empat
Kalau boleh pilih sejak awal, Neta tak mau mengambil keputusan kuliah di sini. Neta benci harus berada di kota ini, sejujurnya. Neta juga benci harus seorang diri di tempat menyedihkan ini. Akhir-akhir ini Neta terus dihantui lagi pemikiran yang muncul selama satu bulan pertama kuliah.
Neta benci. Pokoknya benci. Tanpa koma atau spasi, Neta mendukung semua siratan makna kebencian yang ada di sekelilingnya saat ini.
Neta mau pulang. Jadi sejak pukul dua siang tadi Neta berkutat melihat tiket kereta dan pesawat yang pas untuk kantung anak kosan. Padahal besok ada kuis, tapi pikiran Neta hanya pada kata pulang dan kota tercintanya.
Sayang sekali harga tiketnya itu selangit! Beli tiket pulang sih bisa, kalau balik lagi ke sini? Setidaknya Neta masih harus menjalankan kewajiban di kampus ini, kan?
Sebenarnya bisa saja Neta menghubungi Ayah atau Ibu kalau ia ingin pulang, tapi Neta pasti langsung dibelikan tiket meskipun mahal. Mengingat Ayah Neta yang sudah pensiun, Neta harus mikir dua kali untuk meminta uang. Meskipun mereka bilang, "Gak usahlah dipikirkan", tapi tetap saja Neta tak ingin menjadi beban bagi keduanya.
Neta bukan satu-satunya anak yang harus diurus, itulah alasan salah satu beban Neta tinggal sejauh ini dengan orang tua.
Coba aja gue lebih pinter, mungkin gue bisa lolos tes gak kaya gini.
Pemikiran itu tak jarang bersarang di benaknya. Hidupnya seolah hanya sebatas jaring yang mengekang. Neta masih belum tahu bagaimana keluar tanpa merusak jaring, Neta belum tahu bagaimana pergi tanpa merusak hati dan pikiran.
Sebelumnya Neta yang duduk di meja belajarnya kini beranjak dan beralih pindah ke atas kasur. Ponselnya masih awet dengan baterai 80%. Jelas saja karena Neta tidak memegangnya sejak pulang tadi.
Satu per satu Neta membalas pesan, terutama dari Ayah. Sebuah rutinitas melihat pesan Ayahnya menanyakan sudah makan apa belum dan jangan lupa solat lima waktu. Neta tersenyum riang membalas pesannya, meski Ayahnya pasti hanya akan membalas iya atau ok.
Tipikal bapak-bapak, memang.
Kalau Ibu sudah pasti lebih suka bicara langsung, tapi Ibu sedang sibuk pastinya. Ibu Neta menjadi anggota PKK di kelurahannya dan merangkap sebagai sekretaris, pasti sibuk. Kadang Neta sesekali mengangkat telepon Ibu sekadar diingatkan untuk terus berdoa dan belajar yang rajin.
Jari Neta mengarah pada satu aplikasi yang jarang dibuka orang tuanya, penuh stiker katanya jadi malas. Namun bukan itu permasalahan saat ini. Neta tidak melihat nama Askar Angkasa bertengger di urutan chat teratasnya lagi kali ini.
Apa laki-laki itu sedang sibuk? Namun Neta penasaran dengan kabarnya. Meski bertatap wajah hampir setiap hari, Neta kali ini kan hanya bagai angin lalu bagi Esa. Haruskah Neta mengirim pesan duluan? Tapi Neta tidak pernah melakukan itu! Biasanya Esa yang akan memulai duluan, meskipun memang hanya bertanya dimana dan mau makan atau tidak. Selebihnya? Terima kasih kepada stiker yang berjasa dalam percakapan Esa dan Neta agar tidak garing-garing amat.
Nyebelin! Terus gue harus diem, gitu?
Memaki dalam hati, buka tutup aplikasi, dan berguling kanan kiri adalah kegiatan Neta kali ini. Neta kesal setengah mati. Neta juga sudah tidak punya uang untuk kabur ke kafe langganannya. Kemarin Neta tiga hari berturut-turut datang dan menghabiskan tiga ratus ribu untuk biaya hidup. Hampir satu per tiga uang jajan yang diberi orang tuanya. Masa iya Neta harus makan nasi dan garam besok-besok?
"Air mineral di kafe bisa buat makan di warteg sekali, kalo beli makan di kafe bisa buat beli kuota. Terus Neta ngapain, dong?"
Tidak! Neta mengurungkan niat untuk kabur. Kali ini Neta bangkit dan melempar ponselnya asal. Meski asal, yang penting tidak kena tembok dan merusak. Pilihan Neta saat ini, bersih-bersih!
***
Kata ramalan cuaca hari ini, wilayah kota akan dilanda hujan deras dengan petir menggelegar. Kalau benar terjadi, itu adalah hujan pertama bagi Neta selama tinggal di kota ini. Kata gadis itu, di sini panas Meta rindu hujan.
Ah gila! Harusnya Esa tidak lagi berpikir lebih tentang Neta. Gadis itu pasti sedang bersih-bersih di kosannya dan tidak memikirkan Esa barang sedetik. Seperti yang Esa lakukan.
Kejadian beberapa hari lalu membuat otak Esa mati. Saraf dalam tubuhnya pun tidak berjalan baik. Bahkan, hatinya ikut tak waras. Neta pasti membenci Esa sekarang. Esa kasar, Esa menyebalkan! Kalau Neta di hadapan Esa saat ini mungkin cacian yang didapat laki-laki berkacamata hampir bulat ini.
Esa ingin melompati gedung-gedung sambil berlari seperti Naruto, karena akal sehatnya sudah hampir setengah gila karena kesalahannya terhadap Neta.
Askar Angkasa bingung harus bagaimana. Dia juga tidak mengerti kenapa harus menjauhi Neta semenjak kejadian waktu itu. Harusnya Esa tidak berkata sebodoh itu! Esa bilang jangan pergi tapi dirinya sendiri yang pergi. Singkatnya begitu yang Neta dan sejuta wanita pikirkan jika menjadi Neta dan diperlakukan seperti ini oleh Esa.
Pasalnya Esa memang tidak punya harapan apapun pada adik tingkatnya itu. Atau lebih tepatnya Neta yang betul-betul menolak Esa sejak awal. Esa tidak sebodoh itu membaca isi otak Neta, gadis itu benar-benar berpikir di luar dugaan dan mungkin saja dugaan Esa bisa salah.
Yah kalau dugaan kalau Neta sedang bersih-bersih mungkin Esa sangat yakin. Gadis itu akan melakukan banyak hal untuk melupakan hal lain. Loh ya memangnya Neta sebegitu memikirkan Esa sampai ingin melupakan?
Sial.
Esa malah uring-uringan di kamar. Diteriki Mama untuk makan saja tidak juga beranjak. Kalau Esa punya pintu kemana saja, dia akan langsung ke tempat Neta dan minta maaf dengan sebungkus ayam geprek kesukaan Neta. Sayangnya Neta gak terima sogokan dalam bentuk apapun, Neta juga pasti bilang "Maaf apa sih Kak?", dan Esa gak mungkin punya pintu kemana saja.
Kemungkinan kedua itu seratus persen Esa yakin akan terlontar. Kenapa?
"ESA KAMU TUH YA KERAS KEPALA BANGET SIH! MAMA UDAH MASAK TERUS KAMU MALAH GAK MAU MAKAN? MAU MAMA BUANG AJA NIH MAKANANNYA?"
YAAAA! Rasanya gue pengen menghilang dari bumi!
"Iya Ma! Bentar Esa lagi mikir."
"EMANGNYA MAU MAKAN MIKIR DULU? KAMU KELAMAAN MIKIR PANTES AJA GAK MAJU-MAJU. ORANG UDAH DI EROPA KAMU MASIH AJA DI JAWA!"
Ya Gusti si Mama suka bener
Sekarang Esa tahu kenapa. Karena Esa keras kepala dan Neta sangat paham dengan watak Esa. Neta lebih memilih meng-iyakan dibanding berdebat. Neta juga malas memperpanjang masalah.
Pikir Neta setidaknya Esa sudah minta maaf dan itu bukan masalah besar. Neta juga tak ingin membuat Esa menjelaskan panjang lebar kenapa karena Neta akan selalu percaya apa yang dikatakan Esa.
Terakhir, semua itu terbersit di benak Esa baru saat ini karena benar apa yang dikatakan Mamanya. Esa kelamaan mikir jadinya Neta keburu cari langit lain untuk bersinar.
Mungkin ini alasan kenapa Angkasa mulai redup. Ia kehilangan cerahnya matahari ketika malam tiba. Ketika malam itu Esa ikut menemani Neta ke kafe, pukul sebelas malam ketika Neta seolah menjelma sebagai bintang kecil yang mendambakan sang rembulan.
"MA! ESA MAU KE ATAS YA, LUPA NGUMPULIN TUGAS, NIH! DIAMUK DOSEN ENTAR ESA NGULANG SEMESTER TIGA KAN GAWAT!"
Dua belas detik setelah ide-ide brilian muncul di otaknya, kini Esa meraih jaket dan kunci motor. Masih pukul empat sore, untung sudah solat ashar jadi Esa bisa langsung meninggalkan rumah.
"YA GUSTI PUNYA ANAK KOK BANDEL BENER! ESA JANGAN PULANG MALEM-MALEM! JAS UJAN JANGAN LUPA!"
Esa hanya berlalu seraya mencium pipi Mamanya dan berlari kecil meraih motor butut miliknya. Meskipun di luar hujan dan Esa baru saja mencuci motor, tapi ada hal yang jauh lebih penting dari urusan jengkel karena motor akan kotor lagi.
Omong-omong hujan benar turun deras kali ini. Hujan pertama untuk Neta di kota ini!
Esa merasa pintar karena sudah memecahkan teka-teki dalam benak Neta. Secara perempuan itu paling sulit dimengerti dan laki-laki paling sulit mengerti. Mungkin jawabannya laki-laki berkacamata yang Neta kagumkan. Benar, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro