MAKNAE'S LIFE (JUNGWOO'S POV)
"Jungwoo mau ikut! Jungwoo mau ikut Appa dan Eomma."
Aku merengek, mengikuti Eomma menuju pintu depan. Eomma sudah terlihat cantik dengan gaunnya. Siap untuk menemani Appa ke sebuah acara. Aku tidak tahu acara apa. Tetapi Appa bilang, anak kecil sepertiku tidak bisa ikut.
Tapi, aku tetap ingin ikut!
"Jungwoo di rumah saja dengan Nuna dan Hyung, ya? Appa dan Eomma cuma sebentar kok."
Kugembungkan kedua pipi sekaligus kupasang wajah memelas terbaik yang aku punya agar Eomma mau mengajakku. "Jungwoo ingin ikut, Eomma. Jungwoo tidak mau tinggal dengan Nuna dan Hyung."
Appa yang duduk di ruang tamu berkata, "Nanti Appa dan Eomma bawakan kue, oke? Pokoknya Jungwoo tinggal dengan Nuna dan Hyung malam ini."
"Eomma." Aku masih berusaha membujuk Eomma. Meskipun kata-kata Appa terkadang tidak bisa dilawan, tetapi kalau Eomma yang membujuk, Appa pasti menurutinya. Eomma seperti punya kekuatan untuk membuat Appa mendengar apa yang ia katakan.
Sayangnya ....
Malam ini ....
Eomma lebih berpihak pada Appa.
"Eomma dan Appa pergi, ya? Jungwoo di rumah. Kalau Nuna dan Hyung tidak belajar, lapor sama Appa, oke? Besok Appa pasti membelikan kue kesukaan Jungwoo. Iya kan, Appa?" Kulihat Eomma menyikut pelan Appa yang berdiri di sampingnya.
"Iya. Iya. Kalau malam ini Jungwoo jadi anak baik, Appa belikan apa pun yang Jungwoo mau."
Aku memberengut, terpaksa mengangguk.
Aku berdiri di teras, menyaksikan mobil yang dikemudikan Appa keluar dari halaman rumah. Begitu mobil Appa tidak terlihat, entah mengapa aku merasa malas masuk ke rumah. Tinggal bertiga dengan Taya Nuna dan Jeongsan Hyung tidak pernah menyenangkan. Kehidupan hingga Appa dan Eomma pulang akan menyebalkan.
***
Eomma dan Appa telah pergi sekitar setengah jam, tapi rasanya aku ingin menangis. Penyebabnya karena kudapanku yang ada di kulkas, kini hilang entah ke mana. Jelas-jelas tadi sore aku menyimpan sisa keripik kentang kesukaanku di kulkas. Ish! Pasti Taya Nuna atau Jeongsan Hyung yang mengambilnya.
"Aku tidak mengambil kudapanmu, Jungwoo. Tuh! Si Nenek Sihir yang mengambilnya." Itu yang dikatakan Jeongsan Hyung saat aku bertanya, apakah dia yang mengambil kudapanku. Ternyata bukan. Dan, Nenek Sihir yang dia maksud tentu saja ... Taya Nuna.
Aku sudah berdiri di depan pintu kamar Taya Nuna. Bingung, apa aku harus masuk meminta kudapanku atau tidak. Nuna biasanya malah marah-marah balik kalau aku meminta kudapanku. Seperti kata Jeongsan Hyung, Taya Nuna benar-benar Nenek Sihir. Dia galak dan jahat dan kejam. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku ingin sekali memakan keripik kentang itu. Aku lapar. Appa dan Eomma pun tampaknya masih lama pulang.
Setelah menarik-embuskan napas berkali-kali, aku mendorong pintu kamar Taya Nuna perlahan. Nuna sedang berbaring membelakangi pintu. Mungkin dia tidur. Terserahlah! Yang penting aku melihat bungkusan keripik kentang milikku berada di atas nakasnya. Benar kata Jeongsan Hyung, Nuna yang mengambil kudapanku. Dasar! Akan aku adukan pada Appa nanti.
Sembari menahan napas, aku berjinjit-jinjit memasuki kamarnya. Kalau Nuna tahu aku berada di sini dan mengambil kudapanku, bisa gawat. Tidak ada Eomma dan Appa yang akan menyelamatkanku dari kemarahan Nenek Sihir.
Aku sudah berhasil mengambil keripik kentangku. Sekali lagi aku melangkah menuju pintu sambil berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Harus bisa keluar dari kamar Nuna tanpa—
"Jeon Jungwoo?"
Aku berhenti, kemudian berbalik badan. Nuna sudah duduk di tepi tempat tidurnya, menatapku dengan sorot kejam dan dingin dan jahat.
Glek!
"Eomma."
***
"Kau kenapa?" tanya Jeongsan Hyung begitu aku kembali ke kamar. Mungkin dia menyadari langkahku yang lemah tak berdaya. Ditambah lagi aku memang sedang memanyun-manyunkan bibirku.
Aku melirik ke arahnya. Kakak laki-lakiku itu masih berbaring di atas kasurnya, persis ketika aku masuk ke kamar kami sebelum aku menemui Taya Nuna. Dia juga masih asik bermain game di ponselnya. Pasti dia belum belajar. "Dicubit Nuna," aduku sambil menyeka air mata. Akan aku adukan perbuatan Taya Nuna pada Appa.
Bukannya kasihan, Jeongsan Hyung malah tertawa kecil. "Mampus!"
"Hyung jahat!" pekikku.
"Yeee! Orang lagi main game! Bleee!" Dia menjulurkan lidahnya padaku.
"Eomma ... huhuhu. Hyung jahat! Akan aku adukan pada Appa dan Eomma." Aku terisak.
"Adukan saja. Memangnya Eomma dan Appa akan membelamu?" Jeongsan Hyung berhenti mengusap-usap layar ponselnya. "
"Tentu saja. Jungwoo kan anak kesayangan Appa dan Eomma."
"Yeee! Ngaku-ngaku!" ledek Jeongsan Hyung. "Kau mau tahu kenapa sekarang kau tidur sekamar denganku?"
"Eomma bilang Jungwoo sudah besar. Tempat tidur Appa dan Eomma sempit untuk tiga orang besar."
"Salah!" tegas Jeongsan Hyung. "Itu karena kau sebentar lagi akan dikembalikan ke keluargamu yang asli."
Keluargaku yang asli?
"Apa maksudnya?"
Jeongsan Hyung lantas duduk di tepi tempat tidurnya dan menatapku. "Seharusnya Hyung tidak menceritakan ini. Tapi kau harus tahu karena kau sudah besar," ucapnya terdengar serius. "Sejujurnya, Jungwoo, kau bukan anak Appa dan Eomma."
"Bohong." Suaraku bergetar.
"Hyung tidak bohong!" sergahnya. "Hyung kan lebih dulu lahir daripada kau, Jungwoo. Jadi Hyung tahu semuanya yang tidak kau ketahui. Kau sebenarnya bukan adik Nuna dan Hyung. Kau anak yang ditemukan Appa dan Eomma di kolong jembatan waktu kami liburan di Busan."
"Huwaaa! Hyung bohong! Hyung bohong!" Aku menangis sekencang-kencangnya. Masa sih aku bukan anak Appa dan Eomma?
"Ya! Ada apa ini?" Aku mendengar suara Appa.
"Jungwoo, kenapa menangis?" Aku melihat Appa dan Eomma berdiri di ambang pintu. Sontak saja aku berlari menghampiri mereka.
"Eomma, Appa, masa Jeongsan Hyung bilang Jungwoo bukan anak Appa dan Eomma. Apa itu benar?" aduku. "Hyung bilang, Jungwoo anak yang ditemukan Appa dan Eomma di kolong jembatan."
"Jeongsan?" Appa melirik Jeongsan Hyung.
Kakakku itu hanya tertawa kecil lalu berkata, "Peace, Appa."
Eomma merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tinggiku. Dia menghela napas pelan, lantas berkata, "Dengar. Jungwoo anak Appa dan Eomma, oke? Jungwoo bukan anak yang ditemukan di kolong jembatan. Jungwoo—"
"Jungwoo adalah anak yang Appa dan Eomma bikin sendiri." Itu kata Appa. Tapi entah kenapa, Eomma malah mencubit betisnya.
"Jadi, Hyung bohong, kan?" tanyaku.
"Iya," sahut Eomma.
"HYUNG PEMBOHONG!!!"
"Kau saja yang mudah dibohongi. Bleee."
"Eommaaa."
Dan Jeongsan Hyung pun mendapatkan hukuman dari Eomma. Ponselnya disita hingga ia pulang sekolah besok.
"Ish! Awas kau, Jungwoo!"
***
Karena ucapan Jeongsan Hyung, aku merengek minta tidur dengan Appa dan Eomma malam ini. Mereka mengabulkan. Tapi hanya untuk malam ini, sih. Tidak apa-apa. Yang penting malam ini aku bisa tidur dengan Appa dan Eomma.
"Jungwoo, ini bekas apa?" Eomma menunjuk bekas kemerahan di lenganku saat dia menggendongku ke kamar.
"Nuna mencubit Jungwoo, Eomma. Masa Nuna mengambil kue milik Jungwoo."
Eomma mendecak. "Ish! Nuna. Sudah Eomma bilang jangan suka mencubit adik-adiknya."
"Nuna nakal, Eomma," aduku.
"Ya sudah. Besok Eomma akan menghukum Nuna."
"Iya, Eomma."
Hehehe.
Sebenarnya, hidup menjadi maknae tidak begitu buruk. Appa dan Eomma sangat menyayangiku lebih dari Nuna dan Hyung.
=THE END
A/n: Hai, maaf ya agak lama. Sebenarnya mau dipublish minggu lalu, tapi laptop saya rusak dan ga bisa diselamatkan. Jadinya saya terpaksa ngetik ulang begitu ada gantinya eheheh.
O ya, mengenai bab selanjutnya, seperti biasa no nagih-nagih ya. Karena saya juga belum tau kapan lagi bisa ngepost bab kedua. Belum lagi, untuk beberapa bulan ke depan, saya akan lebih aktif mem-publish FF di Cabaca karena terikat kontrak menulis FF di platform tersebut. So, kalau kalian ada yang punya akun Cabaca, follow saya (at)anditia_nurul. Yang belum punya akun, bisa login pake FB kok.
O ya, kalau mau tukaran kode di Cabaca untuk mendapatkan kerang gratis, masukkan kodeku: JKNUNA ya.
Makasih.
Sampai jumpa di bab selanjutnya, di Cabaca, atau di work Satu Kesempatan eheheh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro