THE POLICE OFFICER (JUNGKOOK'S POV)
“Tuan Jeon Jeongsan, apa benar Anda telah mencoret gambar Nona Jeon Taya?” ujarku tegas pada bayi laki-laki yang sedang duduk di atas lantai di hadapanku.
Beberapa saat lalu, Taya sedang asik menggambar. Sementara itu, aku dan Jeongsan bermain di dekatnya. Tindak kriminal—bagi Taya—itu terjadi saat aku sejenak meninggalkan Jeongsan untuk ke kamar kecil. Tahu-tahu bayi laki-laki itu mengambil salah satu crayon milik nuna-nya, seketika mencoret gambar milik kakak perempuannya. Begitu aku kembali, Taya langsung mengadu padaku sambil memperlihatkan gambarnya yang telah diberi ‘sentuhan’ oleh Jeongsan.
“Blubpbababibublupba,” Jeongsan bicara a la bayi tujuh bulannya.
“Bicara dalam bahasa Korea, Jeongsan! Nuna dan Appa tidak tahu kau bicara apa!” protes Taya yang duduk di sebelahku, memasang seri wajah kesal.
“Tenang, tenang, Nona Jeon Taya. Polisi Jeon tahu Tuan Jeongsan bicara apa,” ujarku, menengahi.
Ya, aku memang sengaja membuat situasi ini seperti di sebuah ruang sidang. Anggap saja sedang main polisi-polisian. Aku yang menjadi polisi, Taya menjadi korban dan Jeongsan menjadi pelaku kriminal.
“Jadi, Tuan Jeon Jeongsan tidak mau mengaku?”
“Nyamnyambabapabubu.”
“Jeongsan bilang apa, Appa?” tanya Taya, malah terlihat serius dengan permainan ini.
Seolah tahu apa yang Jeongsan katakan—sebab sebenarnya aku juga tidak tahu dia bicara apa, aku pun berucap, “Tuan Jeongsan masih tidak mau mengaku, Nona Taya.”
“Ya!” Taya memukul kaki adiknya. “Kenapa tidak mau bilang kalau kau yang mencoret gambar Nuna, hah?” makinya, sepertinya menyimpan sakit hati kepada adiknya.
“Taya, tidak boleh seperti itu, Sayang,” tegurku.
Lantas, seperti tidak menerima perlakuan kakak perempuannya, Jeongsan merangkak menghampiri Taya dan—
“Ya! Jeongsan-a!” pekik Taya ketika Jeongsan langsung menarik rambut panjangnya yang terurai.
“Astaga! Tuan Jeongsan, dilarang menggunakan tindak kekerasan!” Entah kenapa aku masih terjebak dalam drama polisi-tersangka-korban yang tidak jelas ini.
Lekas kuraih Jeongsan, melepaskan rambut kakaknya yang berada di dalam genggaman tangan mungilnya. Lantas, kumasukkan anak bayi itu ke dalam baby walker yang tidak jauh dari sofa.
“Bobabonabonunabobabo.”
Nuna babo?
“Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu, Jeon Jeongsan?” tegurku.
Aish! Mereka ini, adik-kakak, tetapi seperti musuh bebuyutan.
“Jeongsan nakal!” Taya memukul meja baby walker Jeongsan, menimbulkan bunyi.
Jeongsan pun memukul meja baby walker-nya, malah berkali-kali karena menyukai bunyinya. Ia bahkan memamerkan senyum lebar kepada kakaknya, seolah berterima kasih karena telah memperdengarkan bunyi-bunyian itu.
“Jadi, bagaimana ini, Nona Taya? Apa perlu kita lanjutkan?”
“Tentu saja, Appa! Adik Jeongsan juga menarik rambut Taya. Harusnya adik Jeongsan dihukum. Kata ibu guru, orang yang jahat, harus diberi hukuman. Adik Jeongsan kan jahat, Appa!”
Duh!
“Baiklah, Tuan Jeongsan. Atas nama hukum, Anda saya beri hukuman pengurangan jatah ASI untuk makan malam.”
Ucapanku barusan berserobok dengan suara pintu yang dibuka. Beberapa saat kemudian, kau muncul di ruang keluarga, langsung bertanya, “Kenapa kau mau mengurangi jatah ASI Jeongsan?”
“Ah, itu—”
“Eomma! Eomma!” Taya berlari menghampirimu sambil membawa buku gambar yang menjadi barang bukti tindak kriminal Jeongsan. “Lihat! Adik Jeongsan mencoret gambar Taya, Eomma!” adunya.
Ck! Dasar anak perempuan.
“Apa yang sedang terjadi, sih?” tanyamu, bingung.
“Itu … Jeongsan mencoret gambar Taya. Lalu, kami main polisi-polisian. Aku jadi polisinya, Taya jadi korbannya dan Jeongsan tersangkanya.”
Kau memutar kedua bola matamu jemu. “Ish! Ada-ada saja,” komentarmu. “Cha! Ini sudah sore. Taya, kamu belum mandi, kan? Sana mandi,” titahmu.
“Iya, Eomma~” ujarnya dengan bibir merengut, lalu beranjak menuju kamar mandi di belakang.
“Dan kau, Jeongsan,” kau mengangkat Jeongsan keluar dari baby walker-nya, “jangan mengganggu Taya Nuna kalau sedang menggambar, oke?” lanjutmu begitu Jeongsan berada di dalam gendonganmu.
“Bubububababubabanyamnya.”
“Dia bilang apa?” tanyaku, memang tidak mengerti bahasa bayi.
“Dia harus mandi juga. Popoknya sudah penuh.”
“Bagaimana kau bisa tahu? Kau mengerti bahasa bayi?” tanyaku bingung.
“Aku ibunya, aku tahu apa yang dia bilang,” balasmu.
Kau pun membawa Jeongsan ke dalam kamar, memandikan jagoan kecil kita. Sementara itu, aku hanya memperhatikanmu saat kau mengoleskan minyak penghangat tubuh dan menaburkan bedak di atas tubuh Jeongsan.
“Ey! Jeongsan-a, jangan bergerak. Sayang, pegang Jeongsan,” pintamu ketika Jeongsan bergerak hendak menghampiriku, sedangkan kau ingin memakaikannya popok. Memakaikan popok kepada bayi yang sudah mulai bergerak cukup sulit juga. Terlebih Jeongsan suka sekali bergerak. Mungkin … kalau besar nanti dia akan menjadi seorang dancer sepertiku saat muda … hahahaha.
“Hah! Selesai juga,” ujarmu lega. “Cha! Kau boleh main lagi,” katamu pada Jeongsan setelah kau memasukkan bayi mungil itu ke dalam baby walker-nya, membiarkannya bergerak ke sana-ke mari di dalam kamar.
Kau lantas melihat ke arahku dan berkata, “Ya! Kau juga bayi besar. Kenapa berdiam di situ, hm? Kau juga belum mandi, kan?”
“Apa-apaan? Menuduh tanpa bukti. Aku sudah mandi tadi,” ujarku.
“Oh, begitu?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu, kenapa tidak memandikan anak-anak?” tanyamu.
Aku hanya memamerkan senyum lebar. Bukannya tidak mau …, tapi … memandikan mereka berdua sungguh merepotkan … ehehehe.
Kau mendecak. “Kalau begitu, kau harus dihukum, Polisi Jeon!” katamu, memegang kedua pergelangan tanganku seolah kau sedang memborgolku.
“Dihukum?” Kulit dahiku berkerut. “Dihukum kenapa?”
“Karena tidak mau memandikan anak-anak.”
“Kalau begitu, boleh aku yang memilih hukummannya?” Gantian aku yang melihat kulit dahimu berkerut.
“Memangnya kau hukuman apa?”
“Masukkan aku ke penjara hatimu.”
Dan, kulihat pipimu beralih kelir serupa tomat yang matang. Merah. Menggiurkan. Manis sekali.
-THE END-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro