Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TOOTHLESS


"Jungwoo tidak mau pergi ke sekolah!"

"Kenapa?"

"Pokoknya Jungwoo tidak mau pergi ke sekolah, Appa! Tidak mau!"

Aku mendengkus. Hari masih pagi. Namun aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk membujuk putra bungsuku ke sekolah. Entah mengapa dia seperti ini. Dia tidak sakit. Tugas sekolahnya pun sepertinya sudah selesai dikerjakan—harusnya seperti itu mengingat Jungwoo biasanya akan menangis jika tugasnya tidak selesai, lalu Taya akan turun tangan membantunya.

"Memangnya kenapa? Bukannya hari ini ada pelajaran olahraga. Kau suka pelajaran olahraga, kan?" Ya, Jungwoo sama sepertiku semasa sekolah. Jadwal pelajaran olahraga selalu kutunggu-tunggu. Hanya itu satu-satunya pelajaran menyenangkan, menurutku. Selebihnya, entahlah. Suka tidak suka, aku harus mempelajarinya.

"Tidak mau, Appa! Jungwoo tidak mau sekolah." Suara Jungwoo melengking.

"Hari ini kau boleh pergi ke sekolah dengan Taya Nuna naik motor," kataku, berusaha membujuknya. Jungwoo suka jika bepergian naik motor. Katanya, lebih menyenangkan.

Namun, dia tetap menggeleng. "Pokoknya Jungwoo tidak mau pergi ke sekolah, Appa." Lalu air mata mulai meleleh di pipinya. Aku... hanya bisa menghela napas pasrah. Sebenarnya, mengapa dia enggan ke sekolah hari ini? Aku penasaran.

"Ya! Jeongsan, kau tahu kenapa adikmu tidak mau pergi ke sekolah?" tanyaku pada remaja yang baru saja keluar dari kamar mandi. Handuk abu-abu masih melilit pinggangnya. Rambutnya yang basah, dia seka dengan handuk kecil yang baru saja dia sambar dari sampiran di sebelah pintu kamar mandi.

Lantas, Jeongsan mengatakan sesuatu yang menjadi alasan Jungwoo enggan pergi ke sekolah. Katanya, semalam Jungwoo cerita padanya. Hah! Rupanya karena hal itu? Pantas saja dia tidak mau pergi.

***

Semua kekacauan ini dimulai sejak dua hari lalu. Saat aku dan kamu membawa Jungwoo mengunjungi klinik gigi dan mulut.

"Ayo turun, Jungwoo. Kita sudah sampai," ajakmu setelah kuparkir mobil di halaman klinik.

Anak bungsu kita menggeleng sambil menutup mulutnya. Dia bahkan belum melepas safety belt-nya. Dia tidak mau turun.

"Ayolah. Tidak akan sakit," bujukku.

"Tapi Jeongsan Hyung bilang rasanya sakit, Appa," adunya dengan suara bergetar. Mimik wajahnya pun berubah sendu perlahan.

"Ya! Jangan percaya apa yang dikatakan Jeongsan Hyung. Dia membohongimu," bantahmu.

"Ayo turun, Jeon Jungwoo. Setelah ini kita pergi beli mainan." Dan kau langsung menatapku tajam.

Ya, aku tahu kau melarangku membujuk sambil menjanjikan sesuatu. Katamu, tidak baik seperti itu. Namun apa boleh buat? Cara itu selalu berhasil. Persis seperti sekarang. Meski aku bisa melihat Jungwoo takut-takut saat melepas safety belt-nya, tapi... dia mau turun, kan? Aku berhasil.

Memasuki klinik, aku mengajak Jungwoo duduk, sedangkan kamu melakukan registrasi. Sore ini akan menjadi penanda baru bagi pertumbuhan Jungwoo sebab salah satu gigi susunya akan dicabut. Sejak beberapa hari lalu, dia mengeluh giginya longgar. Makanya, sore ini kami ke klinik untuk mencabutnya. Rasanya waktu sungguh cepat berlalu. Seperti baru kemarin aku bahagia karena melihat gigi pertama Jungwoo kecil.

"Setelah pasien yang di dalam, giliran Jungwoo," ujarmu saat bergabung dengan kami.

"Jungwoo takut, Eomma. Hyung bilang rasanya sakit. Dokter giginya jahat. Cabut gigi pakai tang."

Aku melihat gadis di bagian registrasi tertawa kecil mendengar penuturan Jungwoo. Sejujurnya, aku juga ingin tertawa. Namun melihat reaksimu, aku hanya bisa mengurut dada.

"Apa? Pakai tang?" Matamu membulat.

"Iya, Eomma."

"Aish! Anak itu." Jeongsan pasti akan mendapatkan sesuatu setelah kami kembali nanti.

Setelah beberapa menit, seorang pasien keluar dari ruangan dokter gigi. Tidak lama, nama Jungwoo dipanggil oleh suster. Kita bertiga masuk ke dalam ruangan yang cukup besar. Satu unit dental chair berada di tengah ruangan langsung menarik perhatianku, termasuk perhatian Jungwoo. Dia langsung menggumam, "Eomma."

"Annyeonghaseyo, Tuan dan Nyonya Jeon. Lama tidak bertemu."

"Annyeonghaseyo, Dokter Shin." Aku dan kamu bergantian menjabat tangannya.

Dokter Shin adalah dokter gigi langganan. Kita sudah mengenalnya sejak lama. Beliau belum terlalu tua. Usianya mungkin baru pertengahan empat puluhan.

Dokter Shin lantas berjongkok di depan Jungwoo. "Adiknya Jeongsan, ya? Siapa namanya?" tanyanya dengan nada yang super ramah dan senyum lebar. Dokter Shin memang paling ahli jika berurusan dengan anak-anak.

"Jungwoo."

"Salam kenal, Jungwoo. Saya dokter Shin. Jungwoo mau mencabut gigi, kan? Jungwoo tidak perlu takut. Saya akan mencabut gigi Jungwoo dengan sangat cepat tanpa rasa sakit. Seperti sulap," tutur Dokter Shin dengan nada riang.

Detik berikutnya, Dokter Shin mengajak Jungwoo ke dental chair. Aku dan kamu disuruhnya duduk saja di kursi yang berada di depan mejanya. Dari tempat kita duduk, Dokter Shin mengambil patung gigi anak-anak. Ah aku sudah pernah melihat ini saat menemani Jeongsan bertahun-tahun yang lalu.

Di sana, dokter Shin menjelaskan prosedur pencabutan gigi pada Jungwoo. Mulai dari pengolesan krim anastesi, gusi yang akan terasa kebal, dan gigi yang akan dicabut menggunakan alat khusus—yang jelas bukan tang. Setelah semua demo singkat itu, Dokter Shin bersiap mencabut gigi Jungwoo.

"Apa gusimu sudah terasa aneh, Jungwoo?"

Jagoan kecilku mengangguk.

"Baiklah. Simsalabim."

Dokter Shin mengarahkan alatnya ke mulut Jungwoo. Hanya sebentar, mungkin hanya satu kedip mata, alat tersebut telah menjepit gigi susu Jungwoo yang sudah lepas daro gusi. "Bagaimana? Tidak sakit, kan?"

Lagi-lagi Jungwoo mengangguk. Suster lantas memintanya berkumur, kemudian menyumpal bagian kosong pada barisan gigi Jungwoo dengan kapas. Selesai. Akhirnya.

Setelah mengobrol sebentar dengan Dokter Shin, kami pamit. Setiba di rumah, Jungwoo membuang kapas dari mulutnya. Lalu, dia menghampiriku yang duduk di depan televisi dan memamerkan deretan giginya yang berkurang satu. Sejujurnya, bagus. Ini normal. Anak yang ompong karena kehilangan gigi susu adalah normal. Hanya saja—entahlah. Tetap kurang enak dilihat.

***

Dan rupanya hal itu yang membuat Jungwoo malas ke sekolah. Sebab kemarin, hari perdananya datang ke sekolah dengan gigi susu yang berkurang satu, dia malah diledek oleh teman-temannya. Jungwoo Ompong.

"Ya! Jungwoo tidak boleh lemah seperti itu," kataku setelah mengetahui alasan yang sebenarnya.

"Teman-teman terus meledek Jungwoo, Appa. Jungwoo tidak suka. Tapi Jungwoo tidak tahu harus berkata apa pada teman-teman."

Aku mengusap kepalanya sambil berkata, "Kalau nanti ada yang meledek Jungwoo lagi, bilang padanya, 'iya, gigi saya ompong karena saya sudah besar. Dua hari lalu saya berani ke dokter gigi supaya gigi anak-anak saya dicabut.' Begitu, Jungwoo," kataku. Sengaja kuberi dia kesempatan untuk belajar mempertahankan dirinya sendiri agar bisa cepat mandiri seperti kakak-kakaknya.

"Iya, Appa."

"Ya sudah. Sekarang mandi. Kau harus tetap ke sekolah."

Setelah memastikan Jungwoo masuk ke kamar mandi, giliranku yang buru-buru lari ke kamar. Terlalu lama menghabiskan waktu membujuk Jungwoo membuatku lupa aku pun belum mandi.

-THE END-

Annyeong...

Maaf baru ngepost lagi, ya. Heheh

Untuk yang menjalankan ibada puasa, bagaimana ibadah puasa kalian sejauh ini? Udah ada yang bolong?

Omong-omong, melalui postingan ini aku mau bilang terima kasih banget untuk teman-teman yang kemarin ikut PO Buku Jeon Family. Semoga kalian suka, ya.

Dan buat yang nggak sempat ikutan, kamu masih bisa beli kok. Kamu bisa cek di Shopee (deenaasmara). Jangan sampai kehabisan lagi, yaaa. Hehehe.

Sampai jumpa di cerita berikutnya.

Annyeong~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro