MIDNIGHT DATING
"Taya sudah tidur?”
Pertanyaan Jungkook terdengar sepersekian detik setelah kututup pintu kamar.
“Begitulah,” jawabku singkat.
Kuayunkan kedua tungkaiku bergantian menuju depan cermin, melepas ikatan rambut sehingga surai sepanjang pundak itu tergerai. Jungkook yang sebelumnya duduk di balik meja kerja, kini berpindah posisi ke tepi tempat tidur yang berada di belakangku. Melalui cermin, bisa kulihat pantulan lelaki berkaus putih itu sedang memandangku—juga melalui cermin.
“Apa kau sudah mengantuk?”
Aku menengok ke belakang. Memberi atensi berupa kerutan dahi lantaran agak terkejut dengan pertanyaannya barusan.
“Memangnya kenapa?” Alih-alih menjawab, aku malah bertanya balik.
“Ayo, jalan-jalan di luar.”
Bertambah satu lagi garis kerutan di dahiku. Sejenak kualihkan pandanganku ke arah jam dinding di belakang kursi kerja Jungkook, sekadar memastikan bahwa aku memang tidak salah mengira kalau… SEKARANG SUDAH PUKUL SEPULUH MALAM.
“Yang benar saja?” Sekarang aku berbalik memandang Jungkook. “Ini sudah hampir larut malam, Jeon. Memangnya besok kau tidak kerja?”
“Kerja, sih. Tapi, malam ini aku mau jalan-jalan sebentar. Ya, sekadar mencari angin, melihat suasana malam di Seoul. Lagi pula, kita sudah jarang jalan-jalan berdua,” urai Jungkook. “Aku ingin kita kencan.”
Seulas sabit lahir di wajahku. “Duh, seperti anak muda saja, kencan segala.”
“Kenapa? Memangnya pasangan yang sudah punya anak seperti kita tidak boleh kencan, hm?”
“Bukan begitu,” jawabku seraya beringsut menghampiri Jungkook, lalu duduk di sebelahnya. “Kalau kita pergi, Taya sendirian di rumah. Kau harus ingat kalau anakmu itu kadang minta ditemani pipis saat tengah malam, Sayang,” lanjutku, mencubit gemas hidung mancungnya.
“Hanya sebentar. Paling satu atau dua jam,” bujuk Jungkook. “Ayolah. Hanya sesekali. Mau, ya? Hm? Hm?” Ia masih membujukku, namun kali ini ia melihatku dengan sepasang mata bulat berbinar sembari mendekatkan wajahnya padaku hingga dahi dan hidung kami bersentuhan. Oh, ya, ampun, kenapa aku mendapat suami yang pandai merayuku seperti ini?
“Oke. Baiklah. Kita pergi,” ujarku akhirnya. “Tapi, hanya sebentar, oke?”
“Hanya satu atau dua jam.”
Dan, di sinilah kami sekarang. Duduk di salah satu anak tangga yang berada di tepi Sungai Cheonggyecheon seraya menikmati kudapan malam yang kami beli di sebuah gerobak, tidak jauh dari tempat Jungkook memarkir motornya.
“Kita sudah jarang berdua seperti ini sejak ada Taya,” ujarku, usai menelan sepotong sate ikan.
“Karena itu aku mengajakmu keluar saat Taya tidur,” respon Jungkook. “Sesekali kita harus punya quality time berdua. Yaaaa, biar makin mesra,” lanjut Jungkook. Ia terkekeh mendengar ucapannya sendiri, pun aku yang ikut terkekeh mendengar suamiku berbicara seperti itu. Ayolah, aku tahu dia bukan tipe pria romantis seperti teman baiknya semasa kuliah, Park Jimin.
“Kau habis minum soju, hah, sampai bicara seperti itu?” candaku.
Ia tertawa kecil. “Tidak ada salahnya aku bicara seperti itu. Lagi pula, yang kukatakan itu benar, kan?”
“Iya, sih.” Aku membenarkan. “Eh, tunggu sebentar.” Jungkook hendak memasukkan sepotong odeng bersaus kental ke dalam mulutnya, namun lekas kucegat begitu kusadari…, “ada saus di pipimu,” kataku. Kubersihkan pipi sebelah kanan yang berhias saus kecoklatan dengan selembar tisu yang baru saja kuambil dari sling bag-ku sambil berkata, “Kau ini lebih tua 25 tahun dari Taya, tapi Taya lebih pintar makan dari pada kau. Kau makan masih belepotan seperti ini.”
“Sengaja,” sahut Jungkook dengan nada jahil. “Biar dimanja seperti ini,” sambungnya.
Sejujurnya, bibirku ingin merekah membentuk senyum, tetapi sengaja kutahan. Kuhentikan kegiatanku menyingkirkan noda yang sedikit mengurangi ketampanannya, kemudian berkata, “Apa, sih? Kamu jadi aneh. Tiba-tiba jadi sok imut, sok romantis.”
Jungkook tertawa kecil. Lagi.
“Eh, lihat itu!” Lelaki bermantel merah itu seketika menunjuk sesuatu di langit yang berada di sisi yang sedang kubelakangi.
Sontak saja aku menoleh dan—uh? Tidak ada apa-ap—
“CHUP~”
“Ya~!”
Setelah kecupan supersingkat yang ia lakukan secara diam-diam, aku langsung mengalihkan wajahku ke arah Jungkook. “Kamu kenapa, sih, Jeon? Cuma mau cium pipi segala pakai trik begitu. Memangnya… kita masih pacaran apa?”
Aku tidak tahu sekarang sudah berapa kali Jungkook tertawa karena ulahnya—atau mungkin karena ekspresi yang muncul dariku karena perbuatannya. “Nostalgia. Nostalgia,” katanya ringan.
Ya. Nostalgia. Aku benar-benar teringat kejadian saat Jungkook pertama kali mencium pipiku. Itu terjadi di kencan kami yang kelima. Saat aku dan Jungkook jalan-jalan di taman pada suatu senin sore di musim gugur tujuh tahun yang lalu. Masih memakai trik yang sama—berpura-pura melihat sesuatu yang ‘wah’ di langit untuk mengalihkan wajahku, lantas… yap, mencium pipiku secepat kilat. Tanpa permisi.
Usai menimati kudapan malam di tepi sungai, Jungkook mengajakku berjalan-jalan di emperan toko. Jemari tangan kirinya terselip di antara jemari tangan kananku. Menimbulkan arus yang membuat darahku berdesir kendati hampir setiap hari Jungkook menggenggam tanganku dengan cara yang sama. Erat. Merapat. Sulit untuk dipisahkan.
Sembari berbincang kecil tentang kenangan semasa pacaran, sesekali aku dan Jungkook keluar masuk toko yang buka 24 jam. Hanya masuk saja untuk menghangat diri, sejujurnya, lantas beranjak dari toko tanpa membeli apa-apa. Lagi, aku teringat dengan masa pacaran kami. Aku tidak mengatakan Jungkook tidak membelikanku apa-apa saat kami belum resmi menjadi suami istri, tetapi… ya, aku dan Jungkook punya satu kesamaan. Hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan dan digunakan, bukan sekadar barang untuk pajangan atau semacamnya.
Belum puas dengan acara jalan-jalan malamnya, aku dan Jungkook mengelilingi beberapa bagian Kota Seoul sambil mengendarai motor. Kulingkarkan kedua tanganku pada perutnya yang padat seraya menyandarkan daguku pada bahu kirinya. Untuk kesekian kalinya, yang terjadi saat ini membawa ingatanku kembali ke masa lalu.
Entah apa maksud Jungkook melakukan semua ini padaku.
Apa memang ingin sekadar kencan biasa atau…
“Sebelum pulang, kita mampir di sini dulu, ya.”
Tuh, kan? Sebenarnya apa maksud Jungkook membawaku ke tempat-tempat yang memiliki kenangan khusus bersamanya, hm?
Aku dan Jungkook duduk bersebelahan di tepi kolam air mancur di sebuah taman yang tidak jauh dari Menara Namsan.
“Sudah lama, ya, kita tidak ke sini berdua?” Satu pertanyaan keluar dari mulutnya bersama uap putih khas musim dingin.
“Ya,” sahutku.
“Tempat istimewa, ya, kan?” Lagi, untuk kesekian kalinya, Jungkook menggodaku dan ingatanku.
Oh, ya, tempat ini memang istimewa sebab di tempat ini…
“Omong-omong, kau pasti bertanya-tanya kenapa aku melakukan hal-hal yang membuatmu teringat tentang kenangan kita,” tuturnya, kemudian.
“Dan, kau melakukan semua ini karena?” Aku pun mulai menuntut jawaban.
Namun, tepat di saat itu, jam yang tidak jauh dari kolam berdentang sebanyak dua belas kali. Tepat tengah malam.
“Ah, waktunya tepat,” ujar Jungkook, terkesan puas, lega dan bahagia.
“Maksudmu?”
“Kau lupa atau pura-pura lupa?" Bukannya menjawab, Jungkook malah balik melontarkan pertanyaan yang membuat kedua alisku nyaris bertaut.
“Bukan lupa atau pura-pura lupa. Aku hanya tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan.”
“Astaga. Apa karena mengurus seorang suami, seorang anak dan sebuah rumah, kau jadi lupa dengan hari ulang tahunmu sendiri?”
Aku terdiam, sempurna mematung mendengar kalimat Jungkook.
“Apa sekarang sudah tanggal 10 Desember?”
Dan, Jungkook tersenyum sambil tersenyum. “Sudah masuk 10 Desember sejak tiga menit yang lalu.”
Oh my…
Hari ini aku ulang tahun. Astaga. Aku baru ingat.
Belum sempat aku mengucap kata, mengumpat betapa pikun dan bodohnya diriku karena lupa akan hari lahir sendiri, pria di hadapanku lekas berkata, “Selamat ulang tahun, Istriku. Aku cinta kamu."
Sebuah kalimat yang disusul sebuah kecupan di dahi. Menimbulkan letupan-letupan di dalam dada, melukiskan semburat kemerahan di kedua belah pipi, pun menimbun perasaan yang membuatku semakin jatuh pada lelaki di hadapanku.
Aku masih belum sempat mengatakan apapun saat Jungkook memandangku seolah ia melihat sesuatu yang paling indah sedunia. Tangan kanannya bergerak menyelipkan anak rambut ke belakang telinga kananku, kemudian telapak tangan lebarnya itu beralih menyentuh pipi kiriku, mengelusnya lembut. Tangan kanan Jungkook masih bergerak, perlahan turun ke dagu dan… ditariknya perlahan hingga wajahku mendekat ke wajahnya.
Pelan-pelan jarak di antara wajah kami semakin tereliminasi hingga… deru napas Jungkook terasa di ujung hidung. Kurang dari tiga detik, sepasang daging lembut dan lembab mengapit bibir bagian bawahku.
Di antara gerakan lembut yang terasa pada bibirku, sekali lagi otakku membuka memori yang membawaku teringat ke masa lalu. Di sini, di tempat yang sama, Jungkook ‘mencuri’ ciuman pertamaku.
Aku telah hampir kehabisan napas sampai akhirnya Jungkook melepas ciumannya. Kendati bibir kami tak lagi saling berpagutan, namun dahi Jungkook menempel dengan dahiku. Ujung hidungnya pun telah bersentuhan dengan ujung hidungku. Di tengah suara air mancur di belakang kami, di antara tiupan angin musim dingin yang membuat bulu-bulu halus di pipi menggigil, Jungkook berbisik pelan, “Terima kasih karena kau bersedia hadir di dunia. Terima kasih sudah bertahan hidup sampai hari ini. Terima kasih sudah memilihku untuk menemanimu di sisa usiamu.”
“Ya. Sama-sama,” sahutku singkat.
“Maaf tidak memberimu kado istimewa saat ini. Mungkin setelah aku pulang kerja nanti.”
“Tidak apa. Selama kau dan Taya masih berada di sisiku, masih menjadi sumber dari senyumku, masih menjadi penyemangat yang membuatku bertahan hidup, aku tidak butuh apapun.
“Padahal, aku berencana untuk memberikanmu mantel baru, lho,” canda Jungkook. Kami berdua tertawa samar dengan jarak wajah yang masih berdekatan.
Begitu tawa kami mereda, Jungkook kembali mendekatkan bibirnya dengan bibirku. Hanya tinggal sedikit lagi saling berciuman, namun… dering ponsel di dalam sling bag-ku membuyarkan semuanya. Buru-buru kujauhkan wajahku dari Jungkook, lekas merogoh tasku.
Keningku seketika berkerut setelah kubaca sebaris ID caller yang tertera di layar. ID caller untuk nomor ponsel Jungkook, bertuliskan ‘Jeon’ dengan gambar hati di depan dan di belakang tulisannya. Ini aneh. Sang pemilik ponsel kan sedang berhadapan denganku dan ia sama sekali tidak terlihat memegang ponsel.
“Di mana ponselmu?” tanyaku.
“Di rumah, kuletakkan di atas meja kerja di kamar. Kenapa?”
Aku hanya menunjukkan layar ponselku padanya sebagai jawaban.
“Jungkook-a, jangan-jangan orang yang meneleponku adalah…”
‘Pip’
“EOMMA DAN APPA DI MANA??? TAYA MAU PIPIS… HUWAAAAA!!!”
Oh My God. Taya!
-THE END-
Follow, vote & comment.
Thank you
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro