Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ketujuh • Dua Permintaan

Setelah kejadian itu, Jenaka tidak bisa tidur. Bukan karena nyeri yang menyerang, melainkan karena tidak bisa menghapus wajah Jaya di matanya. Sekujur tubuhnya mendadak panas jika mengingat perhatian laki-laki itu.

Jangan salahkan Jenaka jika dirinya mudah menyukai pria. Harun sama sekali bukan cinta pertamanya. Bapaknya itu jarang sekali mengajaknya bicara, apalagi menemaninya saat bermain atau belajar. Hanya ibunya yang sanggup melakukan itu, padahal banyak sekali kegiatan yang dikerjakan. Harun itu masih mengira bahwa mengurus anak adalah tugas istri, sementara suami ya bekerja.

Sampai akhirnya, sang ibu meninggal tiga bulan yang lalu. Jenaka merasa sangat kehilangan sosok yang selama ini menemani tumbuh kembangnya. Sampai detik ini, Jenaka masih terpukul. Dia tidak terima kenapa ibunya dipanggil secepat itu.

Jenaka kira setelah ibunya meninggal akan dekat dengan Harun, tetapi kenyataannya tidak. Hubungannya justru makin renggang. Jenaka selalu terlibat cekcok dengan Harun, apalagi bukannya bekerja, Harun malah sering gonta-ganti perempuan. Jenaka tidak suka. Perbuatan bapaknya itu sungguh tidak pantas dilakukan di saat tanah makam ibunya masih merah.

Sebentar lagi Jenaka masuk SMA. Bapaknya, sih, setuju Jenaka melanjutkan sekolah, tetapi ogah-ogahan saat ditanya biaya. Jenaka kebingungan. Kalau Harun kurang perhatian seperti ini, bagaimana nasibnya nanti?

Itu bisa dipikir nanti kalau sudah waktunya. Sekarang Jenaka ingin menjalankan suatu misi. Ia akan mendatangi sebuah rumah yang menjadi pos KKN. Teman-temannya yang lain kerap datang ke sini untuk sekadar minta diajari mengerjakan PR atau ingin kenalan dengan salah satu mahasiswa.

Kampungnya memang kerap didatangi KKN dari berbagai universitas. Hubungan mereka dengan warga di sini tidak putus begitu saja. Ada beberapa yang masih mempererat silaturahmi. Ada pula yang cinta lokasi sampai ke pelaminan. Tentu saja Jenaka tidak pernah kepikiran akan mendekati Jaya atau mahasiswa lainnya. Selama ini, Jenaka tidak peduli jika ada mahasiswa yang sedang KKN.

Sampai di sana, rumah tampak sepi. Sepertinya penghuni rumah sedang pergi. Jenaka menghela napas kecewa. Dia sudah jauh-jauh datang ke sini, tetapi malah tidak ketemu Jaya.

"Kamu yang kemarin, kan?"

Spontan Jenaka membalikkan tubuhnya usai mendengar suara laki-laki di belakang. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Tanpa dicari pun datang sendiri.

"Iya, Kak. Masih inget aku, kan?"

"Masih, dong. Ada apa kamu ke sini?" 

"Mau ketemu sama Kakak," aku Jenaka. Ya, memang tujuannya ke sini hanya ingin bertemu dengan Jaya. Untuk apa ditutupi, kan? 

"Ketemu dalam rangka apa?" 

Nah, di sinilah keimanan Jenaka diuji. Dia tidak punya tujuan apa pun, dirinya hanya ingin bertemu dengan Jaya. Terus alasan apa yang harus dibuat supaya Jaya percaya?

"Aku ... butuh saran, Kak." Jenaka akhirnya menemukan alasan. "Aku sebentar lagi masuk SMA, Kak. Tapi bingung gimana dapet uang untuk bayar pendaftaran sama seragamnya."

"Emang kapan kamu lulusnya?"

"Empat bulan lagi, Kak." 

"Kalau saran aku, sih, mendingan kamu sekarang fokus ke ujian nasional dulu. Kalau udah selesai, baru kamu cari pekerjaan yang ringan. Kamu punya akun Facebook nggak?" 

"Punya, Kak." 

"Nah, coba kamu cari pekerjaan sampingan di sana atau coba jualan online di sana. Uang yang terkumpul nanti bisa kamu pakai buat biaya masuk SMA."

Jenaka mencoba mencerna. Dia memang punya akun Facebook, tetapi hanya sekadar untuk menyimpan foto. Saran Jaya cukup bagus. Dia bisa memanfaatkan akun tersebut untuk hal yang lebih bermanfaat. 

Lagi-lagi, Jenaka kagum dengan Jaya. 

"Jen! Kamu mau ke mana?" 

Jenaka otomatis menghentikan langkah usai mendengar suara Jaya dan motornya, kemudian mendengkus kesal. Jaya ini bodoh atau sedang linglung? Jelas-jelas kelas sudah selesai dan dirinya mau pulang sekarang.

"Pulang bareng saya, ya? Saya ingin bicara sama kamu." 

Jenaka melirik tajam. "Ora sudi!" 

"Jen, kalau kamu menghindar terus, saya jadi semakin kalau kamu belum move on. Kalau kamu emang udah nggak punya rasa, harusnya berani berhadapan dengan saya."

Saat itu juga, Jenaka tertegun. Ucapan Jaya berhasil merasuki kepalanya. Benar, kenapa dirinya selalu melakukan ini? Kenapa harus menghindar? Jenaka sudah yakin perasaannya untuk Jaya sudah tidak ada. Apa dirinya takut terperosok lagi? 

Akhirnya Jenaka memberanikan diri mendekati Jaya. Ia tidak mau dikira gagal move on. Ia harus bisa menghadapi Jaya.

"Ayo, naik!" 

Jaya menyodorkan helm, Jenaka menerima. Perempuan itu tidak mengeluarkan suara saat duduk di belakang Jaya. Motor mulai melaju pelan. Jenaka sama sekali tidak berpegangan di tubuh Jaya. Bahkan, tasnya diletakkan di punggung lelaki itu agar tidak langsung bersentuhan. 

Setengah perjalanan, Jenaka baru menyadari jika arah motor Jaya tidak ke rumahnya, melainkan menuju gang lain. Jenaka spontan memukul bahu Jaya. "Ini saya mau diajak ke mana?" 

"Kamu diem aja. Nanti juga tahu." 

"Pak! Jangan macam-macam, ya!" 

"Saya mau macam-macam pun udah boleh. Kamu istri saya sekarang."

Jenaka melotot. Astaga! Kenapa laki-laki ini menyebalkan sekali? Mau pakai status untuk mengancam? Jenaka tidak takut sama sekali.

Jaya menghentikan motornya tepat di depan sebuah rumah bercat kuning dan hijau. Yang Jenaka tahu, rumah ini selalu disewakan. Untuk apa Jaya mengajaknya ke sini? 

"Ini tempat tinggal saya," kata Jaya seolah-olah tahu apa yang dipikirkan Jenaka. "Saya mau ambil barang, sekalian mau ngomong sesuatu ke kamu." 

"Di luar aja kalo mau ngomong." 

"Jen, apa yang kamu takutkan? Saya nggak akan macam-macam ke kamu. Lagian, di mata saya, kamu itu masih kayak anak SMP. Kamu nggak usah khawatir, saya nggak minat nyentuh tubuh kamu."

Ya, walaupun perkataan Jaya menjengkelkan, tetapi Jenaka berusaha untuk percaya. Akhirnya Jenaka mau diajak masuk ke rumah itu. 

"Jadi Bapak mau membicarakan apa ke saya?" tanya Jenaka. 

"Saya mau bahas tentang kita. Kapan kita mengesahkan pernikahan ini?"

Jenaka mengernyit. "Buat apa? Mendingan gini aja, kan? Kalau Pak Jaya mau ninggalin saya, nggak perlu banyak ngurusin ini-itu."

Mendengar ucapan Jenaka, Jaya spontan tertawa. Hal itu membuat Jenaka semakin bingung. 

"Serius kamu mikirnya semudah itu? Jenaka, dengerin saya, kalau kita mau cerai, pernikahan ini harus sah dulu secara negara dengan melakukan itsbat nikah di pengadilan agams, baru kalau pernikahan kita sah, saya bisa menceraikan kamu."

Seketika Jenaka termangu.

"Itu terserah kamu. Saya udah ngajak kamu bikin berkas. Kalau kamu nggak mau ya nggak masalah, tapi jangan salahkan saya kalau kamu kesulitan pisah dari saya."

Ah, menyebalkan! Selama ini Jenaka pikir nikah siri mudah sekali. Kan, hanya sah secara agama. Kalau mau pisah, ya, tinggal bilang talak dan pergi. Ternyata masih harus mengesahkan pernikahannya dulu baru bisa cerai. Tahu begini, mendingan kemarin ia lawan saja Pak Sobri. 

Jenaka tidak mau lama berurusan dengan Jaya. Ia ingin segera mengakhiri semuanya. "Saya punya permintaan, boleh?"

Jaya mengerjap. "Permintaan apa?" 

"Saya mau pernikahan ini saya sampai kelas menjahit selesai. Gimana?"

Kalau sampai kelas menjahitnya selesai, artinya Jenaka bersama Jaya sampai enam bulan. Setelah itu, Jenaka bebas. Jaya kembali ke Surabaya. 

"Saya juga punya permintaan, boleh?" 

Kini giliran Jenaka yang berkedip. "Apa?" 

"Saya mau kita tinggal di sini."

Spontan mata Jenaka melebar. "Nggak bisa! Nggak mau!" 

Jaya mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Kamu takut? Lagian, emang kamu betah setiap kali kita ribut, ada bapak kamu yang ikut campur?" 

Astaga ... Jaya memberikan pilihan yang sulit! Jenaka memang tidak suka kalau bapaknya ikut campur, tetapi kalau tinggal di sini sama saja masuk ke kandang macan. 

"Gimana? Saya akan menuruti permintaan kamu kalau kamu mau menerima permintaan saya." 

Jenaka berpikir keras. Hanya sampai enam bulan, kan? Setelah itu, Jenaka tidak memiliki urusan apa pun dengan laki-laki ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro