A NIGHT IN VENICE
Me : Sayang.
Me : Kita jadi pergi tidak?
Me : Apa pertemuanmu masih lama?
Aku duduk di tepi tempat tidur sebuah kamar hotel di Venesia. Ya, ini janji Jungkook bulan lalu. Dia ingin menghabiskan waktu berdua denganku, tanpa anak-anak, sekaligus untuk merayakan ulang tahunku. Namun di balik rencana yang terdengar romantis itu, ada sebuah misi yang dibawanya: bertemu dengan seorang investor. Jadi separuh biaya perjalanan ini dibiayai oleh kantornya.
Kami baru tiba di tempat ini kemarin sore. Dan malam ini, untuk merayakan hari lahirku, dia mengajakku makan di luar. Akan tetapi, sore tadi sang investor meminta bertemu. Dia bilang acara makan malam tetap jadi, pertemuannya hanya sebentar. Sebentar apanya? Ini sudah pukul delapan. Dia telah meninggalkanku sejak tiga jam yang lalu. Perutku sudah kelaparan. Aku bahkan sudah menghabiskan beberapa potong roti yang siang tadi kubeli di toko dekat hotel.
Ponselku berdering. Sebuah video call dari Taya. Jam segini di Seoul, seharusnya dia masih di sekolah dan belajar.
"Ya, Nuna?" Aku menyahut begitu sosok putriku yang mengenakan seragam sekolah terpampang di layar. Dari situasi yang tampak di belakangnya, dia ada di ruang kelas. "Nuna tidak belajar?"
"Tidak, Eomma. Han Sonsaengnim sakit, jadi tidak masuk. Omong-omong, Eomma sangat cantik." Dia mengacungkan jempol.
Ya, malam ini aku memang sengaja berdandan. Ini kan malam istimewa. Candle light dinner. Akan lebih mengesankan jika aku menggunakan dress, bukan? Aku bahkan mengenakan lipstik merah. Jungkook bilang aku terlihat lebih menarik dengan warna itu. Ya, ya, aku sudha menjadi ibu-ibu, jadi tidak perlu mengenakan riasan yang berlebihan. Tapi untuk suami, tidak apa-apa, kan?
"O ya, Appa mana?" tanya Taya lagi.
Aku mendesah pelan. "Itu dia. Appa-mu pergi bertemu investor dan belum pulang sampai sekarang. Dia juga belum membalas chat dari Eomma."
"Lalu, acara makan malam romantis kalian?"
Ya, Nuna tahu bahwa malam ini ayahnya mempersiapkan makan malam untuk kami. Aku memberitahukan hal itu padanya siang tadi. "Entahlah. Eomma mulai sedikit kehilangan selera."
"Mudah-mudahan Appa lekas pulang."
Aku mengiyakan saja. Putriku lantas memutuskan panggilan. Sepersekian detik kemudian, Jungkook membalas chat-ku. Dia memintaku untuk menunggu di restoran tempat kami akan candle light dinner. Dia bilang tempatnya dekat dari hotel dan cukup mudah ditemukan. Aku tidak akan tersesat. Mudah-mudahan sih begitu.
***
Setelah beberapa kali bertanya pada beberapa orang di sepanjang jalan, aku tiba di restoran yang dimaksud suamiku. Tampaknya Jungkook belum ada, jadi kuputuskan duduk di salah satu meja. Kukeluarkan ponsel dari tas, lantas memberi tahu suamiku bahwa aku sudah tiba. Mudah-mudahan dia segera membacanya.
Sembari menunggu, kuedarkan pandanganku ke sekitar. Aku sengaja duduk di pelataran kafe agar leluasa memandangi kanal-kanal yang dihiasi lampu-lampu jalan. Dari kejauhan aku bisa mendengar seseorang menyanyi lagu Italia. Terdengar romantis. Membayangkan makan malam dengan Jungkook, ditemani lilin dan nyanyin seperti itu... wah, ini akan menjadi perayaan ulang tahun paling romantis.
"Buona sera."
Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Kupikir Jungkook. Namun yang kudapati malah seorang pria Italia. Entah siapa dia. Seenaknya saja duduk di depanku tanpa meminta izin leih dulu. Hah! Bahkan dia tampak tidak terganggu dengan tatapan kesalku.
"Who are you?" Aku berusaha mengatur nada suaraku agar terdengar tegas. Bagaimanapun, aku berada di tempat asing, bersama orang asing pula. Kalau aku terlihat lemah, bahaya.
"Ferguso."
Ferguso? Ferguso siapa? Mau apa dia ke sini? Tunggu! Apa mungkin ini rencana Jungkook? Dia ingin mengerjaiku dulu sebelum makan malam. Hah! Aku sudah tahu! Aku tidak akan tertipu.
"Kau disuruh Jungkook, kan?" tanyaku dalam bahasa Inggris. "Di mana dia?"
"Apa yang kau bicarakan, Nona?" balas lelaki itu dalam bahasa inggris juga. "Aku tidak mengenal orang yang kau sebut."
Jantungku seketika berdetak cepat. Apa yang dikatakan laki-laki ini benar? Apa dia bukan suruhan Jungkook? "Kau pasti bohong, kan? Sudah! Bilang saja yang sebenarnya!"
Lelaki itu tertawa. Tawa yang membuatku merinding. "Sudah kubilang, Nona, aku tidak mengenal nama yang kau sebut. Siapa dia? Kekasihmu?"
Aku bergegas merapatkan coat-ku—hal yang seharusnya kulakukan sejak tadi. Kalau bukan orang suruhan Jungkook, berarti dia hanyalah pria random yang lewat di jalan dan mampir untuk menggangguku. Aku berdeham, lantas berkata, "Oke, kalau kau tidak mengenal Jungkook, biar kuperkenalkan. Dia suamiku," kataku sambil memperlihatkan cincin yang melingkari jari manisku. Kuharap dia segera pergi begitu mengetahui aku bukanlah seorang nona, tapi nyonya.
"Kau pikir aku akan semudah itu percaya? Bisa saja kau berbohong padaku, Nona. Kalau benar dia suamimu, mana dia? Seorang suami tidak mungkin meninggalkan istrinya sendiri di kafe, kan? Apalagi malam begini." Si Ferguso melipat tangannya di atas meja. Matanya sedari tadi tidak melepaskanku.
Sial! Jungkook mana, sih?
"Sebaiknya kau pergi. Suamiku sedang dalam perjalanan ke sini." Aku mencoba menggertak.
"Sudahlah. Kau tidak perlu pura-pura menunggu suami atau siapapun yang kau bilang itu. Kau—"
Belum selesai laki-laki itu bicara, aku segera meninggalkannya. Kupikir dia tidak akan mengikutiku. Namun sebaliknya, dia malah terus berada di belakangku. Untung aku memakai sepatu datar, jadi bukan masalah ketika kupaksakan diri melangkah cepat. Aku melangkah ke sembarang arah lantaran tiba-tiba saja aku lupa jalan kembali ke hotel.
"Hey! Percuma kau lari. Kau tidak tahu daerah sini. Kau pendatang, kan? Kau dari Asia, kan?"
Sambil terus berjalan cepat aku berusaha menghubungi Jungkook. Panggilannya masuk, tapi dia tidak menjawab. Siaaal! Dia di mana sih? Hiks.
"Junmi-ya!"
Aku hendak berbelok ke sebuah jalan sempit yang kupikir akan tembus di suatu jalan lain yang lebih besar, tapi kudengar namaku disebut. Jungkook ada beberapa meter di depan. Akhirnya!
"Kau kenapa? Apa yang kau lakukan di sini?" Dia masih sempat-sempatnya bertanya seperti itu saat kuhampiri dia dalam keadaan panik.
"Kau tidak lihat pria di belakangku? Dia terus mengejarku!" Tanpa sadar aku membentaknya.
Dia menengok ke arah Ferguso. Entah apa yang dilakukan pria Italia itu. Aku tidak mau tahu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Jungkook kemudian.
"Aku mau pulang!"
"Tapi makan malamnya?"
Aku mendengus. "Aku sudah tidak lapar!"
***
Setibanya di hotel, aku langsung mengganti gaunku dengan lingerie. Oh, tidak! Aku sedikit pun tidak bermaksud menggoda priaku di luar sehingga sengaja berpakaian minim. Lingerie satu-satunya pakaian tidur yang kubawa di koper. Seandainya sekarang kami di rumah, aku pasti sudah mengenakan kaus panjang, celana olahraga, dan kaus kaki.
Kubuka pintu kamar mandi dengan kasar. Jungkook langsung berdiri begitu melihatku keluar. "Sayang, aku—"
"Aku mau tidur!" Aku memotong ucapan Jungkook.
Sengaja kubaringkan tubuh pada sisi ranjang yang jauh dari tempatnya berdiri. Kupunggungi dia, kemudian kurapatkan mataku. Terlelap dalam kondisi hati yang bergemuruh sebenarnya tidak baik. Aku tahu. Namun aku sedang malas mendengar penjelasan suamiku setelah apa yang kualami malam ini.
Aku dikejar-kejar pria asing karena menunggunya.
"Junmi-ya~"
Aku bisa merasakan pergerakan di permukaan spring bed. Jungkook pasti naik ke tempat tidur dan sekarang berada di belakangku.
"Junmi-ya~"
Kalimat itu terdengar bersama sentuhan tangannya di lenganku yang tertutupi selimut.
"Sayang, aku tahu kau belum tidur. Bangunlah. Kau tidak mau tidur dalam keadaan marah, kan? Nanti kau mimpi buruk." Dia berkata seperti itu seakan tengah membujuk Taya. Tapi, aku bukan gadis berusia 16 tahun. Aku tidak akan membiarkannya membujukku dengan mudah.
"Ayolah. Ini hari ulang tahunmu," katanya. "Maaf soal kejadian tadi. Aku tidak berpikir kalau akan ada pria asing yang mendekatimu."
Ya, mendekatiku dan hampir memperkosaku kalau saja kamu datang lebih lambat lagi, Jeon Jungkook!
"Sayang, ayolah. Jangan marah." Dia menyibak selimut yang menutupi tubuhku, lantas melabuhkan sebuah ciuman di pundakku. Hatiku yang lemah oleh sentuhannya langsung bergetar. Sial! Ini sebabnya aku selalu melindungi seluruh tubuhku dengan kaus lengan panjang, celana olahraga, dan kaus kaki saat kami sedang marahan. Agar dia tidak leluasa membujukku melalui permainan fisik.
Kamu harus kuat, Cho Junmi!
"Oke. Aku salah karena menyuruhmu menunggu di kafe. Aku berpikir kita bisa menghemat waktu. Tapi, perhitunganku salah."
Ya, perhitunganmu tadi memang salah, Jeon Jungkook. Tapi tanganmu itu kenapa tidak pernah salah menyentuh dan membuai titik-titik sensitif di tubuhku? Astaga! Kalau seperti ini acara ngambekku tidak akan berhasil.
"Sayang, aku—"
"Oke! Aku bangun! Aku bangun sekarang, puas?" Kuruntuhkan pertahanan luarku sebelum Jungkook dan tangannya yang nakal itu meremas semakin jauh. Kuatur napasku sembari meredakan badai yang hampir menghantam pertahanan terdalamku.
Jungkook berbaring dalam posisi menyamping ke arahku. Posisi kepalanya lebih tinggi lantaran disangga oleh tangannya. "Aku minta maaf soal kejadian tadi."
"Lain kali, aku tidak mau menemanimu bulan madu sambil kerja begini. Bulan madu macam apa ini? Kalau kau ingin bekerja ya bekerja. Bulan madu ya bulan madu." Aku memberengut.
"Iyaaa. Iyaaa. Aku tahu, Istriku yang cerewet, yang masih dikejar pria lain padahal sudah jadi ibu-ibu." Dia terkekeh.
"Apa-apaan itu? Kau pikir itu puji—" Jari telunjuknya menahan bibirku bergerak. Oh! Tidak! Aku tahu ini. Dia akan melanjutkan kegiatannya yang tadi. Serangan kedua untuk meruntuhkan benteng pertahananku yang paling dalam. Dasar licik!
Benar saja! Sepersekian detik kemudian, kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Aku sengaja tidak membalasnya. Kubiarkan saja bibirnya mencecap, sedangkan aku berusaha merapatkan bibirku. Aku tidak akan membuat ini mudah untuknya. Tentu saja.
Ya, tentu saja itu hanya omong kosongku saja karena bagaimana aku bisa menolak orang yang sudah tahu semua kelemahanku? Segala sentuhan, buaian, dan remasan itu terjadi di tempat yang seharusnya, pada titik yang tepat untuk membuatku lupa kejadian menyebalkan beberapa saat lalu hanya dalam beberapa detik. Yang mengisi kepalaku saat ini hanyalah bagaimana membalas apa yang tubuhku dapatkan.
Ah! Aku benci diriku yang mudah diajak berbaikan melalui cara ini.
"Sayang?" Dia bersuara di antara deru napasnya yang tersengal.
"Ya?" Aku menatap matanya yang berada di atas mataku. Tanganku bergerak mengusap peluh yang menghiasi dahinya.
"Selamat ulang tahun."
"Jangan bilang ini kado untukku karena aku tidak akan menganggap ini kado."
Dia tertawa. "Tentu saja bukan. Ini baru pengantar kadonya."
Pengantar kado? Maksudnya?
Namun belum sempat kutanyakan itu, Jungkook telah membungkam mulutku lebih dulu.
=THE END
.
.
.
.
Kaka author lagi ultah. Kasih doa dong gaes wkwkwk 😁
.
.
.
.
O ya, aku ada info nih buat kalian yang suka nulis FF, baca FF, dan pengin seru-seruan bareng K-popers lainnya saat liburan natal-tahun baru (26-28 Des).
Ikutan ya semua. Link-nya bisa kalian cek di wall-ku. O ya, untuk next chapter... Aku belum tahu kapan. Kalau bukan akhir Desember, ya awal Januari heheh. Harap maklum, akhir tahun. Kerjaan kayak auto-numpuk. 😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro