamu?" Seorang wanita berumur tiga puluhan lebih dulu meraih bolpoint itu. Entah kapan dia masuk ke dalam kelas.

Aku menelan ludah, menatap wanita yang tengah menyodorkan bolpoint yang patah padaku. "I...iya Bu."

Bu Ivana, dosen paling muda dan cantik di jurusanku memberi tatapan tajam. Tubuhku merinding, tidak pernah terbiasa dengan sikapnya jika tidak sengaja bertatap mata dengannya. Pandangannya rasanya seperti ingin memakanku bulat-bulat.

Kepalanya berkeliling, memeriksa keadaan ruangan yang masih kosong. Sosoknya kembali berlalu tanpa basa-basi. Aku memilih diam sebelum dia benar-benar menghilang dari pandangan. Rumor seniorku yang tidak pernah lulus mata kuliahnya karena membuat ulah memaksaku menjaga sikap. Kampus ini sepertinya penuh dengan orang-orang aneh termasuk diriku.

Teman-temanku mulai berdatangan bersamaan dengan di mulainya waktu ujian. Keadaan yang semula ramai menjadi hening. Kejutanpun di mulai, hanya butuh beberapa menit untuk tersadar kalau perjuanganku belajar semalam suntuk tidak berguna karena salah mempelajari mata kuliah yang diujiankan hari ini. Kepalaku mulai pusing, mengais ingatan yang mungkin masih menempel.

Gaharu melirik sekilas dan tersenyum sinis. Seringainya membuatku yakin dia sedang mengejek dalam hati. Dua jam berlalu dan tidak banyak jawaban yang bisa kuisi dengan percaya diri. Sebagian besar malah karangan bebas. Dalam hati aku berdoa dosenku berbaik hati dalam memberi nilai.

Satu persatu teman-temanku menyeleseikan ujian dan keluar dari kelas. Gaharu segera berdiri, tubuhnya yang besar menghalangi pandanganku yang tengah meminta jawaban pada Meta yang duduk di depan laki-laki itu. Kepintarannya memang tidak di ragukan lagi, dia bahkan menjadi asisten dosen mata kuliah yang kusegani. Dengan tenang laki-laki itu melangkah ke arahku, diam-diam memberiku sebuah kertas kecil yang di selipkan di kotak alat tulisku. Keningku berkerut, bingung dengan sikapnya yang berubah baik. Apa karena efek dia terjatuh tadi?

Mau tau jawabannya? BELAJAR bukannya nyontek, pantas kamu nggak pintar-pintar !

Aku hanya bisa menggeram dalam hati setelah membaca kertas yang diberikan Gaharu. Laki-laki itu sempat mengacungiku jempol sambil mengedipkan mata sebelum keluar dari kelas.

Priya, temanku yang kebetulan duduk di belakangku berdehem. "Da, Dam, Damar, Damara, hei Dudidudidam. Si Gahar tadi kasih jawaban apa? Bagi-bagi dong," bisiknya sambil menendang pelan kursiku.

Mataku mendelik sebal pada salah satu sahabatku yang paling suka menyingkat nama orang seenaknya itu. "Sabar!"

Sengaja dia kudiamkan dan mengerjakan sisa soal ujian semampuku. Berharap hasilnya tidak membuatku harus mengikuti semester pendek. Sebelum beranjak pergi, aku memberikan kertas tadi pada Priya saat pengawas sedang lengah. "Tapi jangan lupa nanti traktir ok," bisikku. Ibu jari dan telunjuknya membentuk lingkaran, pertanda setuju.

"Mm..asem," umpatan Priya terdengar setelah aku meninggalkannya beberapa langkah.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro