WATCHING MOVIES
The Conjuring 2.
Judul film itu tertera pada dua lembar tiket bioskop yang baru saja dibeli Jungkook sepulang dari kantor. Pun, menjadi alasan utama keberadaan kami duduk di sebuah bioskop. Aku nyaris lupa, kapan terakhir kali aku menonton di bioskop bersama Jungkook. Sebelum Taya lahirkah? Atau …, hm …, ya mungkin terhitung beberapa kali setelah aku dan Jungkook resmi menjadi sepasang orang tua.
Yang masih teringat adalah terakhir kali aku ke bioskop. Itu sekitar seminggu yang lalu, saat aku menemani Taya dan Jeongsan menonton Finding Dory. Sayangnya, minggu lalu, ayah mereka tidak ada. Jungkook sibuk melakukan presentase di China. Sementara itu, saat ini Taya dan Jeongsan kami tinggalkan di rumah ditemani oleh Abeonim—mertuaku—yang baru tiba di Seoul sore tadi.
“Hei! Filmnya mau mulai!” tegur Jungkook saat aku sedang meng-upload selca kami di dalam bioskop ke akun jejaring sosialku. Watching movie w/ beloved hubby. Aku tidak boleh kalah dengan ibu-ibu muda lainnya … hohoho.
Lampu di dalam room tempat aku dan Jungkook berada, baru saja dipadamkan. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari layar lebar yang berada di depan. Suara dari pembukaan film pun mulai terdengar memenuhi ruangan, mendebarkan jantung, nyaris memekakkan telinga.
Sudah lama sekali rasanya tidak menonton film horor di bioskop. Terakhir kali aku dan Jungkook menonton film horor sekitar sebelas-dua belas tahun yang lalu. Ya, saat itu, kami belum menjadi sepasang kekasih. Hanya sepasang teman dekat yang sama-sama memiliki ketertarikan pada film yang membuat bulu kuduk bergidik ngeri.
***
Musim panas selalunya menjadi saat yang paling aku tunggu. Tentu saja begitu sebab di saat itu film-film horor ramai bermunculan. Musim panas tahun 2005, film horor dari Inggris yang berjudul The Descent menarik perhatianku. Jauh-jauh hari aku berencana untuk menyaksikan film tersebut di bioskop, tetapi selalu saja gagal. Revisi skripsi, itu alasannya. Ditambah lagi, uangku saat itu juga semakin menipis lantaran kerap digunakan untuk membeli kertas.
“Junmi-ya, aku mau menonton film The Descent malam ini. Kalau kau ada waktu, ayo menonton denganku. Aku traktir!”
Itu adalah pesan yang dikirim oleh Jungkook, si laki-laki menyebalkan yang membuatku menjadi asisten pribadinya sebagai hukuman atas kejahatanku melempar converse sehingga menghantam kepalanya sebulan yang lalu. Meski menyebalkan, tetapi … Jungkook lelaki yang baik. Mentraktir seorang teman, bukankah itu perbuatan orang baik? Hanya saja …, duh, malam ini aku harus bertemu dengan dosen pembimbingku.
“Sepertinya tidak bisa, Jungkook-a. Kau nonton sendiri saja, ya. Maaf. Aku ada jadwal konsul dengan pembimbing skripsiku.”
“Kau yakin? Malam ini malam terakhir penayangan film itu di bioskop, loh.”
HA? YANG BENAR SAJA?
Bagaimana ini? Aku sangat penasaran dengan film itu, tapi skripsiku? Aish! Kenapa dosen pembimbingku selalu menyuruhku konsul di saat yang tidak tepat? Ck! Aish! Bagaimana ini, Ya Tuhan?
“Filmnya dimulai pukul delapan. Aku akan membeli dua tiket, satu untukmu. Jika sempat, datanglah. Aku tunggu.”
Ck! Bagaimana, ya? Aku ragu tidak bisa datang. Nanti Jungkook akan rugi membeli tiket untukku. Kalau aku tidak datang, aku harus menunggu lama untuk bisa menonton film itu tayang di televisi. Duuh! Datang atau tidak, ya?
“Ya, sudah. Akan aku usahakan datang. Tapi, aku tidak janji, ya.”
Hanya dua baris kalimat itu yang bisa kukirim untuk membalas pesan Jungkook sebelummya.
***
“Datamu yang ini masih kurang, Junmi-ya.”
“Aku sudah berada di bioskop.”
“Ah, tambahkan lebih banyak referensi untuk metode penelitianmu ini.”
“Filmnya sudah dimulai.”
“Kesimpulannya tidak seperti ini, Cho Junmi. Jawabanmu agak melenceng dari rumusan masalahmu.”
“Kau tidak bisa datang, ya?”
Aku tidak tahu harus bagaimana saat ini. Kendati ragaku berada di hadapan dosen pembimbing yang tengah mengeluarkan petuah-petuah, lengkap dengan coretan sana-sini pada lembaran skripsiku, tetapi pikiranku tertuju pada Jeon Jungkook yang sepertinya berharap aku datang.
Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kananku, entah untuk keberapa kalinya. Dooooh, sudah pukul delapan lewat lima sepuluh menit. Duh! Konsulnya masih lama, tidak, Dosen pembimbin tersayang? Huhuhu.
“Sudah. Itu yang harus kau perbaiki. Saya beri waktu tiga hari untuk melakukan revisi.” Dosen pembimbingku mengakhiri kegiatan konsulku.
“Baik. Saya permisi dulu.”
Secepat kilat aku berlari menuju halte bus. Kucari nomor ponsel Jungkook yang telah tersimpan di ponselku, ingin mengabari bahwa aku akan datang. Namun sialnya, begitu kurapatkan ponsel di telinga, yang terdengar malah “maaf, pulsa Anda tidak mencukupi”.
WHAT THE …
Aku beruntung lantaran aku tidak butuh waktu lama untuk menunggu bus datang. Lekas beranjak ke dalam kendaraan panjang itu, berharap Jungkook masih menungguku di luar. Tapi, ah! Mustahil! Dia pasti sudah duduk manis menonton film itu bersama penonton lainnya.
Well, sebenarnya, aku merasa Jungkook agak memaksaku untuk datang malam ini. Benar, tidak? Dia membelikanku tiket dan dia mengabariku tentang keberadaannya di bioskop. Sejatinya, bukan malam ini saja. Namun, beberapa hari belakangan, sikapnya padaku memang agak aneh.
Dia … seperti … ingin terus bersamaku.
Apa … dia menyukaiku, ya?
Hahaha! Apa yang aku pikirkan barusan? Paling-paling, dia masih belum terbiasa dengan berakhirnya masa tugasku sebagai asistennya. Jadi, dia memaksaku untuk ikut bersamanya agar bisa diperintah sesuka hati.
Tepat pukul delapan lewat tiga puluh menit, aku tiba di halte yang tidak jauh dari bioskop tempat Jungkook menonton. Dari kabar yang aku dengar, film The Descent memiliki durasi seratus menit. Kalau begitu, tersisa tujuh puluh menit lagi.
Jungkook masih ada, tidak, ya?
Ragu-ragu, aku menapaki tangga menuju pintu bioskop. Kuedarkan pandanganku, mencari keberadaan sosok lelaki berhidung besar itu. Aku nyaris putar balik, hendak pulang lantaran aku tidak berhasil menemukan lelaki bermarga Jeon itu, tetapi gagal sebab Jungkook meneriakkan namaku.
“Kau datang, hm?” tanyanya. Malam ini, dia terlihat mengenakan kaus belang-belang navy-putih yang bagian bawahnya diselipkan ke balik celana panjang hitam.
“Ya,” sahutku dengan napas yang tersengal. “Kau habis dari mana?”
“Dari toilet.” Lelaki itu menyahut singkat.
“O-oh. Kupikir kau sudah pulang atau lebih dulu masuk.”
Lelaki itu menggerakkan ketujuh belas otot-otot di sekitar mulutnya untuk membentuk senyuman. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu. Aku, kan, sudah berjanji menunggumu.”
Kalimat itu ia tutup lagi dengan senyumnya yang menawan.
God. Lelaki ini memang menyebalkan, tapi dia baik dan memiliki senyum yang memesona. Tolong.
“Ayo, masuk. Kita sudah melewatkan banyak adegan.”
***
“Hah! Akhirnya bisa menonton film itu juga,” ujarku lega begitu aku, Jungkook dan para penonton lain keluar dari ruangan. “Terima kasih, Jungkook-a.”
“Sama-sama. Bagaimana filmnya menurutmu, hm?”
“Seram! Aku kasihan dengan gadis-gadis itu.” Aku mulai berceloteh panjang tentang seberapa menakutkannya film yang baru saja kami pirsa. Begitu selesai berbicara, aku tersadar, tahu-tahu kami telah tiba di halte bus.
“Lain kali, kita menonton bersama lagi,” kata Jungkook.
Aku hanya mengangguk mengiyakan. “Ya. Semoga di waktu yang tepat sehingga aku tidak membuatmu menunggu lama. Aku jadi merasa bersalah.”
“Tidak perlu merasa bersalah seperti itu,” tutur Jungkook. “Aku tahu kau akan datang, karena itu aku menunggumu.”
Aku menoleh ke arah Jungkook. Meskipun tak bersuara, tapi aku yakin lelaki itu paham aku terkejut mendengar penuturannya. Maksudnya apa dia berkata seperti itu? Tidakkah kalimat itu … err, agak berlebihan untuk diucapkan kepada seorang teman?
Apa … dugaanku benar, ya?
Jangan-jangan Jungkook …
“Aku menyukaimu.”
JGEEEERRR!!!
Apa aku tidak salah dengar? Jeon Jungkook … menyukaiku? Haha … yang benar saja? Dia pasti salah ucap.
“Ini mungkin mengejutkan bagimu, tapi … aku benar-benar menyukaimu.”
SERIUS, JEON JUNGKOOK?
Rasanya aku hampir terkena serangan jantung.
Bagaimana bisa seorang Jeon Jungkook yang tampan dan populer di kampus menyukai seseorang sepertiku? Kalau wanita-wanita yang mengejarnya tahu, matilah aku.
“Kenapa diam saja?” tanyanya. “Kau … menyukaiku, tidak?”
Doooooh! Pertanyaan macam apa itu? Menyukainya atau tidak? Oke, jujur saja, meskipun dia menyebalkan dan suka memerintahku ini-itu, tapi tidak aku pungkiri bahwa aku sedikit—iya, hanya sedikit, sumpah—menyukainya. Tapi, duh, bagaimana, ya?
“Halo? Cho Junmi, apa kau mendengarku?”
“Ya, aku dengar.”
“Lantas, apa jawabanmu?”
Jungkook yang menatapku intens membuatku merasa tersudut.
“Kau menyukaiku atau tidak?”
Duh, jawab apa, ya?
“Katakan saja. Tidak perlu sungkan.”
Sambil memainkan jari-jemari, aku berkata, “Ya …, bagaimana, ya? Aku menyukaimu, sih …, tapi sedikit.”
“Sedikit?” Jungkook memastikan.
Aku mengangguk.
“Tidak bisa ditambah lagi biar jadi banyak?”
Aku menggaruk tengkukku. “Well, sebenarnya, bisa. Kau baik, kau tampan, kau juga perhatian. Jadi, seharusnya bisa ditambah lagi biar jadi banyak,” jawabku asal. Haduh, kalimat macam apa yang aku keluarkan barusan?
“Kau mau menjadi pacarku?”
HA? SERIUS?
“Err …, bagaimana, ya? Aku mau, sih, tapi—”
“Mau, tidak?”
“Mau, tapi aku takut kalau penggemarmu di kampus akan—”
Jungkook langsung meraih kedua tanganku, memasukkannya ke dalam genggamannya. “Tidak ada yang perlu kau takutkan. Aku akan di sampingmu untuk menjagamu.”
Dan malam itu, aku dan Jungkook resmi menjadi sepasang kekasih.
***
Kedua mataku membulat, jantungku berdebar kencang, aku bahkan memegang dengan kuat pegangan kursi di sisi kanan dan kiriku kala tokoh Lorraine Warren terjebak di dalam ruang kerja suaminya, Ed Warren. Siluet hitam yang bergerak pelan di dinding menuju foto tokoh setan yang digambar oleh Ed—Valak—membuatku tak sabar menantikan apa yang akan terjadi begitu sosok hitam itu persis berada di belakang foto.
Jari-jari yang muncul sedikit demi sedikit, memegang bingkai foto Valak itu membuatku menahan napas. Akan terjadi adegan menyeramkan, tidak lama lagi. Namun tepat di saat itu, kurasakan tangan kananku digenggam oleh seseorang.
Jeon Jungkook, dia yang menggenggam tanganku.
Aku menoleh ke arahnya, menemukan lengkung manisnya yang membuatku tenang. “Kau ingat apa yang aku katakan saat aku memintamu menjadi pacarku beberapa tahun lalu?”
Aku mengangguk. “Tidak ada yang perlu kau takutkan. Aku akan di sampingmu untuk menjagamu.”
Aku dan Jungkook malah saling berpandangan, menenangkan satu sama lain di kala orang – orang di sekitar kami berteriak. Entah apa yang dilakukan Valak terhadap Lorraine. Yang aku tahu, Jungkook sedang menjagaku.
-THE END-
Btw, karena ga lama lagi lebaran, saya mau mengucapkan minal aidin wal faidzin. Maafkan saya yang suka lama ngepost dan lama balas komentarnya. Mianhae ... saranghae ... yeongsohae ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro