MISS YOU, NEED YOU [!]
"NUNAAA!!! JEONGSAN JUGA MAU BICALA SAMA APPA!!!"
"NUNA MASIH BICARA SAMA APPA, JEONGSAN!"
"HUWAAA!!! EOMMA!!!"
Tangisan Jeongsan meledak.
"Jeon Tayaaa!" Aku menegur dari dapur.
"Aish! Iya, Eomma!" Taya menyahut dari ruang keluarga. "Nih! Nih! Ambil!" Aku mendengar ucapan sinis bercampur kesal itu keluar dari mulut Taya.
Duh! Anak itu.
Aku tidak mengerti mengapa Taya dan Jeongsan nyaris tidak pernah akur, terutama setiap kali ayah mereka berangkat keluar negeri. Jika Jungkook menelepon, Taya dan Jeongsan selalu berebut untuk berbicara. Padahal, omongan mereka selalu saja seputar oleh-oleh, tugas sekolah, dan apa yang dilakukan hari itu.
Aku sedang mencuci piring ketika Jeongsan menghampiriku sambil membawa ponselku. "Eomma~" gumamnya dengan mata sembap. Kedua pipinya bahkan basah oleh air mata. Aku melihat panggilan Jungkook sudah terputus ketika Jeongsan menyerahkan ponsel itu padaku.
"Jeongsan mau bicara sama Appa?"
Putraku mengangguk pelan.
Aku menghubungi Jungkook—sekadar menghubungi, lantas memutuskan begitu kudengar Jungkook menjawabnya. Biar dia saja yang menghubungi dari Macau.
"Kenapa tadi panggilannya terputus tiba-tiba?" tanya Jungkook saat ia menelepon ke ponselku.
Aku menarik napas panjang. "Biasa ..., Taya dan Jeongsan berebut ingin bicara denganmu. Taya memutuskan panggilanmu karena kesal pada Jeongsan," uraiku. "Omong-omong, Jeongsan mau bicara denganmu."
Aku menyerahkan ponsel pada putraku sembari menyuruhnya untuk duduk di kursi makan. Kala Jeongsan asik berbicara dengan ayahnya, aku sibuk melanjutkan acara cuci piringku. Sesekali aku mencuri dengar apa yang dikatakan Jeongsan pada ayahnya. Sudah kuduga, dia hanya menanyakan apa yang dibelikan Jungkook untuknya di Macau. Selebihnya, kudengar ia lebih banyak berkata, "Iya, Appa."
Usai mencuci piring, aku pun bergabung dengan Jeongsan. Beberapa kali aku sengaja mengajari Jeongsan berbicara—menyuruh ayahnya membeli pakaian hangat untuk kami di rumah, menyuruh ayahnya untuk banyak istirahat dan tidak telat makan, dan paling penting ...
"Eomma, Appa bilang, Appa tidak akan macam-macam di Macau."
"Bilang sama Appa, nanti Eomma beri hadiah kalau Appa jadi anak baik," tuturku pada putraku.
"Eum ... Appa, nanti Eomma beli hadiah untuk Appa kalau Appa jadi anak baik."
Sekitar hampir sepuluh menit mereka berbicara sampai Jeongsan berkata bahwa ayahnya ingin bicara denganku. Kuambil ponsel dari tangan putraku, sengaja beranjak menuju teras belakang saat berbicara dengan suamiku.
"Ya, ada apa?"
"Maaf, aku tidak bisa pulang hari ini. Direktur Bang memintaku untuk tinggal menemaninya sampai lusa. Jadi—"
Aku menghela napas pelan. "Tidak apa-apa," sahutku. "Lagi pula, kita sudah sering merayakan ulang tahunku bersama. Kalau tahun ini tidak bisa, tidak usah dipikirkan."
"Maaf aku tidak bisa merayakan ulang tahunmu."
Kendati merasa ada sesuatu yang membuat hatiku merasa sedih, tetapi aku berusaha untuk tidak menunjukkanya pada Jungkook. "Ya. Sebaiknya kau fokus saja dengan pekerjaanmu di sana. Jangan lupa jaga kesehatan. Kalau keluar, jangan lupa pakai sarung tangan. Kulit tanganmu itu mudah sekali terkelupas karena cuaca dingin."
Aku mendengar suara tawa kecil dari priaku. "Okay, Mom."
"Ya, sudah," kataku, "sebaiknya kau istirahat. Aku juga mau menemani Jeongsan belajar. Nanti pulsamu juga cepat habis."
"Ya, hati-hati di rumah, ya."
"Eum."
"Selamat ulang tahun, ya."
"Ini baru tanggal sembilan, Jeon-a."
"Memangnya kenapa? Aku sengaja mengucapkannya lebih awal agar aku tetap menjadi orang pertama yang memberimu ucapan selamat ulang tahun."
Aku tersenyum samar. "Ya, sudah. Terima kasih."
"Jaga dirimu dan anak-anak."
"Kau juga."
"I love you."
"I love you, too."
Dan, panggilan Jungkook pun terputus.
***
Suara jam weker yang mengetuk indra pendengaran, membuatku pelan-pelan membuka mata. Ah, akhirnya tanggal sepuluh Desember telah tiba. Selamat ulang tahun, Junmi. Selamat bertambah tua.
Aku lantas mengambil posisi duduk, hendak beranjak dari tempat tidur. Namun tepat di saat itu, aku menyadari bahwa ... Jeongsan tidak ada di sampingku. Apa dia ada di kamar mandi, ya?
"Jeongsan, apa kau di dalam?" teriakku di depan pintu kamar mandi.
Tidak mendengar sahutan, aku pun membuka pintu kamar kecil itu. Tidak ada Jeongsan di sana. Ah, memang seharusnya tidak ada sebab Jeongsan tidak pernah menutup pintu kamar mandi jika dia sedang buang air atau mandi seorang diri.
Kecemasan perlahan menyelimuti benakku. Jeongsan ada di mana, sih? Masa dia sudah keluar dari kamar tanpa membangunkanku? Atau jangan-jangan dia—ASTAGA! JUNMI! JANGAN-JANGAN JEONGSAN DICULIK!!!
Ya Tuhan, bagaimana ini?
"NUNAAA~!!!"
Eh?
Aku mendengar teriakan Jeongsan. Buru-buru aku keluar dari kamar. Sayup-sayup, aku mendengar keributan yang berasal dari dapur. Semakin aku melangkah ke ruang tempat aku memasak itu, semakin terdengar jelas suara Taya dan Jeongsan. Dan begitu aku tiba di sana, kutemukan Taya dan Jeongsan duduk di kursi. Juga, seorang laki-laki berkaus putih.
Tunggu!
"Jungkook?"
Taya, Jeongsan, dan laki-laki itu serempak menoleh ke arahku. Benar saja. Laki-laki itu adalah suamiku.
"Selamat pagi, Sayang~" Ia memamerkan senyumnya.
"Ya, bagaimana kau bisa ada di sini? Bukankah seharusnya kau masih berada di Macau?"
"Kejutaaan~!" serunya. "Sebenarnya, saat aku menelepon semalam, aku sudah berada di Seoul," katanya.
Apa?
"Aku menginap di rumah Mingyu, dan berpura-pura kalau aku masih berada di Macau." Dia tertawa, tampak puas karena rencananya berhasil. Dasar sial! Kupikir dia benar-benar masih berada di Macau.
Saking terkejutnya, aku masih terpaku di tempatku berpijak. Jungkook beranjak dari duduknya, lantas tanpa merasa bersalah, ia langsung memelukku dan berkata, "Selamat ulang tahun, Sayang."
Tidak lama, Taya dan Jeongsan juga meniru apa yang dilakukan oleh ayah mereka padaku. Dengan tinggi yang masih jauh di bawahku, kedua buah hatiku itu hanya memeluk kakiku.
"Selamat ulang tahun, Eomma~"
***
Cuaca yang dingin membuatku lebih cepat merasa lelah. Usai makan siang di luar, aku memilih untuk segera beristirahat. Aku berbaring pada sisi kasur tempat Jungkook biasa membaringkan tubuhnya lantaran aku ingin lebih dekat dengan jendela, memandang butiran-butiran es halus yang berjatuhan di luar.
Kuselipkan tubuhku yang telah dibalut kaus lengan panjang dan celana panjang ke dalam selimut. Pelan-pelan kupejamkan mata, berusaha mengabaikan keributan Jeongsan dan Jungkook di ruang keluarga. Entah apa yang dilakukan Jungkook hingga gelak putranya terdengar. Taya paling juga sudah tidur di kamarnya.
Sudahlah. Lebih baik aku tidur juga.
Eh?
Aku tidak tahu apakah tadi aku sempat tertidur atau tidak, tiba-tiba aku dikejutkan oleh telapak tangan yang membungkus punggung tanganku, juga tubuh yang merapat punggungku. Hela napas yang terasa pada permukaan leher yang disertai kecupan-kecupan kecil membuatku tahu bahwa yang seseorang yang tengah menjadikanku sebagai "guling hidup" adalah Jeon Jungkook.
Menyadari aku telah terbangun—sepertinya tadi aku memang sempat tertidur, Jungkook bertanya, "Apa aku membangunkanmu?"
"Menurutmu?"
Ada gelak kecil yang terdengar di belakang telingaku. Tidak lama Jungkook menarik napas panjang, sengaja menghirup aroma kulit leherku di belakang. Pria ini pun semakin menarikku masuk ke pelukannya, entah bermaksud untuk membuatku merasa lebih hangat atau benar-benar mengira aku ini guling sungguhan.
"I miss you," tuturnya dalam sekejap.
"Apa, sih? Sesak, Jeon." Aku berusaha melepaskan tubuhku dari dekapannya.
"Aku sangat merindukanmu," katanya. "Memangnya kau tidak merindukanku?" Ada nada protes yang terdengar saat ia mengucap kalimatnya barusan.
Aku sengaja tidak menyuarakan jawaban atas pertanyaannya.
Memangnya kau tidak merindukanku? Astaga! Dia pikir setiap kali dia meninggalkanku untuk perjalanan keluar Seoul atau keluar negeri, aku bisa tidur nyenyak, hah? Tidak! Satu kali pun aku tidak pernah bisa tidur nyenyak sebab rasa rindu itu menyesakiku hingga ke ubun-ubun.
Jadi, bagaimana mungkin aku tidak merindukanmu, Jeon Jungkook?
Pelan-pelan kusingkirkan tangan dan kakinya yang mendekap tubuhku. Lantas, kuputar tubuhku hingga kami berbaring dalam posisi berhadapan. Priaku tengah memicingkan matanya. Ada rasa lelah yang coba ia lepas dari beristirahat di siang hari.
Pandanganku bergerak menelusuri wajah damai milik pria yang kucinta ini. Kunikmati setiap unsur wajah yang terpadu sempurna—betapa Tuhan sangat baik padanya—di tengah deru napas yang teratur. Sepasang matanya yang senantiasa memandangku penuh rasa kagum, hidungnya yang menghirup aroma tubuhku seolah itu bisa membuatnya tenang, juga ... bibir yang kerap mengeja cinta setiap kali ia mengecup bibirku.
Dan, aku bergerak mengecup bibirnya.
Entah mendapat dorongan dari mana, aku bahkan tidak memikirkannya. Buru-buru kutarik wajahku menjauh darinya. Namun sepersekian detik kemudian, kutemukan sebuah senyum di wajahnya. Priaku ... membuka matanya.
"Kenapa kau selalu mencuri cium, sih? Kenapa tidak dilakukan terang-terangan saja?"
Sontak, aku memukul pundaknya sebab lagi-lagi ia hanya mengerjaiku dengan berpura-pura tertidur. Kuyakin semburat merah muda telah sempurna menghias kedua belah pipiku. Sial!
Tawa samar untuk kesekian kalinya ia loloskan dari mulut. Sepasang netranya memandang ke arahku, pun hal yang sama dilakukan oleh indra penglihatanku. Ada perasaan rindu yang coba kami salurkan melalui tatapan tanpa interupsi dari satu kedipan pun. Sejatinya, rindu memang hanya butuh temu.
Perlahan, priaku mengeliminasi jarak yang tercipta di antara kami. Dibiarkan bibirnya bersentuhan dengan bibirku, meninggalkan kecupan-kecupan yang membuat rasa rindu di dada pelan-pelan sirna. Ia lantas bergerak memosisikan tubuhnya sedikit lebih tinggi dari posisi tubuhku—tidak benar-benar berada di atasku. Tangan kirinya bertugas untuk menopang tubuhnya manakala tangan kanannya sibuk membelai pipiku.
Dan, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang intens.
Tangan kananku mencengkram pundaknya, sedangkan tangan kiriku mengelus sedikit bagian punggungnya. Ada seseorang—ah, mungkin dua orang—yang berkeringat di musim dingin sepertinya.
Priaku menarik bibirnya, memberi waktu untuk kami melepaskan karbondioksida yang terlalu lama tertahan di dalam tubuh, sekaligus menggantinya dengan hirupan oksigen. "Bibirmu lembut sekali. Kau terlalu banyak memakai pelembab, ya?" Ia mencoba bercanda.
"Kalau bibirku kering, kau mana mungkin menikmati yang tadi?"
Gelaknya bebas memenuhi kamar. Oh, ya, jelas dia menikmati setiap pagutan yang terjadi di antara bibir kami barusan.
"Maaf aku tidak memberikanmu sesuatu yang istimewa di hari ulang tahunmu kali ini." Nada menyesal tersirat di antara kalimat yang ia tuturkan padaku.
Aku membelai pipinya. "Keberadaanmu di sini sudah menjadi hal yang istimewa untukku."
"Ey, sejak kapan kau menjadi pintar menggombal seperti itu?" Dia bercanda lagi.
"Aku serius, Jeon!" tegasku. Ia bungkam. "Hari ini ... aku hanya ingin kamu, butuh kamu."
Tali samar yang mengikat dadaku seolah lepas, membuatku bisa bernapas bebas. Hal yang dari kemarin ingin kuutarakan padanya, telah menguap bersama udara, berembus lembut masuk ke telinganya.
"Kalau seperti itu," katanya seraya memandangku penuh rasa cinta, "kamu sudah mendapatkan hadiahmu."
Kulingkarkan kedua tanganku di lehernya, memandangnya nakal sembari berkata dengan nada lembut menggoda, "Boleh kunikmati hadiahku sekarang?"
"Tentu saja." Senyum nakal pun terukir di wajahnya.
Dan, siang itu adalah siang paling panas yang pernah kurasakan sepanjang musim dingin tahun ini.
-THE END-
Halo.
Maaf, ya, JFS seri ini sedikit lambat di-publish. Biar pas ama timing aja, sih.
Oh, ya, omong-omong, saya mau menyampaikan sesuatu. Selama beberapa minggu ke depan--entah seminggu, dua minggu atau sampai akhir tahun--JFS tidak update, ya. Saya butuh menenangkan diri, sehingga butuh istirahat sebentar. Tapi saya akan usahan balik secepatnya kalau proses pemulihannya/? lebih cepat dari yang saya perhitungkan.
Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.
Terima kasih sudah membaca seri ini, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro