Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IT'S OKAY TO BE A LOSER (JK'S POV)

Aku baru pulang bekerja. Dari pintu depan, aku sudah mendengar Jeongsan meneriakkan lirik "go go Power Ranger" dari soundtrack kartun favoritnya. Benar saja, begitu tiba di ruang keluarga, Jeongsan-ku sudah berdiri di depan televisi. Dia bahkan tidak menyadari kedatanganku.

Aku masuk ke kamar, mengganti pakaian, kemudian bergerak ke dapur. Aku menemukanmu di sana, bergulat dengan bahan-bahan makanan. Suara percikan minyak dari ikan yang sedang digoreng membuat suasan di dapur menjadi cukup ramai.

"Jadi, yang kalah rebutan remot hari ini adalah Taya, hm?" Aku berdiri di sebelahmu yang sedang memotong-motong wortel, menikmati sebuah apel yang baru saja kuambil dari atas meja.

Kamu menoleh ke arahku sekilas, lalu berkata, "Sore ini tidak ada insiden perebutan remot, tahu! Jeongsan menang mutlak hari ini."

"Oh, ya?" Kedua alisku refleks terangkat. "Tumben. Kenapa?"

Kamu beranjak mencuci wortel yang baru saja kau potong. "Tidak tahu. Sejak pulang sekolah, dia terlihat tidak bersemangat. Tiap kutanya, dia bilang tidak apa-apa. Tapi, sepertinya dia sedang menyembunyikan atau memikirkan sesuatu."

Tepat di saat itu, Taya datang ke dapur, mengambil segelas air. Aku dan ibunya secara serempak mengikuti gerakannya yang berjalan menuju dispenser, sedangkan ia bersikap seolah tidak sedang diperhatikan. Benar kata ibunya, Taya-ku tampak tidak baik-baik saja.

"Tuh, 'kan? Dia seperti gadis yang sedang putus cinta!"

"Taya itu masih anak kecil!"

"Jadi ..., menurutmu, dia kenapa?"

Aku hanya diam sembari mengendikkan bahu.

***

"Aku sudah selesai."

"Iii ... Taya Nuna kenapa tidak memakan sayulnya? Nanti Eomma malah," Jeongsan tiba-tiba menceletuk.

Dalam keadaan normal, biasanya Taya akan berkata, "Terserah aku!" atau "Dasar cerewet!" atau "Diam saja, Jeongsan!". Minimal, Jeongsan mendapatkan tatapan sengit dari kakak perempuannya itu. Namun malam ini, Taya seolah tidak mendengar celetukan adiknya. Dia langsung meninggalkan meja makan, bahkan piring bekasnya pun tidak ia bawa ke bak cuci piring.

Aku dan kamu saling berpandangan.

"Taya benar-benar aneh, Jeon. Sebaiknya kau menemuinya nanti. Mungkin dia mau bicara padamu," ujarmu.

Aku mengembuskan karbondioksida dari mulutnya secara perlahan. "Baiklah. Nanti aku akan coba bicara dengannya."

Setelah makan malam, sementara kau mencuci piring dan Jeongsan asik bermain game melalui tablet-ku, aku menghampiri Taya yang berada di dalam kamarnya. Saat aku masuk, dia sedang berbaring memandang langit-langit kamarnya. Menyadari keberadaanku, dia langsung menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.

"Taya, mau menemani Appa duduk di teras depan melihat bintang-bintang?" Aku duduk di tepi tempat tidurnya.

Aku menunggu sekian sekon sampai Taya menyibak selimutnya. Dengan nada pelan, nyaris tidak terdengar, dia berkata, "Iya, Appa ."

Aku menggendongnya keluar dari kamar. Bukan kemauannya, hanya inisiatifku saja sebagai bentuk hiburan untuk seorang gadis kecil yang sedang dirundung pilu.

Memandang angkasa gelap dengan taburan bintang yang berkerlap-kerlip di sekitar bulan menjadi pemandangan yang kunikmati berdua dengan putriku saat ini. Aku sengaja menarik salah satu kursi teras agak ke depan agar tidak terhalang oleh atap.

"Malam yang cerah, ya, Sayang. Tidak ada awan yang menghalangi sinar bulan dan bintang."

Taya hanya mengangguk sembari menyandarkan kepalanya pada dadaku.

"Lalu, kenapa Taya terlihat tidak secerah malam ini? Taya banyak diam. Kata Eomma, Taya sedih sejak pulang sekolah. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di sekolah?"

Untuk beberapa saat, aku hanya mendengar desau angin. Taya tampak sedang memikirkan, apa harus menuturkan apa yang sedang dipikirkannya kepadaku atau tidak. Sampai ..., aku mendengarnya memanggilku.

"Appa ?"

"Ya?"

"Kalau nanti Taya tidak jadi juara kelas, Appa dan Eomma tidak marah, 'kan? Appa dan Eomma akan tetap menyayangi Taya, 'kan?" Ada kecemasan yang tersirat dari nada bicaranya.

Aku menghela napas. "Ya! Kenapa Taya berpikir seperti itu? Appa dan Eomma tidak akan marah meskipun tahun ini Taya tidak menjadi juara kelas. Lagi pula, apa hari ini pembagian rapor? Bagaimana Taya bisa berpikir bahwa Taya tidak akan menjadi juara kelas lagi?"

Gadisku mengembuskan napas berat dari mulutnya. "Tadi Bu Guru memperlihatkan nilai rapor sementara, Appa . Dan, Taya berada di urutan kedua."

Duh! Anak ini.

Aku membelai rambut panjangnya. "Taya, dengar, ya, itu kan baru nilai sementara. Taya masih punya kesempatan untuk memperbaiki nilai sampai Bu Guru membagikan rapor. Taya kan masih punya waktu beberapa bulan lagi untuk memperbaiki nilai."

"Tapi, bagaimana kalau Taya tetap berada di posisi kedua dan tahun ini Taya tidak bisa jadi juara kelas?" Dia mendongak, menatap tepat ke mataku.

Aku tersenyum, mengecup puncak kepalanya. "Tidak apa-apa. Tahun ini tidak menjadi juara kelas, tidak apa-apa. Appa dan Eomma akan tetap menyayangi Taya. Taya belajar saja dengan baik, jangan memaksakan diri. Yang paling penting, Taya tetap rajin belajar."

"Iya, Appa ."

Lalu, aku mulai menceritakan hal-hal random tentang diriku saat masih sekolah. Tanpa rasa malu, aku bercerita padanya bahwa ayahnya ini pernah mendapatkan skor buruk-sangat buruk-sampai sering menjadi bahan ledekan paman-paman Bangtan, terutama Paman Namjoon.

"Appa cuma dapat nilai empat saat ujian bahasa Inggris. Empat dari seratus. Memalukan, ya?"

"Aigoo, apa Appa tidak belajar?" tanyanya polos.

Aku tertawa. "Ya ..., waktu itu Appa memang tidak belajar, sih."

"Dasar Appa pemalas! Pantas saja Namjoon Samcheon pernah bilang pada Taya supaya Taya tidak seperti Appa di masa muda. Katanya, Appa malas belajar karena keasikan bermain game bersama Taehyung Samcheon dan membaca komik."

"Namjoon Samcheon bilang begitu?"

Dia mengangguk.

Apa-apaan Namjoon Hyung itu? Tsk! Mentang-mentang dia paling pintar.

***

Setelah mengobrol dengan Taya di teras, membicarakan tentang apa yang dirisaukannya, masa mudaku, dan hal-hal random lainnya, gadis kecilku pun tertidur. Aku beranjak masuk ke rumah, berpapasan denganmu yang sedang menggendong Jeongsan masuk ke kamar.

"Dia juga sudah tidur?" tanyamu.

Aku mengangguk.

Aku membaya Taya ke kamarnya, membaringkannya di atas tempat tidur, lantas menyelimutinya. Aku duduk di sampingnya sejenak, memandang wajahnya yang terlihat damai dalam lelap. Aku lantas tertawa kecil. Sebuah ingatan akan masa muda kembali tercungkil dari ingatan.

Gadis kecil ini seperti Jungkook kecil.

Jungkook kecil yang takut kalah.

Jungkook kecil yang bermimpi besar.

Jungkook kecil yang bekerja keras untuk mewujudkan impiannya.

Aku lantas mengecup dahinya, mengucap selamat tidur meski aku tahu dia tidak mendengarnya. Begitu aku berbalik hendak keluar dari kamar, aku menemukanmu berdiri di ambang pintu, melipat kedua tangan di depan dada sembari menyandarkan sisi tubuhmu pada bingkai pintu.

"Kenapa kau memandangku sambil tersenyum-senyum seperti itu?" Aku menghampirimu dengan perasaan canggung.

Masih dengan senyum yang membuatku merasa malu dan risih di saat yang bersamaan, kamu berkata, "Sepertinya aku sudah lama tidak melihatmu seperti tadi."

Keningku mengernyit. "Maksudmu?"

"Ya ..., memanjakan anak."

Aku telah berdiri tepat di depanmu, menyentuhkan dahik dengan dahimu, ujung hidungku dengan ujung hidungmu. "Itu ... mungkin karena aku terlalu sering memanjakan Eomma mereka."

Semburat merah muda menghiasi pipimu. "Apa-apaan, sih!"

-The End-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro