tiga
Kamis adalah hari menjengkelkan yang pernah ada bagi Neta. Pukul sembilan kurang dua puluh menit ketika kelas dengan dosen cenayang yang selalu membuat Neta ketiduran. Akan tetapi, ada hal yang lebih menyebalkan dari itu. Neta harus berpapasan dengan Esa kali ini karena kelas yang akan dipakai kelas Neta sebelumnya digunakan kelasnya Esa. Neta harap ia bisa dengan baik memalingkan wajahnya tanpa niat dalam hati kecil ingin mengecek keadaan laki-laki yang sejak tiga hari lalu itu menghilang.
Neta sudah bersiap menghadap ke arah yang berlawanan dengan kelas tersebut. Neta benci melihat wajah Esa saat ini. Neta jauh lebih benci kalau ternyata ia sangat penasaran dengan keadaan Esa. Bukan lagi degup jantung yang berlebihan yang Neta alami sekarang. Jauh lebih dari itu ketika perang dalam hatinya untuk ikut menjauh atau bertingkah seperti biasanya.
"Neta! Mau beli risol mayo gak? Masih anget loh."
Ah sial.
Neta berbalik badan, menatap sumber suara si anak danusan yang hobi bikin dompet Neta menipis. Namanya Laila, tapi sebut saja dia Tabi karena Lala sudah terlalu sering didengar dan Lala seperti salah satu nama teletubbies. Jangan saja sampai kalian menyebut nama Tabi di depan Mamanya. Neta pernah sekali keceplosan dan merutuki dirinya sepanjang jalan pulang.
"Ih bi, piscok aja gak ada gitu?"
Salahkan Neta dan perut laparnya. Neta malah menanyakan makanan lain, tapi tak apalah yang penting perut terisi.
"Tahu bakso aja, gimana?"
"Lah napa jadi tawar-tawaran?"
"Lah lu duluan yang mulai, Net."
"Iya elah yaudah mau tiga."
"Nanggung gue gak ada kembalian nih, empat aja sekaligus."
"Eh edan beli 4 bisa beli nasi ati ayam sayur sama es teh di depan, masih kembalian dua setengah lagi."
"Ih yaudah beli aja lah, Net. Membantu teman danusan itu baik."
Neta memang tidak hebat dalam debat jajan sama Tabi, tapi Neta bisa mengelak setidaknya.
"Uang gue tinggal goceng, beli dua aja, Bi."
"Ah sial gaya bener beli tiga taunya tinggal lima rebu."
Neta memberikan lima ribu kertas kepada Tabi dan mengambil makanannya dengan cepat. Aura gelap sudah mengerubungi punggung Neta sejak tadi.
Yah, maksudnya Neta ingin segera enyah sebelum Esa datang bilang permisi.
Seperti saat ini.
Ya.
Saat ini.
Neta gagal menghindar.
"Misi, dek."
Neta berbalik badan refleks dan menghadap tubuh tinggi Esa. Seperti biasa wangi parfumnya yang khas dan jaket biru dongker yang entah kenapa sering sekali melekat di tubuhnya.
Harusnya Neta segera menggeser, tapi entah setan darimana yang merasuki tubuhnya saat ini. Neta justru terdiam berkedip beberapa kali.
Yang ditatap malah memasang wajah datar. Esa kenapa?
Esa berdehem sebelum menggeser Neta secara paksa ke kanan. Kalau saja tidak ada keramaian mahasiswa baru lainnya di depan kelas, mungkin Neta sudah terjatuh ke lantai.
Sekali lagi, Esa kenapa?
"Net? Lo gapapa? Kating tadi kasar banget sih."
Tak sadar kalau Esa sudah berlalu, Neta kembali berdiri dibantu Tabi yang sempat melihat kejadian singkat tadi, dan juga Tabi memang di samping Neta sejak tadi.
Masih banyak kakak tingkat yang berlalu keluar dari kelas sementara Neta masih terpaku menatap punggung Esa yang menjauh dari matanya. Neta menghela napas jengah sebelum merapihkan kembali jaket putihnya akibat jatuh tadi.
Esa mungkin sedang tidak dalam mood yang baik, tapi setidaknya Neta tidak pernah menggantungkan perasaan sedalam ini. Dan sesakit rasa yang mungkin ada kalau saja Neta tadi jatuh ke lantai.
Padahal baru saja kemarin siang Esa berkata ia tak ingin Neta menghilang.
Askar Angkasa yang kelam, kenapa langitmu tidak lagi berganti pagi?
Oh atau mungkin hanya Neta yang terlalu membesarkan suasana.
***
Pasang mata yang menyaksikan suatu kejadian meskipun hanya hal sepele itu memang luar biasa. Hanya sekadar satu ucapan Tabi yang tak sengaja terlontar siang tadi sangat berdampak besar bagi isu baru di kampus.
Ada satu kakak tingkat yang bertindak kasar kepada seorang mahasiswa baru di kampus. Siapa peduli sebenarnya? Bukan sebuah kisah tragis yang sampai membuat Neta tidak ingin masuk kuliah.
Hanya saja memang membuat Neta ingin lenyap dari bumi.
Siang ini bukan jadwal Neta ke Kafe, bahkan kemarin pun jadwal Neta berubah menjadi sore. Hari ini Neta datang memberi kejutan pada Dias yang sedang luang di tempat biasanya. Kejutan dalam makna tidak direncanakan sama sekali dan memang mengejutkan.
Laki-laki dengan kaus The Beatles itu melempar senyum hangat ketika tubuh kecil Neta melewati pintu kaca kafe yang terbuka seiring denting lonceng yang berbunyi senada.
Neta langsung menuju kasir dan mulai memerhatikan baris menu yang ada di meja. Sementara Dias yang sebelumnya tengah menata beberapa gelas minuman dengan cepat berlari kecil ke arahnya.
"Selamat siang, Mba Neta."
"Siang, Mas Dias." Senyum Neta lesu. Tidak seperti biasanya yang Dias lihat. Dias juga baru merasa kalau Neta sudah tahu namanya? Mungkin dari tanda pengenal.
"Ada menu seger nih, Mba. Buat yang lagi galau atau suntuk."
"Saya mau soda."
Dias terdiam beberapa saat mendengar penuturan Neta dengan nada datar tak biasanya. Padahal Dias sudah berusaha seceria mungkin. Kenapa Dias begitu memerhatikan Neta, sih?
"Soda?"
"Soda aja, es batu yang banyak."
"Gak sekalian pesan makannya, Mba?"
"Gak usah. Makasih, Mas."
Neta langsung berlalu setelah meninggalkan uang pas di atas meja. Sebelumnya Neta sempat melihat meja favoritnya itu telah diisi. Ah Neta lupa, ini bukan hari biasanya dimana kafe ini sepi. Terlalu ramai dan akhirnya membuat Neta mau tidak mau duduk di tempat orang merokok. Satu-satunya yang sepi dan hanya terisi satu meja.
Neta tidak memegang ponselnya kali ini. Tidak juga dengan laptop atau jurnal dan bukunya. Neta justru langsung tertidur dengan tangannya sebagai bantalan.
Neta benar-benar tidur sampai ke alam mimpinya. Napasnya teratur meski kerongkongannya terasa tercekat. Neta seperti dilanda musim kemarau dalam siklus moodnya yang minggu ini berjalan fluktuatif. Menyebalkan, ini hanya karena satu nama sakral.
Neta tidak bergerak barang seujung kuku saja, sayang sekali padahal pesanannya sudah datang.
Samar-samar suara Dias menelisik dalam benak Neta, tapi gadis itu tidak berniat mengambil kembali nyawanya untuk sekadar mengangkat kepala lalu mengucap terima kasih sebelum Dias berlalu lagi.
"Andai saya laki-laki yang menemani membeli kopi bukan si pembuat kopi. Siapa yang melenyapkan terang matahari siang ini?"
Andai saja Neta mendengar dengan jelas ucapan Dias, mungkin harinya akan sedikit lebih cerah walau masih tersisa lubang besar yang menghanyutkan dirinya dalam benak negatif.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro