Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BABY'S DAY OUT

“Nah! Itu dia Si Maknae!”

Kudengar celetukan Yoongi Hyung saat aku memasuki sebuah café yang terletak di Gangnam-gu.

Seraya memperbaiki letak tas berwarna ungu yang biasanya digunakan Junmi untuk membawa perlengkapan Jeongsan yang tersampir di bahu kiriku, juga memperbaiki posisi Jeongsan di dalam pelukanku, aku berjalan menghampiri sebuah meja yang terletak di tengah café.

“Maaf, aku terlambat,” ujarku begitu aku duduk di kursi kosong yang tersisa. Lagi, kuperbaiki posisi Jeongsan sehingga bayi berusia lima bulan itu terduduk di pangkuanku, lantas tasnya kuletakkan di dekat kaki meja. Jeongsan tidak mau duduk tenang, masih agak rewel, sama seperti saat aku hendak membawanya ke sini. “Aku agak repot mengurus anakku,” tambahku, sekali lagi berusaha memperbaiki posisi duduk Jeongsan.

Hari ini aku dan beberapa sahabat yang sudah kuanggap seperti kakak laki-lakiku sendiri sedang berkumpul di sebuah café. Hanya sebuah reuni kecil sebab kami bertuju sudah jarang sekali bertemu, apalagi dalam keadaan lengkap—tujuh orang—seperti sekarang. Jadi, mumpung Namjoon Hyung telah kembali dari Los Angeles, Seokjin Hyung langsung berencana membuat reuni kecil ini.

“Ya, kami bisa melihatnya,” imbuh Taehyung Hyung.

“Memangnya istrimu ke mana, hm?” Kali ini Namjoon Hyung bertanya.

“Ke supermarket. Belanja bulanan. Karena itu, aku membawa anakku ke sini.”

“Aigoo, aigoo, anakmu lucu sekali, Jungkook-a,” Itu Jimin Hyung yang bersuara. “Lihat! Dia memandangi kita satu per satu. Aigoo, dia lucu sekali seperti appa-nya. ”

Aku memutar kedua bola mataku jengah. Aish! Jimin Hyung sedikit pun tidak berubah, Masih menjadi penggemar setiaku. Haha.

“Namanya siapa, hm?” Hoseok Hyung tak mau ketinggalan berbicara.

“Jeon Jeongsan, Hyung,” sahutku.
Di saat itu, Jeongsan semakin rewel. Kedua tangan mungilnya bergerak, mencoba melepaskan beanie abu-abu yang kupakaikan padanya, lengkap dengan suara yang menunjukkan ia ingin menangis.

“Sepertinya anakmu tidak suka dengan beanie-nya,” kata Seokjin Hyung, memperhatikan.

“Sebaiknya dilepas saja. Mungkin gatal atau dia kepanasan,” lanjut Seokjin Hyung.

Seokjin Hyung sangat ahli tentang hal ini. Sebab itu, kuturuti saja ucapannya. Kulepaskan beanie abu-abu dari kepala Jeongsan, akan tetapi bayi kecil itu malah menangis.

“Mungkin dia lapar, Jungkook-a,” Yoongi Hyung pun berpendapat.  “Kau sudah memberi dia makan sebelum ke sini, tidak?”

“Belum, sih, Hyung.”

“Aigoo, Jungkook-a,” Seokjin Hyung menggeleng tidak percaya.

“Kau bawa botol ASI-nya, kan?” Suara Yoongi Hyung terdengar lagi. “Awas saja kalau kau lupa.”

“Bawa, kok, Hyung! Aku bawa!”

Aku hendak membungkuk mengambil tas ungu di dekat kaki meja, namun aku agak kesulitan sebab Jeongsan tidak henti bergerak gelisah di atas pangkuanku.

“Sini, biar kugendong anakmu,” Seokjin Hyung yang duduk di samping kiriku menawarkan bantuan.

Tangisan Jeongsan semakin membahana.  Sementara Jeongsan berada di tangan Seokjin Hyung, aku secepat mungkin mencari di mana botol ASI-nya kuletakkan.

Belum sepuluh detik Jeongsan berada di dalam pangkuannya, tahu-tahu Seokjin Hyung berkata, “Astaga, Jungkook-a. Anakmu sakit, ya? Tubuhnya agak hangat.”
“Iya, Hyung. Dari kemarin sore, suhu tubuhnya memang agak tinggi dari biasanya. Istriku sudah memberikan obat penurun panas, tapi sepertinya belum begitu memberikan efek,” jawabku, meletakkan botol susu di atas meja, lantas mengambil kembali bayiku dari pelukan Seokjin Hyung.
“Lalu, kenapa kau datang ke sini kalau anakmu sakit?” Yoongi Hyung protes. “Anakmu itu butuh istirahat, tahu! Ckck, pantas saja dia rewel.”

“Jangan-jangan, istrimu tidak tahu kalau ke sini,” tebak Taehyung Hyung.

Sembari memberikan ASI dalam botol kepada Jeongsan,“Iya, sih. Aku kan ingin bertemu dengan kalian juga. Pertemuan ini kan sudah lama direncanakan. Kalau aku tidak bisa hari ini, kapan lagi kita akan berkumpul bertujuh?”

“PLETAK!”

Satu tabokan mendarat di kepalaku.

“Ah, sakit, Seokjin Hyung!”

“Hukuman untuk Appa yang egois!” sahutnya, terdengar kejam.

“Seharusnya, kau bilang saja pada kami  kalau kau tidak bisa datang. Kasihan, kan, anakmu. Dia masih kecil, sakit, malah kauajak keluar,” tutur Hoseok Hyung.

“Tapi, kan, hanya hangat biasa, Hyung. Aku juga sudah mengecek suhu tubuhnya sebelum ke sini. Hanya lebih tinggi satu derajat dari suhu normal.”

“PLETAK!”

Kali ini tabokan datang dari Yoongi Hyung yang berada di samping kananku. “Ya! Naik satu derajat saja itu sudah cukup membuat anak kecil tidak nyaman, Jungkook-a. Apalagi anak sekecil Jeongsan. Aish!”

“Tuh! Dengar kata-kata Yoongi Hyung. Dia sekarang tahu hal-hal semacam itu karena dia juga sudah menjadi appa,” Jimin Hyung berceletuk. “Ah, kapan, ya, aku punya anak? Aku juga ingin segera punya anak seperti kalian,” gumam Jimin Hyung, curhat colongan.

“Setidaknya kau sedikit lebih beruntung dari aku dan Hoseok. Kami bahkan belum punya istri.”

Sementara para hyung sibuk mengobrol, aku malah sibuk mengeluarkan segala mainan yang kubawa agar Jeongsan tidak rewel.

“Kalian terlalu sibuk bekerja, sih!” Jimin Hyung berkomentar lagi. “Contohi Yoongi Hyung. Sesibuk-sibuknya dia menjadi produser, dia masih berpikir untuk menikah dan punya anak. Aku heran, waktu kuliah dulu kalian punya banyak gebetan, malah sekarang belum menikah. Aneh!”

“Kau bilang apa?” sambar Namjoon Hyung seketika merangkul leher Jimin Hyung, memberikan satu jitakan yang cukup keras di sana.

Sebuah tawa kecil terdengar.

“Ya! Lihat! Jeongsan tertawa,” Taehyung Hyung berseru heboh.

“Ah, kau suka kalau Namjoon Ajussi memukul Ajussi berbaju biru ini, hah?” Namjoon Hyung bertanya pada Jeongsan, namun bayi itu hanya menunjukkan wajah berseri yang merupakan jawaban ‘iya, bagi lelaki yang paling cerdas di antara kami.

“A-apa? Ya! Ya!” Jimin Hyung panik.

“Sudahlah, Jimin. Terima saja nasibmu,” Hoseok Hyung menepuk pundak Jimin Hyung dua kali.

Dan, mulailah Namjoon Hyung menistakan Jimin Hyung. Bahkan, hyung yang lain pun turut ‘mem-bully’ laki-laki paling baik di antara kami. Ah, kecuali Seokjin Hyung dan Yoongi Hyung, mereka hanya menonton tingkah kekanak-kanakan pria yang semuanya telah berusia tiga puluh tahun ke atas. Namun, aku tidak peduli sebab dengan tingkah mereka yang masih konyol sampai sekarang telah berhasil membuat Jeongsan-ku tertawa.

“Sepertinya Jeongsan senang melihat Jimin Hyung di-bully,” tuturku, memposisikan Jeongsan dalam keadaan berdiri di atas pangkuanku, mendengar laki-laki kecil itu mengeluarkan tawanya yang semakin membuat para hyung semakin menistai Jimin Hyung.

“Kau juga seperti itu dulu, kan?” celetuk Yoongi Hyung.

“Ya, mentang-mentang Jimin sangat menyukaimu hanya karena kau imut,” tambah Seokjin Hyung, diiringi kepalanya yang menggeleng tak percaya.

“Jimin Ajussi tidak apa-apa diperlakukan seperti ini asal Jeongsan tertawa,” gumam Jimin Hyung pasrah setelah pipinya dicubit, rambut oranyenya diacak-acak dan masih banyak perlakuan-tak-menyenangkan-lainnya yang didapatnya.

“Ah, aku sangat berterima kasih padamu, Hyung,” ucapku, tertawa.
Bosan mem-bully Jimin Hyung, kali ini para hyung-ku menyanyikan lagu anak-anak sambil bertepuk tangan ria. Aku pun turut serta dalam hal ini. Tidak peduli, pelanggan-pelanggan di meja lain telah menjadikan kami pusat perhatian mereka.

Lihat! Di sana ada sekumpulan pria tampan, tapi sayang, sepertinya mereka kurang waras.

Mungkin saja mereka berpikir seperti itu … haha.

Dua jam telah berlalu tanpa terasa. Menghibur Jeongsan, membicarakan banyak hal—terlebih tentang kehidupan kami sebelum dan setelah menikah. Juga kehidupan di dunia kerja yang mereka geluti. Aku sangat bersyukur mendengar bahwa para hyung-ku memiliki hidup yang semakin baik sejak kami berpisah bertahun-tahun. Seokjin Hyung yang memang tukang makan, kini menjadi pemilik beberapa restoran yang tersebar di beberapa kota di Korea Selatan; Yoongi Hyung kini menjadi produser tetap sebuah agensi artis; begitu juga Namjoon Hyung, namun ia menjadi produser di Los Angeles. Sementara itu, Hoseok Hyung memiliki sebuah akademi tari di kota asalnya di Gwangju, tidka jauh berbeda dengan Jimin Hyung yang memiliki tempat kursus les vokal dan musik—aku sempat terpikir untuk memasukkan Taya ke tempatnya, siapa tahu saja biaya kursusnya bisa diskon. Toh! Dia anak Jeon Jungkook dan Park Jimin adakah penggemar berat Jeon Jungkook … hahaha.  Lalu, Taehyung Hyung, bisa dikatakan dia juga sama seperti Yoongi Hyung dan Namjoon Hyung, hanya saja, bidang mereka berbeda. Yoongi Hyung dan Namjoon Hyung di bidang musik, sementara Taehyung Hyung di bidang pertunjukan peran. Ya, semacam rumah produksi yang kerap menampilkan drama musical.

“Hyung, sepertinya aku harus pulang duluan. Jeongsan terlihat lelah. Kupikir, popoknya juga sudah penuh. Sudah waktunya mandi,” kataku.

“Ya, sudah. Jadilah appa yang baik untuk Jeongsan dan Taya, ya. Sampaikan salam kami untuk istrimu,” pesan Seokjin Hyung.

“Siap, Hyung. Nanti akan aku sampaikan,” ujarku. “Omong-omong, kalau lain waktu kita reuni lagi, aku ingin Seokjin Hyung mengajak si kembar, Suga Hyung mengajak Hyunsik, Taehyung Hyung mengajak Taejoon dan,” aku melirik Jimin Hyung, “Jimin Hyung harus mengajak anak Jimin Hyung juga.”

“Eeyy!” Lelaki yang masih berwajah imut itu meski telah berusia 32 tahun itu berseru. “Kau pikir mudah mendapatkan seorang anak?”

“Bukannya memang mudah? Membuat bayi juga enak, kan?” celetuk Namjoon Hyung yang langsung membuat Seokjin Hyung memukul dahinya dengan sendok.

“Kau ini! Lekaslah mencari istri!” tegurnya. Kami tertawa.

“Ya, sudah. Aku pulang duluan.” Aku berdiri dari dudukku. “Ayo, Jeongsan. Lambaikan tangan pada para Ajussi ini.” Kugerakkan tangan kanan Jeongsan yang mungil, melambaikannya pelan seolah Jeongsan-kulah yang melambai.

Lantas, aku dan Jeongsan pun beranjak dari café tersebut. Setibanya di rumah, kau yang telah pulang belanja langsung menyambut.

“Astaga! Kau darimana saja, huh? Aku meneleponmu, tapi kenapa tidak kaujawab?”

“Aku mengajak Jeongsan jalan-jalan,” sahutku, berjalan memasuki rumah.

“Ya! Kau tahu, kan, Jeongsan sedang sakit?! Kenapa malah kaubawa keluar?” protesmu.

“Tidak apa-apa. Aku hanya mengajak Jeongsan bertemu dengan mereka.”

“Mereka siapa?”

“Para hyung-ku di Bangtan. Mereka menitip salam untukmu.”

Saat itu, aku telah menjejak ruang keluarga dan kudapati Taya sedang asik memirsa televisi yang menayangkan kartun Disney Princess. Menyadari keberadaanku, gadis kecil itu langsung berteriak riang, “APPA~”

“Tadi belanja apa dengan eomma, hm?” tanyaku basa-basi, masih menggendong Jeongsan.

“Banyak appa,” sahutnya.

“Ya! Ya! Sebaiknya, biar aku ganti popok Jeongsan dulu, baru kalian mengobrol. Sepertinya Jeongsan juga perlu mandi,” ujarmu.

“Kau juga, Jeon Taya. Kau belum mandi, kan?”

“Biar aku saja yang memandikan Jeongsan,” kataku.

“Kau di dapur saja, buat makanan yang banyak karena appa dan Jeongsan sangat lapar setelah pulang jalan-jalan, iya, kan, Jagoan?” Bayi kecil di dalam gendonganku tidak menyahut, hanya mengusap wajah.

O-ow, sepertinya ada seseorang yang ingin tidur di sini.

“Ayo, Taya, mandi dengan appa dan adik Jeongsan,” ucapku, berjalan menuju kamar. Taya mengikuti dengan riang dari belakang.

“Jangan lama-lama memandikan Taya dan Jeongsan, ya?” pesanmu.

Tepat sebelum aku masuk ke dalam kamar, aku menoleh ke arahmu, memperlihatkan kerling jalang dan berkata, “Kenapa? Kau juga mandi bersamaku?”

“Dasar sinting!” desismu, namun aku bisa melihat mimic wajah malu-malu mau itu.

Aku tertawa, lalu masuk ke dalam kamar.

-THE END-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro