Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

satu

Kata Askar Angkasa, nama panggilannya itu hanya untuk Arnetta. Esa berarti satu. Bukan maksudnya Tuhan YME, Esa hanya makhluk lemah di dunia ini gak ada apa-apanya dibanding Sang Pencipta. Jadi sebenarnya daripada bertele-tele, pokoknya Esa cuma satu buat Neta.

Halah basi banget gak, sih? Esa gombal melulu di depan Neta. Kadang Neta pengin jambak rambut Esa yang udah agak gondrong ikal itu.

Apalagi sekarang Esa lebih sering melepas kacamata yang menurut Neta adalah daya tariknya. Neta jatuh cinta sama kacamata yang bertengger di hidung Esa layaknya Neta jatuh cinta sama peachy colada buatan mas-mas di depannya sekarang.

"Malam Mba Neta, peachy colada lagi?"

Oh yeah sudah hapal sekali rupanya Mas ini. Namun kali ini Neta menggeleng. Seulas senyum di wajahnya yang sedikit merona karena polesan tipis blush on yang dibelikan Esa untuknya bulan lalu membuat wajah Neta terkesan begitu manis. Semanis peachy colada yang malam ini tidak Neta pesan.

"Aku mau yoghurt smoothies."

Bolehlah menyicip resep lain, iya kan?

"Gak mau nyobain kopinya, mba?"

Aduh ini kan namanya coffee shop, tapi Neta belum pernah nyobain kopi racikan mas-mas ini. Apa harus mencoba? Kan Neta bilang kalau Neta jatuh cinta. Pokoknya titik, gak pake koma.

Huh kalau Esa di sini pasti dia bilang, "Tapi ditulisnya ada koma sebelum titik."

Biarkan otak Esa melanglangbuana sampai ke dasar kalimat yang Neta punya.

"Mas, kopinya pahit gak?"

Dan boom!

Neta dapat balasan tawa dari mas-mas di depan. Kapan sih Neta bisa tidak mengeluarkan kalimat absurd di depan orang lain?

"Di belahan bumi mana kopi rasanya manis?"

"Kan dikasih gula, Mas. Jadi manis...."

Tawa lagi yang Neta dapat. Neta diam-diam melirik nametag yang tersemat di dada kanan laki-laki berkaus hitam di hadapannya ini. Namanya Dias. Kenapa Dias? Biasanya Dimas. Apakah mas-mas ini seunik namanya?

Aduh apasih?

"Jadi yang manis gula atau kopinya, Mba?" Tawa ringan muncul lagi di sela ucapannya. Neta hanya tersenyum canggung menanggapi ucapan Dias, sesuai dengan tanda pengenalnya.

Pengunjung malam ini entah kenapa terbilang sangat sepi. Buktinya Neta masih sempatnya berbincang ringan dengan bartender favoritnya. Bartender yang lain soalnya perempuan.

"Jadi mau pesen apa, Mba?"

Perempuan ini yang tiba-tiba menanyakan menu. Dia memang bertugas di kasir, tapi Neta tidak pernah mau dilayani perempuan berwajah galak ini.

Tubuhnya langsing seperti model di cover majalah ternama. Rambutnya yang lurus jatuh itu terlihat manis dengan wajah tirusnya.

Katanya dia masih mahasiswa. Pekerja paruh waktu yang membantu Ibu. Neta jadi malu sebenarnya. Neta seringkali menghamburkan uang berpuluh ribu untuk duduk di kafe ini.

Kenapa Neta jadi iri-irian sih?

"Maaf Mba, kalau belum tau mau pesan apa bisa liat menunya dulu. Pengunjung lain kasian disuruh nunggu."

Duh, kan malu!

Neta bergeser sedikit ke kiri. Ada seorang laki-laki tertawa ringan melihat ucapan perempuan yang tiba-tiba menggantikan Dias tadi. Dan pelaku tertawanya tentu Dias.

Masalahnya, tidak ada pengunjung lain lagi setelah Neta!

Apa maksudnya? Memangnya salah kalau Neta berbincang dengan Dias?

"Maaf Mba Neta, kalau boleh biar saya kasih rekomendasi minuman di sini."

Ah suara sang malaikat penyelanat memang lebih menenangkan daripada malaikat pencabut nyawa itu. Entah siapa nama perempuan yang sempat menginterupsi percakapan Neta dengan Dias.

Neta hanya mengangguk tak semangat. Sebenarnya ingin sekali rasanya tangan menjambak rambut panjang si perempuan itu. Menyebalkan. Neta hanya bisa menatap sok sinis ke arahnya.

Neta tidak bisa mengeluarkan tatapan jahat sayangnya. Neta malah terlihat seperti bocah kecil ingusan yang dimarahi ibunya karena ketahuan menyembunyikan permen di balik bantal tidurnya.

"Boleh duduk dulu, Mba Neta. Minumannya nanti saya antar. Kalau boleh rekomendasi lagi, tempat duduk di sebelah jendela ketiga sengaja kosong untuk Mba Neta." Dias mengerling yang seketika membuat Neta tersenyum dalam hati.

Aih manisnya!

Aduh, stop! Neta harus fokus!

Dengan langkah pelan Neta menuju tempat yang diinstruksikan Dias tadi. Entahlah kenapa tempat ini harus sama dengan tempat yang biasa Neta duduki. Tempat favoritnya di sebelah jendela ketiga. Jendela yang lebih besar dari jendela lainnya.

Meja nomor sembilan dimana Neta bisa diam-diam memerhatikan Dias dengan leluasa.

Tunggu, bukan berarti Neta jatuh hati atau apa pada Dias. Neta hanya senang melihatnya. Kagum? Entahlah rasa itu terlalu berlebihan dari sebuah keahlian tangannya membuat minuman lezat. Maksudnya, Neta tidak begitu mendalami makna yang sebenarnya. Neta hanya penikmat minuman di sini sebagai teman menulisnya.

Ah ya, benar! Dias adalah sumber inspirasinya.

Sebatas itu. Hanya sebatas sumber inspirasi karena menurut Neta, Dias itu tipikal cowok novel yang diidamkan para gadis.

Omong-omong, progress cerita Neta selalu berakhir fatal. Antara tidak beres atau menggantung di akhir. Kata Esa, Neta itu hidupnya setengah-setengah.

Itu sih salah Kak Esa yang gantungin aku terus.

Eh?

Yah pokoknya hubungan Esa dan Neta itu serumit resep krabby patty yang tidak pernah bisa plankton rebut.

"Sore Mba Neta, silahkan pesanannya."

Sepertinya Dias ini akan panjang umur. Berdasarkan riset nenek moyang Neta bahwa jika Neta sedang membicarakan seseorang lalu dia tiba-tiba hadir, berarti dia panjang umur.

Neta tersenyum menerima segelas minuman hangat yang kepulan asapnya menyeruakkan aroma kopi segar. Neta tidak begitu mengerti, tapi aromanya begitu manis dan seolah meminta lidah Neta segera menyecap dari ujung bibir cangkir cokelat muda tersebut.

Warnanya hijau. Ah pasti green tea.

"Biasanya, cewek jaman now suka terbius sama artikel green tea green tea an. Bukan minuman yang top reccomended di sini, tapi menurut saya minuman ini cocok buat kamu."

Neta mengernyit. "Ohya? Kenapa gitu, Mas?"

Dias tertawa pelan memperlihatkan lesung pipinya yang baru sekali Neta lihat kali ini. Sambil menaruh nampan di atas pahanya dan ia mempersilahkan dirinya duduk di hadapan Neta, Dias mengacungkan satu jari telunjuk kanannya. "Satu, kamu terlihat kaya wanita lain di mata saya, pada awalnya."

Kemudian Dias menambahkan jari keduanya yang semakin membuat Meta heran.

Mas ini kenapa, toh?

"Dua, tapi ternyata kamu seunik pencampuran rasa green tea dan cappuccino yang saya heran sangat bisa dicintai orang lain. Apa kamu nyadar kalau diamnya kamu aja udah bikin banyak orang jatuh? Sama kaya kopi ini, dilihat namanya di menu aja udah banyak orang yang pesen."

Wow

Neta benar, Dias sangat cocok dijadikan tokoh utama. Pikiran itu terputar di otak Neta kala Dias selesai mengucapkan kalimatnya. Neta semakin yakin untuk mempublikasikan ceritanya ini. Mungkin Neta harus bercerita banyak pada Esa.

Neta menyunggingkan senyumnya seraya tertawa pelan. Neta mengerti maksud Dias. Neta juga tahu kalau Dias sedang menggombal. Sayang, semuanya terdengar basi bagi Neta.

"Mas kalau gombal terus nanti pelanggannya semakin banyak kali, ya?" Neta tertawa lagi yang kemudian diikuti Dias dengan tawa ringannya yang menurut Neta sangat nyaman untuk didengar. Tipikal suara berat sedikit serak. Oh para gadis pasti sangat memujanya.

Namun Neta sudah bosan mendengar hal seperti ini. Yang Neta tidak pernah mengerti adalah, kenapa Esa tidak pernah bisa seperti ini?

"Yaudah saya harus balik kerja dulu lagi. Selamat menikmati sore minggu ini, Mba Neta."

Esa mungkin lebih suka berdiam di antara kode-kode memusingkannya. Entahlah, hanya Esa dan Tuhan Yang Maha Esa yang tahu.

Neta hanya bintang kecil yang menemani malam Esa ketika angkasanya semakin kelam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro